“Mbak, dari mana aja? Saya cariin dari tadi?” Aku bertanya pada Mbak Yuni. Dia itu asisten rumah tangga kami. Aku melihat dia jalan tergesah-gesah saat masuk ke dalam rumah. Belum lagi, ini masih pagi-pagi buta.
“Hmm, a … anu, Bu. Saya habis dari tukang sayur. Itu loh, stok sayuran habis,” jawab Mbak Yuni.Tapi ….“Mana belanjaanya? Kok gak bawa apa-apa?” tanyaku heran. Mukanya seperti bingung dan gelagatnya seperti sedang mencari alasan.“Eeee … itu Bu, eeee ….” Mbak Yuni celingukan sambil menggaruk kepalanya. Dia berkelit, terlihat sekali kalau dia sedang panik dan gugup. Sebenarnya apa sih yang dia sembunyikan?“Kok ae … ae … terus. Udahlah Mbak, tolong siapin sarapan! Mas Tito juga ke mana lagi, pagi-pagi udah ngilang? Apa dia gak berangkat kerja?” Aku segera berjalan meninggalkan Mbak Yuni yang tampak masih kebingungan. Aku bergegas menuju kamar anakku untuk membangunkannya.Saat aku tiba di depan kamar Asila, aku melihat Mas Tito keluar dari dapur sambil mengelap tangannya dengan tissue bergantian. Wajahnya penuh dengan peluh, terlihat juga dia seperti sedang mengatur napas.Aku memutuskan untuk menghampiri suamiku dulu, ingin bertanya dari mana dia pagi-pagi seperti ini.“Mas, dari mana kamu? Muka kamu keringetan banget? Capek ya? Habis ngapain sih?” tanyaku saat aku tiba di depannya. Seketika Mas Tito terkejut dan menghentikan langkahnya.“Astaga, Fitri! Kamu bikin kaget aja! Untung jantung Mas gak copot!” seloroh suamiku sambil mengelus dadanya.Ia melemparkan tissue di tangannya ke tempat sampah yang berjarak tidak jauh dari tempat kami berdiri, “Aku habis olahraga, Sayang. Akhir-akhir ini badan aku rasanya udah mulai berat, nih. Kayanya butuh digerakin sedikit,” jawab Mas Tito dengan santai. Ia elus rambutku, lalu menegcup keningku sebelum pergi menuju kamar kami.“Mas, kamu kerja gak?” Aku berteriak karena suamiku sudah tiba di depan kamar.“Kerja, Sayang! Aku mau mandi,” sahutnya sama berteriak.Aku menghembuskan napas lega, aku kira dia tadi habis dari mana. Jika dilihat, memang sih tubuh Mas Tito sudah sedikit berisi, tapi di mataku tetap aja dia itu tampan dan karismatik.Aku kembali meuju kamar Asila. Aku teringat dengan putriku yang belum aku bangunkan.***“Mbak, Tumben bajunya terbuka banget? Gak biasanya loh?” selidikku pada Yuni. Dadanya yang cukup besar hingga menyembul ke luar dan aku merasa jijik melihatnya.Aku merasa heran dengan tingkah Mbak Yuni pagi ini. Sejak tadi saat masak pun, dia terlihat happy sekali, bahkan tak jarang dia senyum-senyum sendiri sambil mengaduk sayur.“Kenapa sih, Sayang. Mungkin Mbak Yuni lagi pengen tampil beda. Apa salahnya sih?” tukas suamiku yang malah terlihat santai saja sambil menikmati sarapannya.Aku segera meraih gelas yang dibawa Yuni sebelum ia menghidangkannya untuk Mas Tito, “Bukan gitu, Mas. Tapi di rumah ini ada Asila, gak pantes anak sekecil ini melihat pemandangan yang kurang sopan! Aku aja gak pernah pake baju terbuka di depan dia,” sahutku sambil meletakkan gelas tadi tepat di samping piring suamiku. Setelahnya aku duduk di sebelah Mas Tito dan merapikan rambutnya sedikit.“Ya udahlah, mungkin hari ini aja. Mbak, besok bajunya lebih tertutup sedikit, ya? Sepertinya ada yang cemburu,” seloroh suamiku sambil mengedipkan sebelah mata padaku.‘Amit-amit aku cemburu sama Tante-tante!’ gerutuku dalam hati. Yang bener aja Mas Tito, bukan masalah cemburunya, tapi emang gak enak aja dilihat. Walaupun tubuh Yuni masih terlihat berisi, tapi tetap saja aku tidak mungkin merasa cemburu sama dia.Mbak Yuni usianya sekitar empat puluh tahunan. Dia sudah ikut bekerja dengan kami sekitar satu tahun. Dia itu seorang Janda satu anak. Suaminya meninggalkan dia saat Yuni masih mengandung anaknya.“Makasih, ya Mbak. Boleh ke belakang lagi!” titahku dengan sedikit ketus. Aku tidak ingin dia berlama-lama memamerkan tubuhnya di depan anak dan suamiku.***Setelah suami dan anakku pergi, aku duduk di depan TV sambil menyandarkan punggungku pada sofa. Menikmati kue yang aku pesan dari aplikasi ojek online tadi pagi.Aku mendengar suara langkah kaki di belakangku, seketika aku menoleh dan ternyata ada Mbak Yuni yang sudah berpenampilan rapi. Dandanan yang menor serta lengkap dengan flat shoes yang dikenakannya. Aku terheran-heran, kapan dia membeli semua barang-barang itu? Lagi pula, dia itu jarang sekali bahkan hampir tidak pernah pergi ke luar sendiri untuk membeli keperluannya. Biasanya, aku yang akan mengajaknya saat sekalian belanja bulanan di Mall.“Mbak, mau ke mana udah rapi gitu? Mau pergi kok gak bilang saya dulu?” selidikku dan segera berdiri menghampirinya. Aku memindai penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Mau bertemu teman lama, Bu. Semalam saya sudah minta izin sama Bapak, dan beliau mengizinkan,” sahut Mbak Yuni.Aku terperangah. Kenapa juga harus izin sama Mas Tito, harusnya kan bilang sama aku.“Kenapa izinnya hanya sama Mas Tito? Harusnya kan sama saya juga! Yang mempekerjakan kamu di sini itu saya, bukan Mas Tito!” cecarku kesal. Baru kali ini pembantuku membuat emosi.“Bukannya sama aja, Bu? Yang gaji saya kan Pak Tito, bukan Bu Fitri!” sahut Mbak Yuni dengan lancangnya. Mendengar itu, mataku refleks membuka lebar.“Maksudnya apa? Lancang banget kamu Mbak ngomong kaya gitu? Gak sopan! Itu bukan ranah kamu! Meskipun usia kamu jauh diatas saya, tapi saya ini majikan kamu, setidaknya kamu harus jaga sikap dan ucapan di depan saya!” protesku geram. Aku menunjuk wajahnya karena sangat kesal pada Mbak Yuni.“Kamu gak boleh ke mana-mana hari ini! Saya ada kerjaan buat kamu!” Putusku akhirnya. Enak saja dia mau pergi ke luar setelah selancang itu padaku.“Maaf, Bu Fitri! Gak bisa, saya sudah ada janji dengan teman-teman saya! Kalau Ibu tetap melarang saya ke luar, saya akan telepon Pak Tito untuk mengadukan Ibu!” ancamnya padaku.Aku tersentak, heran sekali pada pembantu yang satu ini. dia pikir, dia itu siapa?“Waduh … kamu kira, siapa kamu itu? kamu cuma pembantu! Bukan Nyonya besar! Aduin aja kalau berani! Paling Mas Tito juga bakal tetap melarang kamu ke luar!” tantangku padanya.“Saya gak ada waktu buat debat, Bu. Maaf, saya sudah harus pergi!”Mbak Yuni langsung pergi begitu saja bahkan setelah aku melarangnya. Aku menggelengkan kepala heran melihat dia dengan entengnya melenggangkan kaki dengan santai.“Kurang ajar banget sih! Pembantu sialan! Aku harus telepon Mas Tito! Aku mau dia dipecat! Gak punya sopan santun!” Aku segera meraih ponsel yang terletak di atas sofa. Menekan kontak dan langsung menghubungi Mas Tito.Usai kepergian Mbok Yuni, aku segera menghubungi suamiku untuk mengadukan ulah pembantu sialan itu padanya. Namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaanku.“Iya Sayang, aku yang kasih izin Yuni untuk ke luar hari ini. Katanya dia mau bertemu dengan teman-temannya,” jawab Mas Tito setelah aku mengadukan Mbak Yuni.“Mas, kenapa dia hanya bilang sama kamu? Harusnya dia juga bilang sama aku! Yang mempekerjakan dia itu aku! Yang pilih dia juga aku! Aku gak suka sama sikap dia, Mas! Pembantu kurang ajar, gak punya sikap!” amukku di sambungan telepon. Aku benci sekali situasi ini.“Jangan gitu Sayang. Kamu itu gak boleh terlalu mengekang dia! Kita butuh jasa dia, loh,”“Kamu kira pembantu di dunia itu cuma dia? Banyak Mas! Aku bahkan bisa cari yang lebih baik dari pada dia! Aku gak mau tahu, pokoknya aku gak mau liat dia lagi di rumah ini! Hari ini juga aku akan pecat dia, Mas!”Aku segera mematikan sambungan telepon tanpa menunggu respon dari Mas Tito. Pikirku sama saja, Mas Tito lemah
Pagi hari, aku sudah berada di dapur sebelum Mbak Yuni. Setelah menyaksikan kejadian semalam, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. “Bu, tumben udah bangun. Saya baru mau masak,” tegur Mbak Yuni sesaat setelah berdiri di sampingku.Pisau yang aku gunakan untuk mengiris daging, rasanya ingin sekali aku pindahkan untuk mengiris urat nadi wanita sialan di sampingku ini.“Emang kenapa kalau saya bangun lebih awal? Ada yang salah? Ini kan rumah saya!” ucapku ketus tanpa mau melirik wanita siluman di sampingku. Aku merasa sangat jijik melihatnya.“Iya sih, Bu. Saya hanya tanya,” sahut Mbak Yuni.“Rapikan barang-barang kamu! Mulai hari ini, kamu saya pecat!” ucapku tanpa basa basi. Aku sudah muak melihat dia.“Hah? Kenapa, Bu? Saya buat kesalahan apa?” bingung Mbak Yuni mencoba memprotes. Dalam batinku, apa masih pantas dia bertanya apa kesalahannya?“Saya gak perlu alasan buat mecat kamu! Kapan aja saya bisa lakukan itu! Ingat, kamu itu cuma pembantu di sini!” sarkasku menatap tajam pad
Pagi ini, pekerjaanku lumayan banyak. Semenjak Yuni sudah tidak lagi bekerja untuk kami, aku mengambil alih semua tugas dia. Aku masih belum mau mencari pengganti Yuni. Entahlah, masih ada sedikit trauma dengan yang namanya pembantu. Aku memakai jasa wanita yang berumur saja banyak sekali tingkahnya, apalagi jika aku mempekerjakan wanita remaja. Ahh, tidak-tidak. Belum terjadi saja aku sudah bergidig ngeri membayangkannya.Usai pekerjaan rumahku selesai, aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku juga sudah membuat janji dengan sahabatku yang sudah mengetahui permasalahanku. Menurutnya, apa yang disampaikan Mas Tito tidak masuk akal. Kemungkinan besar, suamiku memang ada main dengan si jalang Yuni itu.Sejujurnya, aku juga merasakan apa yang temanku rasakan. Rasanya penjelasan Mas Tito terlalu sederhana. Dia berusaha berkelit, namun semua bukti sudah mengarah padanya. Terlebih, satu minggu yang lalu Mas Tito selama dua hari tidak pulang ke rumah. Alasannya dia ada kerjaan di luar kota. Tent
Keesokan harinya, aku dan Desi sudah berada di perjalanan. Sepanjang jalan, mulutku tak habis memaki dan mengutuk mereka berdua. Desi membiarkan saja, dia paham betul perasaanku saat ini. Perjalanan yang tidak terlalu jauh terasa begitu lama, apalagi jalan yang kami lewati cukup padat, mengingat ini adalah jam sibuk jadi banyak sekali pengguna jalan yang akan menuju tempat bekerjanya.Setelah melaui berbagai drama di jalan, akhirnya mobil yang dikendarai Desi tiba di depan gerbang mewah milik Ayahku. Aku sengaja meminta Desi untuk memakai mobilnya hari ini untuk menghindari kecurigaan. Semalam, Mas Tito pulang ke rumah, namun tak lama dia pergi lagi dengan alasan mau mengambil mobil di bengkel. Tapi, hingga pagi menyongsong lelaki hidung belang itu tak juga pulang. Masa bodo dengan dia, yang penting aku saat ini sedang fokus ingin menyingkirkan Yuni.Kami memantau lebih dulu dari sebrang jalan, sengaja ingin melihat gerak gerik apa yang dilakukan mereka di dalam. Mata kami berdua teru
Sepanjang kami menunggu kedatangan Mas Tito, mantan ART-ku itu terlihat gelisah. Bolak-balik dia membuka ponsel mengecek apakah Mas Tito menghubunginya. Gerak gerik itu membuatku dan Desi menahan tawa.“Tenang aja, Yuni! Kalau emang kamu berhak atas rumah ini, saya gak masalah! Dengan suka rela akan saya berikan untuk kamu, kan harta Ayah saya masih sangat banyak! Hilang satu, bukan masalah baginya!” Aku semakin memanas-manasinya.Yuni membuang muka saat mendengarku mengatakan hal barusan. Wanita kampungan seperti dia bisa apa? Sudah pasti dia sangat mengharapkan harta ini?“Jangan sombong, Bu Fitri! Manusia itu tidak selamanya di atas! Nanti ada kalanya ngerasain juga di bawah!” Yuni menceramahi.“Hahahaha! Contohnya, seperti kamu saat ini? Apa yang saya bilang kan benar. Apalagi, semua kekayaan yang dimiliki keluarga saya hasil kerja keras mereka, bukan hasil merebut apalagi menipu! Sangat beda jauh, Yuni!” timpalku gemas. Sok-sokan mau ceramahin aku, padahal dia aja rebut suami ora