POV DewiMemasuki di pelataran parkir rumah Kusuma, aku sudah disambut dua satpam dan dipersilakan dengan hormat. Selintas aku teringat masa lalu. Penghormatan ini dulu pernah menjadi milikku. Dulu aku pun diperlakukan bak ratu di rumah itu. Semua pelayan tunduk dengan apa perintahku. Bagaimana tidak, yang ada di rumah besar hanya ada aku. Sedangkan Kusuma hanya malam dan pagipun sudah menghilang.Menapak ke halaman pertama, aku disambut taman yang asri. Pepohonan hijau dan bunga perdu ditata apik yang memanjakan. Angin semilir yang sejuk mengusir penat seketika.“Nyonya Dewi, masuk di pintu sebelah kanan,” ucap Pak Satpam yang berkumis.“Yang ini. Rumahnya orang lain?” Aku menunjuk gedung yang bernuansa entik. Ornamen batu dan kayu mendominasi di sela jendela kaca yang lebar.“Gedung ini kantornya Bu Rani. Beliau kalau di rumah kerja di sini.”“Oh gitu.” Aku bergegas menuju pintu besar yang dimaksud. Pintu yang dibingkai kayu utuh yang menunjukkan keangkuhan.Dalam hati terpatik ras
POV Dewi-Maminya AmeliaKecemburuan yang tidak tepat semakin membuat hati ini memberat saat Amelia bercerita muasal Aquarium besar yang di depan kami ini.“Ini dari Eyang Uti, Mi. Hadiah untuk adik Anind. Bagus, ya?” ucap Amelia dengan antusias. Bahkan dia berlanjut cerita bagaimana hebohnya mantan mertuaku itu menyambut kelahiran cucunya.Kembali, hati ini merasa tersisihkan karena perlakuan yang berbeda terhadapku dulu. Bagiku, ibu dari Kusuma merupakan momok terbesar bagiku. Mendengar suaranya saat datang saja membuatku sakit perut, apalagi saat diharuskan mendengarkan apa perintahnya. Harus ini dan itu.Namun, kenapa terhadap Maharani dia terkesan memanjakan? Dari cerita Amelia, menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dia terhadap menantunya itu. Kenapa kepadaku tidak? Apa aku sebegitu tidak layak menjadi menantu keluarga Adijaya?Semakin kesini, semakin aku merasa dulu disengaja di posisi yang membuatku pergi dari keluarga mereka. Seakan-akan melepaskan diri atas kemauan sendiri
POV Dewi-Maminya AmeliaHati ini semakin kesal saat mendengar percakapan setelahnya. Kecemburuan akan apa yang wanita ini dapatkan dari Kusuma. Pria yang dulu pernah aku harapkan perhatiannya yang tidak kunjung datang walaupun hanya sekadar untuk basa-basi saja.“Mas Suma yang mengusulkan semua ini. Dia ingin memberi yang terbaik untuk kalian,” ucap Maharani sambil mengatur peletakan makanan di meja.“Iya, Mami Dewi. Ini saja yang memilih masakannya Amel, lo. Tapi sebenarnya Mama pinter masak. Biasanya setiap ada tamu yang datang, yang masak Mama semua,” jelas Amelia dengan mata berbinar. Terlihat jelas bagaimana dia sangat mengagumi Maharani.“Oya? Kamu masih sempat melakukan kesibukan di dapur? PAsti asistenmu banyak yang bantu di dapur.”“Tidak Mami Dewi. Mama itu kalau di dapur, semua orang dilarang mendekat. Galaknya kumat.” Amelia tertawa menanggapi Maharani yang melotot sekaligus tersenyum padanya. “Kata Papi, karena di galleri sibuk lebih baik pesan di restoran. Soalnya, kalau
POV Maharani Lega. Itu yang aku rasakan saat ini. Tugasku mempertemukan Amelia dan ibu kandungnya sudah terlaksana. Kelanjutannya, tergantung pada Dewi untuk memanfaatkan hubungan yang mulai dekat ini. “Terima kasih ya, Ran.” Mas Suma merengkuhku dan mencium keningku. “Mas, ini di tempat parkir. Tidak enak sama Satpam.” Aku mendorongnya pelan, tapi tangannya justru dipererat. Kalau Amelia dan Wisnu sudah biasa. Mereka hanya tersenyum, kemudian bergegas masuk mendahului kami. “Mereka pura-pura tidak melihat. Tuh, pada asyik makan, kan?” bisiknya semakin membuatku gemas dan melayangkan cubitan di perutnya. Bukannya mengaduh, dia malah berbisik yang membuat pipi ini menghangat. “Hati-hati kalau cubit perut. Bawahnya juga ikut berkedut.” Aku melotot melihat matanya yang berkedip-kedip. Kan malu kalau kedua satpam itu mendengar selorohannya. Tanpa melepas rangkulan, kamipun beriringan masuk ke rumah. “Tadi terima kasih untuk apa?” “Ya, kamu sudah legowo mengijinkan Maminya Amelia ma
“Apa karena aku hanya ayah tiri Wisnu, aku tidak punya hak terhadapnya? Memang aku senang karena dia memanggilku Papi, tapi akan lebih membanggakan kalau aku dilibatkan untuk mengurusnya.”Ucapan Mas Suma yang membuatku serba salah. Bahkan dia menyinggung tentang undangan wisuda.“Aku rela tidak dimasukkan di undangan wisuda Wisnu. Tapi, aku jangan ditiadakan ketika kalian menentukan masa depan anak itu. Dia sudah menjadi anakku yang sebenarnya.”Sebenarnya aku enggan menyampaikan maksud suamiku kepada Mas Bram tentang niatnya. Apalagi aku berusaha seminimal mungkin berbincang dengan mantanku itu. Aku tidak mau membuat celah dia untuk kembali masuk ke ranah pribadiku. Satu-satunya jalan, aku menyampaikan melalui Wisnu.Karenanya setelah Mas Suma tidur, aku memanggil Wisnu untuk menemui aku di taman belakang. Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan anakku ini.“Kakak tadi belum tidur, kan?”“Belum, Ma. Wisnu masih cek proposal Om Sapto untuk anggaran di pengrajin.” Anakku itu mengamb
“Papi!” Wisnu mengurai tanganku yang merengkuhnya. Kemudian dia menegakkan badan bersamaan dengan Mas Suma yang sudah menghampiri kami.“Aku cari dimana-mana ternyata malah ngobrol di sini,” ucap Mas Suma sambil menarik kursi dan duduk di antar kami berdua.Sesaat kecanggungan terjadi. Aku merasa tertangkap basah saat berbicara dengan anakku yang menghindari kehadiran suamiku ini.Walaupun, kami kan tidak melakukan hal buruk apalagi kesalahan. Kami hanya membutuhkan ruang berdua.“Mama tanya tentang rencana Wisnu setelah wisuda nanti, Pi,” terang Wisnu seakan tahu keadaaanku.“I-iya. Tadi aku kebangun dan kepikiran. Kebetulan Wisnu belum tidur. Ya udah, kita jadinya ngobrol,” tambahku sambil menilik raut wajah suamiku ini, tidak ada yang mengkawatirkan. “Mas Suma aku bikinkan jahe hangat?” Aku berdiri setelah dia mengangguk.Hatiku lega, walaupun sedikit. Mas Suma yang akhir-akhir ini sensitif kalau membicarakan tentang Wisnu, semoga tidak salah paham.Pernikahan seperti kami ini, tid
“Bagaimana kalau aku kangen kamu, Ran?”Kalimat senada berulang kali diucapkan Mas Suma di dua hari terakhir ini, menjelang keberangkatannya ke Dubai. Tidak hanya itu, kemanjaannya pun naik berlipat dari biasanya. Terlebih malam ini, malam terakhir sebelum keberangkatan hari besuk pukul sembilan pagi.Sedari sore, kami berkumpul menikmati hangatnya keluarga. Kami saling berbincang dan bersenda gurau, termasuk mengganggu Anind dan Denish yang semakin menggemaskan.“Sekarang semuanya harus istirahat, kerena besuk pagi mengantar Papi berangkat,” seru suamiku itu sambil menilik jam dinding yang merujuk angka sepuluh.“Katanya Papi tidak mau diantar ke bandara,” sahut Wisnu sambil menyerahkan Denish ke Mbak Dwi pengasuh.Mas Suma merengkuh Wisnu dan Amelia di kanan kirinya. Mencium kening mereka bergantian sambil berucap. ”Papi hanya ingin ditemani makan pagi sama kalian.”“Kenapa sih Pi, tidak mau diantar ke Bandara? Kan biar kayak di film-film itu, kita dadah-dadah!” celetuk Amelia samb
“Mas Suma yakin akan menggunakan ini?” tanyaku sambil membuka kerudung yang aku kenakan.Permintaan aneh Mas Suma. Dia menginginkan kerudung yang sudah terpasang di kepala ini. Kerudung batik berbahan sutra.“Iya, Ran. Bagus kok dipadukan dengan mantelku ini. Seperti fashion di Paris, mereka menggunakan syal untuk pemanis,” ucapnya memberikan alasan“Aku carikan yang baru saja, ya? Ini jelek.” Dengan kerudung masih tersampir di pundak, aku beranjak menuju almari. Niatku memilihkan warna yang terlihat maskulin, dibandingkan yang aku kenakan ini lebih didominasi warna merah. Kurang pas kalau untuk lelaki.Baru saja tangan ini akan membuka daun pintu, Mas Suma sudah mencekal dan menyentakkan tangan ini.“Kenapa?” Aku yang sudah di dalam pelukannya, mengangkat dagu.Bukannya menjawab, justru tangan lelakiku ini menyusuri lengan dan berakhir menangkup pundak ini. “Ran, aku mau kerudung ini. Masih lekat aromamu. Ini sebagai obat rinduku saat di sana.”Matanya terlihat sayu dengan senyuman y