Yang menjadi beban pikiran orang tua selain kesehatan dan pendidikan anak-anak, itu asmara. Terdengar sepele, akan tetapi bisa memporak-porandakan semua yang sudah dipersiapkan sedari mereka kecil.Tidak jarang seseorang rela menghentikan cita-cita demi untuk bersama orang yang dicintai. Tidak meneruskan sekolah, dan menggantungkan hidupnya kepada orang yang belum tentu ada jaminan akan selalu bersamanya. Bahkan, ada yang tega melepas keluarga, demi berkorban untuk asmara.“Amelia tidak seperti itu, Ma. Itu sama saja bunuh diri. Seperti orang naik tebing, melepaskan pegangan tanpa ada pengaman. Dan akhirnya …. Beuum!” ucap Amelia sambil memperagakan tangan yang menukik, kemudian mengelepar.Mas Suma sudah tidak bergabung dengan kami. Dia harus pergi setelah Desi sekretaris menelpon untuk sekian kali. Karennya, percakapan kami mengalir lebih santai.“Kak Amel bilang seperti itu karena belum kesandung cinta. Coba kalau sudah. Apakah masih mau mendengarkan ucapan Papi dan Mama?”Mata A
“Beneran, Pi. Amelia tidak janjian dengan dia! Itu saja ini baru pertama dia kesini sendirian.” Nada suara Amelia ditekankan. Dia tetap bersikukuh kalau tidak mengundang teman laki-laki yang sekarang di ruang tamu.Apartemen ini seperti rumah kecil. Inipun terdapat dua kamar tidur. Kata Mas Suma, bisa dipakai dia atau aku kalau ingin menginap menemani Amelia. Lengkap dengan dapur, ruang tengah, dan ruang tamu.Aku yang sedang menyiapkan minuman, menepuk lengan Mas Suma dan mengarahkan dagu ke depan. Kekawatirannya pasti sama dengan apa yang aku rasakan. Amelia sendirian di apartemen, dan didatangi laki-laki yang memesona seperti itu. Pemikiranku dengan liar mulai bergulir, apalagi zaman sekarang prilaku anak remaja tidak bisa ditebak.Namun, kalau dibiarkan mereka bertitegang, bisa jadi mereka berselisih paham lagi. Malu.“Ya, sudah. Papi ke depan saja. Tanya langsung ke dia.” Mas Suma menyudahi pembicaraan dan menggeloyor ke depan.“Silakan kalau tidak percaya Amel,” jawab Amelia den
Hampir saja Mas Suma tidak mau pulang. Dia justru ingin tidur di aparteman Amelia.“Ran. Kalau kita pulang terus anak itu balik lagi ke sini, bagaimana? Kamu mau jadi nenek secepatnya?”Aku dan Mas Suma sudah ada di dalam kamar depan, sedangkan Amelia merapikan bekas minuman dan toples-toples kue. Wajah suamiku ini terlihat kawatir. Kevin memang anak temannya, tetapi itu tidak menjamin kalau dia lelaki yang bisa dipercaya.Mataku menatap Mas Suma, dan kedua tangan ini menangkup lengannya. Kekawatirannya memang beralasan. Akan tetapi kalau itu dibiarkan bersarang dan menimbulkan pemikiran negatif, bukankah itu tidak tepat.“Mas Suma. Justru sekarang ini saatnya kita memastikan bahwa Amelia anak yang bisa dipercaya. Bukankah kita sudah tidak kurang-kurang memberikan nasehat dan pelajaran kepadanya?”“Aku tahu, Ran. Tetapi kalau sudah namanya cinta dan ada kesempatan, terus setan lewat. Habis sudah! Nasehat tidak akan tersisa di kepala” ucap Mas Suma sambil menggelengkan kepala.“Coba ka
“Ran! Lihat ini?” Mas Suma muncul di hadapanku. Wajahnya menunjukkan senyuman lebar, dengan kedua tangan menunjukkan tas kresek bawaannya. Pasti itu bubur ayam, buat sogokan karena membuatku kesal.“Papi!” seru Denish yang sedang bermain lego denganku. Dia meletakkan hasil rakitannya, kemudian berlari dengan merentangkan kedua tangan kecilnya.Aku mengambil bawaannya, dan membiarkan Denish melompat ke gendongan Mas Suma. Seperti tidak mau kalah, Anind pun mendekat mengikuti kakaknya.“Anak-anak Papi pasti kangen, ya,” serunya, kemudian menggendong keduanya. Mengikuti aku yang ke dapur membawa bawaannya tadi.Empat porsi bubur ayam spesial.“Kok empat?”“Iya. Aku mau makan lagi. Yang dua, untuk Denish dan Anind,” jawab Mas Suma. Dan, Mbak Tias dan Mbak Dwi, dengan sigap ikut menyiapkan makanan untuk kedua balitaku ini.“Denish, Anind. Ikut Mbaknya, ya. Setelah itu siap-siap sekolah. Siapa yang mau sekolah?”“Atu!” seru Denish dan Anind.Mas Suma tertawa, kemudian mengajukan pertanyaan
Berkali-kali aku tersenyum sendiri. Ingin menghentikannya, tetapi saat kejadian tadi pagi terlitas, bibir ini membentuk lengkungan dengan sendirinya. Tadi, kami bergegas merapikan diri. Puncak yang hampir tercapai, terpaksa disudahi.Kebiasaan Denish dan Anind, kalau akan berangkat sekolah aku tekankan untuk pamit. Nah, saat ini justru menjadi bumerang bagi kami. Denish dan Anind tidak akan berhenti mengetuk pintu sebelum aku keluar kamar. Terlebih kalau dia tahu mama dan papinya di rumah. "Ma-maaf, Bu Rani, Tuan. Adek tidak mau berangkat kalau belum salim," ucap Mbak Tias dengan tergagap. Matanya terlihat kaget, kemudian menunduk. Sibuk merapikan tas bawaan mereka. "Eis dan adek belangkat sekolah, Mam, Pappi," ucap Denish diikuti adiknya, kemudian cium tangan. "Belajar yang rajin, ya.""Ciap, Pappi!" sahut mereka cepat. Wajah suamiku yang tadinya penuh senyuman, kembali datar setelah membalas lambaian tangan kedua balitaku itu. Pintu kamar tertutup kembali. Langkah Mas Suma t
Seribu kali hatiku mengatakan tidak cemburu apalagi curiga, seribu satu kali juga menyeruak bermacam prasangka yang menyangkal. Logika seakan ditumpulkan dengan emosi liar. Kalimat yang berawalan 'jangan-jangan', mulai berhamburan. Huuft! Aku harus berusaha menguasai diri. [Aku akan ke apartemen Amelia. Aku minta kamu datang. Ada yang harus dibicarakan] Pesan Dewi seperti slide show di kepala yang bergerak berlahan dan tak berhenti-henti. Mengikis rasa percaya dan asumsi semakin bergulir liar. Untuk apa mereka yang berstatus mantan janjian untuk ketemuan? Pantas saja Dewi tidak protes saat Amelia tinggal di apartemen. Bukankah dia biasanya paling terdepan menolak kalau anak gadisnya keluar dari rumah ini?"Aku akan mengawasimu. Jangan sampai Amelia kehilangan hak atas harta Kusuma." Ucapan ancaman yang terlontar darinya saat Amelia ingin sekolah di ibu kota. Sekarang tidak terdengar sikap keberatan. 'Apa ini karena apartemen Amelia menjadi tempat teraman pertemuan Dewi dengan s
Kepala ini semakin pusing. Semua berjubel dan berkecamuk seakan mencari pembenaran. Ingin mengalihkan pikiran, tetapi dengan siapa? Denish dan Anind masih belum pulang. Apalagi tadi mereka ada rencana langsung bermain di mall. Masak? Kegiatan yang biasanya membuatku relax. Namun memasak makanan untuk siapa? Amelia tidak ada, dan Mas Suma pun nanti pulang telat. Stok cokies pun masih banyak. Aku mondar-mandir, sekaligus ingin mengurai kecurigaan yang makin bersarang di hati ini. Sampai sekarang, tidak ada pembicaraan dari Mas Suma tentang pertemuannya dengan Dewi. Fixed! Mas Suma merahasiakan ini dariku. Lebih baik aku mencari kesibukan, sebelum semakin tenggelam dengan pikiranku ini. Dan sekarang aku di sini, di salon milik Claudia. "Bu Rani. Tumben ke sini tidak reservasi dulu?" seru wanita cantik dengan tubuh yang hampir sempurna. Wajarlah dia pemilik salon sekaligus butik yang mengutamakan kecantikan. Aku tersenyum dan mengikutinya saat dipersilakan ke ruang tunggu VIP.
Kalau ada orang yang dibutakan oleh amarah, lebih baik diabaikan. Karena apapun yang kita ucapkan akan dinilai salah. Isi kepalanya sudah dipenuhi prasangka buruk. Aku teringat wejangan yang Bapak sampaikan. Saat itu, aku masih remaja dan berkeluh kesah karena ada teman yang selalu berbuat masalah denganku."Mau digimanakan lagi, Nduk. Wong dia melihat dengan menggunakan kaca mata yang kotor. Seberapa cerah wajah kita, ya akan terlihat kusam. Iyo, to?" ucap Bapak. "Tapi kan mengganggu, Pak.""Gunanya kita punya dua tangan itu apa? Untuk menutup telinga kita yang ada dua ini. Abaikan saja. Anggap saja tidak penting."Itu teorinya. Kenyataannya, mengabaikan itu tidak mudah. Jejeran kata-kata itu pun terlihat nyata di kepala ini. Bagaimana bisa melakukan hal itu?Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya tidak membalas pesan Dewi. Terserah dia akan bertambah marah atau tidak. Kalau aku balas, justru aku takut tidak bisa mengendalikan diri. Aku mendesah dengan mengembungkan mulut, kemudian