Pagi ini, pekerjaanku lumayan banyak. Semenjak Yuni sudah tidak lagi bekerja untuk kami, aku mengambil alih semua tugas dia. Aku masih belum mau mencari pengganti Yuni. Entahlah, masih ada sedikit trauma dengan yang namanya pembantu. Aku memakai jasa wanita yang berumur saja banyak sekali tingkahnya, apalagi jika aku mempekerjakan wanita remaja. Ahh, tidak-tidak. Belum terjadi saja aku sudah bergidig ngeri membayangkannya.
Usai pekerjaan rumahku selesai, aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku juga sudah membuat janji dengan sahabatku yang sudah mengetahui permasalahanku. Menurutnya, apa yang disampaikan Mas Tito tidak masuk akal. Kemungkinan besar, suamiku memang ada main dengan si jalang Yuni itu.Sejujurnya, aku juga merasakan apa yang temanku rasakan. Rasanya penjelasan Mas Tito terlalu sederhana. Dia berusaha berkelit, namun semua bukti sudah mengarah padanya. Terlebih, satu minggu yang lalu Mas Tito selama dua hari tidak pulang ke rumah. Alasannya dia ada kerjaan di luar kota. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Aku menyelidikinya dan bertanya pada sekretaris juga rekan kerjanya di kantor. Sesuai dugaanku, tidak ada pekerjaan apapun yang dilakukan di luar kota.Sepertinya petualang ini harus segera dimulai.Lagi pula, aku tidak takut jika nanti aku mengetahui kebenarannya dan Mas Tito menceraikanku. Aku tidak rugi sama sekali, yang ada dia yang paling merasa rugi. Aku yakin, Ayah akan menarik kembali apa yang sudah dia berikan untuk Mas Tito.Apa Mas Tito gak berfikir sampai ke sana? Kita lihat saja, bagaimana endingnya.***“Des, sorry ya, aku harus bawa kamu terlibat dalam masalah rumah tanggaku. Sebenarnya, aku merasa sungkan.” Kami sudah dalam perjalanan menuju ke alamat yang menjadi target pertama kami.“Apa aku mengatakan keberatan sama kamu? Fit, kita bersahabat sudah sangat lama, jadi hilangin deh rasa sungkan kamu itu,” sahut Desi. Ah, dia ini memang benar-benar sahabatku. Kami sudah saling mengenal sejak masih berada di bangku SMP, bahkan saat berkuliah pun kami mengambil fakultas dan jurusan yang sama.Aku menarik napas panjang, Desi belum menikah, dia masih sibuk mengejar kariernya hingga saat ini, “Seandainya aku ikutin jejak kamu, Des. Menunda pernikahan. Mungkin kita akan jadi wanita sukses,” sesalku. Walaupun saat ini aku tidak merasa kekurangan, namun tetap saja. Aku merasa gagal dalam menjalani rumah tangga.“Kamu gak perlu menyesali apapun, Fit. Kita sudah memiliki garis takdir masing-masing. Lagi pula, kamu itu masih punya orang tua, anak, dan sahabat yang akan selalu jadi support system buat kamu. Sekarang mending kita fokus sama tujuan kita, lupain semua penyesalan kamu,” tukas Desi.Benar, ini semua tidak akan berakhir jika aku terus menyesali semuanya.“Tunggu, Fit. Itu, bukannya mobil suami kamu?” Tiba-tiba saja Desi menyentuh tanganku dan menunjuk ke arah toko perlengkapan rumah. Dan benar, mobil Mas Tito terparkir di sana. Padahal, tujuan kita bukan ke sini, namun siapa sangka target kita dapatkan dengan mudah.“Oh iya, itu mobil Mas Tito? Dia lagi ngapain di sana? Seingatku, kami belum butuh perlengkapan apapun?” ucapku heran. Aku memberhentikan mobil di sebrang jalan.“Ayo ke luar, Des! Ini saat yang tepat buat labrak dia! Aku yakin Mas Tito pasti lagi sama di jalang Yuni itu!” Aku segera membuka seat belt dan bersiap untuk turun, namun Desi menghentikannya.“Jangan gegabah, Fitri! Kita harus pantau dulu dari jauh apa yang suami kamu lakukan. Kalau begini caranya, kita gak akan dapat hasil apa-apa! Yang ada, malah munculin masalah baru!” cegah Desi.Mana sempat aku berfikir jernih. Aku rasanya sudah ingin menghabisi mereka berdua saja.“Tapi, Des, aku takut nanti mereka keburu pergi dan … kita gak sempat kasih pelajaran ke mereka berdua!” Aku tetap berusaha memaksa ke luar.“Itu yang aku maksud, Fitri! Kita bisa buntuti mereka untuk tahu ke mana tujuan mereka berdua. Lagi pula, kita juga belum tahu pasti, yang bawa mobil itu benar suami kamu atau mungkin orang lain,” sambung Desi.“Baiklah, semoga saja setelah ini kita bisa mendapatkan bukti dan aku bisa menghabisi Yuni!” ancamku.Desi hanya mengangguk, kami kemudian kembali fokus pada mobil tersebut dan menunggu tuannya segera ke luar dari toko.***Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, seorang wanita tua muncul dari dalam toko dengan membawa beberapa alat kebersihan. Di belakangnya, disusul seorang wanita yang begitu aku kenali, “Itu Yuni! Sama siapa dia, Des?” Aku menepuk pundak Desi dan menujuk ke arah mereka berdua dengan mata terbuka lebar.“Iya, itu Yuni! Aku juga gak tau dia sama siapa,” timpal Desi. Setelahnya, wanita tua tadi masuk lebih dulu ke kabin tengah mobil suamiku. Yuni tampak berjalan ke belakang mobil dan membuka bagasi. Dia meletakkan semua barang belanjaan dia di sana.“Ikutin, Fit!” perintah Desi saat mobil itu mulai melaju. Aku tidak melihat Mas Tito, aku hanya melihat Yuni dan juga wanita tua tadi.Aku sengaja menjaga jarak agak Yuni tidak curiga. Aku yakin, dia pasti mengenali mobilku ini.***Aku terpaku saat melihat Yuni memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah megah. “Ini rumah Ayahku, Des!” ucapku lemas. Bagaimana Yuni bisa masuk ke sana sementara yang mengetahui semua hal tentang rumah itu adalah Mas Tito.Ayahku memang sudah mengatakan akan menghadiahkan rumah itu untuk Mas Tito, namun beliau belum mengurus surat-suratnya.“Apa-apaan suami kamu, Fit? Jika hanya dia yang tahu akses rumah ini, berarti kemungkinan besar dia yang membawa Yuni ke sini! Gila! Selingkuh gak modal!” maki Desi geram.“Binatang mereka semua, Des! Mereka memanfaatkan fasilitas orangtuaku untuk melakukan hal bejat??”Apa kalian bisa membayangkan betapa kesal dan jengkelnya aku? Suamiku berselingkuh dengan pembantuku lalu, yang lebih parah adalah Mas Tito memanfaatkan apa yang dimiliki keluargaku untuk menyembunyikan selingkuhannya?Aku hampir gila rasanya.“Aku ke luar sekarang, Des!”Tekadku bulat“Hentikan, Fitri! Gak bisa hari ini! Sebaiknya kita susun strategi terlebih dulu,” larang Desi.“Strategi apalagi, Des? Aku sudah gak bisa biarkan mereka menikmati apa yang aku punya? Apalagi Yuni, dengan santainya dia keluar masuk rumah orangtuaku! Aku saja yang anak kandungnya belum pernah menempati rumah itu. Lalu … pembantu sialan dan kampungan itu yang lebih dulu menempatinya!”Amukku pada Desi. Muncul rasa menyesal kenapa aku harus mengajak dia.“Aku tahu dan mengerti perasaan kamu, Fit! Aku pun merasakannya! Tapi, kita gak bisa asal labrak mereka begitu aja! Kita gak tahu, mungkin aja mereka sudah menyiapkan strategi di dalam sana. Aku yakin, Tito sudah menduga hal ini kalau kamu lambat laun pasti akan tahu semuanya!” Desi menatapku. Air mata tidak lagi mampu aku bendung. “Percaya sama aku, Fit! Kita sama-sama akan hancurkan mereka. Tapi, kita butuh perencanaan yang matang! Bisa?” Desi terus berusaha meyakinkan aku.Entahlah, aku sudah tidak bisa diajak bicara. Pikiranku kini hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku.“Kita tukar posisi, biar aku yang bawa mobil. Kamu lebih baik tenangkan diri dulu, ayok!”Aku menurut, meski hati menolaknya. Tapi aku benar-benar kehilangan daya. Tubuhku begitu lunglai mendapati takdir yang begitu pahit.***“Besok, kita akan mulai melancarkan misi kita, Fit. Persiapkan diri kamu! Ingat, kamu harus tenang dan tidak boleh gegabah!”Keesokan harinya, aku dan Desi sudah berada di perjalanan. Sepanjang jalan, mulutku tak habis memaki dan mengutuk mereka berdua. Desi membiarkan saja, dia paham betul perasaanku saat ini. Perjalanan yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama, apalagi jalan yang kami lewati cukup padat, mengingat ini adalah jam sibuk jadi banyak sekali pengguna jalan yang akan menuju tempat bekerjanya.Setelah melaui berbagai drama di jalan, akhirnya mobil yang dikendarai Desi tiba di depan gerbang mewah milik Ayahku. Aku sengaja meminta Desi untuk memakai mobilnya hari ini untuk menghindari kecurigaan. Semalam, Mas Tito pulang ke rumah, namun tak lama dia pergi lagi dengan alasan mau mengambil mobil di bengkel. Tapi, hingga pagi menyongsong lelaki hidung belang itu tak juga pulang. Masa bodo dengan dia, yang penting aku saat ini sedang fokus ingin menyingkirkan Yuni.Kami memantau lebih dulu dari sebrang jalan, sengaja ingin melihat gerak gerik apa yang dilakukan mereka di dalam. Mata kami berdua teru
Sepanjang kami menunggu kedatangan Mas Tito, mantan ART-ku itu terlihat gelisah. Bolak-balik dia membuka ponsel mengecek apakah Mas Tito menghubunginya. Gerak gerik itu membuatku dan Desi menahan tawa.“Tenang aja, Yuni! Kalau emang kamu berhak atas rumah ini, saya gak masalah! Dengan suka rela akan saya berikan untuk kamu, kan harta Ayah saya masih sangat banyak! Hilang satu, bukan masalah baginya!” Aku semakin memanas-manasinya.Yuni membuang muka saat mendengarku mengatakan hal barusan. Wanita kampungan seperti dia bisa apa? Sudah pasti dia sangat mengharapkan harta ini?“Jangan sombong, Bu Fitri! Manusia itu tidak selamanya di atas! Nanti ada kalanya ngerasain juga di bawah!” Yuni menceramahi.“Hahahaha! Contohnya, seperti kamu saat ini? Apa yang saya bilang kan benar. Apalagi, semua kekayaan yang dimiliki keluarga saya hasil kerja keras mereka, bukan hasil merebut apalagi menipu! Sangat beda jauh, Yuni!” timpalku gemas. Sok-sokan mau ceramahin aku, padahal dia aja rebut suami ora
“Mbak, dari mana aja? Saya cariin dari tadi?” Aku bertanya pada Mbak Yuni. Dia itu asisten rumah tangga kami. Aku melihat dia jalan tergesah-gesah saat masuk ke dalam rumah. Belum lagi, ini masih pagi-pagi buta.“Hmm, a … anu, Bu. Saya habis dari tukang sayur. Itu loh, stok sayuran habis,” jawab Mbak Yuni. Tapi ….“Mana belanjaanya? Kok gak bawa apa-apa?” tanyaku heran. Mukanya seperti bingung dan gelagatnya seperti sedang mencari alasan.“Eeee … itu Bu, eeee ….” Mbak Yuni celingukan sambil menggaruk kepalanya. Dia berkelit, terlihat sekali kalau dia sedang panik dan gugup. Sebenarnya apa sih yang dia sembunyikan?“Kok ae … ae … terus. Udahlah Mbak, tolong siapin sarapan! Mas Tito juga ke mana lagi, pagi-pagi udah ngilang? Apa dia gak berangkat kerja?” Aku segera berjalan meninggalkan Mbak Yuni yang tampak masih kebingungan. Aku bergegas menuju kamar anakku untuk membangunkannya.Saat aku tiba di depan kamar Asila, aku melihat Mas Tito keluar dari dapur sambil mengelap tangannya deng
Usai kepergian Mbok Yuni, aku segera menghubungi suamiku untuk mengadukan ulah pembantu sialan itu padanya. Namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaanku.“Iya Sayang, aku yang kasih izin Yuni untuk ke luar hari ini. Katanya dia mau bertemu dengan teman-temannya,” jawab Mas Tito setelah aku mengadukan Mbak Yuni.“Mas, kenapa dia hanya bilang sama kamu? Harusnya dia juga bilang sama aku! Yang mempekerjakan dia itu aku! Yang pilih dia juga aku! Aku gak suka sama sikap dia, Mas! Pembantu kurang ajar, gak punya sikap!” amukku di sambungan telepon. Aku benci sekali situasi ini.“Jangan gitu Sayang. Kamu itu gak boleh terlalu mengekang dia! Kita butuh jasa dia, loh,”“Kamu kira pembantu di dunia itu cuma dia? Banyak Mas! Aku bahkan bisa cari yang lebih baik dari pada dia! Aku gak mau tahu, pokoknya aku gak mau liat dia lagi di rumah ini! Hari ini juga aku akan pecat dia, Mas!”Aku segera mematikan sambungan telepon tanpa menunggu respon dari Mas Tito. Pikirku sama saja, Mas Tito lemah
Pagi hari, aku sudah berada di dapur sebelum Mbak Yuni. Setelah menyaksikan kejadian semalam, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. “Bu, tumben udah bangun. Saya baru mau masak,” tegur Mbak Yuni sesaat setelah berdiri di sampingku.Pisau yang aku gunakan untuk mengiris daging, rasanya ingin sekali aku pindahkan untuk mengiris urat nadi wanita sialan di sampingku ini.“Emang kenapa kalau saya bangun lebih awal? Ada yang salah? Ini kan rumah saya!” ucapku ketus tanpa mau melirik wanita siluman di sampingku. Aku merasa sangat jijik melihatnya.“Iya sih, Bu. Saya hanya tanya,” sahut Mbak Yuni.“Rapikan barang-barang kamu! Mulai hari ini, kamu saya pecat!” ucapku tanpa basa basi. Aku sudah muak melihat dia.“Hah? Kenapa, Bu? Saya buat kesalahan apa?” bingung Mbak Yuni mencoba memprotes. Dalam batinku, apa masih pantas dia bertanya apa kesalahannya?“Saya gak perlu alasan buat mecat kamu! Kapan aja saya bisa lakukan itu! Ingat, kamu itu cuma pembantu di sini!” sarkasku menatap tajam pad