Hampir tengah malam aku tidak bisa tidur. Padahal jadwal pesawatku pukul enam pagi. Ini berarti setelah subuh, aku harus langsung bersiap karena pukul lima harus berangkat. Yang dikatakan Mama, Papi Suma, dan Rima, bergantian muncul di kepala. Terus terang aku benar-benar bingung dengan perasaanku. “Mas Wisnu tidak suka sama aku?” ucap Rima dengan sorot mata meredup. Keceriaan yang terlihat diawal pertemuan kami mulai memudar. Ini yang yang tidak aku inginkan. Untuk apa menjalin sebuah hubungan, kalau hanya menimbulkan kesedihan. Aku ingin gadis di depanku ini selalu berbinar dan tersenyum lebar. Mampukah aku melakukan hal ini? “Justru aku suka, bahkan sangat suka. Kamu cantik, pintar, dan teman yang asyik untuk mengobrol. Kitapun punya hobi yang sama,” ucapku kemudian menghela napas. Mengambil jeda untuk mencari kata-kata yang tepat. “Ini bukan karena kamu Rima, tetapi karena aku yang belum mampu. Aku kawatir tidak bisa memberimu kebahagiaan. Aku__” “Aku bahagia saat bersama den
Dulu aku sering kesal kalau Ibuk selalu memberiku wejangan ini itu yang diulang-ulang. Apalagi saat tahu aku berhubungan dengan Mas Bram tidak sekadar teman.“Ibuk tidak percaya dengan Rani? Saya itu sudah besar dan tahu mana yang benar dan salah. Tidak mungkin Rani menghancurkan masa depan,” ucapku saat itu. Kala itu aku dan Mas Bram masih sama-sama kuliah.Namun, namanya seorang ibu tidak berhenti, justru bertambah dengan nasehat yang lain-lain.“Nduk. Ibuk ini kawatir. Jaga sikap dan lisan. Jangan sampai menyakiti hati laki-laki, walaupun statusnya pacar. Dalamnya laut bisa dilihat, tetapi isi hati tidak bisa ditebak. Tuh, lihat ini,” ucapnya sambil menunjukkan koran.“Pelaku kejahatan itu sering kali berasal dari orang dekat. Ini malah pacarnya yang melakukan kejahatan. Tahu tidak gara-gara apa? Sepele. Cuma salah omong, kemudian sakit hati,” jelasnya dengan tatapan kawatir.Saat itu sebenarnya aku sungguh tidak terima, walaupun hanya dalam hati. Ucapan Ibuk seakan tidak percaya k
Yang terberat sebagai seorang ibu adalah keiklasan saat mereka sudah beranjak dewasa. Tidak menganggap anak sebagai milik kita yang bisa diatur, walaupun itu untuk kebaikan. Keiklasan bahwa suatu hari nanti mereka mempunyai keputusan sendiri, bahkan melepaskan diri untuk mandiri.*Seharian ini aku gelisah. Memasak yang biasanya membuatku senang, sekarang tidak mengurai hati mengurai hati yang resah.Ponsel tidak terlepas dari genggaman. Kalaupun terlepas, aku tidak membiarkan jauh. Aku menunggu balasan pesan dari Wisnu. Pagi-pagi tadi sudah aku kirim pesan, tetapi tidak kunjung centrang dua.“Wisnu ke proyek. Mungkin dia langsung ke villa yang bagian bawah. Di sana memang posisi nya di lembah, jadi tidak terjangkau sinyal,” ucap Pak Tiok saat aku hubungi tadi.Namun, sampai jarum jam nyaris menunjuk angka dua belas, status pesan tidak berubah. Bukankah ini berarti dia tidak istirahat sama sekali? Kata Pak Tiok, tempat biasanya mereka berkumpul di bangunan sementara yang digunakan se
Pantas saja Papi Suma mengatakan kalau perempuan itu makhluk yang complicated. Tidak ada rumus pasti dan menghadapinya selalu membuat kepala pusing. “Ini kecuali Mama, ya? Walaupun iya, hanya sesekali kumat,” ucap Papi Suma Begitu juga saat kuliah dulu, teman seasrama kalau sudah mempunyai cewek bukannya terlihat senang, justru sering kening berkerut. Ibaratnya, cicilan tagihan traktiran setelah nembak cewek belum lunas, kebahagiaan sudah tergantikan. Baru aku mulai menyadari sekarang. Masih dalam tahap menjajakan dengan Rima saja, sudah dihadapkan kerumitan. Tidak hanya main tebak-tebakan dengan gadis itu, tetapi juga menghadapi Mama yang berprilaku semakin aneh. Memang aku mengatakan kepada Rima kalau kami bisa saling bertukar kabar, akan tetapi hampir tiga kali sehari dia menghubungiku. Entah telpon atau berkirim pesan. Hanya sekadar sudah makan belum? Atau, mengabarkan keadaan di kampus. Ini belum dari Mama yang berkirim pesan senada. Praktis, ponselku berisi dua nama itu. [Ma
Hanya mendapatkan pilihan kedua, rasanya tidak sesenang kalau bisa mencapai pilihan pertama. Seakan hati tidak terpuaskan seratus persen. Senyum pun hanya sekadar.Padahal, bukankah apa yang terjadi itu jalan yang tertepat? Apa yang tertangkap oleh indera, belum tentu seperti itu adanya. Pastilah, ini adalah rencana-Nya untuk kebaikan.Seperti Amelia sekarang. Dia diterima di fakultas ekonomi jurusan managemen yang terletak di kota ini. Perguruan tinggi swasta dengan kualitas tergolongkan bagus. Senyuman senang yang dia tunjukkan, tidak selebar senyuman Mas Suma.“Ran, aku senang sekali!” seru suamiku setelah aku tarik masuk ke kamar. Dia boleh senang, tetapi kalau tidak sebanding dengan ekspresi Amelia, ini bisa menjadi bumerang.Mas Suma mengepalkan tangan dan mengayunkan dengan wajah gembira.“Sebenarnya aku ingin Amelia di jurusan ini, management. Dia nantinya bisa membantuku. Apalagi dia kuliah di kota ini. Wuih! Aku sangat amat gembira sekali! Pokoknya di atasnya sangat, deh!”
