Suasana pesta pernikahan Atika terasa meriah dan penuh kegembiraan. Orang-orang berkumpul, tertawa, dan menikmati makanan yang lezat. Namun, di antara kegembiraan itu, Atika terlihat tidak begitu antusias dan bahagia seperti pengantin wanita pada umumnya. Dia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, pikirannya terombang-ambing di tengah perasaan campur aduk. Atika berbisik dalam hati. “Apa yang terjadi padaku? Seharusnya ini adalah hari yang penuh kebahagiaan. Tapi mengapa aku merasa seperti ini?” Atika menatap keramaian pesta, memperhatikan para tamu yang sedang menikmati makanan dan minuman. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sosok yang berbeda di antara kerumunan. Sosok itu terlihat seperti John Wick! Dia tampak bergerak dengan gesit, menyajikan hidangan kepada para tamu sebagai seorang pelayan. Atika dalam kebingungan bertanya-tanya. 'John? Tidak mungkin. Apakah itu benar-benar dia?' pikirnya. Atika memfokuskan tatapannya, tetapi sosok itu dengan cepat menghilang di antara
William mempersiapkan diri dengan hati yang berdebar-debar. Hari ini adalah ulang tahun Jelita, dan dia ingin menemui gadis itu dengan perasaan yang baru, sebagai seorang kakak yang peduli. Dia berharap bisa berdamai dengan masa lalu, menghapus luka-luka yang terbuka selama ini. Bayangan Jelita masih terus menghantuinya. William menyadari bahwa untuk benar-benar melangkah maju, dia harus menghadapi Jelita dan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Dia membutuhkan penutupan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Jelita. William tiba di apartemen Jelita dengan harapan yang tinggi. Namun, saat pintu terbuka, kebingungan menghampirinya. Ruangan itu sepi, tak ada tanda-tanda perayaan ulang tahun. William mencari-cari Jelita dengan gelisah, berharap menemukannya di sudut apartemen. Dan dia baru sadar jika unit ini tak berpenghuni, “Sepertinya dia tak pernah ke sini,” gumam William seperti orang bodoh. William langsung mencari jejak Jelita sepanjang sisa hari itu. Dia merasa seperti
Jelita dan Bimo setiap hari berangkat ke kampus bersama-sama dari apartemen. Sejak bersama Jelita, Bimo lebih energik menjalani kuliahnya. Meski bukan karena kesungguhannya untuk belajar, Bimo tetap cuek dan hanya ingin bersenang-senang dan kesenangannya adalah bersama Jelita yang suka menghabiskan waktunya di kampus, gadis itu nyaris tak pernah bolos kuliah. Jelita selalu saja serius dan fokus pada semua tugas kuliahnya, tak lupa membereskan semua tugas kuliah Bimo juga sesuai perjanjian. Di kelas, Jelita dengan tekun mencatat setiap penjelasan dosen, memperhatikan detail tugas, dan mengajukan pertanyaan jika ada hal yang tidak dimengerti. Sementara itu, Bimo duduk di sampingnya dengan santainya, melihat-lihat ponselnya, dan terlihat tidak tertarik dengan apa yang disampaikan dosen. "Bimo, ini tugas minggu depan sangat penting. Kita harus mempersiapkannya dengan serius." Bimo, sambil tersenyum malas, menjawab, "Kita? Elu aja kali.” Jelita memutar bola mata. “Baiklah, aku yang akan
Angin berhembus lembut di sore yang cerah, menggoyahkan tirai putih di apartemen Bimo. Dalam ruangan yang penuh dengan buku dan catatan, Bimo belajar dengan serius, mencoba memahami teori-teori perkuliahan yang kompleks. Kenapa juga dia mau-mau saja saat Jelita memakai belajar sebagai syarat saat Bimo minta dibuatkan sepiring nasi goreng yang lezat tadi? Setelah kenyang, Bimo jadi menyesal mengiyakan syarat ini. “Bangke, apaan sih ini maksudnya, anjir?” Bimo mulai pusing. Bimo melirik Jelita, ingin bertanya. Namun dia malah menelan ludah. Di seberang meja, Jelita duduk dengan perhatian yang sama, melahap isi bukunya. Tubuh Jelita yang anggun terpancar dari balik sinar matahari yang menyinari ruangan. Rambut hitam panjangnya tergerai dengan indah, mencerminkan kecantikan alami yang tak bisa diabaikan oleh Bimo. Bimo terus mencoba memusatkan perhatiannya pada buku catatan berisi materi kuliah yang sudah dirangkum Jelita untuknya, tetapi pikirannya terus terpaku pada sosok Jelita. Ia
