Sepanjang kami menunggu kedatangan Mas Tito, mantan ART-ku itu terlihat gelisah. Bolak-balik dia membuka ponsel mengecek apakah Mas Tito menghubunginya. Gerak gerik itu membuatku dan Desi menahan tawa.
“Tenang aja, Yuni! Kalau emang kamu berhak atas rumah ini, saya gak masalah! Dengan suka rela akan saya berikan untuk kamu, kan harta Ayah saya masih sangat banyak! Hilang satu, bukan masalah baginya!” Aku semakin memanas-manasinya.Yuni membuang muka saat mendengarku mengatakan hal barusan. Wanita kampungan seperti dia bisa apa? Sudah pasti dia sangat mengharapkan harta ini?“Jangan sombong, Bu Fitri! Manusia itu tidak selamanya di atas! Nanti ada kalanya ngerasain juga di bawah!” Yuni menceramahi.“Hahahaha! Contohnya, seperti kamu saat ini? Apa yang saya bilang kan benar. Apalagi, semua kekayaan yang dimiliki keluarga saya hasil kerja keras mereka, bukan hasil merebut apalagi menipu! Sangat beda jauh, Yuni!” timpalku gemas. Sok-sokan mau ceramahin aku, padahal dia aja rebut suami orang. Dasar gak tahu malu! Yuni semakin memanas. Bibirnya terus maju saking kesalnya mendengar penuturanku yang semuanya fakta.“Sabar, Yun! Kamu gak usah ladenin mereka,” ucap wanita tua yang wajahnya sangat mirip dengan Yuni.Aku teringat sesuatu, “Ngomong-ngomong, Mbok ini siapa? Pembantu di rumah ini?” tanyaku asal sambil menunjuk dengan koran yang aku gulung.“Jangan sembarangan, Bu Fitri! Dia itu Ibu saya!” sentak Yuni tidak terima Ibunya disebut pembantu olehku. Bukan salahku kan? Dari segi penampilan sudah terlihat jelas kok.“Oh Ibu kamu! Jadi, saking semangat dan percaya dirinya kamu dengan rumah ini, kamu sampai mengajak Ibu kamu untuk tinggal di sini? Lalu anak kamu?”“Bukan urusan Bu Fitri! Lagi pula, apapun yang menyangkut keluarga saya, Bu Fitri gak berhak tahu!” tukas Yuni.Aku dan Desi saling tatap, lalu kembali tertawa, “Iya, iya, Mbak Yuni si paling rahasia! Kita juga gak pengen-pengen amat tahu kok, gak penting juga! Bay the way, mana nih yang katanya suami kamu? Kok belum datang juga? Atau jangan-jangan, dia lagi cari cara buat bikin surat palsu?” Kini Desi yang mengulti Yuni.Yuni tidak menggubris. Ia kembali melihat ponselnya dan terus mengotak-atik benda pipih itu dengan wajah.Tak berapa lama, suara gerbang dibuka terdengar. Dengan cepat Yuni lari ke luar untuk melihat siapa yang datang.Aku dan Desi pun segera mengikuti langkah Yuni. Gak sabar rasanya melihat reaksi Mas Tito saat tahu ada aku di sini dan apa tujuanku saat ini.Di samping mobil, terlihat Yuni langsung memeluk Mas Tito saat lelaki itu muncul dari balik pintu.“Halo, Mas Tito! Mobilnya udah selesai diperbaiki di bengkel? Lama juga, ya?” selorohku dengan wajah angkuh.“Ngapain kamu di sini? Tahu dari mana kalau Yuni tinggal di rumah ini?” Mas Tito tidak menjawab pertanyaanku tapi malah bertanya hal lain.“Bukan hal sulit buat aku, Mas! Seneng udah berhasil menikahi janda itu? Ucapan kamu tempo hari ternyata benar-benar hanya omong kosong! Dan itulah kenapa aku sulit mempercayainya!”“Biarkan Yuni hidup tenang! Aku akan bersikap adil sama kalian, Fitri! Aku hanya ingin membantu Yuni! Kasihan dia butuh sosok lelaki untuk menemaninya! Lagi pula, anaknya Yuni sangat membutuhkan figure Ayah!” racau Mas Tito yang otakku mencoba berfikir keras.“Apa kamu bilang? Berbagi dengan pembantuku sendiri? Kamu sudah gila? Jangankan dengan pembantu, dengan perempuan yang selevel aja sama aku, aku gak sudi! Aku ini bukan wanita sembarangan! Lebih baik aku hidup sendiri dari pada harus mempunyai suami macam kamu gini! Gak level, Mas!”“Jawab jujur, apa motif kamu memilih dia untuk jadi pelakorku? Apa gak ada perempuan lain yang lebih pantas?”“Aku mencintai Yuni! Dia itu perhatian sama aku, dia pandai merawat diri dan juga memanjakanku! Tidak seperti kamu! Sehari-hari kamu hanya sibuk sama Asila!”Aku tertegun.Mas Tito dengan entengnya mengatakan itu.Yuni merasa di atas awan. Dia semakin menempelkan tubuhnya dengan Mas Tito. Aku rasanya ingin muntah melihat pemandangan itu.“Kurang perhatian kamu bilang? Aku bahkan rela menghabiskan waktuku hanya buat kamu, Mas Tito! Dan sekarang, dengan mudahnya kamu mengatakan itu?”“Dan kamu janda, pelet apa yang kamu kasih ke suami saya sampai-sampai dia bertekuk lutut sama kamu? Secara dari segi penampilan, saya jauh di atas kamu!”“Hentikan Fit, kamu sudah keterlaluan!”Mas Tito terus membela Yuni dan itu membuatku semakin geram.“Dasar laki-laki bajingan! Gak sudi aku punya suami kaya kamu! Suami gak modal dan gak punya perasaan! Laki-laki MOKONDO kaya kamu gini gak pantes hidup!” Aku memaki dengan penuh amarah.Mas Tito tampak mengertakkan giginya, wajahnya memerah saat mendengar ucapanku barusan. Ia melepaskan tubuh Yuni dan maju beberapa langkah, hingga jarak kami begitu dekat saat ini, “Oke kalau itu mau kamu! Detik ini juga kamu aku talak! Tinggalkan rumah ini, sekarang!”“Hahaha! Kamu yang harus meninggalkan rumah ini! Ini rumah Ayahku! Bukan rumahmu! Bawa janda ini pergi dari sini! Aku gak sudi melihat harta kekayaan Ayahku ditinggali oleh parasit macam kalian!”“Siapa bilang ini rumah Ayahmu! Apa kamu lupa? Ayah kamu sudah memberikan rumah ini untukku! Bahkan, sertifikat rumah ini sudah berganti nama atas namaku!” Mas Tito tetawa, “Kenapa? Kaget ya sama faktanya?”Aku sedikit terhenyak. Coba berfikir sejenak, kapan kira-kira Mas Tito melakukan itu. Kenapa Ayah tidak pernah membicarakan ini padaku sebelumnya.Desi menyenggol sikutku, ia kemudian berbisik, “Bener apa yang dibilang Tito? Kok kamu bisa gak tahu?”Aku hanya menggeleng lemah, “Kalau benar, coba tunjukkan surat itu! Aku mau lihat!”Mas Tito merapikan jasnya. Dengan penuh rasa percaya diri, dia membuka pintu kabin mobil. Tubuh Mas Tito terlihat mengungkung ke dalam dam mengambil sesuatu.Sebuah map berwarna merah dia genggang erat lalu diserahkannya padaku, “Buka ini! Di dalam map itu, semuanya sudah tertulis jelas, siapa pemilik rumah ini!”Dengan ragu, aku perlahan menyodorkan tanganku dan meraih map tersebut. Aku menelan saliva, tenggorokanku seketika terasa sangat kering. Aku melirik pada Desi, dia mengangguk menandakan aku harus membukanya.Lembar demi lembar aku buka dan ….Pada sebuah halaman, tertulis jelas di sana ada nama Tito Trikusuma. Aku menatap nama itu dalam beberapa detik.Seketika aku menjadi sedikit lunglai. Jadi, apa yang dikatakan Mas Tito benar adanya. Rumah megah ini sudah berganti kepemilikan.“Kembalikan!” Mas Tito merebut map itu dan menutupnya rapat, “Tunggu apalagi? Udah jelaskan semua! Sekarang, kalian berdua pergi dari sini dan jangan pernah ganggu lagi kehidupan kami berdua! Satu lagi, Fitri, mulai hari ini aku bukan lagi suami kamu, jadi kamu gak punya hak apa-apa atas aku! Mengerti?”Aku seperti sedang berada di alam lain. Sangat sulit rasanya menarik diri kembali ke alam nyata.“Fit, Fit, Fitriiii!” Desi mengguncangkan tubuhku. Dia menarik diriku dari lamunan.“Apa saya bilang, Bu. Ibu Fitri gak boleh sombong! Sekarang juga pergi dari rumah kami! Bu Fitri sudah gak punya hak lagi atas rumah ini!” Yuni ikut mengusirku. Dia merasa sangat merdeka.“Biadab! Lihat aja nanti! Ini pasti ada yang gak beres! Ingat kalian semua, karma akan segera datang, jadi jangan bersenang dulu!”“Udahlah, Fit! Kamu sudah kalah telak! Des, bawa teman kamu pergi! Aku gak sudi lihat kalian berdua di sini!”“Bajingan! Binatang kalian! Lihat saja, tunggu pembalasanku! Apapun yang didapatkan hasil merebut, itu tidak akan pernah bertahan lama!”Sambil terus memaki, Desi memaksaku untuk pergi. Aku tidak terima dengan semua ini. untuk kesekian kalinya, aku harus kehilangan lagi.“Mbak, dari mana aja? Saya cariin dari tadi?” Aku bertanya pada Mbak Yuni. Dia itu asisten rumah tangga kami. Aku melihat dia jalan tergesah-gesah saat masuk ke dalam rumah. Belum lagi, ini masih pagi-pagi buta.“Hmm, a … anu, Bu. Saya habis dari tukang sayur. Itu loh, stok sayuran habis,” jawab Mbak Yuni. Tapi ….“Mana belanjaanya? Kok gak bawa apa-apa?” tanyaku heran. Mukanya seperti bingung dan gelagatnya seperti sedang mencari alasan.“Eeee … itu Bu, eeee ….” Mbak Yuni celingukan sambil menggaruk kepalanya. Dia berkelit, terlihat sekali kalau dia sedang panik dan gugup. Sebenarnya apa sih yang dia sembunyikan?“Kok ae … ae … terus. Udahlah Mbak, tolong siapin sarapan! Mas Tito juga ke mana lagi, pagi-pagi udah ngilang? Apa dia gak berangkat kerja?” Aku segera berjalan meninggalkan Mbak Yuni yang tampak masih kebingungan. Aku bergegas menuju kamar anakku untuk membangunkannya.Saat aku tiba di depan kamar Asila, aku melihat Mas Tito keluar dari dapur sambil mengelap tangannya deng
Usai kepergian Mbok Yuni, aku segera menghubungi suamiku untuk mengadukan ulah pembantu sialan itu padanya. Namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaanku.“Iya Sayang, aku yang kasih izin Yuni untuk ke luar hari ini. Katanya dia mau bertemu dengan teman-temannya,” jawab Mas Tito setelah aku mengadukan Mbak Yuni.“Mas, kenapa dia hanya bilang sama kamu? Harusnya dia juga bilang sama aku! Yang mempekerjakan dia itu aku! Yang pilih dia juga aku! Aku gak suka sama sikap dia, Mas! Pembantu kurang ajar, gak punya sikap!” amukku di sambungan telepon. Aku benci sekali situasi ini.“Jangan gitu Sayang. Kamu itu gak boleh terlalu mengekang dia! Kita butuh jasa dia, loh,”“Kamu kira pembantu di dunia itu cuma dia? Banyak Mas! Aku bahkan bisa cari yang lebih baik dari pada dia! Aku gak mau tahu, pokoknya aku gak mau liat dia lagi di rumah ini! Hari ini juga aku akan pecat dia, Mas!”Aku segera mematikan sambungan telepon tanpa menunggu respon dari Mas Tito. Pikirku sama saja, Mas Tito lemah
Pagi hari, aku sudah berada di dapur sebelum Mbak Yuni. Setelah menyaksikan kejadian semalam, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. “Bu, tumben udah bangun. Saya baru mau masak,” tegur Mbak Yuni sesaat setelah berdiri di sampingku.Pisau yang aku gunakan untuk mengiris daging, rasanya ingin sekali aku pindahkan untuk mengiris urat nadi wanita sialan di sampingku ini.“Emang kenapa kalau saya bangun lebih awal? Ada yang salah? Ini kan rumah saya!” ucapku ketus tanpa mau melirik wanita siluman di sampingku. Aku merasa sangat jijik melihatnya.“Iya sih, Bu. Saya hanya tanya,” sahut Mbak Yuni.“Rapikan barang-barang kamu! Mulai hari ini, kamu saya pecat!” ucapku tanpa basa basi. Aku sudah muak melihat dia.“Hah? Kenapa, Bu? Saya buat kesalahan apa?” bingung Mbak Yuni mencoba memprotes. Dalam batinku, apa masih pantas dia bertanya apa kesalahannya?“Saya gak perlu alasan buat mecat kamu! Kapan aja saya bisa lakukan itu! Ingat, kamu itu cuma pembantu di sini!” sarkasku menatap tajam pad
Pagi ini, pekerjaanku lumayan banyak. Semenjak Yuni sudah tidak lagi bekerja untuk kami, aku mengambil alih semua tugas dia. Aku masih belum mau mencari pengganti Yuni. Entahlah, masih ada sedikit trauma dengan yang namanya pembantu. Aku memakai jasa wanita yang berumur saja banyak sekali tingkahnya, apalagi jika aku mempekerjakan wanita remaja. Ahh, tidak-tidak. Belum terjadi saja aku sudah bergidig ngeri membayangkannya.Usai pekerjaan rumahku selesai, aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku juga sudah membuat janji dengan sahabatku yang sudah mengetahui permasalahanku. Menurutnya, apa yang disampaikan Mas Tito tidak masuk akal. Kemungkinan besar, suamiku memang ada main dengan si jalang Yuni itu.Sejujurnya, aku juga merasakan apa yang temanku rasakan. Rasanya penjelasan Mas Tito terlalu sederhana. Dia berusaha berkelit, namun semua bukti sudah mengarah padanya. Terlebih, satu minggu yang lalu Mas Tito selama dua hari tidak pulang ke rumah. Alasannya dia ada kerjaan di luar kota. Tent
Keesokan harinya, aku dan Desi sudah berada di perjalanan. Sepanjang jalan, mulutku tak habis memaki dan mengutuk mereka berdua. Desi membiarkan saja, dia paham betul perasaanku saat ini. Perjalanan yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama, apalagi jalan yang kami lewati cukup padat, mengingat ini adalah jam sibuk jadi banyak sekali pengguna jalan yang akan menuju tempat bekerjanya.Setelah melaui berbagai drama di jalan, akhirnya mobil yang dikendarai Desi tiba di depan gerbang mewah milik Ayahku. Aku sengaja meminta Desi untuk memakai mobilnya hari ini untuk menghindari kecurigaan. Semalam, Mas Tito pulang ke rumah, namun tak lama dia pergi lagi dengan alasan mau mengambil mobil di bengkel. Tapi, hingga pagi menyongsong lelaki hidung belang itu tak juga pulang. Masa bodo dengan dia, yang penting aku saat ini sedang fokus ingin menyingkirkan Yuni.Kami memantau lebih dulu dari sebrang jalan, sengaja ingin melihat gerak gerik apa yang dilakukan mereka di dalam. Mata kami berdua teru