"Belum tidur?" Gendis tak menjawab, membuat Galuh menghela napas dengan senyum tawar pada paras tampannya. Asmara sedang keluar, katanya ingin membeli kain baru untuk mengganti perban yang membebat tubuh bagian atasnya itu. Padahal ia baik-baik saja jika tak mengenakan kain tersebut, lebih baik karena menurut Galuh punggungnya akan cepat sembuh. Namun kesempatan bisa berdua dengan Gendis tak mungkin ia lepas begitu saja, maka dari itu tadi Galuh tak melarang Asmara ketika wanita itu mengutarakan niatnya. Dengan gerakan pelan Galuh menarik kursi kayu, duduk tanpa menyandarkan punggungnya dan menatap Gendis dari samping. "Bagus yah langitnya. Mas ingat ... dulu Kamu bilang kalau langit selalu menampilkan sebuah seni, Mas setuju." Gendis acuh, acara duduk santainya terganggu sebab kehadiran Galuh, tapi untuk pindah ke kamar dan membawa martabak manis juga teh buatan Asmara, Gendis sangat malas. Entahlah ... badannya serasa jompo setelah ia berbadan dua. Kalau dibolehkan
"Kamu egois."Galuh mengangguk lemah, masih menyembunyikan wajahnya berharap Gendis melihat kesungguhannya kali ini dan bersedia memaafkan kesalahannya di masa lalu."Kamu dulu berencana menceraikan Aku, kenapa sekarang Kamu malah nggak mau? Padahal Aku hanya mempercepat keinginan Kamu dan keluargamu."Mulut Asmara menganga. Jadi ini bukan cuma permasalahan personal antara Gendis, Galuh dan Renata? Jadi seluruh keluarga Galuh!What the hell! Asmara menutup mulutnya dengan telapak tangan agar sumpah serapah tak keluar. "Kamu egois dengan meminta hukuman yang tidak merugikan Kamu, apa yang Kamu takutkan kali ini? Aku udah bilang kan, Aku nggak bakal ganggu sepupu bahkan seluruh keluargamu itu. Jadi posisi Kamu akan tetap aman di instansi, dan Kamu bisa nikahin mantanmu itu. Aku ... memudahkan jalanmu, harusnya Kamu berterima kasih." Gendis menjeda ucapannya untuk menarik tangannya yang berada dalam genggaman Galuh.Namun Galuh menggeleng pelan, matanya sudah memerah selaras dengan u
"Lu ada ada aja Dis!" Melly, si Dokter spesialis kandungan itu ikut panik ketika melihat Gendis dan Asmara kompak menyeret Galuh. Bukan hanya itu saja, kedua wanita itu bahkan terlihat memantul ke sana ke mari untuk membereskan kotak obat juga pakaian dan ransel besar milik Galuh. "Mending pelan-pelan aja larinya Dis, grasak grusuk gitu Gue takut tuh kaki kepentok kaki meja!" ucap Melly lagi. Minggu lalu ia sudah mengecap kedua temannya itu sebagai wanita gila karena membayar Melly untuk merawat luka Galuh! Ya Tuhan ... padahal cuma luka akibat air panas. Gampang untuk dirawat, tapi malah dirinya yang disuruh. Sekarang Melly malah menemukan fakta kalau sebenarnya Gendis tengah dalam proses perceraian dengan suaminya. Astaga! Surprise macam apa ini. Melly kira Gendis tak ingin merawat luka Galuh karena takut, ternyata malah diluar dugaannya. "Ia bentar Mel, Kamu duduk aja di situ. Ini Aku mau ngamanin sepatunya Si Galuh dulu." Melly menggelengkan kepala melihat tingkah Ge
Saling tatap, sikut, senggol dan mengerutkan alis secara bergantian terus dilakukan oleh Gendis juga Asmara kala perhatian orang tua Gendis teralihkan dari mereka. Asmara sudah gelisah sejak kumandang azan Ashar tadi, namun Rahayu dan Arjuna masih betah berbincang dengan Gendis.Benaknya hanya memikirkan satu hal "BAGAIMANA JIKA BU DE DAN PAK DE-NYA MENGINAP!" Karena setelah acara makan rujak manis selesaipun kedua orang tua itu seakan enggan untuk beranjak dari kediaman Gendis. "Mbak, Mama tadi udah tata ulang isi kulkasnya yah, jangan diobrak-abrik lagi. Kasian Asmara." "Yang suka ngobrak ngabrik itu Asmara Mah, bukan Gendis," tunjuk Gendis pada Asmara dengan dagunya.Membuyarkan isi pikiran Asmara yang sedang ribut sendiri. "Halah, podo ae! Ndak Kamu, ndak Asmara sama. Sama-sama tukang ngobrak-abrik," sahut Rahayu. Wanita itu berdiri, meraih tas kemudian menghampiri Arjuna yang duduk di sofa tunggal dengan manik Asmara yang mengikuti pergerakan Bu De-nya itu. "Papa k
Bisikan yang terdengar mengerikan .... Tubuh Gendis sejenak kaku, tangannya terkepal namun detik selanjutnya berusaha tenang setelah mendengar satu kalimat yang membuat darahnya mendidih. Sial, Gendis marah namun juga takut secara bersamaan. Raut wajahnya jelas berusaha sebisa mungkin terlihat baik-baik saja dengan terus bergerak dan bersenandung kecil. Dengan pelan Gendis mulai meraih bathrobe, menggunakan kembali benda yang baru ia letakkan itu. Lekas berbalik dan berjalan santai menjauhi area favoritnya. Tangan Gendis yang gemetaran meraih gagang pintu yang ternyata tak tertutup sempurna. Ia yakin bahwa bisikan itu berasal dari suara Galuh. Ya ... siapa lagi memangnya! DEG .... Baru saja keluar dari kamar mandi, Gendis tambah dikejutkan dengan keberadaan Galuh yang berdiri tegak tepat di depan pintu. Namun ekspresi Galuh malah lebih menakutkan membuat nyali Gendis yang sudah berada di titik paling bawah semakin menciut. Raut wajah yang mengeras, tangan terkepal se
Melihat bayangan Gendis yang sudah menghilang sepenuhnya, Galuh segera berbalik. Menutup pintu kamar dan menguncinya untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi kedepannya. Sejak siang tadi ketika ia diseret paksa oleh Gendis, Galuh sudah menyadari ada sesuatu yang janggal dalam kamar Gendis. Pintu kamar mandi yang menutup rapat sendiri juga sebuah bayangan dari celah bawah pintu kamar mandi itu sudah cukup membuktikan jika ada penghuni lain dalam ruangan tersebut. Galuh tak ingin berspekulasi buruk lagi dengan membuat kegaduhan yang semakin merugikan dirinya nanti. Meskipun pikiran negatif sempat hinggap dalam benak Galuh. Selama beberapa waktu Galuh bergerak memeriksa tiap-tiap sudut ruangan. Melihat-lihat beberapa foto Gendis yang tersimpan di sana. Langkah kaki Galuh kembali mendekati bed Gendis, duduk dengan tenang. Menikmati aroma feromone Gendis yang tertinggal. Ada ketenangan yang Galuh dapatkan kembali. Tangan besar Galuh segera meraih
Sudah tiga hari berlalu, dan Galuh sudah kembali bekerja seperti semula. Berangkat menjelang subuh dan pulang ke tempat Gendis sekitar jam delapan malam. Melihat itu Gendis memilih tetap abai. Sedikit risih sebenarnya karena kan mereka dalam proses perceraian, kenapa pula Galuh memaksakan diri untuk bolak balik perjalanan jauh seperti ini? Alasan ingin tetap bersama atau apapun itu tak lagi Gendis dengar semenjak ia menegaskan tak akan kembali pada suaminya itu. Sampai akhir Gendis akan berjuang sekali lagi. Berjuang melepaskan diri tentunya .... Harusnya Galuh pergi, seperti tujuan utama pria itu. Hah ... entahlah terserah saja. Toh, besok ia akan kembali ke rumah Arjuna. Tinggal di rumah lagi karena akhirnya Asmara menyerah untuk mengajak Gendis ke Jawa. "Dis, Mas mau keluar. Kamu mau nitip sesuatu?" Galuh bersuara ketika mereka sedang makan malam. "Hm." Gendis bergumam sembari menganggukkan kepala. Alis Asmara berkerut melihat itu. Hubungan Gendis dan Suaminya bu
Pagi menyapa dengan desiran angin dari arah timur, menciptakan sebuah suasana sendu membuat orang-orang betah bergelung di bawah selimut. Begitu pula Gendis, ia yang memang menjelma menjadi seorang ratu tidur semakin menutupi seluruh tubuhnya dengan bed cover. Lain dengan Asmara yang sudah keluar dari kamar Gendis dan mulai memasak untuk mereka. "Apa istri Saya masih tidur?" Asmara mengendikkan bahunya, "tadi setelah sholat balik tidur, nggak tahu kalau sekarang. Kamu sendiri tumben belum berangkat." Tak ada jawaban lagi, dan Asmara tebak pria itu sudah pergi dari area dapur, seperti biasanya. Namun telinganya mendengar sesuatu yang sedang di letakkan pada meja makan membuat Asmara menoleh. Masih ada rasa takut setelah kejadian maling beberapa hari yang lalu. "Tolong berikan ke Istri Saya." Manik Asmara segera menyorot sesuatu yang Galuh letakkan pada meja. Berjalan mendekat setelah mengatur api pada kompor agar tak terlalu besar. "Opo iki?" tanya Asmara bingung pasa
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju