Kegaduhan mulai terdengar di perumahan tempat tinggal orang tua Galuh. Pun kabar tentang Gendis yang diserang Renata sudah sampai di telinga Sonia karena para teman dan tetangga asik menggodok gosip tersebut.
Link-link berita yang memuat video Gendis dipukul sepupu jauhnya itu bertebaran di linimasa media sosial. Sonia yang memang tak menyukai Gendis, karena menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Renata, jelas saja langsung mengadukannya pada Sri dan Sapta. Seroyal dan seloyal apapun Gendis pada keluarga mereka tetap saja Sonia risih dengan keberadaan Gendis ketika wanita itu ke rumah mereka dengan membawa makanan. Sonia yang merasa ada celah untuk memisahkan hubungan saudaranya itu langsung mengirim link video tentang gosip yang sekarang menyeret nama Gendis pada Galuh. "Mas, jangan bikin keluarga malu, mending cepet cerai. Ini juga udah ada alasan logisnya biar Mas cerai. Institusi juga bakal kenak imbas lho," cecar Sonia pada Galuh. Karena chatnya tak dibalas, gadis itu nekat mengunjungi kediaman Galuh. Tak peduli pada wajah Galuh yang sedang lelah, Sonia malah semakin memperkeruh dengan merecoki saudaranya itu. Sedangkan Galuh hanya bisa duduk dengan pandangan tajam ke arah pintu rumah. Ia baru pulang berharap Gendis menyambutnya malah Sonia yang ia lihat. Sudah terhitung tiga hari Gendis tidak pulang ke rumah. Galuh sempat khawatir Gendis pulang ke rumah orang tuanya sebab wanita itu pasti mendengar percakapan antara ia dan keluarganya. Namun ternyata Gendis malah mencari perlindungan pada suami sepupunya. Galuh memejamkan kedua netranya. Menarik napas dalam seraya menyandarkan punggungnya pada kursi kayu. Wajah tampannya mengeras dengan sesekali terdengar suara decakan kasar yang membuat Sonia bergidik ngeri sekaligus senang. Sonia sudah tak tahan dengan cemoohan teman-temannya yang menggunjing Sang Kakak karena telah menikah dengan wanita bekasan. Begitulah sebutan Gendis dari mulut teman-teman Sonia. "Nanti Mas urus, Kamu pulang sana. Udah gelap," ucap Galuh dengan suara tenang. Sonia menurut, ia tak ada kepentingan lagi. Lebih baik tak menganggu Galuh, ia juga yakin setelah ini Galuh akan segera menggugat cerai Gendis. Pria yang masih mengenakan seragam itu menengadahkan kepala, netranya menatap lekat langit-langit rumah dengan isi kepala yang membeludak. Dia marah karena ulah Gendis yang masih menemui Arman dan dia juga malu sebab kabar ini akan menjadi perbincangan hangat di perumahan tersebut. Galuh menghela napas. Beralih memikirkan bagaimana cara agar bisa menghubungi Gendis sedang wanita itu masih memblokir nomer ponselnya. Namun baru saja hendak berdiri sebuah suara mobil menarik atensi Galuh. Gendis pulang .... Buru-buru Galuh membuka pintu yang tadi Sonia tutup, siap mencerca Gendis dengan ribuan pertanyaan dalam otaknya namun niatan itu musnah kala manik Galuh menangkap bekas goresan pada pelipis Gendis. Telapak tangan Galuh yang besar mengepal melihat pemandangan itu. Tanpa perlu melihat video yang Sonia kirim ia sudah tahu sekeras apa Renata menghajar Gendis "Dari mana saja Kamu Dis?" tanya Galuh di ambang pintu menghadang langkah Gendis yang kini berdiri di depannya. "Rumah." Sahut Gendis acuh sembari menelusup kan diri pada celah pintu. Ia pulang untuk mengambil beberapa berkas dan pakaian. Wanita itu tahu, semenjak keluarnya kabar miring yang kini sedang manjadi hot topik, ia sudah tak pantas tinggal di sana. Mendengar jawaban Gendis yang datar Galuh menjadi tak suka. Sontak saja ia mengatakan hal yang membuat Gendis menghentikan langkahnya. "Rumah pria yang rumah tangganya ingin Kamu rusak Dis?" sarkas Galuh. Wanita itu tak menjawab, memilih kembali berlalu ke dalam kamar untuk mengemasi barang-barangnya. Lemari kayu berwarna coklat menjadi tujuan utamanya. Gendis menjulurkan tangan, mengusap pelan permukaan lemari kemudian membukanya perlahan. Gendis menarik satu map biru yang berada di bagian bawah susunan baju-bajunya dan Galuh, dan memeriksa semua dokumen di sana. Merasa diabaikan Galuh menjadi semakin gusar. Ia tak suka jika diacuhkan lawan bicaranya. "MAS LAGI BICARA GENDIS ARUNIKA!" Jemari Gendis yang tengah memegang kertas bertuliskan namanya dan sang suami itu bergetar. Bentakan keras itu bak belati yang menancap tepat pada lukanya yang belum mengering sempurna. Ia sakit hati kala tuduhan sama terucap dari bibir pria itu. Namun kali ini rasa sakitnya berkali-kali lipat. Padahal selama perjalanan ia sudah meyakinkan diri bahwa ia mampu menghadapi Galuh tanpa air mata. Tuhan tahu bahwa Gendis sangat mencintai suaminya, tapi mengapa ia harus mengalami ini? Hidupnya, pengabdiannya selama dua tahun ini ... hanya pengorbanan sia-sia belaka. Gendis segera mengatur napas, jangan sampai air matanya jatuh lagi. Dia kuat, dia bisa dan dia mampu melewati semuanya seperti yang sudah-sudah. "Mandi dulu Mas, setelah Maghrib kita bicara." sahut Gendis. Wanita itu tetap membelakangi Galuh, ia takut akan kedua netra suaminya yang tajam. Mendengar ucapan Gendis yang sedikit bergetar membuat Galuh mengusap wajahnya kasar. Ia tak ingin meledak seperti ini, namun sikap Gendis yang berbeda membuatnya sudut hatinya tak terima. Dimana sikap Gendis yang selalu manis itu? Meski begitu Galuh menurut, ia masuk ke kamar mandi setelah mengambil handuk. Gendis kembali menjulurkan tangannya, mengambil satu setel pakaian untuk baju ganti suaminya. Mungkin ini kali terakhir Gendis menyiapkan pakaian Galuh, maka dengan hati-hati wanita itu meletakkan baju Galuh di atas kasur. Dilarikannya pandangan Gendis ke seluruh penjuru ruangan. Rapi .... seakan perginya Gendis kemarin tak berdampak apapun pada kehidupan Galuh. Cih ... memang apa yang ia harapkan? Sejak awal atau mungkin sejak mereka belum bertemu semua skenario itu sudah dirancang dengan matang. Wanita itu lekas keluar, tak ingin merasa bernostalgia diatas luka, ia pergi ke dapur dan memeriksa beberapa bahan makanan. Isi kulkas sudah hampir kosong. Bungkus mie instan dan kopi memenuhi tempat sampah. Melihat itu Gendis segera melipat lengan panjangnya hingga siku, berjongkok dan mulai menekan sampah ke bagian bawah agar Gendis bisa mengikat kantong plastiknya. Agar dengan mudah membawa sampah tersebut keluar untuk ia buang pada bak yang tersedia di depan pagar rumah. "Bu Gendis." Sebuah sapa dari suara yang sudah Gendis kenal membuat wanita itu menghentikan niatannya untuk masuk kembali ke dalam rumah. "Padahal baru beberapa hari, tapi kok saya kangen ya Bu." Tak ayal Gendis tersenyum, jujur ia tersentuh dengan perlakuan tulus Bu Hari, "paling bisa deh Bu Hari ini," ungkapnya. Melihat raut wajah Gendis yang sendu membuat Bu Hari turut sedih dengan apa yang wanita itu alami. Goresan-goresan pada pelipis Gendis pasti perih. "Yang sabar ya Bu," ucap Bu Hari mengusap punggung Gendis. Meskipun kabar di luar sana beredar dengan kencang, ia yakin Gendis tak seperti itu. Air mata Gendis jatuh tanpa bisa ia komando. Ia teringat ucapan Galuh saat di rumah mertuanya. Katanya semua istri para prajurit menjauhi Gendis atas perintah suaminya sendiri. Lalu mengapa Bu Hari tidak termasuk? "Bu, mungkin Saya akan diberi sanksi setelah ini, jangan dekat-dekat Saya dulu yah," ungkap Gendis lembut sembari menarik tangannya yang digenggam Bu Hari. Gendis sudah terbiasa dengan sanksi atas perlakuan yang ia tak tahu, maka dapat dipastikan kali ini ia akan mendapat sanksi lagi setelah kejadian di kantor Arman. "Maaf ya Bu ... Gendis harus masuk sekarang," ucap Gendis pelan penuh sesal. Gendis hanya takut wanita di depannya itu juga terkena imbas nantinya.Selepas sholat isya, Gendis benar menemui Galuh yang sudah menunggunya di ruang tamu.Suasana senyap, Galuh yang tengah duduk tepat di depan Gendis terus menatap lekat paras wanita di depannya yang tengah menunduk. Tak ditemukan lagi senyum manis di sana. Hanya wajah tanpa ekspresi juga sorot mata yang tenang seolah tak terjadi apapun."Kamu tahukan setelah ini mungkin Kamu akan dikenakan sanksi, mungkin Mas juga. Paling tidak jabatan Mas akan dicopot karena ini."Gendis tak menampik ucapan Galuh, perbuatan Renata padanya akan membuat posisi Galuh terancam. Namun semua orang hanya tahu bahwa dirinyalah yang membuat Galuh kesulitan. Bahkan pria itu sendiri menganggapnya seperti itu.Gendis yang tengah menatap tepian gelasnya mengangguk pelan. Jemarinya berputar mengitari bibir gelas, meresapi sisa kehangatan dari teh hijau yang ia buat. "Maaf Mas. Gendis akan bertanggung jawab tanpa melibatkan Mas Galuh."Galuh memejamkan netranya sesaat, tak puas dengan jawaban Gendis. Apa wanita it
"Kenapa Bang?" Rafael mendekat ketika melihat kerumitan pada wajah Galuh, lalu mengangsurkan segelas kopi miliknya ke hadapan pria itu. Karena sepertinya lebih butuh kafein dari pada Rafael. "Nggak ada apa-apa." "Mukanya kok gitu, lagi ribut Sama Bu Kapten Bang?" tanya Rafael lagi. Tak puas dengan jawaban yang ia dapatnya. Galuh berdecak, menjulurkan tangannya untuk menyentil kepala Rafael, "kepo." Selepas apel pagi, Galuh memilih berdiam di barak. Terus teringat ucapan terakhir Gendis sebelum wanita itu pergi membawa kopernya. "Tujuan Mas sudah selesai, kesepakan Mas udah ada ditahap finish jadi mari kita selesaikan dengan baik-baik." Dan sekarang sebelum ia bisa memperbaiki komunikasi mereka, Gendis memilih menyudahi hubungan antara keduanya. Galuh merasa kosong. Padahal itu memang tujuan awalnya, tapi entah mengapa sekarang ia merasa tak terima. Harusnya Galuh yang menggugat Gendis bukan? "Bang, jangan suruh istri Saya buat jauhin Bu Kapten ya Bang. Istri Saya uda
Galuh membuka pintu rumah dengan senyum yang mengembang sempurna. Sore-sore makan pisang goreng ditemani teh hangat, rasanya sempurna."Dis, Mas dikasih pisang goreng sama Bu Hari, buatin teh anget yah. Kita makan bareng-bareng."Langkah kaki Galuh menuntunnya pada area dapur. Mencari keberadaan wanita yang biasanya tengah memasak untuknya."Di—" Baru hendak memanggil lagi, ingatan Galuh menampar pria itu kala netranya menangkap kelengangan yang hampa. Galuh meletakkan piring berisikan pisang goreng pada meja dengan kasar. Memejamkan mata, kemudian menyugar rambutnya."Sial!" desisnya tertahan.Galuh gusar, ia tak harus seperti ini. Tak harus mengalami ke mellow-an yang hanya dialami perempuan saja. Ya ... Galuh mengangguk, ini hanya efek karena ia terbiasa dilayani Gendis. Lambat Laun dirinya akan terbiasa lagi tanpa wanita itu.Dengan mengokohkan hati, Galuh menarik kursi. Tubuh tegapnya segera duduk dan menikmati pisang goreng yang masih hangat sendirian di tengah kehampaan yang c
"Lihat deh Bu, ini Papanya Bu Gendis kan?" Seruni memperlihatkan layar ponselnya pada Rahayu. Menunjukkan berita dari salah satu akun gosip yang menampilkan sebuah konferensi pers tentang istri Kaptennya dan Arman. Ada sebuah rasa bangga yang luar biasa dalam dada Seruni karena selama ini dugaan bahwa Gendis wanita terhormat benar adanya. Bu Hari yang sedang membuat makan malam segera mendekat ketika dipanggil Seruni, "oalah, iya Mbak. Ini Papanya Bu Kapten. Tapi Bu Gendis mana yah?" Keduanya mengerutkan kening sambil menajamkan mata. Mencari keberadaan Gendis, siapa tahu ada di deretan kursi yang menampilkan beberapa artis yang Seruni kenal. "Nggak ada Bu, tapi bukannya Bu Gendis lagi pulang yah ke rumahnya. Kok nggak ikutan klarifikasi?" "Mungkin karena udah keluar dari dunia entertainment Mbak. Jadi nggak mau muncul-muncul lagi di depan wartawan." Seruni mengangguk, ucapan Ibunya masuk akal mengingat Gendis pernah mengatakan jika wanita itu sudah keluar sepenuhnya dar
Sesal tak dapat ditangkis, sejauh apapun Galuh mengelak ia tak lagi mampu membohongi diri dengan berlindung mengunakan kalimat ia kehilangan karena terbiasa akan hadirnya sosok Gendis. Pelampiasan pada berkas juga kegiatan lain tak bisa mengalihkan perhatiannya lagi. Gendis ... ia kehilangan seluruh hatinya. Logikanya berperang dengan selalu membisikkan bahwa ia bisa tanpa adanya wanita itu seperti dulu. Namun nyatanya tak seperti itu. Ia merasa sepenuhnya kosong. Ditambah Gendis tak menyisakan sedikit jejak pada kediamannya. Harum wanita itu bahkan sudah pudar tergantikan aroma petrichor yang kadang kala memenuhi seluruh ruang kediaman Galuh. Galuh menarik napas dalam. Matanya yang terpejam bergerak seolah mencari arah pada lorong yang gelap, dan sialnya berita awal mula kesalahan pahaman antara ia dan Gendis selalu tayang di chanel manapun pada televisi yang ada di ruang tengah. Membuat Galuh semakin gundah. Jadwal sidang mediasi dua hari lagi dan kemarin ia sudah bertemu de
"Saya salah, tapi Saya ingin memperbaiki semuanya," ucap Galuh tenang setelah Sang Mediator menanyai dirinya. Ia tak ingin mengelak. Semua yang Gendis ucapkan benar adanya bahwa mereka tak memiliki komunikasi yang bagus. Sedang Gendis yang mendengar penuturan Galuh langsung menolehkan kepalanya kesamping. Melihat sosok pria yang ternyata juga menatap dalam dirinya entah dari sejak kapan. "Harusnya Saya lebih mengerti keinginan Istri Saya dan berusaha peka. Karena itu beri kesempatan agar Saya bisa memulainya lagi," tandasnya yakin tanpa mengalihkan pandangan.Gendis berdecih sembari merotasikan maniknya membuat Galuh tersenyum. Ia tahu Gendis akan semakin marah, namun hanya dengan cara seperti ini ia bisa menggagalkan gugatan Gendis."Mas janji nggak bakal gitu lagi, kita pulang yah?" BRAAK! Gendis memukul meja, lekas berdiri dengan emosi yang mulai membuncah. Apa Galuh sedang melantur! Calon mantan suaminya itu sedang apa sebenernya! Sungguh Gendis kira Galuh akan bersika
Melihat Gendis yang tak sadarkan diri membuat Galuh panik. Pria itu serta merta menggendong Gendis dan berlari ke luar ruangan saat itu juga. Mengabaikan pengacara Gendis yang ikut berlari sembari meneriakkan namanya agar berhenti. Galuh bersyukur karena setidaknya ada sebuah klinik yang hanya berjarak sejauh seratus meter dari pengadilan agama sehingga istrinya langsung mendapat penanganan. Kedua kaki Galuh tak berhenti bergerak, dengan sepasang mata yang tak lepas memperhatikan Gendis dari balik pintu kaca, dimana beberapa petugas medis memeriksa Gendis. Pengacara yang tadi bersama Gendis kembali ke pengadilan. Entah untuk apa yang jelas Galuh tak ingin sidang ini berlanjut. Saat ini ia sudah sadar bahwasanya keberadaan Gendis telah menguasai hati Galuh. Bukan hanya sudut hatinya saja melainkan keseluruhan ruang di sana. Hingga ia merasakan kekosongan yang luar biasa kala Gendis memutuskan pergi dari rumah. Dan tadi untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Gendis kembal
Kendaraan masih ramai berlalu lalang ketika Galuh melajukan sepeda motornya membelah jalanan. Berbaur saling membunyikan klakson kala lampu merah berubah hijau namun kendaraan umum di depan mereka tak kunjung berjalan. Sorak cahaya keemasan berpendar, menciptakan sebuah pemandangan apik dimana sinar mentari sore menembus celah-celah bangunan tinggi disamping Kiri kanan jalan raya. Menebarkan rasa hangat ditengah gemuruh yang masih melanda jiwa Galuh. Gendis hamil .... Dua kata yang terus mengalihkan fokus Galuh hingga beberapa kali ia mendapatkan teriakan cacian dari pengendara lainnya. Di sisi lain ia harusnya bahagia karena dengan itu ia bisa menekan Gendis agar terus bersamanya, ya ... pengadilan tak akan mengabulkan gugatan cerai Gendis padanya, keberadaan janin yang entah milik siapa itu cukup menguntungkan bagi Galuh. Motor yang Galuh kendarai mulai masuk pekarangan rumah pria itu, dan sambutan pertama yang ia dapatkan adalah senyum Sonia yang tengah berdiri bersa
"Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte
Kamu adalah serpihan luka yang belum mampu Aku obati, lantas mengapa Aku harus memberanikan diri untuk kembali menggores luka tersebut. ***** Kutipan dari salah satu novel yang selalu Gendis ingat sejak satu minggu yang lalu. Ya ... Galuh seperti luka yang tak dapat Gendis sembuhkan kecuali Galuh sendiri yang mengobati. Namun bagaimana cara ia menghadapinya? Berulang kali Rahayu meyakinkan Gendis, begitu pula Asmara yang seakan pantang menyerah membujuk Gendis untuk memberi Galuh kesempatan agar membuktikan diri bahwa saat ini pria itu telah berubah. Namun lagi-lagi Gendis takut. Dulu ia memiliki harapan yang tinggi namun dihempas begitu. Suara pagar terdengar, menghentak lamunan Gendis sampai akhirnya tersadar bahwa mobil yang ia kendarai sudah memasuki halaman rumah. "Gimana tadi pas periksa Mbak?" Rahayu menyambut Gendis kala wanita itu baru turun dari mobil. "Alhamdulillah normal Mah. Debay juga sehat." "Alhamdulillah." Rahayu tersenyum lembut dengan helaan nafa
"Nduk, Kakung dengar, Kamu Ndak mau ikut suami pulang yah? Kenapa? Dosa lho." Pertanyaan pertama dari Kakung membuat Gendis menghela napas. Tadi ia menolak keras permintaan Galuh pada orang tuanya kala pria itu hendak kembali ke daerah dimana pria itu bertugas. Gendis mementahkan semua permintaan Galuh juga keluarga pria itu. Terlihat jelas mereka sedih, tapi Gendis tak percaya bahwa perlakuan mereka akan berubah. Lebih baik Gendis tinggal bersama Arjuna dan Rahayu agar mentalnya sehat disaat hamil seperti ini. "Enggih Kung, soale Gendis masih harus rutin periksa kehamilan. Kalau ikut pulang, jarak rumah sama klinik jauh," dusta Gendis lancar. "Benar? Bukan karena Kamu enggan memberi Galuh kesempatan?" Entah mengapa Gendis merasa Kakungnya ini sekarang berpihak pada Galuh. Manik Gendis melirik Asmara disaat wanita itu juga tengah melihat pada Gendis. Mengisyaratkan permintaan tolong agar Mara membawanya dari ruang keluarga. Seharian kemarin ia sudah direcoki dengan ked
Sebenarnya Kakung dan Eyang putri Gendis tadi hampir memarahi Rahayu sebab tak ada ketupat, lepet juga urap dalam sajian empat bulanan Gendis. Namun ketika keluarga Galuh datang dipertengahan acara tadi, kegusaran Kakung hilang karena besan putrinya itu membawakan semua itu. Ketupat, lepet ketan, lauk urap adalah jajanan yang harus ada ketika mengadakan acara seperti sekarang. Rahayu mendekati Sri dengan seutas senyum di wajahnya, "Maaf Bu, baru bisa nemuin." "Oh nggak apa Bu, Kami juga ke sini tanpa pemberitahuan lebih dulu," sahut Sri menyambut pelukan Rahayu. Wanita dengan keramahan yang luar biasa membuat Sri selalu bersyukur karena putranya mendapatkan mertua seperti Rahayu. "Apa kalau ada acara memang selalu mengundang anak-anak Bu?" "Iya Bu, Gendis selalu meminta agar kami mengundang anak-anak dari yayasan Bu. Putri Saya memang suka anak kecil. Katanya lucu, mungkin karena anak-anak itu masih polos nggeh Bu." Sri mengangguk, memang ... selama ini Gendis menunju