Semakin dewasa seorang anak, mata mulai kabur melihat isi kepala mereka. Kemampuan berpikir dan menentukan pilihan sudah menjadi hak miliknya. Tertinggal orang tua untuk berkata ‘iya’, walaupun di hati terdapat ganjalan. Sampai kami bersiap di meja makan, hatiku masih memikirkan apa yang diucapkan Amelia. Apa yang dia inginkan? Sampai-sampai mengatakannya saja mencari waktu yang tepat. “Mamma Akak Amel hapiday?” Denish dengan mata bulatnya yang mengerjap bertanya setelah didudukkan di kursi khusus anak. Sedangkan Anind sudah mengantuk. Kata Mbak Tias, dia sedang ditidurkan oleh Mbak Dwi-perawat Anind sejak bayi. “Ini syukuran, Sayang. Kak Amel sudah berhasil masuk sekolah,” jawabku mengerti apa yang dimaksud. Dia selalu menyebut orang yang ulang tahun dengan kata hapiday, yang seharusnya happy birthday. Dia menoleh ke arahku. Menatapku yang masih mengatur peletakan jajanan pasar yang dititip Ibu dari kampung. Wajahnya terlihat berpikir. Entah isi kepala anak balitaku ini apa.
“Aku semakin tidak mengerti apa isi kepala Amelia. Semua dituruti. Apa sih yang tidak untuk dia? Tapi kenapa dia mencari jalan yang susah.” Mas Suma bergumam dan berakhir menutup wajah dengan telapak tangan. Tidak berkata-kata dan sikap yang tidak berubah. Duduk di kursi kerja dengan tangan tertumpu di atas meja.Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain duduk dan mengamatinya. Yang dibutuhkan suamiku ini waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Setelahnya, aku akan mencoba membantu saran tentang masalah Amelia ini.Mereka memandang masalah yang sama, dengan sudut pandang yang berbeda. Kalau seperti ini, sampai kapanpun pendapat Amelia dan Mas Suma tidak akan bertemu.“Ran … Apa aku harus bersikap tegas kepadanya?”“Te-tegas bagaimana?”“Sepertinya kita kurang ketat mendidik Amelia. Apa-apa dituruti, jadinya seperti ini. Dia seenaknya saja. Mau hidup sendiri supaya mandiri. Tanpa dia keluar dari rumah ini, bisa kok. Memang harus seperti itu? Mau jadi apa dia di luar sana?” ucapnya di
Bukan Amelia namanya kalau bicara suka keceplosan. Semakin dirahasiakan, justru kemungkinan terlontar. Seperti beberapa waktu yang lalu tentang Rita, saudara tiri Mas Suma. Walaupun sempat menimbulkan kemarahan papinya, tetapi berakhir dengan kesediaan suamiku itu untuk belajar menerima kenyataan.Nah, sekarang justru dia berkata yang memperlambangkan tentang hubungannya dengan Rangga.Tatapan Mas Suma tidak berpaling dari Amelia. Begitu juga aku yang penasaran dengan apa yang akan dikatakannya. Sedangkan Amelia terlihat terperanjat, dengan mata membulat dan mengerjap menatap kami bergantian.“Maksud Amelia apa mengatakan kalau harus jadi pengusaha yang berhasil. Kamu pacaran dengan Rangga?” ucap Mas Suma dengan tatapan menyelidikAmelia menggeleng dengan gerakan ragu.“Terus apa hubungannya dengan Rangga yang akan jadi tentara?” tanya Mas Suma lagi.“Hmm….”“Amelia! Sudah Papi bilang, berteman boleh. Tetapi jangan pacar-pacaran. Kalian itu masih kecil, masih sekolah. Masih banyak ya
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan