Sesal tak dapat ditangkis, sejauh apapun Galuh mengelak ia tak lagi mampu membohongi diri dengan berlindung mengunakan kalimat ia kehilangan karena terbiasa akan hadirnya sosok Gendis. Pelampiasan pada berkas juga kegiatan lain tak bisa mengalihkan perhatiannya lagi. Gendis ... ia kehilangan seluruh hatinya. Logikanya berperang dengan selalu membisikkan bahwa ia bisa tanpa adanya wanita itu seperti dulu. Namun nyatanya tak seperti itu. Ia merasa sepenuhnya kosong. Ditambah Gendis tak menyisakan sedikit jejak pada kediamannya. Harum wanita itu bahkan sudah pudar tergantikan aroma petrichor yang kadang kala memenuhi seluruh ruang kediaman Galuh. Galuh menarik napas dalam. Matanya yang terpejam bergerak seolah mencari arah pada lorong yang gelap, dan sialnya berita awal mula kesalahan pahaman antara ia dan Gendis selalu tayang di chanel manapun pada televisi yang ada di ruang tengah. Membuat Galuh semakin gundah. Jadwal sidang mediasi dua hari lagi dan kemarin ia sudah bertemu de
"Saya salah, tapi Saya ingin memperbaiki semuanya," ucap Galuh tenang setelah Sang Mediator menanyai dirinya. Ia tak ingin mengelak. Semua yang Gendis ucapkan benar adanya bahwa mereka tak memiliki komunikasi yang bagus. Sedang Gendis yang mendengar penuturan Galuh langsung menolehkan kepalanya kesamping. Melihat sosok pria yang ternyata juga menatap dalam dirinya entah dari sejak kapan. "Harusnya Saya lebih mengerti keinginan Istri Saya dan berusaha peka. Karena itu beri kesempatan agar Saya bisa memulainya lagi," tandasnya yakin tanpa mengalihkan pandangan.Gendis berdecih sembari merotasikan maniknya membuat Galuh tersenyum. Ia tahu Gendis akan semakin marah, namun hanya dengan cara seperti ini ia bisa menggagalkan gugatan Gendis."Mas janji nggak bakal gitu lagi, kita pulang yah?" BRAAK! Gendis memukul meja, lekas berdiri dengan emosi yang mulai membuncah. Apa Galuh sedang melantur! Calon mantan suaminya itu sedang apa sebenernya! Sungguh Gendis kira Galuh akan bersika
Melihat Gendis yang tak sadarkan diri membuat Galuh panik. Pria itu serta merta menggendong Gendis dan berlari ke luar ruangan saat itu juga. Mengabaikan pengacara Gendis yang ikut berlari sembari meneriakkan namanya agar berhenti. Galuh bersyukur karena setidaknya ada sebuah klinik yang hanya berjarak sejauh seratus meter dari pengadilan agama sehingga istrinya langsung mendapat penanganan. Kedua kaki Galuh tak berhenti bergerak, dengan sepasang mata yang tak lepas memperhatikan Gendis dari balik pintu kaca, dimana beberapa petugas medis memeriksa Gendis. Pengacara yang tadi bersama Gendis kembali ke pengadilan. Entah untuk apa yang jelas Galuh tak ingin sidang ini berlanjut. Saat ini ia sudah sadar bahwasanya keberadaan Gendis telah menguasai hati Galuh. Bukan hanya sudut hatinya saja melainkan keseluruhan ruang di sana. Hingga ia merasakan kekosongan yang luar biasa kala Gendis memutuskan pergi dari rumah. Dan tadi untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Gendis kembal
Kendaraan masih ramai berlalu lalang ketika Galuh melajukan sepeda motornya membelah jalanan. Berbaur saling membunyikan klakson kala lampu merah berubah hijau namun kendaraan umum di depan mereka tak kunjung berjalan. Sorak cahaya keemasan berpendar, menciptakan sebuah pemandangan apik dimana sinar mentari sore menembus celah-celah bangunan tinggi disamping Kiri kanan jalan raya. Menebarkan rasa hangat ditengah gemuruh yang masih melanda jiwa Galuh. Gendis hamil .... Dua kata yang terus mengalihkan fokus Galuh hingga beberapa kali ia mendapatkan teriakan cacian dari pengendara lainnya. Di sisi lain ia harusnya bahagia karena dengan itu ia bisa menekan Gendis agar terus bersamanya, ya ... pengadilan tak akan mengabulkan gugatan cerai Gendis padanya, keberadaan janin yang entah milik siapa itu cukup menguntungkan bagi Galuh. Motor yang Galuh kendarai mulai masuk pekarangan rumah pria itu, dan sambutan pertama yang ia dapatkan adalah senyum Sonia yang tengah berdiri bersa
Meskipun Bu Hari beberapa kali memanggil namanya dengan embel-embel Bapak atau Kapten yang selalu membuat ia risih, Galuh tetap menyimak keseluruhan cerita tentang bagaimana Gendis mengidamkan seorang bayi karena merasa kesepian. "Jadi, itu anak Saya?" gumam Galuh masih setengah tak percaya. Alis Bu Hari bertautan, sama hal nya dengan sang suami yang kini memandang Galuh heran. Apa pria muda di depannya ini meragukan kesetiaan istrinya sendiri? Begitulah pikir Pak Hari. "Tunggu dulu, Apa Kapten nggak percaya sama Bu Gendis?" tanya Bu Hari mulai kehilangan antusiasmenya. Ekspresi Bu Hari berubah, tak ada lagi senyum pada wajah wanita itu, yang ada hanya pandangan menyelidik membuat Galuh menghela napas. "Iya Bu, karena sempat ada berita miring sebelumnya kalau istri Saya memiliki seorang seli —" "Astaghfirullah, Saya saja lho ndak percaya kalau Bu Gendis perempuan ndak bener. Anaknya santun, baik, ndak pelit sudah gitu dia sangat bertanggung jawab dengan gelar yang disandan
"ALLO! ASSALAMUALAIKUM CALON MAMI!" Pagi hari yang awalnya damai, dan tenang dengan nuansa hangat berubah gempar kala suara lengkingan sepupu dari Gendis membuka paksa pintu kamar wanita itu. Telinganya berdenging keras membuat Gendis harus menutupinya, "waalaikum salam. Bisa nggak sih nggak usah teriak gitu," dengus Gendis dengan dua tangan mengusap daun telinganya. "Yo ndak bisa tho Yu, kan wes dari pabreknya gitu," sahut Sang Sepupu ringan. Gendis mencebikkan bibir. Memang, putri dari Kakak Mamanya ini petakilan bukan main. Kadang Rahayu saja tidak sanggup menghadapi keribetan dan keriwehan Asmara ketika berkunjung ke rumahnya seperti saat ini. Sehingga Rahayu memilih jalan aman dengan membiarkan apapun yang ingin Asmara lakukan. Kalau tidak diizinkan maka Asmara akan mendebatnya. Seperti memasakkan mereka makan malam, mencuci beberapa mobil yang ada di garasi, juga menguras kolam renang yang terletak tepat di samping kamar Gendis. Keribetan yang sebenarnya meringa
"Gendis mau makan Mar?" Rahayu bertanya kala netra wanita itu melihat Asmara memasuki area dapur dengan baki ditangannya. "Enggeh Bu De, Gendis makan kok. Cuma katanya enakan nasi Padang dari pada bubur." "Kamu itu lho Mar, senengane bercanda terus." Asmara tergelak, namun kemudian kembali berkata bahwa ia tak bohong. Gendis ingin makan nasi padang untuk sarapan hari ini. "Dimana ada warung naspad jam segini Mar? Lagi ngidam kali yah?" Asmara hanya mengendikkan bahu lalu menganggukkan kepala menyetujui ucapan Rahayu. Ia juga bingung sendiri kalau begini, di Jogja mau cari sarapan jam empat pagi ya pasti ada. Tapi ini Jakarta! Adakah warung nasi Padang yang buka jam segini? Ke dua wanita itu sama-sama menghela napas panjang hingga suara Arjuna masuk ke dapur dan menyapa Rahayu yang terlihat lesu. "Kenapa? Ada apa?" "Ini lho Pah, Gendis kepengen nasi Padang katanya." "Ya beli saja Mah, uang yang Papa transfer kemarin sudah habis?" Rahayu berdecak, "bukan masalah ua
Malam dimana Gendis dikabarkan sudah pindah rumah sakit, membuat Galuh gusar. Ada amarah yang mencokol di dalam sudut hatinya. Namun meski begitu pria itu lekas keluar dari klinik, segera melajukan sepeda motornya ke rumah Arjuna dan Rahayu, mertuanya. Ia yakin Gendis ada di sana. Tak mungkin rasanya jika Istrinya itu pulang ke apartemen Gendis sendiri mengingat kondisi kesehatan Gendis yang harus dalam pantauan. Sesampainya di kediaman orang tua Gendis, pria itu memarkir motornya tepat di depan gerbang, memandang ke atas gerbang sembari menghela napas panjang. Gerbang kokoh itu seakan mengejek Galuh, bukan tentang bagaimana lempengan besi itu menyembunyikan Gendis di dalam sana, melainkan perekonomian keluarga wanita itu sendiri. Rasa tak percaya dirinya sempat timbul ke permukaan, teringan akan permintaan kesempatan ke duanya pada Gendis. Dari segi ekonomi ia jauh berada di bawah level Gendis, kenapa pula ia dulu merasa bahwa Gendis beruntung mendapatkan dirinya. Rasa
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju