Usai kepergian Mbok Yuni, aku segera menghubungi suamiku untuk mengadukan ulah pembantu sialan itu padanya. Namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaanku.
“Iya Sayang, aku yang kasih izin Yuni untuk ke luar hari ini. Katanya dia mau bertemu dengan teman-temannya,” jawab Mas Tito setelah aku mengadukan Mbak Yuni.“Mas, kenapa dia hanya bilang sama kamu? Harusnya dia juga bilang sama aku! Yang mempekerjakan dia itu aku! Yang pilih dia juga aku! Aku gak suka sama sikap dia, Mas! Pembantu kurang ajar, gak punya sikap!” amukku di sambungan telepon. Aku benci sekali situasi ini.“Jangan gitu Sayang. Kamu itu gak boleh terlalu mengekang dia! Kita butuh jasa dia, loh,”“Kamu kira pembantu di dunia itu cuma dia? Banyak Mas! Aku bahkan bisa cari yang lebih baik dari pada dia! Aku gak mau tahu, pokoknya aku gak mau liat dia lagi di rumah ini! Hari ini juga aku akan pecat dia, Mas!”Aku segera mematikan sambungan telepon tanpa menunggu respon dari Mas Tito. Pikirku sama saja, Mas Tito lemah sekali, dia terus saja membela si Yuni sialan itu.***Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Asila baru saja pulang sekolah diantar oleh ojek penjaga sekolah. Jika aku sedang tidak sempat menjemputnya, penjaga itu yang akan mengantar Asila pulang. Hari ini bukan tidak sempat aku menjemput Asila, tapi moodku sedang tidak baik.“Jam segini Mbak Yuni belum juga pulang? Ke mana sih dia! Kerjaan dia banyak sekali di rumah! Apa gunanya aku mempekerjakan orang kalau semuanya harus aku yang mengerjakannya juga?” gerutuku kesal. Saat ini aku sedang menyiapkan makan siang untuk Asila. Gara-gara Mbak Yuni belum juga pulang, terpaksa aku yang harus turun tangan sendiri.Bukan tidak mau, hanya saja aku punya hak dong untuk memerintah ART ku untuk melakukan ini semua?“Sayang, ini nasi gorengnya. Maaf ya harus nunggu lama. Hari ini Mbak Yuni pergi ke luar, entah mau ke mana?” Aku menyodorkan sepiring nasi pada Asila. Dia sudah duduk manis di meja makan menunggu makanannya datang.“Iya, Ma. Makasih ya, Ma.” Anakku mulai menikmati makan siangnya.Sambil menemaninya, aku membuka ponsel dan mengirim beberapa pesan pada Mbak Yuni. Sejak tadi, tidak ada satu pesan atau panggilanku yang dijawab olehnya.***Tepat pukul empat sore, suara mesin kendaraan Mas Tito terdengar. Dengan cepat aku melesat ke luar untuk menyambut kedatangan suamiku. Namun ada yang aneh. Suamiku tidak datang sendiri, ada Mbak Yuni yang juga yang keluar dari balik pintu kabin depan mobil.Alisku mengerut melihatnya. Aku menatap tajam pada keduanya secara bergantian. Mbak Yuni sudah seperti Nyonya besar saja sikapnya. Wajahnya terlihat sumringah tidak ada sungkan-sungkannya padaku.“Kok kalian bisa pulang bareng? Mbak, kamu gak liat jam, apa? Gara-gara kamu pergi gak ingat waktu, saya jadi kelelahan kerjain pekerjaan rumah!” omelku begitu Mbak Yuni melintas di depanku.“Sayang, orang baru pulang juga udah di omelin aja! Tadi itu dia Wa aku, katanya izin pulang lebih lama karena mau anterin temennya ke airport. Terus, aku gak sengaja liat dia lagi nunggu angkutan umum di jalan, jadi aku ajak pulang sekalian. Udah ya, jangan marah-marah,” jelas Mas Tito seraya menyerahkan tasnya padaku. Ia langsung masuk ke dalam rumah sambil memanggil nama anaknya.“Tunggu! Siapa yang suruh kamu masuk???” Kini giliran aku memberikan pelajaran pada pembantu sialan ini.“Saya kirim ratusan pesan dan panggilan sama kamu, satupun gak ada yang kamu balas? Terus kenapa malah menghubungi suami saya? Apa kamu ada main gila sama Mas Tito? Kamu sadar gak si sama umur dan status kamu di sini?”“Maaf Bu Fitri, tadi saya gak sempat pegang Hp, lagian saya Wa Pak Tito juga sambil terburu-buru,” sahutnya dengan enteng.Dia kemudian berusaha untuk melanjutkan langkahnya, namun dengan cepat aku menarik rambut Mbak Yuni yang diberi warna kemerahan hingga ia terjengkang dan ambruk di atas lantai.“Aduh, Bu Fitri kasar banget si?” rintih Mbak Yuni sambil mengelus tangan dan kakinya.“Fitri! Kamu apa-apaan sih?”Aku terkejut mendengar suara itu. Ternyata Mas Tito muncul dari dalam dan segera menolong Mbak Yuni dan membantunya berdiri. “Aku gak pernah ajarin kamu untuk bersikap kasar gini sama orang lain! Mulai besok, kamu gak aku izinkan ke mana-mana! Gak ada pertemuan dengan siapapun! Kamu udah keterlaluan, Fit!”Seketika mataku membulat sempurna mendengar ucapan Mas Tito. Aku mematung menyaksikan Mas Tito memapah tubuh Mbak Yuni masuk ke dalam rumah. Kepalaku refleks menggeleng melihat apa yang baru saja terjadi, benar-benar seperti mimpi. Aku hanya bisa tersenyum satir melihat adegan gila ini.“Mas! Mas Tito!” Setelah tersadar dari lamunan aku mengejar keduanya dengan emosi yang sudah tidak tertahan. Aku tidak terima dengan putusan Mas Tito barusan. Berlebihan sekali.***Setelah berdebat panjang dengan Mas Tito, malam ini suamiku akhirnya memutuskan untuk tidak tidur satu kamar denganku. Dia lebih memilih untuk tidur di kamar tamu karena masih merasa kesal padaku. Akupun tidak perduli dan membiarkannya.Pukul dua belas malam, aku terbangun. Tiba-tiba saja perutku merasa lapar. Aku memutuskan untuk ke dapur sekedar membuat mie instan.Kamar Mbak Yuni berada di sebrang dapur, aku melihat pintunya sedikit terbuka dan lampunya menyala. Aku menatap heran, selain itu ada juga bayangan hitam seperti kain yang bergelombang tertiup angin.Aku meletakkan kembali bungkus mie instan yang hendak aku masak. Dengan langkah perlahan, aku berjalan menuju kamar pembantuku itu. Saat posisiku semakin dekat dengan pintu kamar, samar-samar aku mendengar suara rintihan kecil dari seorang perempuan. Suaranya tidak begitu asing bagiku.Aku semakin penasaran, hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu tersebut, tiba-tiba saja pintu itu tertutup dengan kencang.Brak ….Aku tersentak hingga hampir terjatuh saking kagetnya. Aku mencoba mengatur napas, lalu kembali melanjutkan langkah.Tiba di depan pitu tersebut, aku mencoba menempelkan daun telinga untuk mendengarkan kembali suara rintihan yang tadi sempat aku dengar.Entah Dewi keberuntungan apa yang sedang menemaniku, dari atas pintu, kaca ventilasi udara sedikit terbuka.Aku tersenyum girang melihatnya. Tak menunggu lama, meja pot bunga di depan kamar mandi segera aku ambil. Dengan cepat, aku memposisikan meja kecil itu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara apapun.Begitu aku berhasil mengintip, jantungku rasanya seketika berhenti berdetak. Dalam hitungan detik, aku tidak bisa bernapas. Dadaku begitu sesak. Aku mencoba menepuk-nepuk dadaku, rasanya aku seperti ingin hilang kesadaran.Mata terasa panas, seluruh tubuh bergetar. Apa yang aku lihat seperti mimpi buruk yang begitu nyata.“Itu … itu … Mas … Tito?” ucapku tanpa suara.Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku begitu mengenali perawakan Mas Tito meskipun dari belakang. Aku hidup denganya bukan sehari dua hari, tapi sudah lebih dari sepuluh tahun.Merasa ingin tumbang, aku memutuskan untuk segera turun. Kaki rasanya seperti tidak bisa menapak di atas tanah. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha untuk kembali ke dalam kamar dengan pandangan kosong.Aku melihat Mas Tito sedang berada di atas tubuh Mbak Yuni. Tidak ada sehelai benangpun yang menutupi keduanya. Mas Tito dan Mbak Yuni, keduanya tampak begitu menikmati.Aku terus menepuk dadaku agar aku bisa kembali bernapas lega. Aku merobohkan diri di atas kasur dengan begitu lunglai.“Mas, apa yang kamu cari dari wanita tua itu? Aku bahkan jauh lebih muda dari dia!” racauku merintih. Batinku terasa benar-benar sakit. Amarah begitu membara dalam hati. Aku tidak terima dengan semua ini. Aku harus membalaskan semuanya.Pagi hari, aku sudah berada di dapur sebelum Mbak Yuni. Setelah menyaksikan kejadian semalam, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. “Bu, tumben udah bangun. Saya baru mau masak,” tegur Mbak Yuni sesaat setelah berdiri di sampingku.Pisau yang aku gunakan untuk mengiris daging, rasanya ingin sekali aku pindahkan untuk mengiris urat nadi wanita sialan di sampingku ini.“Emang kenapa kalau saya bangun lebih awal? Ada yang salah? Ini kan rumah saya!” ucapku ketus tanpa mau melirik wanita siluman di sampingku. Aku merasa sangat jijik melihatnya.“Iya sih, Bu. Saya hanya tanya,” sahut Mbak Yuni.“Rapikan barang-barang kamu! Mulai hari ini, kamu saya pecat!” ucapku tanpa basa basi. Aku sudah muak melihat dia.“Hah? Kenapa, Bu? Saya buat kesalahan apa?” bingung Mbak Yuni mencoba memprotes. Dalam batinku, apa masih pantas dia bertanya apa kesalahannya?“Saya gak perlu alasan buat mecat kamu! Kapan aja saya bisa lakukan itu! Ingat, kamu itu cuma pembantu di sini!” sarkasku menatap tajam pad
Pagi ini, pekerjaanku lumayan banyak. Semenjak Yuni sudah tidak lagi bekerja untuk kami, aku mengambil alih semua tugas dia. Aku masih belum mau mencari pengganti Yuni. Entahlah, masih ada sedikit trauma dengan yang namanya pembantu. Aku memakai jasa wanita yang berumur saja banyak sekali tingkahnya, apalagi jika aku mempekerjakan wanita remaja. Ahh, tidak-tidak. Belum terjadi saja aku sudah bergidig ngeri membayangkannya.Usai pekerjaan rumahku selesai, aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku juga sudah membuat janji dengan sahabatku yang sudah mengetahui permasalahanku. Menurutnya, apa yang disampaikan Mas Tito tidak masuk akal. Kemungkinan besar, suamiku memang ada main dengan si jalang Yuni itu.Sejujurnya, aku juga merasakan apa yang temanku rasakan. Rasanya penjelasan Mas Tito terlalu sederhana. Dia berusaha berkelit, namun semua bukti sudah mengarah padanya. Terlebih, satu minggu yang lalu Mas Tito selama dua hari tidak pulang ke rumah. Alasannya dia ada kerjaan di luar kota. Tent
Keesokan harinya, aku dan Desi sudah berada di perjalanan. Sepanjang jalan, mulutku tak habis memaki dan mengutuk mereka berdua. Desi membiarkan saja, dia paham betul perasaanku saat ini. Perjalanan yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama, apalagi jalan yang kami lewati cukup padat, mengingat ini adalah jam sibuk jadi banyak sekali pengguna jalan yang akan menuju tempat bekerjanya.Setelah melaui berbagai drama di jalan, akhirnya mobil yang dikendarai Desi tiba di depan gerbang mewah milik Ayahku. Aku sengaja meminta Desi untuk memakai mobilnya hari ini untuk menghindari kecurigaan. Semalam, Mas Tito pulang ke rumah, namun tak lama dia pergi lagi dengan alasan mau mengambil mobil di bengkel. Tapi, hingga pagi menyongsong lelaki hidung belang itu tak juga pulang. Masa bodo dengan dia, yang penting aku saat ini sedang fokus ingin menyingkirkan Yuni.Kami memantau lebih dulu dari sebrang jalan, sengaja ingin melihat gerak gerik apa yang dilakukan mereka di dalam. Mata kami berdua teru
Sepanjang kami menunggu kedatangan Mas Tito, mantan ART-ku itu terlihat gelisah. Bolak-balik dia membuka ponsel mengecek apakah Mas Tito menghubunginya. Gerak gerik itu membuatku dan Desi menahan tawa.“Tenang aja, Yuni! Kalau emang kamu berhak atas rumah ini, saya gak masalah! Dengan suka rela akan saya berikan untuk kamu, kan harta Ayah saya masih sangat banyak! Hilang satu, bukan masalah baginya!” Aku semakin memanas-manasinya.Yuni membuang muka saat mendengarku mengatakan hal barusan. Wanita kampungan seperti dia bisa apa? Sudah pasti dia sangat mengharapkan harta ini?“Jangan sombong, Bu Fitri! Manusia itu tidak selamanya di atas! Nanti ada kalanya ngerasain juga di bawah!” Yuni menceramahi.“Hahahaha! Contohnya, seperti kamu saat ini? Apa yang saya bilang kan benar. Apalagi, semua kekayaan yang dimiliki keluarga saya hasil kerja keras mereka, bukan hasil merebut apalagi menipu! Sangat beda jauh, Yuni!” timpalku gemas. Sok-sokan mau ceramahin aku, padahal dia aja rebut suami ora
“Mbak, dari mana aja? Saya cariin dari tadi?” Aku bertanya pada Mbak Yuni. Dia itu asisten rumah tangga kami. Aku melihat dia jalan tergesah-gesah saat masuk ke dalam rumah. Belum lagi, ini masih pagi-pagi buta.“Hmm, a … anu, Bu. Saya habis dari tukang sayur. Itu loh, stok sayuran habis,” jawab Mbak Yuni. Tapi ….“Mana belanjaanya? Kok gak bawa apa-apa?” tanyaku heran. Mukanya seperti bingung dan gelagatnya seperti sedang mencari alasan.“Eeee … itu Bu, eeee ….” Mbak Yuni celingukan sambil menggaruk kepalanya. Dia berkelit, terlihat sekali kalau dia sedang panik dan gugup. Sebenarnya apa sih yang dia sembunyikan?“Kok ae … ae … terus. Udahlah Mbak, tolong siapin sarapan! Mas Tito juga ke mana lagi, pagi-pagi udah ngilang? Apa dia gak berangkat kerja?” Aku segera berjalan meninggalkan Mbak Yuni yang tampak masih kebingungan. Aku bergegas menuju kamar anakku untuk membangunkannya.Saat aku tiba di depan kamar Asila, aku melihat Mas Tito keluar dari dapur sambil mengelap tangannya deng