Hampir saja Mas Suma tidak mau pulang. Dia justru ingin tidur di aparteman Amelia.“Ran. Kalau kita pulang terus anak itu balik lagi ke sini, bagaimana? Kamu mau jadi nenek secepatnya?”Aku dan Mas Suma sudah ada di dalam kamar depan, sedangkan Amelia merapikan bekas minuman dan toples-toples kue. Wajah suamiku ini terlihat kawatir. Kevin memang anak temannya, tetapi itu tidak menjamin kalau dia lelaki yang bisa dipercaya.Mataku menatap Mas Suma, dan kedua tangan ini menangkup lengannya. Kekawatirannya memang beralasan. Akan tetapi kalau itu dibiarkan bersarang dan menimbulkan pemikiran negatif, bukankah itu tidak tepat.“Mas Suma. Justru sekarang ini saatnya kita memastikan bahwa Amelia anak yang bisa dipercaya. Bukankah kita sudah tidak kurang-kurang memberikan nasehat dan pelajaran kepadanya?”“Aku tahu, Ran. Tetapi kalau sudah namanya cinta dan ada kesempatan, terus setan lewat. Habis sudah! Nasehat tidak akan tersisa di kepala” ucap Mas Suma sambil menggelengkan kepala.“Coba ka
“Ran! Lihat ini?” Mas Suma muncul di hadapanku. Wajahnya menunjukkan senyuman lebar, dengan kedua tangan menunjukkan tas kresek bawaannya. Pasti itu bubur ayam, buat sogokan karena membuatku kesal.“Papi!” seru Denish yang sedang bermain lego denganku. Dia meletakkan hasil rakitannya, kemudian berlari dengan merentangkan kedua tangan kecilnya.Aku mengambil bawaannya, dan membiarkan Denish melompat ke gendongan Mas Suma. Seperti tidak mau kalah, Anind pun mendekat mengikuti kakaknya.“Anak-anak Papi pasti kangen, ya,” serunya, kemudian menggendong keduanya. Mengikuti aku yang ke dapur membawa bawaannya tadi.Empat porsi bubur ayam spesial.“Kok empat?”“Iya. Aku mau makan lagi. Yang dua, untuk Denish dan Anind,” jawab Mas Suma. Dan, Mbak Tias dan Mbak Dwi, dengan sigap ikut menyiapkan makanan untuk kedua balitaku ini.“Denish, Anind. Ikut Mbaknya, ya. Setelah itu siap-siap sekolah. Siapa yang mau sekolah?”“Atu!” seru Denish dan Anind.Mas Suma tertawa, kemudian mengajukan pertanyaan
Berkali-kali aku tersenyum sendiri. Ingin menghentikannya, tetapi saat kejadian tadi pagi terlitas, bibir ini membentuk lengkungan dengan sendirinya. Tadi, kami bergegas merapikan diri. Puncak yang hampir tercapai, terpaksa disudahi.Kebiasaan Denish dan Anind, kalau akan berangkat sekolah aku tekankan untuk pamit. Nah, saat ini justru menjadi bumerang bagi kami. Denish dan Anind tidak akan berhenti mengetuk pintu sebelum aku keluar kamar. Terlebih kalau dia tahu mama dan papinya di rumah. "Ma-maaf, Bu Rani, Tuan. Adek tidak mau berangkat kalau belum salim," ucap Mbak Tias dengan tergagap. Matanya terlihat kaget, kemudian menunduk. Sibuk merapikan tas bawaan mereka. "Eis dan adek belangkat sekolah, Mam, Pappi," ucap Denish diikuti adiknya, kemudian cium tangan. "Belajar yang rajin, ya.""Ciap, Pappi!" sahut mereka cepat. Wajah suamiku yang tadinya penuh senyuman, kembali datar setelah membalas lambaian tangan kedua balitaku itu. Pintu kamar tertutup kembali. Langkah Mas Suma t
Seribu kali hatiku mengatakan tidak cemburu apalagi curiga, seribu satu kali juga menyeruak bermacam prasangka yang menyangkal. Logika seakan ditumpulkan dengan emosi liar. Kalimat yang berawalan 'jangan-jangan', mulai berhamburan. Huuft! Aku harus berusaha menguasai diri. [Aku akan ke apartemen Amelia. Aku minta kamu datang. Ada yang harus dibicarakan] Pesan Dewi seperti slide show di kepala yang bergerak berlahan dan tak berhenti-henti. Mengikis rasa percaya dan asumsi semakin bergulir liar. Untuk apa mereka yang berstatus mantan janjian untuk ketemuan? Pantas saja Dewi tidak protes saat Amelia tinggal di apartemen. Bukankah dia biasanya paling terdepan menolak kalau anak gadisnya keluar dari rumah ini?"Aku akan mengawasimu. Jangan sampai Amelia kehilangan hak atas harta Kusuma." Ucapan ancaman yang terlontar darinya saat Amelia ingin sekolah di ibu kota. Sekarang tidak terdengar sikap keberatan. 'Apa ini karena apartemen Amelia menjadi tempat teraman pertemuan Dewi dengan s
Kepala ini semakin pusing. Semua berjubel dan berkecamuk seakan mencari pembenaran. Ingin mengalihkan pikiran, tetapi dengan siapa? Denish dan Anind masih belum pulang. Apalagi tadi mereka ada rencana langsung bermain di mall. Masak? Kegiatan yang biasanya membuatku relax. Namun memasak makanan untuk siapa? Amelia tidak ada, dan Mas Suma pun nanti pulang telat. Stok cokies pun masih banyak. Aku mondar-mandir, sekaligus ingin mengurai kecurigaan yang makin bersarang di hati ini. Sampai sekarang, tidak ada pembicaraan dari Mas Suma tentang pertemuannya dengan Dewi. Fixed! Mas Suma merahasiakan ini dariku. Lebih baik aku mencari kesibukan, sebelum semakin tenggelam dengan pikiranku ini. Dan sekarang aku di sini, di salon milik Claudia. "Bu Rani. Tumben ke sini tidak reservasi dulu?" seru wanita cantik dengan tubuh yang hampir sempurna. Wajarlah dia pemilik salon sekaligus butik yang mengutamakan kecantikan. Aku tersenyum dan mengikutinya saat dipersilakan ke ruang tunggu VIP.
Kalau ada orang yang dibutakan oleh amarah, lebih baik diabaikan. Karena apapun yang kita ucapkan akan dinilai salah. Isi kepalanya sudah dipenuhi prasangka buruk. Aku teringat wejangan yang Bapak sampaikan. Saat itu, aku masih remaja dan berkeluh kesah karena ada teman yang selalu berbuat masalah denganku."Mau digimanakan lagi, Nduk. Wong dia melihat dengan menggunakan kaca mata yang kotor. Seberapa cerah wajah kita, ya akan terlihat kusam. Iyo, to?" ucap Bapak. "Tapi kan mengganggu, Pak.""Gunanya kita punya dua tangan itu apa? Untuk menutup telinga kita yang ada dua ini. Abaikan saja. Anggap saja tidak penting."Itu teorinya. Kenyataannya, mengabaikan itu tidak mudah. Jejeran kata-kata itu pun terlihat nyata di kepala ini. Bagaimana bisa melakukan hal itu?Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya tidak membalas pesan Dewi. Terserah dia akan bertambah marah atau tidak. Kalau aku balas, justru aku takut tidak bisa mengendalikan diri. Aku mendesah dengan mengembungkan mulut, kemudian
Cari penyakit. Itu menurutku kalau menyambut permintaan Dewi untuk bertemu di apartemennya Amelia.Kalau dia ingin bertemu dengan anaknya, kenapa harus mengundang saya juga? Untuk apa? [Aku akan ke apartemen Amelia. Aku minta kamu datang. Ada yang harus dibicarakan] Pesan dari Dewi di ponselku tadi bagi. Dalam keadaan pesan bertanda sudah terbaca. Aku pastikan Maharani yang membacanya saat tadi memegang ponselku karena pesan Desi sekretaris.Kalau seperti ini, urusannya jadi lebih panjang. [Saya harus minta izin ke Maharani istriku] Pesan yang aku kirim untuknya. Aman. Belum sempat aku bernapas, ponsel menyala lagi tanda pesan masuk. [Kalau kamu tidak mengatakan ini ke Maharani, kenapa harus minta izin?]Huuft! Awal hari yang mengesalkan. Untung saja aku tidak terjebak seumur hidup dengan wanita semacam ini. "Wanita macam apa yang sudah mempunyai suami tetapi menemui mantan." Ucapan Mami yang sebelumnya aku abaikan. Kalau Dewi begitu memaksa, pemikiranku akan jadi sama dengan
Kalau wanita itu makhluk yang complicated, Maharani di atasnya itu. Dia ini wanita yang aneh. Istri yang menyuruh suaminya untuk menemui mantan istrinya. Maksa lagi. Aneh, kan?"Ran. Kamu ikut, ya?" Aku bertanya sekali lagi setelah mobil sudah mendekati rumah. Bukan menjawab, dia justru mendengus kesal dengan mata melotot. "Aish...!""Iya-iya." Kalau sudah begini, perintahnya tidak bisa diganggu gugat. Terpaksa kemudi aku belokkan ke rumah. Pak Satpam Soleh membukakan pintu, sambil membungkuk hormat. Kebiasaan yang tidak bisa aku hilangkan darinya. "Di sini saja. Mas Suma tidak usah turun. Nanti alasan ini dan itu lagi. Sat-set-sat-set gitu, lo. Biar cepet selesai semuanya," ucapnya mencegah tanganku yang akan membuka sabuk pengaman. 'Tahu saja tipu muslihatku,' gumanku dalam hati dengan mencembik. "Cepet pulang. Aku masakkan untuk makan malam," ucapnya sambil menutup pintu, dengan nada datar.Senyumanku mengembang. Memang dia menyuruh, tetapi ini dengan catatan. Bukankah ini
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan