"Kenapa Bang?"
Rafael mendekat ketika melihat kerumitan pada wajah Galuh, lalu mengangsurkan segelas kopi miliknya ke hadapan pria itu. Karena sepertinya lebih butuh kafein dari pada Rafael. "Nggak ada apa-apa." "Mukanya kok gitu, lagi ribut Sama Bu Kapten Bang?" tanya Rafael lagi. Tak puas dengan jawaban yang ia dapatnya. Galuh berdecak, menjulurkan tangannya untuk menyentil kepala Rafael, "kepo." Selepas apel pagi, Galuh memilih berdiam di barak. Terus teringat ucapan terakhir Gendis sebelum wanita itu pergi membawa kopernya. "Tujuan Mas sudah selesai, kesepakan Mas udah ada ditahap finish jadi mari kita selesaikan dengan baik-baik." Dan sekarang sebelum ia bisa memperbaiki komunikasi mereka, Gendis memilih menyudahi hubungan antara keduanya. Galuh merasa kosong. Padahal itu memang tujuan awalnya, tapi entah mengapa sekarang ia merasa tak terima. Harusnya Galuh yang menggugat Gendis bukan? "Bang, jangan suruh istri Saya buat jauhin Bu Kapten ya Bang. Istri Saya udah nggak mau. Malah sekarang Saya yang diancem. Katanya Saya nggak boleh masuk kamar kalau nggak ngebolehin dia bareng Bu Kapten," curhat Rafael. Wajahnya mendadak lesu karena ancaman istrinya sangat menakutkan. Ia tak boleh tidur di kamar yang artinya ia tak boleh menyentuh istrinya. Yah ... baru juga pulang tugas, lagi kangen-kangennya. Eh malah dikasih kalimat sakral. Ia juga mendengar dari rekan-rekan yang lain, dan mereka bernasib sama. Sepertinya para istri sedang melakukan pemberontakan karena tak bisa bersosialisasi dengan Gendis. Hanya Bu Hariyono yang dekat dengan istri Galuh, dan itu membuat istrinya kesal padanya. Apalagi istri Rafael adalah fans no satu dari Gendis Arunika. "Lagipula nih ya Bang, Bu Kapten kayaknya nggak pernah bikin masalah deh sampek harus di kasih sanksi sosial begitu. Kecuali ya memang berita yang kemarin. Cuma itu doang selama ini, alasan Bang Galuh nyuruh kita ngasih sanksi buat Bu Kapten apa sih Bang sebenernya?" Galuh masih diam, pikirannya melalang buana memikirkan apa yang harus ia lakukan tanpa Gendis. Pria itu menghela napas panjang, apa yang harus ia risaukan sebenarnya. Toh dia sudah terbiasa sendiri di medan tugas jadi Galuh tak perlu bingung seperti ini. "Bang, denger nggak sih." "Denger Pael, tapi Gendis sudah bukan istri Saya lagi," ucap Galuh yang membuat Rafael berdiri dari duduknya. "Abang mau ceraikan Bu Kapten Bang!" "Bukan," sahut Galuh lesu, "saya yang diceraikan." "Oh .... hah!" **** "Sudah pulang?" Gendis yang sedang menarik koper setelah membuka pintu rumah orang tuanya dibuat terkejut. Suara Papanya memang tebal, sedikit mirip dengan karakter suara Galuh suaminya. "Hm, Gendis pulang. Jangan tuntut Renata lagi Pah, Aku nggak mau berurusan sama mereka untuk yang ke sekian kalinya" sahut Gendis. Wanita itu melangkah pelan, mendekati Arjuna yang kini berdiri di samping sofa, menunggu kedatangan putrinya untuk kemudian ia peluk tubuh Gendis. Ada pula Rahayu, Mama Gendis hanya mampu menghela napas pelan, mencoba meredam emosi yang bergumul dalam dadanya. "Nggak papa, sakitmu akan cepat sembuh. Allah kasih tahu semuanya karena Allah sayang Kamu Mbak." Air mata Gendis kembali luruh. Ia telah menceritakan semua kejadian yang membuat dirinya kembali mendapat sorotan publik. Kesalahpahaman antara Renata dan dirinya sampai kesepakatan antara Galuh dengan Renata, tak ada yang ia sembunyikan kecuali kehidupan Gendis selama menikah dengan Galuh. Ketidakadilan yang ia alami selama di kediaman Galuh, bukan dari bagian konsekuensinya menjadi seorang mantan aktris. Melainkan karena perbuatan pria yang ia perjuangkan dihadapan Papa dan Mamanya. Ya ... sebenarnya dulu Papanya sangat menentang hubungan Gendis dengan Galuh, namun Gendis terus menjelaskan jika Galuh sama seperti Arjuna yang selalu ada untuk Rahayu. Hingga akhirnya Arjuna memberi restu untuk Gendis agar bisa bersanding dengan Galuh. Dan kemarin Gendis sempat berpikir jika Arjuna akan mengoloknya atau semacamnya, namun ternyata Arjuna tetap membuka tangan dan menerima Gendis tanpa mengadili wanita itu. Terus mendengar penjelasan Gendis tanpa menyela sedikitpun. Hanya Rahayu yang sedikit mengomel karena ulah Renata dan Galuh yang menurut Mama Gendis mempermainkan agama dan kesakralan pernikahan. Entah mengapa sekarang ada rasa takut yang menyergap pikiran Gendis. Hingga benaknya terus bertanya-tanya, apa ia tak selayak itu untuk diterima oleh masyarakat? Walaupun malu pada orang tuanya ia bersyukur karena masih ada Arjuna dan Rahayu di sampingnya karena jika bukan mereka siapa yang akan menemani Gendis di masa terpuruknya seperti saat ini. "Pak, semua sudah siap." Arjuna mengangguk sembari melambaikan tangannya agar segera keluar dari ruang keluarga. "Papa mau kemana?" tanya Gendis yang sudah segar setelah berendam air hangat selama beberapa menit untuk mengurangi rasa lelahnya. "Ada hal yang harus Papa urus. Kamu di sini sama Mama, nggak usah kemana-mana. Kalau ada tamu jangan keluar." Rentetan pesan keluar dari mulut Arjuna. Pria itu menyayangkan pernikahan Gendis yang berjalan singkat juga beberapa hal yang putrinya alami. Namun meski begitu Gendis tetaplah putrinya. Prioritas utamanya bersama sang istri. **** Sepeda motor yang Galuh kendarai sampai di halaman luas rumah dinasnya. Pria itu memarkirkan sepeda di samping pohon mangga, kemudian merebahkan diri pada dipan bambu yang memang tersedia di sana. Ia lelah, sangat lelah karena pikirannya ikut berkecamuk. Padahal Galuh sudah mati-matian menyibukkan diri dengan beberapa tugas juga berusaha tak mengingat surat yang Gendis berikan. Namun nihil, Galuh terus terbayang bagaimana keadaan Gendis ketika pertama kali mengetahui tentang kesepakatan yang ia lakukan dengan Renata. Jahat. Ya ia akui kini ia terlihat seperti orang jahat. Namun ia hanya berusaha melindungi rumah tangga sapupu jauhnya. Galuh berdecak kasar. Kedua tangannya meremas erat rambut pria itu hingga rasa sakit sedikit mengalihkan pikiran Galuh. "Kok belum masuk Pak, sudah mau Maghrib lho," sapa Bu Hari dengan sepiring pisang goreng di tangan. "Oh, iya ini tiduran bentar Bu," sahut Galuh lekas bangun dari posisi tidurnya. "Oalah, kecapean ya Pak? Ini ada pisang goreng. Masih hangat," beritahu Bu Hari sembari memberikan pisang buatannya. Wanita itu pergi ke rumah Gendis untuk mengajak Gendis ke acara pengajian yang diadakan tiap Minggu di perumahan tersebut. Para ibu-ibu Persit tadi mendesaknya agar Gendis ikut pengajian bersama mereka. Awalnya Bu Hari heran, namun hanya beberapa saat karena selebihnya ia merasa senang sebab Gendis bisa berkumpul dan berbaur bersama para istri tentara yang lain. "Ini Pak, kalau boleh ... Ibu Gendis nanti akan Saya ajak untuk ikut pengajian. Setelah Maghrib di rumahnya Indah," beritahu Bu Hari setelah jeda beberapa saat. "Nanti saya sampaikan ya Bu." Terlihat raut wajah binar pada wanita yang masih berdiri di depan Galuh mendengar ucapan pria itu. Satu misinya sudah selesai, tersisa beberapa tahap lagi agar Gendis bisa berbaur sepenuhnya dengan para istri tentara yang lain. "Alhamdulillah, ya sudah Saya izin pulang kalau gitu Pak." Galuh tersenyum simpul kemudian mengucapakan terima kasih atas makanan yang Bu Hari berikan padanya.Galuh membuka pintu rumah dengan senyum yang mengembang sempurna. Sore-sore makan pisang goreng ditemani teh hangat, rasanya sempurna."Dis, Mas dikasih pisang goreng sama Bu Hari, buatin teh anget yah. Kita makan bareng-bareng."Langkah kaki Galuh menuntunnya pada area dapur. Mencari keberadaan wanita yang biasanya tengah memasak untuknya."Di—" Baru hendak memanggil lagi, ingatan Galuh menampar pria itu kala netranya menangkap kelengangan yang hampa. Galuh meletakkan piring berisikan pisang goreng pada meja dengan kasar. Memejamkan mata, kemudian menyugar rambutnya."Sial!" desisnya tertahan.Galuh gusar, ia tak harus seperti ini. Tak harus mengalami ke mellow-an yang hanya dialami perempuan saja. Ya ... Galuh mengangguk, ini hanya efek karena ia terbiasa dilayani Gendis. Lambat Laun dirinya akan terbiasa lagi tanpa wanita itu.Dengan mengokohkan hati, Galuh menarik kursi. Tubuh tegapnya segera duduk dan menikmati pisang goreng yang masih hangat sendirian di tengah kehampaan yang c
"Lihat deh Bu, ini Papanya Bu Gendis kan?" Seruni memperlihatkan layar ponselnya pada Rahayu. Menunjukkan berita dari salah satu akun gosip yang menampilkan sebuah konferensi pers tentang istri Kaptennya dan Arman. Ada sebuah rasa bangga yang luar biasa dalam dada Seruni karena selama ini dugaan bahwa Gendis wanita terhormat benar adanya. Bu Hari yang sedang membuat makan malam segera mendekat ketika dipanggil Seruni, "oalah, iya Mbak. Ini Papanya Bu Kapten. Tapi Bu Gendis mana yah?" Keduanya mengerutkan kening sambil menajamkan mata. Mencari keberadaan Gendis, siapa tahu ada di deretan kursi yang menampilkan beberapa artis yang Seruni kenal. "Nggak ada Bu, tapi bukannya Bu Gendis lagi pulang yah ke rumahnya. Kok nggak ikutan klarifikasi?" "Mungkin karena udah keluar dari dunia entertainment Mbak. Jadi nggak mau muncul-muncul lagi di depan wartawan." Seruni mengangguk, ucapan Ibunya masuk akal mengingat Gendis pernah mengatakan jika wanita itu sudah keluar sepenuhnya dar
Sesal tak dapat ditangkis, sejauh apapun Galuh mengelak ia tak lagi mampu membohongi diri dengan berlindung mengunakan kalimat ia kehilangan karena terbiasa akan hadirnya sosok Gendis. Pelampiasan pada berkas juga kegiatan lain tak bisa mengalihkan perhatiannya lagi. Gendis ... ia kehilangan seluruh hatinya. Logikanya berperang dengan selalu membisikkan bahwa ia bisa tanpa adanya wanita itu seperti dulu. Namun nyatanya tak seperti itu. Ia merasa sepenuhnya kosong. Ditambah Gendis tak menyisakan sedikit jejak pada kediamannya. Harum wanita itu bahkan sudah pudar tergantikan aroma petrichor yang kadang kala memenuhi seluruh ruang kediaman Galuh. Galuh menarik napas dalam. Matanya yang terpejam bergerak seolah mencari arah pada lorong yang gelap, dan sialnya berita awal mula kesalahan pahaman antara ia dan Gendis selalu tayang di chanel manapun pada televisi yang ada di ruang tengah. Membuat Galuh semakin gundah. Jadwal sidang mediasi dua hari lagi dan kemarin ia sudah bertemu de
"Saya salah, tapi Saya ingin memperbaiki semuanya," ucap Galuh tenang setelah Sang Mediator menanyai dirinya. Ia tak ingin mengelak. Semua yang Gendis ucapkan benar adanya bahwa mereka tak memiliki komunikasi yang bagus. Sedang Gendis yang mendengar penuturan Galuh langsung menolehkan kepalanya kesamping. Melihat sosok pria yang ternyata juga menatap dalam dirinya entah dari sejak kapan. "Harusnya Saya lebih mengerti keinginan Istri Saya dan berusaha peka. Karena itu beri kesempatan agar Saya bisa memulainya lagi," tandasnya yakin tanpa mengalihkan pandangan.Gendis berdecih sembari merotasikan maniknya membuat Galuh tersenyum. Ia tahu Gendis akan semakin marah, namun hanya dengan cara seperti ini ia bisa menggagalkan gugatan Gendis."Mas janji nggak bakal gitu lagi, kita pulang yah?" BRAAK! Gendis memukul meja, lekas berdiri dengan emosi yang mulai membuncah. Apa Galuh sedang melantur! Calon mantan suaminya itu sedang apa sebenernya! Sungguh Gendis kira Galuh akan bersika
Melihat Gendis yang tak sadarkan diri membuat Galuh panik. Pria itu serta merta menggendong Gendis dan berlari ke luar ruangan saat itu juga. Mengabaikan pengacara Gendis yang ikut berlari sembari meneriakkan namanya agar berhenti. Galuh bersyukur karena setidaknya ada sebuah klinik yang hanya berjarak sejauh seratus meter dari pengadilan agama sehingga istrinya langsung mendapat penanganan. Kedua kaki Galuh tak berhenti bergerak, dengan sepasang mata yang tak lepas memperhatikan Gendis dari balik pintu kaca, dimana beberapa petugas medis memeriksa Gendis. Pengacara yang tadi bersama Gendis kembali ke pengadilan. Entah untuk apa yang jelas Galuh tak ingin sidang ini berlanjut. Saat ini ia sudah sadar bahwasanya keberadaan Gendis telah menguasai hati Galuh. Bukan hanya sudut hatinya saja melainkan keseluruhan ruang di sana. Hingga ia merasakan kekosongan yang luar biasa kala Gendis memutuskan pergi dari rumah. Dan tadi untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Gendis kembal
Kendaraan masih ramai berlalu lalang ketika Galuh melajukan sepeda motornya membelah jalanan. Berbaur saling membunyikan klakson kala lampu merah berubah hijau namun kendaraan umum di depan mereka tak kunjung berjalan. Sorak cahaya keemasan berpendar, menciptakan sebuah pemandangan apik dimana sinar mentari sore menembus celah-celah bangunan tinggi disamping Kiri kanan jalan raya. Menebarkan rasa hangat ditengah gemuruh yang masih melanda jiwa Galuh. Gendis hamil .... Dua kata yang terus mengalihkan fokus Galuh hingga beberapa kali ia mendapatkan teriakan cacian dari pengendara lainnya. Di sisi lain ia harusnya bahagia karena dengan itu ia bisa menekan Gendis agar terus bersamanya, ya ... pengadilan tak akan mengabulkan gugatan cerai Gendis padanya, keberadaan janin yang entah milik siapa itu cukup menguntungkan bagi Galuh. Motor yang Galuh kendarai mulai masuk pekarangan rumah pria itu, dan sambutan pertama yang ia dapatkan adalah senyum Sonia yang tengah berdiri bersa
Meskipun Bu Hari beberapa kali memanggil namanya dengan embel-embel Bapak atau Kapten yang selalu membuat ia risih, Galuh tetap menyimak keseluruhan cerita tentang bagaimana Gendis mengidamkan seorang bayi karena merasa kesepian. "Jadi, itu anak Saya?" gumam Galuh masih setengah tak percaya. Alis Bu Hari bertautan, sama hal nya dengan sang suami yang kini memandang Galuh heran. Apa pria muda di depannya ini meragukan kesetiaan istrinya sendiri? Begitulah pikir Pak Hari. "Tunggu dulu, Apa Kapten nggak percaya sama Bu Gendis?" tanya Bu Hari mulai kehilangan antusiasmenya. Ekspresi Bu Hari berubah, tak ada lagi senyum pada wajah wanita itu, yang ada hanya pandangan menyelidik membuat Galuh menghela napas. "Iya Bu, karena sempat ada berita miring sebelumnya kalau istri Saya memiliki seorang seli —" "Astaghfirullah, Saya saja lho ndak percaya kalau Bu Gendis perempuan ndak bener. Anaknya santun, baik, ndak pelit sudah gitu dia sangat bertanggung jawab dengan gelar yang disandan
"ALLO! ASSALAMUALAIKUM CALON MAMI!" Pagi hari yang awalnya damai, dan tenang dengan nuansa hangat berubah gempar kala suara lengkingan sepupu dari Gendis membuka paksa pintu kamar wanita itu. Telinganya berdenging keras membuat Gendis harus menutupinya, "waalaikum salam. Bisa nggak sih nggak usah teriak gitu," dengus Gendis dengan dua tangan mengusap daun telinganya. "Yo ndak bisa tho Yu, kan wes dari pabreknya gitu," sahut Sang Sepupu ringan. Gendis mencebikkan bibir. Memang, putri dari Kakak Mamanya ini petakilan bukan main. Kadang Rahayu saja tidak sanggup menghadapi keribetan dan keriwehan Asmara ketika berkunjung ke rumahnya seperti saat ini. Sehingga Rahayu memilih jalan aman dengan membiarkan apapun yang ingin Asmara lakukan. Kalau tidak diizinkan maka Asmara akan mendebatnya. Seperti memasakkan mereka makan malam, mencuci beberapa mobil yang ada di garasi, juga menguras kolam renang yang terletak tepat di samping kamar Gendis. Keribetan yang sebenarnya meringa
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju