Cari penyakit. Itu menurutku kalau menyambut permintaan Dewi untuk bertemu di apartemennya Amelia.Kalau dia ingin bertemu dengan anaknya, kenapa harus mengundang saya juga? Untuk apa? [Aku akan ke apartemen Amelia. Aku minta kamu datang. Ada yang harus dibicarakan] Pesan dari Dewi di ponselku tadi bagi. Dalam keadaan pesan bertanda sudah terbaca. Aku pastikan Maharani yang membacanya saat tadi memegang ponselku karena pesan Desi sekretaris.Kalau seperti ini, urusannya jadi lebih panjang. [Saya harus minta izin ke Maharani istriku] Pesan yang aku kirim untuknya. Aman. Belum sempat aku bernapas, ponsel menyala lagi tanda pesan masuk. [Kalau kamu tidak mengatakan ini ke Maharani, kenapa harus minta izin?]Huuft! Awal hari yang mengesalkan. Untung saja aku tidak terjebak seumur hidup dengan wanita semacam ini. "Wanita macam apa yang sudah mempunyai suami tetapi menemui mantan." Ucapan Mami yang sebelumnya aku abaikan. Kalau Dewi begitu memaksa, pemikiranku akan jadi sama dengan
Kalau wanita itu makhluk yang complicated, Maharani di atasnya itu. Dia ini wanita yang aneh. Istri yang menyuruh suaminya untuk menemui mantan istrinya. Maksa lagi. Aneh, kan?"Ran. Kamu ikut, ya?" Aku bertanya sekali lagi setelah mobil sudah mendekati rumah. Bukan menjawab, dia justru mendengus kesal dengan mata melotot. "Aish...!""Iya-iya." Kalau sudah begini, perintahnya tidak bisa diganggu gugat. Terpaksa kemudi aku belokkan ke rumah. Pak Satpam Soleh membukakan pintu, sambil membungkuk hormat. Kebiasaan yang tidak bisa aku hilangkan darinya. "Di sini saja. Mas Suma tidak usah turun. Nanti alasan ini dan itu lagi. Sat-set-sat-set gitu, lo. Biar cepet selesai semuanya," ucapnya mencegah tanganku yang akan membuka sabuk pengaman. 'Tahu saja tipu muslihatku,' gumanku dalam hati dengan mencembik. "Cepet pulang. Aku masakkan untuk makan malam," ucapnya sambil menutup pintu, dengan nada datar.Senyumanku mengembang. Memang dia menyuruh, tetapi ini dengan catatan. Bukankah ini
Bertemu client dari berbagai negara aku bisa. Bernegosiasi dengan siapapun yang memiliki karakter yang berbeda pun aku mampu. Namun, untuk yang satu ini aku menyerah. Menghadapi wanita. Gerakan tangan ini yang akan membuka amplop yang dia berikan terhenti. Aku memilih diam setelah menyodorkan tisu.Bagaimana bisa belum ada yang dipersoalkan, tetapi sudah bereaksi? Ini kan membuatku bertambah bingung. "Kenapa kamu belum baca isi amplop itu?" Dewi bertanya sambil menyeka air matanya. "Bagaimana aku baca. Kamu nangis terus. Sebenarnya ada apa?" Aku mulai gusar. Terdengar Dewi menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan kegelisahan. "Patrick tidak bisa dihubungi dengan bebas. Katanya, pekerjaan di sana sangat adat, sedangkan lokasi tidak terjangkau sinyal.""Tapi kamu tetap mendapatkan bulanan dari dia?" tanyaku memastikan. Patrick, suami Dewi memang masuk penjara. Dan ini dirahasiakan dari keluarganya, terutama Dewi dan anak mereka. Sedangkan perusahaan mereka, walaupun aku akuis
Apa yang ditangkap oleh mata, belum tentu itu kejadiannya yang sebenarnya. Sudah aku jelaskan kepada Amelia, tapi wajah yang menyunggingkan senyuman menunjukkan apa isi kepalanya. Jelas-jelas dia tidak percaya. Tidak bisa disalahkan juga, sih. Di tempat parkir, berduaan di dalam mobil. Berpelukan lagi. Lampu dalam mobil yang tidak begitu terang, memperlihatkan pose yang lebih dramatis. "Mami cuma mengucapkan terima kasih kepada Papi. Tidak lebih," tambah Dewi mendukung ucapanku."Iya, betul. Tuh dengar kata Mamimu.""Iya-iya. Amelia percaya, kok," jawabnya kemudian menatap kami bergantian dan mengerutkan dahi. "Tapi, kenapa kalian harus menjelaskan kepada Amelia?" tambahnya kemudian berlari meninggalkan aku dan Dewi. "Maaf, ya. Bikin Amelia salah paham. Malam ini aku kan tidur di sini. Nanti aku jelaskan kepadanya.""Bukannya ini dirahasiakan dari Amelia?"Dewi tersenyum. "Bukan tentang sakitku. Aku hanya akan menjelaskan kalau aku mengucapkan terima kasih karena sudah membesarkan
Aku tercekat, menatapnya dengan percaya, tidak percaya. Bingung. "Mas Suma? Kok ada di sini?" tanyaku dengan kesadaran belum pulih benar. Baru saja aku mendengar musibah yang menimpanya, sekarang dia berdiri dengan senyum yang mengembang. Serta merta, aku bergegas mengitari sofa penghalang kami. Menghambur ke dalam pelukannya dan menuntaskan tangisan yang terjeda tadi. "Rani. Aku tinggal sebentar saja kok kamu sampai menangis seperti ini, ya? Ayok, kita duduk saja. Aku pegal," ucapnya sambil menyerahkan bawaannya. Dia membimbingku dan kamipun duduk berdampingan. Dengan cekatan, Mas Suma mengeluarkan kotak pipih dan membukanya. Aroma martabak menguar menggoda. Martabak langganan dan kesukaanku. "Maaf, ya. Aku tadi antrinya tidak panjang lagi, tapi puanjaang!" Dia mengambil garpu, kemudian menancapkan ke sepotong martabak tebal dan menyerahkan kepadaku. "Ini kesukaanmu, kan. Sudah jangan menangis. Aku tadi cuma berbincang sebentar dengan Amelia dan Dewi. Lamanya ya di tempat mar
"Sudah lega?" "Hu-um." Aku mengangguk dengan tersenyum dan mengerjapkan mata, berusaha mengusir rasa kantuk yang sudah di ambang. Tangan ini diraih, dia menarikku menuju tempat parkir. Semua urusan sudah selesai. Sesekali aku melirik lelakiku yang sesekali menggeratkan genggaman.'Hmm ... aku sangat bangga memilikinya. Pandangan di luar gedung ini terlihat lengang. Hanya tukang sapu yang memulai aktifitas. Suara gerakan sapu lidi mengiringi semburat sinar matahari yang akan menunjukkan kekuasaannya. Malam sudah usai, dan sekarang sudah menjelang pagi. "Awas kepalamu," ucap Mas Suma dengan tangan kiri membukakan pintu, dan tangan kanan menekan kepalaku. Kebiasaan yang sering dia lakukan, tetapi tetap menimbulkan geleyar indah di hati. "Mas Suma yakin mengemudi sendiri? Tidak ngantuk?" "Tidak. Kan ada kamu yang jadi navigatornya," sahutnya sambil melempar senyuman. Pelan, mobil mulai berjalan. Namun tiba-tiba dihentikan. Dia melongokkan kepala ke depan,dan memutar pandangan. "A
"Ran. Aku ngantuk," ucapnya setelah mulutnya menguap. Kedua tangan diregangkan ke atas, kemudian ke samping kanan dan kiri. Dia pasti tidak hanya ngantuk, tetapi pegal juga. Kami belum mendapat kesempatan tidur."Minum ini dulu supaya segar." Aku menyodorkan minuman jahe panas. Minuman dengan jahe segar yang dimemarkan, diseduh dengan air panas, dengan pemanis madu. Ini tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menambah tenaga. Dulu, Ibuk selalu menyiapkan untuk Bapak saat beliau lembur pekerjaan. Aku masih ingat saat Ibuk menuangkan minuman yang masih panas ke piring kecil, mengipas untuk mengurai uap panas. "Ini sudah hangat." Aku menyodorkan piring kecil berisi minuman, meniru yang diperlakukan Ibu dulu. "Terima kasih, Rani. My lovely wife ini memang is the best." Ungkapan yang terdengar gombalan, tetapi membuat hati ini menghangat. Mas Suma yang awalnya duduk tegak di sofa, tubuhnya mulai merosot. Bersandar beberapa saat, kemudian merebahkan diri dengan kepala di pegangan sofa.
Setuju. Akhirnya aku menyetujuinya, tidak hanya dengan keiklasan, akan tetapi juga dengan rasa bangga. Sangat jarang seorang mantan suami bertanggung jawab kepada keluarga mantan istri. Di luaran sana, siapa yang mau seperti Mas Suma? Kok mantan istri, anak sendiri saja sering diterlantarkan kalau mereka sudah berpisah. "Kita harus rahasiakan ini. Ingat, tujuan kita demi kebahagiaan Amelia, kan?" "Betul itu, Mas. Kalau begitu, jangan sampai berkas ini diketahui olehnya. Kamu harus menyimpannya. Kalau perlu dimusnahkan saja.""Pasti. Ini akan diurus oleh Desi. Dia pandai kalau melakukan hal ini. Kamu tidak usah khawatir, Amelia juga jarang berhubungan dengan Desi."Mas Suma terlihat merasa lega. Dia menatapku sejenak, sebelum menarik tubuh ini ke dalam pelukan. "Terima kasih, Rani. Aku sangat beruntung memilikimu," bisiknya sambil membubuhkan ciuman di kening ini. Mengusap lembut punggungku, dan semakin menenggelamkan aku ke dalam pelukannya. Merasa disayangi suami. Menghargai dan
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan