"ALLO! ASSALAMUALAIKUM CALON MAMI!" Pagi hari yang awalnya damai, dan tenang dengan nuansa hangat berubah gempar kala suara lengkingan sepupu dari Gendis membuka paksa pintu kamar wanita itu. Telinganya berdenging keras membuat Gendis harus menutupinya, "waalaikum salam. Bisa nggak sih nggak usah teriak gitu," dengus Gendis dengan dua tangan mengusap daun telinganya. "Yo ndak bisa tho Yu, kan wes dari pabreknya gitu," sahut Sang Sepupu ringan. Gendis mencebikkan bibir. Memang, putri dari Kakak Mamanya ini petakilan bukan main. Kadang Rahayu saja tidak sanggup menghadapi keribetan dan keriwehan Asmara ketika berkunjung ke rumahnya seperti saat ini. Sehingga Rahayu memilih jalan aman dengan membiarkan apapun yang ingin Asmara lakukan. Kalau tidak diizinkan maka Asmara akan mendebatnya. Seperti memasakkan mereka makan malam, mencuci beberapa mobil yang ada di garasi, juga menguras kolam renang yang terletak tepat di samping kamar Gendis. Keribetan yang sebenarnya meringa
"Gendis mau makan Mar?" Rahayu bertanya kala netra wanita itu melihat Asmara memasuki area dapur dengan baki ditangannya. "Enggeh Bu De, Gendis makan kok. Cuma katanya enakan nasi Padang dari pada bubur." "Kamu itu lho Mar, senengane bercanda terus." Asmara tergelak, namun kemudian kembali berkata bahwa ia tak bohong. Gendis ingin makan nasi padang untuk sarapan hari ini. "Dimana ada warung naspad jam segini Mar? Lagi ngidam kali yah?" Asmara hanya mengendikkan bahu lalu menganggukkan kepala menyetujui ucapan Rahayu. Ia juga bingung sendiri kalau begini, di Jogja mau cari sarapan jam empat pagi ya pasti ada. Tapi ini Jakarta! Adakah warung nasi Padang yang buka jam segini? Ke dua wanita itu sama-sama menghela napas panjang hingga suara Arjuna masuk ke dapur dan menyapa Rahayu yang terlihat lesu. "Kenapa? Ada apa?" "Ini lho Pah, Gendis kepengen nasi Padang katanya." "Ya beli saja Mah, uang yang Papa transfer kemarin sudah habis?" Rahayu berdecak, "bukan masalah ua
Malam dimana Gendis dikabarkan sudah pindah rumah sakit, membuat Galuh gusar. Ada amarah yang mencokol di dalam sudut hatinya. Namun meski begitu pria itu lekas keluar dari klinik, segera melajukan sepeda motornya ke rumah Arjuna dan Rahayu, mertuanya. Ia yakin Gendis ada di sana. Tak mungkin rasanya jika Istrinya itu pulang ke apartemen Gendis sendiri mengingat kondisi kesehatan Gendis yang harus dalam pantauan. Sesampainya di kediaman orang tua Gendis, pria itu memarkir motornya tepat di depan gerbang, memandang ke atas gerbang sembari menghela napas panjang. Gerbang kokoh itu seakan mengejek Galuh, bukan tentang bagaimana lempengan besi itu menyembunyikan Gendis di dalam sana, melainkan perekonomian keluarga wanita itu sendiri. Rasa tak percaya dirinya sempat timbul ke permukaan, teringan akan permintaan kesempatan ke duanya pada Gendis. Dari segi ekonomi ia jauh berada di bawah level Gendis, kenapa pula ia dulu merasa bahwa Gendis beruntung mendapatkan dirinya. Rasa
Galuh menoleh, tangannya sigap menyalami uang dengan nominal seratus ribuan, "nggak ada apa-apa Bang. Ini kembaliannya buat Abang saja." Tanpa menunggu lama lagi Galuh menaiki motornya dan mengejar mobil merah yang berada di depan. Manik pekat Galuh berusaha mencari celah untuk mengetahui plat mobil tersebut. Sampai akhirnya senyum berpendar serta garis pada dahi pria itu memudar ketika mobil incarannya berhenti tak jauh dari jangkauannya. Itu mobil Gendis, Galuh masih ingat betul beberapa stiker yang tertempel dibelakang mobil juga plat mobil itu sendiri. Tanpa membuang waktu Galuh memarkirkan sepeda tak jauh dari mobil tersebut. Hendak menghampiri Gendis namun langkahnya terhenti ketika seorang wanita yang tak ia kenal turun dari kendaraan tersebut. Lagi-lagi semangat Galuh seakan menguap habis. Ia kira Tuhan masih bisa memberi kesempatan untuk memperbaiki ibadah yang selama ini ia rusak. Galuh berjalan lesu, berdiri dan menyandarkan tubuhnya pada salah satu tiang rekl
