Keesokan harinya, aku dan Desi sudah berada di perjalanan. Sepanjang jalan, mulutku tak habis memaki dan mengutuk mereka berdua. Desi membiarkan saja, dia paham betul perasaanku saat ini. Perjalanan yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama, apalagi jalan yang kami lewati cukup padat, mengingat ini adalah jam sibuk jadi banyak sekali pengguna jalan yang akan menuju tempat bekerjanya.
Setelah melaui berbagai drama di jalan, akhirnya mobil yang dikendarai Desi tiba di depan gerbang mewah milik Ayahku. Aku sengaja meminta Desi untuk memakai mobilnya hari ini untuk menghindari kecurigaan. Semalam, Mas Tito pulang ke rumah, namun tak lama dia pergi lagi dengan alasan mau mengambil mobil di bengkel. Tapi, hingga pagi menyongsong lelaki hidung belang itu tak juga pulang. Masa bodo dengan dia, yang penting aku saat ini sedang fokus ingin menyingkirkan Yuni.Kami memantau lebih dulu dari sebrang jalan, sengaja ingin melihat gerak gerik apa yang dilakukan mereka di dalam. Mata kami berdua terus bergaja, mengintai di sepanjang jalan barang kali ada orang yang keluar atau masuk rumah itu.Setelah menunggu sekitar dua puluh menitan, gerbang tinggi itu terbuka. Aku melihat Mas Tito sudah duduk di balik kemudi dengan Yuni yang membukakan pagar dan juga mengantarkan suamiku pergi. Sepertinya Mas Tito akan berangkat kerja. Usai kepergian Mas Tito, Yuni kembali menutup rapat pintu gerbang dan terlihat berjalan masuk ke dalam rumah.“Duh … duh … udah kaya Nyonya besar dia itu, Des!” cicitku dengan menatap jijik pada Yuni.Desi terkekeh, “Kalah kamu, Fit! Lihat, Upik Abu jadi Nyonya besar!” timpal Desi.Puas menertawakan Yuni, Desi akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Aku sudah sangat bersiap untuk mempermalukan si Babu itu.Kami mengarahkan mobil menuju pagar tersebut, Desi berulang kali menyalakan klason agar Yuni membukakan pagar untuk kami.Tak berselang lama, seseorang muncul dari balik pagar besi. Wanita tua yang membukanya. Kami saling tatap, wajah wanita itu mirip sekali dengan Yuni.“Itu Ibunya Yuni, Fit?” tanya Desi padaku.Aku hanya menggeleng lemah seraya ikut menatap pada wanita tua tersebut, “Kurang tahu. Sejak Yuni kerja denganku, aku gak pernah kenal Ibunya,” akuku.Desi hanya mengangguk seraya menggigit bibir bawahnya.“Mbok, Tito nya ada?”Desi membuka setengah kaca mobil, lalu melambaikan tangan pada wanita tua tadi.Wanita itu tampak mendekat lalu melongok ke dalam mobil, “Tito sudah berangkat kerja, tapi ada istrinya di dalam,” jelas si wanita tadi.Mendengar kata ‘istri’ aku terhenyak. Mataku refleks membuka lebar dengan mulut sedikit terbuka. Tanganku perlana mencengkram kemejaku. ‘Apa katanya? Istri?’ gumamku dalam hati.“Oh begitu ya, Mbok. Apa kami boleh masuk? Kami teman kantornya Tito,” jelas Desi.“Oh temannya Tito. Silahkan-silahkan, tapi apa gak papa kalau orangnya gak ada?” tanya lagi si wanita tua memastikan.Desi menggeleng cepat, “Gak papa, kami udah janjian sama dia,” jelas Desi lagi. Aku masih terus berusaha mengembalikan pikiranku. Seketika otakku membeku saat mendengar pengakuan kalau Yuni adalah istrinya Mas Tito. ‘Ayo Fit, fokus! Fokus!’ Aku terus meyakinkan diri.***Akhirnya pintu gerbang itu dibuka lebar olehnya. Aku melihat betapa megah rumah ini. Dulu, terakhir aku berkunjung ke sini adalah saat aku baru saja menjadi istrinya Mas Tito. Awalnya, Ayah memintaku untuk menempati rumah ini, namun aku menolak karena saat itu kami sudah mempersiapkan tempat tinggal kami sendiri.Rumah ini tampak sangat terawat. Itu artinya, Mas Tito sering berkunjung ke sini untuk melihat keadaan rumah? Huft, entahlah.Kami turun dari mobil dan menelisik setiap sudut rumah, “Silahkan masuk, Bu, saya panggilkan dulu Yuni,” ucapnya sambil berjalan ke dalam rumah. Kami hanya mengangguk dan membiarkan dia pergi.“Langsung masuk aja, Fit. Kita lihat apa yang lagi Nyonya itu lakukan di dalam!” ajak Desi. Aku pun mengangguk mantap.Berbagai hiasan rumah tertata rapi di dalam. Semuanya begitu terawat. Saat kami asik memindai, tak terasa kaki sudah tiba di depan meja makan yang cukup luas. Mataku terhenti pada sosok wanita yang tengah menuangkan makanan di atas piring. Baju yang diagunakan sangat terbuka, bahkan belahan kedua payudaranya jelas sekali terlhat.“Bu Fitri?” Yuni terlonjak saat ia sedang menata makanan di atas piring. Wajan panas yang tengah di genggamnya jatuh ke atas lantai hingga menumpahkan semua isinya.“Gak usah kaget gitu, Yun. Kamu apa kabar? Lama ya kita gak ketemu?” selorohku berjalan ke arahnya. Dia masih tampak terkejut dan hanya bisa mematung di tempat.“Bu, kenapa Ibu biarkan mereka masuk?” celetuk Yuni pada Ibunya yang terlihat bingung. Wajahnya begitu asam.“I … Ibu gak tahu! Katanya mereka temannya Tito,” sahut sang Ibu dengan wajah sedikit memucat.“Ini kan rumah saya, kenapa saya gak boleh masuk?” timpalku dengan wajah tersenyum senang. Aku suka melihat ekspresi dungu Yuni itu.“Rumah, Bu Fitri? Ini rumah Mas Tito! Dia yang memberikannya pada saya!” Yuni menjawab dengan begitu percaya diri.“Saat ini saya bukan lagi pembantu Bu Fitri, dan saya ….”“Dan kamu sudah menjadi istrinya, Mas Tito? Itu kan yang mau kamu bilang ke saya?” Aku langsung memotong ucapan Yuni.“Yuni, Yuni, wanita kampungan! Dasar goblok! Kamu tahu siapa itu Tito? Dan kamu tahu apa atas rumah ini? Hahahaha!” Aku tertawa puas melihat kedua orang kampungan itu kebingungan.“Jelas! Ini rumah yang dibeli Mas Tito untuk kami tinggali, jadi sebaiknya Bu Fitri pergi dari rumah ini sebelum saya mengadukan Ibu ke Mas Tito!” ancam Yuni sambil berusaha mendorong tubuhku.Aku dengan cepat menepis tangan Yuni dan balik mendorongnya hingga ia mundur beberapa langkah, “Apa kamu bilang? Rumah Mas Tito? Jangan mimpi kamu! Heh Upik Abu, asal kamu tahu, semua asset yang dimiliki Mas Tito adalah milik orangtuaku! Dia itu hanya lelaki miskin yang disulap menjadi orang terpandang oleh Ayahku! Kamu itu hanya pembantu, tahu apa soal ini semua?” Puas, aku benar-benar puas mengatakan semua fakta ini.“Ibu jangan asal ngomong. Mas Tito sendiri yang bilang kalau dia kerja banting tulang buat beli rumah ini! Dan sebentar lagi, rumah ini akan jadi milik saya, itu kata Mas Tito! Mending Bu Fitri segera pergi dari sini sebelum saya benar-benar menelepon Mas Tito!”Aku dan Desi saling bersilang tatap mendengar penuturan Yuni, lalu kami terbahak bersama.“Hahaha! Ya Tuhan, kasian ya, pembantuku yang satu ini mampi banget buat jadi orang kaya! Gak pantes tahu gak?? Apalagi cara kamu mendapatkannya seperti ini, ck … ck … ck …. Ngaca deh Yun sebelum ngomong!”Yuni semakin terpojok mendengar penjelasanku, “Kalau emang ini rumah Mas Tito, coba tunjukkan sertifikat rumah ini! Kalau kamu bisa menunjukkannya saya dan teman saya ini siap pergi dari sini. Tapi … jika kamu gak punya satu buktipun tentang kepemilikan rumah ini, kamu dan wanita tua itu harus keluar dari rumah ini! Gimana, setuju??” Aku menantang Yuni. Sudah pasti dia tidak akan memilikinya.“Hmm … hmm … itu … itu …”“Kenapa ham … hem … ham … hem? Cepat, mana suratnya?”“Urusan surat-surat itu bukan bagian saya! Semuanya ada sama Mas Tito! Biar saya hubungi dia dan minta dia pulang sekarang!”“Heem, lakukan apapun! Jika tidak ada satu bukti pun, detik itu juga kamu harus pergi dari rumah ini!”Sepanjang kami menunggu kedatangan Mas Tito, mantan ART-ku itu terlihat gelisah. Bolak-balik dia membuka ponsel mengecek apakah Mas Tito menghubunginya. Gerak gerik itu membuatku dan Desi menahan tawa.“Tenang aja, Yuni! Kalau emang kamu berhak atas rumah ini, saya gak masalah! Dengan suka rela akan saya berikan untuk kamu, kan harta Ayah saya masih sangat banyak! Hilang satu, bukan masalah baginya!” Aku semakin memanas-manasinya.Yuni membuang muka saat mendengarku mengatakan hal barusan. Wanita kampungan seperti dia bisa apa? Sudah pasti dia sangat mengharapkan harta ini?“Jangan sombong, Bu Fitri! Manusia itu tidak selamanya di atas! Nanti ada kalanya ngerasain juga di bawah!” Yuni menceramahi.“Hahahaha! Contohnya, seperti kamu saat ini? Apa yang saya bilang kan benar. Apalagi, semua kekayaan yang dimiliki keluarga saya hasil kerja keras mereka, bukan hasil merebut apalagi menipu! Sangat beda jauh, Yuni!” timpalku gemas. Sok-sokan mau ceramahin aku, padahal dia aja rebut suami ora
“Mbak, dari mana aja? Saya cariin dari tadi?” Aku bertanya pada Mbak Yuni. Dia itu asisten rumah tangga kami. Aku melihat dia jalan tergesah-gesah saat masuk ke dalam rumah. Belum lagi, ini masih pagi-pagi buta.“Hmm, a … anu, Bu. Saya habis dari tukang sayur. Itu loh, stok sayuran habis,” jawab Mbak Yuni. Tapi ….“Mana belanjaanya? Kok gak bawa apa-apa?” tanyaku heran. Mukanya seperti bingung dan gelagatnya seperti sedang mencari alasan.“Eeee … itu Bu, eeee ….” Mbak Yuni celingukan sambil menggaruk kepalanya. Dia berkelit, terlihat sekali kalau dia sedang panik dan gugup. Sebenarnya apa sih yang dia sembunyikan?“Kok ae … ae … terus. Udahlah Mbak, tolong siapin sarapan! Mas Tito juga ke mana lagi, pagi-pagi udah ngilang? Apa dia gak berangkat kerja?” Aku segera berjalan meninggalkan Mbak Yuni yang tampak masih kebingungan. Aku bergegas menuju kamar anakku untuk membangunkannya.Saat aku tiba di depan kamar Asila, aku melihat Mas Tito keluar dari dapur sambil mengelap tangannya deng
Usai kepergian Mbok Yuni, aku segera menghubungi suamiku untuk mengadukan ulah pembantu sialan itu padanya. Namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaanku.“Iya Sayang, aku yang kasih izin Yuni untuk ke luar hari ini. Katanya dia mau bertemu dengan teman-temannya,” jawab Mas Tito setelah aku mengadukan Mbak Yuni.“Mas, kenapa dia hanya bilang sama kamu? Harusnya dia juga bilang sama aku! Yang mempekerjakan dia itu aku! Yang pilih dia juga aku! Aku gak suka sama sikap dia, Mas! Pembantu kurang ajar, gak punya sikap!” amukku di sambungan telepon. Aku benci sekali situasi ini.“Jangan gitu Sayang. Kamu itu gak boleh terlalu mengekang dia! Kita butuh jasa dia, loh,”“Kamu kira pembantu di dunia itu cuma dia? Banyak Mas! Aku bahkan bisa cari yang lebih baik dari pada dia! Aku gak mau tahu, pokoknya aku gak mau liat dia lagi di rumah ini! Hari ini juga aku akan pecat dia, Mas!”Aku segera mematikan sambungan telepon tanpa menunggu respon dari Mas Tito. Pikirku sama saja, Mas Tito lemah
Pagi hari, aku sudah berada di dapur sebelum Mbak Yuni. Setelah menyaksikan kejadian semalam, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. “Bu, tumben udah bangun. Saya baru mau masak,” tegur Mbak Yuni sesaat setelah berdiri di sampingku.Pisau yang aku gunakan untuk mengiris daging, rasanya ingin sekali aku pindahkan untuk mengiris urat nadi wanita sialan di sampingku ini.“Emang kenapa kalau saya bangun lebih awal? Ada yang salah? Ini kan rumah saya!” ucapku ketus tanpa mau melirik wanita siluman di sampingku. Aku merasa sangat jijik melihatnya.“Iya sih, Bu. Saya hanya tanya,” sahut Mbak Yuni.“Rapikan barang-barang kamu! Mulai hari ini, kamu saya pecat!” ucapku tanpa basa basi. Aku sudah muak melihat dia.“Hah? Kenapa, Bu? Saya buat kesalahan apa?” bingung Mbak Yuni mencoba memprotes. Dalam batinku, apa masih pantas dia bertanya apa kesalahannya?“Saya gak perlu alasan buat mecat kamu! Kapan aja saya bisa lakukan itu! Ingat, kamu itu cuma pembantu di sini!” sarkasku menatap tajam pad
Pagi ini, pekerjaanku lumayan banyak. Semenjak Yuni sudah tidak lagi bekerja untuk kami, aku mengambil alih semua tugas dia. Aku masih belum mau mencari pengganti Yuni. Entahlah, masih ada sedikit trauma dengan yang namanya pembantu. Aku memakai jasa wanita yang berumur saja banyak sekali tingkahnya, apalagi jika aku mempekerjakan wanita remaja. Ahh, tidak-tidak. Belum terjadi saja aku sudah bergidig ngeri membayangkannya.Usai pekerjaan rumahku selesai, aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku juga sudah membuat janji dengan sahabatku yang sudah mengetahui permasalahanku. Menurutnya, apa yang disampaikan Mas Tito tidak masuk akal. Kemungkinan besar, suamiku memang ada main dengan si jalang Yuni itu.Sejujurnya, aku juga merasakan apa yang temanku rasakan. Rasanya penjelasan Mas Tito terlalu sederhana. Dia berusaha berkelit, namun semua bukti sudah mengarah padanya. Terlebih, satu minggu yang lalu Mas Tito selama dua hari tidak pulang ke rumah. Alasannya dia ada kerjaan di luar kota. Tent