Yang terberat sebagai seorang ibu adalah keiklasan saat mereka sudah beranjak dewasa. Tidak menganggap anak sebagai milik kita yang bisa diatur, walaupun itu untuk kebaikan. Keiklasan bahwa suatu hari nanti mereka mempunyai keputusan sendiri, bahkan melepaskan diri untuk mandiri.*Seharian ini aku gelisah. Memasak yang biasanya membuatku senang, sekarang tidak mengurai hati mengurai hati yang resah.Ponsel tidak terlepas dari genggaman. Kalaupun terlepas, aku tidak membiarkan jauh. Aku menunggu balasan pesan dari Wisnu. Pagi-pagi tadi sudah aku kirim pesan, tetapi tidak kunjung centrang dua.“Wisnu ke proyek. Mungkin dia langsung ke villa yang bagian bawah. Di sana memang posisi nya di lembah, jadi tidak terjangkau sinyal,” ucap Pak Tiok saat aku hubungi tadi.Namun, sampai jarum jam nyaris menunjuk angka dua belas, status pesan tidak berubah. Bukankah ini berarti dia tidak istirahat sama sekali? Kata Pak Tiok, tempat biasanya mereka berkumpul di bangunan sementara yang digunakan se
Pantas saja Papi Suma mengatakan kalau perempuan itu makhluk yang complicated. Tidak ada rumus pasti dan menghadapinya selalu membuat kepala pusing. “Ini kecuali Mama, ya? Walaupun iya, hanya sesekali kumat,” ucap Papi Suma Begitu juga saat kuliah dulu, teman seasrama kalau sudah mempunyai cewek bukannya terlihat senang, justru sering kening berkerut. Ibaratnya, cicilan tagihan traktiran setelah nembak cewek belum lunas, kebahagiaan sudah tergantikan. Baru aku mulai menyadari sekarang. Masih dalam tahap menjajakan dengan Rima saja, sudah dihadapkan kerumitan. Tidak hanya main tebak-tebakan dengan gadis itu, tetapi juga menghadapi Mama yang berprilaku semakin aneh. Memang aku mengatakan kepada Rima kalau kami bisa saling bertukar kabar, akan tetapi hampir tiga kali sehari dia menghubungiku. Entah telpon atau berkirim pesan. Hanya sekadar sudah makan belum? Atau, mengabarkan keadaan di kampus. Ini belum dari Mama yang berkirim pesan senada. Praktis, ponselku berisi dua nama itu. [Ma
Hanya mendapatkan pilihan kedua, rasanya tidak sesenang kalau bisa mencapai pilihan pertama. Seakan hati tidak terpuaskan seratus persen. Senyum pun hanya sekadar.Padahal, bukankah apa yang terjadi itu jalan yang tertepat? Apa yang tertangkap oleh indera, belum tentu seperti itu adanya. Pastilah, ini adalah rencana-Nya untuk kebaikan.Seperti Amelia sekarang. Dia diterima di fakultas ekonomi jurusan managemen yang terletak di kota ini. Perguruan tinggi swasta dengan kualitas tergolongkan bagus. Senyuman senang yang dia tunjukkan, tidak selebar senyuman Mas Suma.“Ran, aku senang sekali!” seru suamiku setelah aku tarik masuk ke kamar. Dia boleh senang, tetapi kalau tidak sebanding dengan ekspresi Amelia, ini bisa menjadi bumerang.Mas Suma mengepalkan tangan dan mengayunkan dengan wajah gembira.“Sebenarnya aku ingin Amelia di jurusan ini, management. Dia nantinya bisa membantuku. Apalagi dia kuliah di kota ini. Wuih! Aku sangat amat gembira sekali! Pokoknya di atasnya sangat, deh!”
Semakin dewasa seorang anak, mata mulai kabur melihat isi kepala mereka. Kemampuan berpikir dan menentukan pilihan sudah menjadi hak miliknya. Tertinggal orang tua untuk berkata ‘iya’, walaupun di hati terdapat ganjalan. Sampai kami bersiap di meja makan, hatiku masih memikirkan apa yang diucapkan Amelia. Apa yang dia inginkan? Sampai-sampai mengatakannya saja mencari waktu yang tepat. “Mamma Akak Amel hapiday?” Denish dengan mata bulatnya yang mengerjap bertanya setelah didudukkan di kursi khusus anak. Sedangkan Anind sudah mengantuk. Kata Mbak Tias, dia sedang ditidurkan oleh Mbak Dwi-perawat Anind sejak bayi. “Ini syukuran, Sayang. Kak Amel sudah berhasil masuk sekolah,” jawabku mengerti apa yang dimaksud. Dia selalu menyebut orang yang ulang tahun dengan kata hapiday, yang seharusnya happy birthday. Dia menoleh ke arahku. Menatapku yang masih mengatur peletakan jajanan pasar yang dititip Ibu dari kampung. Wajahnya terlihat berpikir. Entah isi kepala anak balitaku ini apa.
“Aku semakin tidak mengerti apa isi kepala Amelia. Semua dituruti. Apa sih yang tidak untuk dia? Tapi kenapa dia mencari jalan yang susah.” Mas Suma bergumam dan berakhir menutup wajah dengan telapak tangan. Tidak berkata-kata dan sikap yang tidak berubah. Duduk di kursi kerja dengan tangan tertumpu di atas meja.Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain duduk dan mengamatinya. Yang dibutuhkan suamiku ini waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Setelahnya, aku akan mencoba membantu saran tentang masalah Amelia ini.Mereka memandang masalah yang sama, dengan sudut pandang yang berbeda. Kalau seperti ini, sampai kapanpun pendapat Amelia dan Mas Suma tidak akan bertemu.“Ran … Apa aku harus bersikap tegas kepadanya?”“Te-tegas bagaimana?”“Sepertinya kita kurang ketat mendidik Amelia. Apa-apa dituruti, jadinya seperti ini. Dia seenaknya saja. Mau hidup sendiri supaya mandiri. Tanpa dia keluar dari rumah ini, bisa kok. Memang harus seperti itu? Mau jadi apa dia di luar sana?” ucapnya di
Bukan Amelia namanya kalau bicara suka keceplosan. Semakin dirahasiakan, justru kemungkinan terlontar. Seperti beberapa waktu yang lalu tentang Rita, saudara tiri Mas Suma. Walaupun sempat menimbulkan kemarahan papinya, tetapi berakhir dengan kesediaan suamiku itu untuk belajar menerima kenyataan.Nah, sekarang justru dia berkata yang memperlambangkan tentang hubungannya dengan Rangga.Tatapan Mas Suma tidak berpaling dari Amelia. Begitu juga aku yang penasaran dengan apa yang akan dikatakannya. Sedangkan Amelia terlihat terperanjat, dengan mata membulat dan mengerjap menatap kami bergantian.“Maksud Amelia apa mengatakan kalau harus jadi pengusaha yang berhasil. Kamu pacaran dengan Rangga?” ucap Mas Suma dengan tatapan menyelidikAmelia menggeleng dengan gerakan ragu.“Terus apa hubungannya dengan Rangga yang akan jadi tentara?” tanya Mas Suma lagi.“Hmm….”“Amelia! Sudah Papi bilang, berteman boleh. Tetapi jangan pacar-pacaran. Kalian itu masih kecil, masih sekolah. Masih banyak ya
Yang menjadi beban pikiran orang tua selain kesehatan dan pendidikan anak-anak, itu asmara. Terdengar sepele, akan tetapi bisa memporak-porandakan semua yang sudah dipersiapkan sedari mereka kecil.Tidak jarang seseorang rela menghentikan cita-cita demi untuk bersama orang yang dicintai. Tidak meneruskan sekolah, dan menggantungkan hidupnya kepada orang yang belum tentu ada jaminan akan selalu bersamanya. Bahkan, ada yang tega melepas keluarga, demi berkorban untuk asmara.“Amelia tidak seperti itu, Ma. Itu sama saja bunuh diri. Seperti orang naik tebing, melepaskan pegangan tanpa ada pengaman. Dan akhirnya …. Beuum!” ucap Amelia sambil memperagakan tangan yang menukik, kemudian mengelepar.Mas Suma sudah tidak bergabung dengan kami. Dia harus pergi setelah Desi sekretaris menelpon untuk sekian kali. Karennya, percakapan kami mengalir lebih santai.“Kak Amel bilang seperti itu karena belum kesandung cinta. Coba kalau sudah. Apakah masih mau mendengarkan ucapan Papi dan Mama?”Mata A
“Beneran, Pi. Amelia tidak janjian dengan dia! Itu saja ini baru pertama dia kesini sendirian.” Nada suara Amelia ditekankan. Dia tetap bersikukuh kalau tidak mengundang teman laki-laki yang sekarang di ruang tamu.Apartemen ini seperti rumah kecil. Inipun terdapat dua kamar tidur. Kata Mas Suma, bisa dipakai dia atau aku kalau ingin menginap menemani Amelia. Lengkap dengan dapur, ruang tengah, dan ruang tamu.Aku yang sedang menyiapkan minuman, menepuk lengan Mas Suma dan mengarahkan dagu ke depan. Kekawatirannya pasti sama dengan apa yang aku rasakan. Amelia sendirian di apartemen, dan didatangi laki-laki yang memesona seperti itu. Pemikiranku dengan liar mulai bergulir, apalagi zaman sekarang prilaku anak remaja tidak bisa ditebak.Namun, kalau dibiarkan mereka bertitegang, bisa jadi mereka berselisih paham lagi. Malu.“Ya, sudah. Papi ke depan saja. Tanya langsung ke dia.” Mas Suma menyudahi pembicaraan dan menggeloyor ke depan.“Silakan kalau tidak percaya Amel,” jawab Amelia den