Sunyi .... Hening .... Hanya suara napas yang terdengar selama perjalanan, hanya keheningan yang menyelimuti para manusia yang berada di dalam mobil milik Gendis. Gendis melempar pandangan ke luar jendela, meskipun lehernya sudah terasa lelah, Gendis tetap mempertahankan posisinya karena ia tahu sejak tadi Galuh melihat ke arahnya. Sedang Asmara yang sudah duduk di depan sesekali mencuri pandang. Merasa tak nyaman karena kali ini dirinya lah penyebab kerumitan yang akan terjadi ke depannya. Galuh mengancam Asmara bahwa pria itu akan melaporkan Asmara jika Gendis tak bersedia merawat luka Galuh. Bahkan pria itu bersedia saja ketika tadi Asmara mengatakan kalau Galuh akan diamuk oleh Pak De-nya. Tsk! Benar kata Gendis. Kali ini Asmara salah langkah. Harusnya tadi ia lempar saja gerobak bubur kacang hijaunya ke arah Galuh. Kalau gini kan nanggung. Sudah kena omel Gendis, sekarang malah harus ikut rencana Gendis demi keamanan dirinya sendiri. Asmara menarik napas panjang
Baru beberapa menit yang tidur, kini Galuh sudah merasa segar kembali. Pria itu merenggangkan tubuhnya kemudian menarik napas panjang dengan kedua netra mengawasi area sekitar. Hunian mewah yang sangat classy namun anggun secara bersamaan. Perabot yang tertata rapi, lampu-lampu kristal yang bergelantungan juga hiasan dinding yang terlihat estetik. Galuh bangun dari posisinya, melarikan pandangan ke penjuru tempat untuk mencari sapu ataupun vacum cleaner yang bisa membantunya membersihkan tempat tersebut. Tak terlalu berdebu, hanya saja ada beberapa titik yang menurut Galuh perlu dibersihkan. Langkah pria itu mulai menulusuri tiap sudut ruangan, bergerak pelan agar tidak menganggu acara tidur siang Gendis. Kepala Galuh melongok ke kanan dan ke kiri hanya untuk mencari benda yang bisa membantunya mengurasi kekesalan Gendis. Namun tak ada! Semakin berkeliling di hunian tersebut yang ia dapat malah membuat sesuatu dalam diri Galuh menciut. Karena yang ia tahu Gendis dulu men
"Belum tidur?" Gendis tak menjawab, membuat Galuh menghela napas dengan senyum tawar pada paras tampannya. Asmara sedang keluar, katanya ingin membeli kain baru untuk mengganti perban yang membebat tubuh bagian atasnya itu. Padahal ia baik-baik saja jika tak mengenakan kain tersebut, lebih baik karena menurut Galuh punggungnya akan cepat sembuh. Namun kesempatan bisa berdua dengan Gendis tak mungkin ia lepas begitu saja, maka dari itu tadi Galuh tak melarang Asmara ketika wanita itu mengutarakan niatnya. Dengan gerakan pelan Galuh menarik kursi kayu, duduk tanpa menyandarkan punggungnya dan menatap Gendis dari samping. "Bagus yah langitnya. Mas ingat ... dulu Kamu bilang kalau langit selalu menampilkan sebuah seni, Mas setuju." Gendis acuh, acara duduk santainya terganggu sebab kehadiran Galuh, tapi untuk pindah ke kamar dan membawa martabak manis juga teh buatan Asmara, Gendis sangat malas. Entahlah ... badannya serasa jompo setelah ia berbadan dua. Kalau dibolehkan
"Kamu egois."Galuh mengangguk lemah, masih menyembunyikan wajahnya berharap Gendis melihat kesungguhannya kali ini dan bersedia memaafkan kesalahannya di masa lalu."Kamu dulu berencana menceraikan Aku, kenapa sekarang Kamu malah nggak mau? Padahal Aku hanya mempercepat keinginan Kamu dan keluargamu."Mulut Asmara menganga. Jadi ini bukan cuma permasalahan personal antara Gendis, Galuh dan Renata? Jadi seluruh keluarga Galuh!What the hell! Asmara menutup mulutnya dengan telapak tangan agar sumpah serapah tak keluar. "Kamu egois dengan meminta hukuman yang tidak merugikan Kamu, apa yang Kamu takutkan kali ini? Aku udah bilang kan, Aku nggak bakal ganggu sepupu bahkan seluruh keluargamu itu. Jadi posisi Kamu akan tetap aman di instansi, dan Kamu bisa nikahin mantanmu itu. Aku ... memudahkan jalanmu, harusnya Kamu berterima kasih." Gendis menjeda ucapannya untuk menarik tangannya yang berada dalam genggaman Galuh.Namun Galuh menggeleng pelan, matanya sudah memerah selaras dengan u
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju