Gendis mendapat kabar jika acara bazar kemarin berjalan lancar. Seruni juga memberikan satu amplop berupa undangan agar Gendis menghadiri acara puncak amal.
Semua sudah disiapkan dan kali ini baru pertama kali bagi Gendis merasakan bisa berbaur dengan para istri prajurit yang lain. Saling bergotong royong dan bahu membahu agar acara berjalan lancar.Semua ibu-ibu bersikap ramah, tak ada satupun dari mereka yang bersikap seperti Ibu mertuanya, hanya saja Gendis masih heran mengapa dulu mereka menjaga jarak dari Gendis. Apa mereka takut Gendis akan berbicara yang tidak-tidak pada media?Untuk apa juga Gendis melakukan hal itu. Bukankan sudah ada peraturan tersendiri? Gendis pun enggan untuk mengekspose kehidupan pribadinya sebagai Ibu Persit pada Media.Apalagi ia telah memutuskan keluar dari dunia entertaint setelah resmi menikah dengan Galuh."Seruni, nanti Mbak mau ke rumah mertua dulu. Mbak minta tolong ya nanti, anterin ke rumah mertua. Mobil Mbak ketinggalan di lapangan Kodam," ucap Gendis.Remaja yang sedang mengepang rambutnya sendiri itupun menoleh ke arah Gendis tanpa melepaskan kegiatan tangannya, "huke Bu, Ibu mau ngapain ke sana?""Ambil rantang. Udah ada enam di sana. Nanti Mbak bingung lagi kalau mau nganter makanan pake apa. Nggak mungkin dibungkus daun pisang."Keduanya tertawa, tapi sebenarnya lucu juga jika Gendis membawa makanan yang dibungkus daun pisang alias dipincuk. Pasti Sri akan mengomelinya sampai satu abad.Setelah acara selesai Seruni benar membantu Gendis, mengantar wanita itu dan menunggui Gendis di depan pagar orang tua dari Galuh.Sedangkan Gendis berlalu ke dalam untuk mengambil rantang dan menukarnya dengan memberikan minuman herbal untuk mertuanya. Bukan racikan dari Bu Hari tapi, jangan sampai ia memiliki adik ipar kecil nanti. Satu ipar saja pusingnya minta ampun.Bahaya!Melihat pintu depan yang tertutup rapat, Gendis lantas ke arah belakang rumah. Ia sudah hafal jika Sang Mertua terbiasa duduk-duduk di pekarangan belakang rumah di sore hari begini untuk menikmati semilir angin.Namun pemandangan lain membuat Gendis menghentikan langkahnya. Berjalan mundur bersembunyi di balik tembok. Di sana ada Galuh, duduk bersama Mertua juga adik iparnya Sonia.Tahu begini lebih baik ia menyuruh Seruni untuk pulang lebih dulu. Biar dia bisa pulang bersama Galuh. Kalau suaminya itu tahu dia bersama Seruni pasti Galuh akan menyuruhnya pulang bersama Seruni, kasian katanya.Gendis sudah merogoh tas dan mengambil ponsel. Akan tetapi ketika mencari nama Seruni di kontak ponsel suara Sonia menghentikan niatan Gendis. Ia penasaran karena namanya dibawa-bawa dalam perbincangan keluarga tersebut."Udah dua tahun lho Mas Galuh nikah sama Mbak Gendis. Kapan cerai? Kesepakatannya juga udah selesai kan sama Mbak Renata. Jadi Mas ngga ada kewajiban buat lanjutin pernikahan ini Mas. Semakin cepat semakin bagus Mas."Degup jantung Gendis berpacu cepat, darahnya berdesir membuat wajah Gendis memerah. Apa katanya? Gendis, Gendis tak salah dengar kan! Iparnya dengan lugas menyuruh Galuh menceraikan dirinya!Adik kurang kerjaan memang. Padahal selama ini Gendis selalu memberikan barang keluaran terbaru yang diinginkan Sonia. Bisa-bisanya gadis itu malah melakukan hal seperti ini padanya."Iya Luh, Ibu kasian sama Gendis. Gendis baik banget lho sama kita. Kalau Kamu makin lama ngundur waktu Ibu jadi makin nggak enak sama Gendis," ucap Sri pelan yang disambut dengusan kasar Sonia.Helaan napas wanita paruh baya itu terdengar berat, membuat Galuh mendongak menatap langit sore.Ini juga berat baginya karena Galuh belum menemukan cacat Gendis agar bisa menceraikan wanita itu dan mengancam Gendis supaya tak mengganggu hidup rumah tangga sepupu jauhnya, Renata dengan Arman."Mas bisa nikahin anak Pak Bupati setelah ini. Kayaknya mantan Mas Galuh itu masih berharap sama Mas, udah baik, santun nggak pernah terlibat scandal apapun. Lebih cocok jadi istri Mas Galuh," ungkap Sonia lagi.Demi apapun Gendis ingin menyumpal mulut Sonia dengan sepatu kets yang saat ini ia kenakan.Namun kemarahan Gendis berbalik meruntuhkan rasa percaya dirinya kala suara Galuh terdengar."Segera Pak Bu, tapi setelah Galuh dapet sesuatu yang bisa ngancem Gendis agar tidak mengganggu Arman lagi. Jadi Galuh nggak ada hutang sama Rena."Senyap beberapa saat, ke empat orang beda usia itu saling diam dengan pikiran kemana-mana.Begitu pula Sonia. Gadis yang begitu getol menjodohkan Kakaknya dengan Anindya kekasih Galuh, sebelum akhirnya harus putus karena permintaan Renata dua tahun lalu."Bapak sama Ibu tahu kan kesepakatan awalnya. Galuh harus punya satu bukti agar bisa jauhin Gendis dari Arman. Selama ini Galuh bisa nyuruh istri dari rekan-rekan Galuh agar mengasingkan Gendis, Galuh juga sudah nyuruh orang untuk mengikuti Gendis, tapi mereka belum dapat hasil memuaskan.""Gendis baik, tapi pelakor Mas! Jangan sampai luluh sama dia pokoknya. Lagian juga nggak cocok mantan pelakor jadi bagian Ibu Persit! Yang bener aja."Satu tangan Gendis menekan bagian kanan kiri dadanya karena jantunganya bertalu sangat keras.Jadi sejak awal semua sudah terencana? Hubungan mereka adalah sebuah skenario yang naasnya ditulis oleh semua keluarga Galuh? Bahkan Sonia juga tahu rencana itu.Ya Tuhan!Gendis sulit bernapas normal, seperti ada bongkahan batu yang menganjal tenggorokannya. Sakit.Namun Gendis bisa apa sekarang! Untuk menghadapi mereka saja ia sudah hancur lebih dahulu. Gendis tak memiliki tenaga untuk menemui keluarga Galuh yang mengenalnya sebagai perempuan kotor alias pelakor.Dengan tergesa Gendis meninggalkan kediaman mertuanya. Ia tadi juga mendengar bahwa Galuh selama ini memperkerjakan seseorang untuk menguntitnya.Cepat atau lambat pria itu pasti tahu jika Gendis berada di sana."Dek kita pulang," ucap Gendis pelan.Sebisa mungkin ia menampilkan raut wajah biasa saja agar Seruni tidak curiga. Gendis meraih helm dan lekas naik ke jok motor Seruni, meminta gadis itu melajukan motornya sebelum Galuh sadar keberadaan Gendis."Lho rantangnya mana Bu?""Udah digadai katanya," sahut Gendis.****Rumah terasa asing sekarang. Sejak memasuki ruang tamu ada rasa dingin yang menyergap benak Gendis.Ternyata kesepian yang ia rasakan terasa kental walau sempat Gendis tepis dengan keberadaan Galuh dalam hatinya.Sudah Gendis bilang bukan kalau Galuh segalanya bagi Gendis. Di saat semua pria percaya bahwa dirinya menjadi duri dalam rumah tangga Arman yang notabene adalah sahabatnya sendiri, hanya Galuh yang tak pernah menyinggung hal tersebut. Hingga Gendis berpikir bahwa Galuh tak pernah termakan gosip yang beredar luas.Tapi nyatanya malah diluar dugaan. Perbuatan satu keluarga itu lebih parah dari kalimat-kalimat pria yang pernah menawarkan harga pada tubuhnya karena scandalnya dengan Arman dulu."Ya Tuhan ...." lirih Gendis pelan.Air matanya sudah tumpah dengan rasa sesak yang luar biasa menghimpit dadanya. Namun sekarang ia bisa apa! Gendis bahkan tak bisa berpikir jernih saat ini.Hatinya hancur lebur dan kepercayaan dirinya koyak. Arman ....Hanya satu nama itu yang kini bersarang di dalam pikiran Gendis. Ia harus menemui Arman.TOK ....TOK ....TOK ....Sebuah ketukan pada pintu kayu terdengar, akan tetapi tak lagi membuat Gendis merasakan euforia. Tak seperti hari kemarin dimana ia selalu menantikan ketukan pintu rumah dengan hati berdebar untuk kemudian membukakan pintu. Menyambut sang pemilik jiwa dengan senyum manis dan tatapan penuh puja.Sekarang Gendis memilih abai. Wanita itu menggelar sejadah, menutup mata dan telinga kemudian menyebut asma Tuhan untuk menenangkan batinnya yang bergejolak dahsyat. "Gendis ...."Galuh berhenti memanggil ketika netranya menemukan Gendis yang sudah mengenakan mukena dan bersiap sholat Maghrib.Senja memang sudah menyapa, mega merah terbentang di ufuk barat tanda masuknya waktu awal Maghrib.Pria itu menarik napas panjang sembari menghampiri Gendis. Duduk di sebelah Gendis tanpa melakukan apapun, hanya menatap paras Gendis yang kini sedang menutup kelopak matanya.Ia baru dapat kabar dari Seruni kalau Gendis dan gadis itu tadi hendak mengambil rantang di rumah orang t