Esok paginya, Jelita terbangun dengan perasaan cemas dan kebingungan. Dia merasa gelisah karena tidak melihat Bimo di apartemen mereka. Padahal, mereka ada jadwal ujian kuliah yang penting hari ini. Jelita mencoba menghubungi Bimo melalui telepon, tetapi tidak mendapatkan jawaban.Jelita khawatir dan teringat bahwa ujian nanti akan menentukan kelulusan mereka dan ini adalah mata kuliah wajib, Bimo tak bisa mengajukan judul skripsi kalau tak lulus ini. “Ah! Ke mana sih dia?” Jelita tidak bisa menunggu lebih lama lagi, jadi dia pergi ke kampus sendirian.Dalam perjalanan menuju kampus, Jelita merasa hatinya berdebar-debar. Dia berusaha menjaga fokusnya pada ujian yang akan datang, tetapi kekhawatiran tentang Bimo terus mengganggu pikirannya.Setibanya di kampus, Jelita mencari ruang ujian dan bergabung dengan teman-teman sekelasnya yang sudah berkumpul. Jelita duduk tegang di kursi ujian, masih memikirkan ketiadaan Bimo. Dia mencoba fokus pada soal ujian yang sudah dibagikan, tetapi ket
Atika mengingat kembali bagaimana malam pertamanya dengan Bastian terjadi. Dia sudah bisa menebaknya sejak awal, dan rasa sakit dan ketakutannya terasa semakin nyata malam itu. Atika merasa detak jantungnya semakin cepat saat Bastian menatapnya dengan sorot murka begitu percintaan mereka selesai. Hati Atika berdebar keras, takut dengan kemarahan yang mungkin akan meledak dari dalam diri suaminya. "Dengan siapa kau telah berbagi malam pertamamu sebelumnya?" Suara Bastian terdengar rendah, namun tajam. Menghakimi. “Aku, … diperkosa.” Bastian terbahak-bahak. “Menurutmu, aku bakal percaya?” cibir pria itu tanpa perasaan. Atika terkesiap. Tak mengira Bastian bakal menertawakannya, padahal Atika tengah mengharap simpatinya. “Mas!” Tatapan keduanya lalu beradu dengan sama tajamnya. Atika berusaha tenang, tak ingin terintimidasi. “Bukankah kau sama, Mas? Jika keperawananku adalah standart kesucian bagimu, maka bagiku keperjakaanmu juga standart kesucian. Nah, apakah kau lebih suci
“Karena kami harus memberikan kematian yang pantas untuk target kami, sesuai dengan kesalahannya terhadap Anda.” Deni Subrata terbahak puas. “Kesalahannya adalah dia memasuki keluarga kami, dan membuat kami kehilangan salah satu keluarga kami yang tercinta. Adik kami memasuki mobil yang salah, yang seharusnya menewaskan Cindy tapi malah menewaskannya. Cindy harus membayarnya dengan nyawa.” “Kurasa, kematian terlalu indah buatnya.” Deni Subrata terdiam. “Kau punya ide?” “Buat saja usahanya bangkrut. Itu akan membuatnya jauh menderita.” Deni Subrata terbahak-bahak, senang sekali mendapat ide yang tak terpikir olehnya. Lalu pria angkuh itu menutup teleponnya. Hartono iba terhadap Cindy. Dia berkata begitu hanya demi menjaga nyawa Cindy. Dan benar saja, Deni Subrata menghabisi Cindy dengan membuat perusahaannya kacau balau. Kemudian malah menjodohkan wanita itu dengan rekan bisnisnya untuk keuntungannya sendiri. Pada saat itulah, Hartono kembali memasuki kehidupan Cindy, menjadi pa
Bimo melangkah dengan hati yang berbunga-bunga, terhanyut dalam euforia keberhasilannya meraih IPK 3,01 di semester ini. Dia juga baru mendapatkan banyak hadiah dari ayahnya. Di antara penawaran barang mewah yang diberikan sang ayah, Bimo memilih uang tunai saja. Dengan begitu dia bisa memakainya untuk banyak hal sesuai kebutuhannya dan juga Jelita. Setiap langkah Bimo penuh kegembiraan karena dia tahu bahwa ini semua tidak mungkin terjadi tanpa bantuan dan dukungan Jelita. “Jelita …, darling …? Gue pulang!” Begitu Bimo memasuki apartemennya yang dihiasi dengan bunga-bunga segar oleh Jelita, hatinya berdegup kencang. Dia merasa begitu berutang budi kepada wanita cantik berhati baik ini yang telah memotivasi dan membantunya meraih prestasi akademik yang luar biasa. Jelita tertawa melihat keriangan Bimo. “Hai, Bim.” Jelita baru keluar dari dalam kamar dengan handuk masih basah sehabis keramas. Bimo bersiul melihat Jelita dengan kecantikan alaminya. Dia langsung menuju Jelita dan me