Share

Bab 5 Kamu Istrinya Mas Tito, Kan?

Keesokan harinya, aku dan Desi sudah berada di perjalanan. Sepanjang jalan, mulutku tak habis memaki dan mengutuk mereka berdua. Desi membiarkan saja, dia paham betul perasaanku saat ini. Perjalanan yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama, apalagi jalan yang kami lewati cukup padat, mengingat ini adalah jam sibuk jadi banyak sekali pengguna jalan yang akan menuju tempat bekerjanya.

Setelah melaui berbagai drama di jalan, akhirnya mobil yang dikendarai Desi tiba di depan gerbang mewah milik Ayahku. Aku sengaja meminta Desi untuk memakai mobilnya hari ini untuk menghindari kecurigaan. Semalam, Mas Tito pulang ke rumah, namun tak lama dia pergi lagi dengan alasan mau mengambil mobil di bengkel. Tapi, hingga pagi menyongsong lelaki hidung belang itu tak juga pulang. Masa bodo dengan dia, yang penting aku saat ini sedang fokus ingin menyingkirkan Yuni.

Kami memantau lebih dulu dari sebrang jalan, sengaja ingin melihat gerak gerik apa yang dilakukan mereka di dalam. Mata kami berdua terus bergaja, mengintai di sepanjang jalan barang kali ada orang yang keluar atau masuk rumah itu.

Setelah menunggu sekitar dua puluh menitan, gerbang tinggi itu terbuka. Aku melihat Mas Tito sudah duduk di balik kemudi dengan Yuni yang membukakan pagar dan juga mengantarkan suamiku pergi. Sepertinya Mas Tito akan berangkat kerja. Usai kepergian Mas Tito, Yuni kembali menutup rapat pintu gerbang dan terlihat berjalan masuk ke dalam rumah.

“Duh … duh … udah kaya Nyonya besar dia itu, Des!” cicitku dengan menatap jijik pada Yuni.

Desi terkekeh, “Kalah kamu, Fit! Lihat, Upik Abu jadi Nyonya besar!” timpal Desi.

Puas menertawakan Yuni, Desi akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Aku sudah sangat bersiap untuk mempermalukan si Babu itu.

Kami mengarahkan mobil menuju pagar tersebut, Desi berulang kali menyalakan klason agar Yuni membukakan pagar untuk kami.

Tak berselang lama, seseorang muncul dari balik pagar besi. Wanita tua yang membukanya. Kami saling tatap, wajah wanita itu mirip sekali dengan Yuni.

“Itu Ibunya Yuni, Fit?” tanya Desi padaku.

Aku hanya menggeleng lemah seraya ikut menatap pada wanita tua tersebut, “Kurang tahu. Sejak Yuni kerja denganku, aku gak pernah kenal Ibunya,” akuku.

Desi hanya mengangguk seraya menggigit bibir bawahnya.

“Mbok, Tito nya ada?”

Desi membuka setengah kaca mobil, lalu melambaikan tangan pada wanita tua tadi.

Wanita itu tampak mendekat lalu melongok ke dalam mobil, “Tito sudah berangkat kerja, tapi ada istrinya di dalam,” jelas si wanita tadi.

Mendengar kata ‘istri’ aku terhenyak. Mataku refleks membuka lebar dengan mulut sedikit terbuka. Tanganku perlana mencengkram kemejaku. ‘Apa katanya? Istri?’ gumamku dalam hati.

“Oh begitu ya, Mbok. Apa kami boleh masuk? Kami teman kantornya Tito,” jelas Desi.

“Oh temannya Tito. Silahkan-silahkan, tapi apa gak papa kalau orangnya gak ada?” tanya lagi si wanita tua memastikan.

Desi menggeleng cepat, “Gak papa, kami udah janjian sama dia,” jelas Desi lagi. Aku masih terus berusaha mengembalikan pikiranku. Seketika otakku membeku saat mendengar pengakuan kalau Yuni adalah istrinya Mas Tito. ‘Ayo Fit, fokus! Fokus!’ Aku terus meyakinkan diri.

***

Akhirnya pintu gerbang itu dibuka lebar olehnya. Aku melihat betapa megah rumah ini. Dulu, terakhir aku berkunjung ke sini adalah saat aku baru saja menjadi istrinya Mas Tito. Awalnya, Ayah memintaku untuk menempati rumah ini, namun aku menolak karena saat itu kami sudah mempersiapkan tempat tinggal kami sendiri.

Rumah ini tampak sangat terawat. Itu artinya, Mas Tito sering berkunjung ke sini untuk melihat keadaan rumah? Huft, entahlah.

Kami turun dari mobil dan menelisik setiap sudut rumah, “Silahkan masuk, Bu, saya panggilkan dulu Yuni,” ucapnya sambil berjalan ke dalam rumah. Kami hanya mengangguk dan membiarkan dia pergi.

“Langsung masuk aja, Fit. Kita lihat apa yang lagi Nyonya itu lakukan di dalam!” ajak Desi. Aku pun mengangguk mantap.

Berbagai hiasan rumah tertata rapi di dalam. Semuanya begitu terawat. Saat kami asik memindai, tak terasa kaki sudah tiba di depan meja makan yang cukup luas. Mataku terhenti pada sosok wanita yang tengah menuangkan makanan di atas piring. Baju yang diagunakan sangat terbuka, bahkan belahan kedua payudaranya jelas sekali terlhat.

“Bu Fitri?” Yuni terlonjak saat ia sedang menata makanan di atas piring. Wajan panas yang tengah di genggamnya jatuh ke atas lantai hingga menumpahkan semua isinya.

“Gak usah kaget gitu, Yun. Kamu apa kabar? Lama ya kita gak ketemu?” selorohku berjalan ke arahnya. Dia masih tampak terkejut dan hanya bisa mematung di tempat.

“Bu, kenapa Ibu biarkan mereka masuk?” celetuk Yuni pada Ibunya yang terlihat bingung. Wajahnya begitu asam.

“I … Ibu gak tahu! Katanya mereka temannya Tito,” sahut sang Ibu dengan wajah sedikit memucat.

“Ini kan rumah saya, kenapa saya gak boleh masuk?” timpalku dengan wajah tersenyum senang. Aku suka melihat ekspresi dungu Yuni itu.

“Rumah, Bu Fitri? Ini rumah Mas Tito! Dia yang memberikannya pada saya!” Yuni menjawab dengan begitu percaya diri.

“Saat ini saya bukan lagi pembantu Bu Fitri, dan saya ….”

“Dan kamu sudah menjadi istrinya, Mas Tito? Itu kan yang mau kamu bilang ke saya?” Aku langsung memotong ucapan Yuni.

“Yuni, Yuni, wanita kampungan! Dasar goblok! Kamu tahu siapa itu Tito? Dan kamu tahu apa atas rumah ini? Hahahaha!” Aku tertawa puas melihat kedua orang kampungan itu kebingungan.

“Jelas! Ini rumah yang dibeli Mas Tito untuk kami tinggali, jadi sebaiknya Bu Fitri pergi dari rumah ini sebelum saya mengadukan Ibu ke Mas Tito!” ancam Yuni sambil berusaha mendorong tubuhku.

Aku dengan cepat menepis tangan Yuni dan balik mendorongnya hingga ia mundur beberapa langkah, “Apa kamu bilang? Rumah Mas Tito? Jangan mimpi kamu! Heh Upik Abu, asal kamu tahu, semua asset yang dimiliki Mas Tito adalah milik orangtuaku! Dia itu hanya lelaki miskin yang disulap menjadi orang terpandang oleh Ayahku! Kamu itu hanya pembantu, tahu apa soal ini semua?” Puas, aku benar-benar puas mengatakan semua fakta ini.

“Ibu jangan asal ngomong. Mas Tito sendiri yang bilang kalau dia kerja banting tulang buat beli rumah ini! Dan sebentar lagi, rumah ini akan jadi milik saya, itu kata Mas Tito! Mending Bu Fitri segera pergi dari sini sebelum saya benar-benar menelepon Mas Tito!”

Aku dan Desi saling bersilang tatap mendengar penuturan Yuni, lalu kami terbahak bersama.

“Hahaha! Ya Tuhan, kasian ya, pembantuku yang satu ini mampi banget buat jadi orang kaya! Gak pantes tahu gak?? Apalagi cara kamu mendapatkannya seperti ini, ck … ck … ck …. Ngaca deh Yun sebelum ngomong!”

Yuni semakin terpojok mendengar penjelasanku, “Kalau emang ini rumah Mas Tito, coba tunjukkan sertifikat rumah ini! Kalau kamu bisa menunjukkannya saya dan teman saya ini siap pergi dari sini. Tapi … jika kamu gak punya satu buktipun tentang kepemilikan rumah ini, kamu dan wanita tua itu harus keluar dari rumah ini! Gimana, setuju??” Aku menantang Yuni. Sudah pasti dia tidak akan memilikinya.

“Hmm … hmm … itu … itu …”

“Kenapa ham … hem … ham … hem? Cepat, mana suratnya?”

“Urusan surat-surat itu bukan bagian saya! Semuanya ada sama Mas Tito! Biar saya hubungi dia dan minta dia pulang sekarang!”

“Heem, lakukan apapun! Jika tidak ada satu bukti pun, detik itu juga kamu harus pergi dari rumah ini!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status