Gendis diantar pulang oleh sekertaris Arman, pria bernama Diga itu menatap kasihan sosok wanita yang duduk diam di sampingnya itu.Tadi Gendis mendapat dua tamparan dan jambakan keras dari istri atasannya. Ada tiga luka memanjang pada pelipis Gendis juga robekan kecil pada satu sudut bibirnya.Rambut Gendis juga acak-acakan. Namun bukan itu fokus utama Diga, melainkan ekpresi Gendis yang memancarkan kesenduan yang hanya wanita itu simpan sendiri."Sudah sampai Bu, Ibu mau Saya bantu ke dalam?"Rasanya tak sopan jika Diga tiba-tiba merangkul dan mengantar Gendis ke dalam rumah tanpa izin dari wanita itu sendiri."Nggak perlu, sssttth ...."Gendis mendesis kesakitan ketika perih mulai terasa dari sudut bibirnya, dengan perlahan Gendis keluar dari mobil dengan berpegangan pada tangan Diga. "Makasih, tolong sampaikan sama atasanmu itu ... kasih tahu istrinya tranferan itu untuk apa. Cukup media saja yang tidak tahu kebenaran uang itu. Tapi Rena harus tahu," ujar Gendis.Diga hanya mengan
Kegaduhan mulai terdengar di perumahan tempat tinggal orang tua Galuh. Pun kabar tentang Gendis yang diserang Renata sudah sampai di telinga Sonia karena para teman dan tetangga asik menggodok gosip tersebut. Link-link berita yang memuat video Gendis dipukul sepupu jauhnya itu bertebaran di linimasa media sosial.Sonia yang memang tak menyukai Gendis, karena menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Renata, jelas saja langsung mengadukannya pada Sri dan Sapta.Seroyal dan seloyal apapun Gendis pada keluarga mereka tetap saja Sonia risih dengan keberadaan Gendis ketika wanita itu ke rumah mereka dengan membawa makanan. Sonia yang merasa ada celah untuk memisahkan hubungan saudaranya itu langsung mengirim link video tentang gosip yang sekarang menyeret nama Gendis pada Galuh."Mas, jangan bikin keluarga malu, mending cepet cerai. Ini juga udah ada alasan logisnya biar Mas cerai. Institusi juga bakal kenak imbas lho," cecar Sonia pada Galuh. Karena chatnya tak dibalas, gadis itu nekat
Selepas sholat isya, Gendis benar menemui Galuh yang sudah menunggunya di ruang tamu.Suasana senyap, Galuh yang tengah duduk tepat di depan Gendis terus menatap lekat paras wanita di depannya yang tengah menunduk. Tak ditemukan lagi senyum manis di sana. Hanya wajah tanpa ekspresi juga sorot mata yang tenang seolah tak terjadi apapun."Kamu tahukan setelah ini mungkin Kamu akan dikenakan sanksi, mungkin Mas juga. Paling tidak jabatan Mas akan dicopot karena ini."Gendis tak menampik ucapan Galuh, perbuatan Renata padanya akan membuat posisi Galuh terancam. Namun semua orang hanya tahu bahwa dirinyalah yang membuat Galuh kesulitan. Bahkan pria itu sendiri menganggapnya seperti itu.Gendis yang tengah menatap tepian gelasnya mengangguk pelan. Jemarinya berputar mengitari bibir gelas, meresapi sisa kehangatan dari teh hijau yang ia buat. "Maaf Mas. Gendis akan bertanggung jawab tanpa melibatkan Mas Galuh."Galuh memejamkan netranya sesaat, tak puas dengan jawaban Gendis. Apa wanita it
"Kenapa Bang?" Rafael mendekat ketika melihat kerumitan pada wajah Galuh, lalu mengangsurkan segelas kopi miliknya ke hadapan pria itu. Karena sepertinya lebih butuh kafein dari pada Rafael. "Nggak ada apa-apa." "Mukanya kok gitu, lagi ribut Sama Bu Kapten Bang?" tanya Rafael lagi. Tak puas dengan jawaban yang ia dapatnya. Galuh berdecak, menjulurkan tangannya untuk menyentil kepala Rafael, "kepo." Selepas apel pagi, Galuh memilih berdiam di barak. Terus teringat ucapan terakhir Gendis sebelum wanita itu pergi membawa kopernya. "Tujuan Mas sudah selesai, kesepakan Mas udah ada ditahap finish jadi mari kita selesaikan dengan baik-baik." Dan sekarang sebelum ia bisa memperbaiki komunikasi mereka, Gendis memilih menyudahi hubungan antara keduanya. Galuh merasa kosong. Padahal itu memang tujuan awalnya, tapi entah mengapa sekarang ia merasa tak terima. Harusnya Galuh yang menggugat Gendis bukan? "Bang, jangan suruh istri Saya buat jauhin Bu Kapten ya Bang. Istri Saya uda
Galuh membuka pintu rumah dengan senyum yang mengembang sempurna. Sore-sore makan pisang goreng ditemani teh hangat, rasanya sempurna."Dis, Mas dikasih pisang goreng sama Bu Hari, buatin teh anget yah. Kita makan bareng-bareng."Langkah kaki Galuh menuntunnya pada area dapur. Mencari keberadaan wanita yang biasanya tengah memasak untuknya."Di—" Baru hendak memanggil lagi, ingatan Galuh menampar pria itu kala netranya menangkap kelengangan yang hampa. Galuh meletakkan piring berisikan pisang goreng pada meja dengan kasar. Memejamkan mata, kemudian menyugar rambutnya."Sial!" desisnya tertahan.Galuh gusar, ia tak harus seperti ini. Tak harus mengalami ke mellow-an yang hanya dialami perempuan saja. Ya ... Galuh mengangguk, ini hanya efek karena ia terbiasa dilayani Gendis. Lambat Laun dirinya akan terbiasa lagi tanpa wanita itu.Dengan mengokohkan hati, Galuh menarik kursi. Tubuh tegapnya segera duduk dan menikmati pisang goreng yang masih hangat sendirian di tengah kehampaan yang c
"Lihat deh Bu, ini Papanya Bu Gendis kan?" Seruni memperlihatkan layar ponselnya pada Rahayu. Menunjukkan berita dari salah satu akun gosip yang menampilkan sebuah konferensi pers tentang istri Kaptennya dan Arman. Ada sebuah rasa bangga yang luar biasa dalam dada Seruni karena selama ini dugaan bahwa Gendis wanita terhormat benar adanya. Bu Hari yang sedang membuat makan malam segera mendekat ketika dipanggil Seruni, "oalah, iya Mbak. Ini Papanya Bu Kapten. Tapi Bu Gendis mana yah?" Keduanya mengerutkan kening sambil menajamkan mata. Mencari keberadaan Gendis, siapa tahu ada di deretan kursi yang menampilkan beberapa artis yang Seruni kenal. "Nggak ada Bu, tapi bukannya Bu Gendis lagi pulang yah ke rumahnya. Kok nggak ikutan klarifikasi?" "Mungkin karena udah keluar dari dunia entertainment Mbak. Jadi nggak mau muncul-muncul lagi di depan wartawan." Seruni mengangguk, ucapan Ibunya masuk akal mengingat Gendis pernah mengatakan jika wanita itu sudah keluar sepenuhnya dar
Sesal tak dapat ditangkis, sejauh apapun Galuh mengelak ia tak lagi mampu membohongi diri dengan berlindung mengunakan kalimat ia kehilangan karena terbiasa akan hadirnya sosok Gendis. Pelampiasan pada berkas juga kegiatan lain tak bisa mengalihkan perhatiannya lagi. Gendis ... ia kehilangan seluruh hatinya. Logikanya berperang dengan selalu membisikkan bahwa ia bisa tanpa adanya wanita itu seperti dulu. Namun nyatanya tak seperti itu. Ia merasa sepenuhnya kosong. Ditambah Gendis tak menyisakan sedikit jejak pada kediamannya. Harum wanita itu bahkan sudah pudar tergantikan aroma petrichor yang kadang kala memenuhi seluruh ruang kediaman Galuh. Galuh menarik napas dalam. Matanya yang terpejam bergerak seolah mencari arah pada lorong yang gelap, dan sialnya berita awal mula kesalahan pahaman antara ia dan Gendis selalu tayang di chanel manapun pada televisi yang ada di ruang tengah. Membuat Galuh semakin gundah. Jadwal sidang mediasi dua hari lagi dan kemarin ia sudah bertemu de
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju