Happy reading, jangan lupa vote ya :)
Esok paginya, Jelita terbangun dengan perasaan cemas dan kebingungan. Dia merasa gelisah karena tidak melihat Bimo di apartemen mereka. Padahal, mereka ada jadwal ujian kuliah yang penting hari ini. Jelita mencoba menghubungi Bimo melalui telepon, tetapi tidak mendapatkan jawaban.Jelita khawatir dan teringat bahwa ujian nanti akan menentukan kelulusan mereka dan ini adalah mata kuliah wajib, Bimo tak bisa mengajukan judul skripsi kalau tak lulus ini. “Ah! Ke mana sih dia?” Jelita tidak bisa menunggu lebih lama lagi, jadi dia pergi ke kampus sendirian.Dalam perjalanan menuju kampus, Jelita merasa hatinya berdebar-debar. Dia berusaha menjaga fokusnya pada ujian yang akan datang, tetapi kekhawatiran tentang Bimo terus mengganggu pikirannya.Setibanya di kampus, Jelita mencari ruang ujian dan bergabung dengan teman-teman sekelasnya yang sudah berkumpul. Jelita duduk tegang di kursi ujian, masih memikirkan ketiadaan Bimo. Dia mencoba fokus pada soal ujian yang sudah dibagikan, tetapi ket
Atika mengingat kembali bagaimana malam pertamanya dengan Bastian terjadi. Dia sudah bisa menebaknya sejak awal, dan rasa sakit dan ketakutannya terasa semakin nyata malam itu. Atika merasa detak jantungnya semakin cepat saat Bastian menatapnya dengan sorot murka begitu percintaan mereka selesai. Hati Atika berdebar keras, takut dengan kemarahan yang mungkin akan meledak dari dalam diri suaminya. "Dengan siapa kau telah berbagi malam pertamamu sebelumnya?" Suara Bastian terdengar rendah, namun tajam. Menghakimi. “Aku, … diperkosa.” Bastian terbahak-bahak. “Menurutmu, aku bakal percaya?” cibir pria itu tanpa perasaan. Atika terkesiap. Tak mengira Bastian bakal menertawakannya, padahal Atika tengah mengharap simpatinya. “Mas!” Tatapan keduanya lalu beradu dengan sama tajamnya. Atika berusaha tenang, tak ingin terintimidasi. “Bukankah kau sama, Mas? Jika keperawananku adalah standart kesucian bagimu, maka bagiku keperjakaanmu juga standart kesucian. Nah, apakah kau lebih suci
“Karena kami harus memberikan kematian yang pantas untuk target kami, sesuai dengan kesalahannya terhadap Anda.” Deni Subrata terbahak puas. “Kesalahannya adalah dia memasuki keluarga kami, dan membuat kami kehilangan salah satu keluarga kami yang tercinta. Adik kami memasuki mobil yang salah, yang seharusnya menewaskan Cindy tapi malah menewaskannya. Cindy harus membayarnya dengan nyawa.” “Kurasa, kematian terlalu indah buatnya.” Deni Subrata terdiam. “Kau punya ide?” “Buat saja usahanya bangkrut. Itu akan membuatnya jauh menderita.” Deni Subrata terbahak-bahak, senang sekali mendapat ide yang tak terpikir olehnya. Lalu pria angkuh itu menutup teleponnya. Hartono iba terhadap Cindy. Dia berkata begitu hanya demi menjaga nyawa Cindy. Dan benar saja, Deni Subrata menghabisi Cindy dengan membuat perusahaannya kacau balau. Kemudian malah menjodohkan wanita itu dengan rekan bisnisnya untuk keuntungannya sendiri. Pada saat itulah, Hartono kembali memasuki kehidupan Cindy, menjadi pa
Bimo melangkah dengan hati yang berbunga-bunga, terhanyut dalam euforia keberhasilannya meraih IPK 3,01 di semester ini. Dia juga baru mendapatkan banyak hadiah dari ayahnya. Di antara penawaran barang mewah yang diberikan sang ayah, Bimo memilih uang tunai saja. Dengan begitu dia bisa memakainya untuk banyak hal sesuai kebutuhannya dan juga Jelita. Setiap langkah Bimo penuh kegembiraan karena dia tahu bahwa ini semua tidak mungkin terjadi tanpa bantuan dan dukungan Jelita. “Jelita …, darling …? Gue pulang!” Begitu Bimo memasuki apartemennya yang dihiasi dengan bunga-bunga segar oleh Jelita, hatinya berdegup kencang. Dia merasa begitu berutang budi kepada wanita cantik berhati baik ini yang telah memotivasi dan membantunya meraih prestasi akademik yang luar biasa. Jelita tertawa melihat keriangan Bimo. “Hai, Bim.” Jelita baru keluar dari dalam kamar dengan handuk masih basah sehabis keramas. Bimo bersiul melihat Jelita dengan kecantikan alaminya. Dia langsung menuju Jelita dan me
“Bimo! Kamu ini, betul-betul …, ya!” Jelita protes dengan suaranya yang berubah serak setelah ciuman mereka terurai. “Tapi. Elu suka, kan?” Bimo mengecup Jelita, tapi kali ini di kening. Wajah Jelita merona merah. Kusutnya kerah kemeja Bimo salah satu bukti jika Jelita memang sempat terpantik gairah oleh ciuman Bimo yang rakus, tapi berubah lembut dan manis pada akhirnya, sehingga Jelita mencengkeram ujung kemeja Bimo erat-erat ketika percikan-percikan panas mulai merambati hatinya dan menjalari seluruh tubuhnya dengan hawa panas. Jelita tiba-tiba takut terbakar dan melepuh oleh kenikmatan yang berujung menyakitkan. Bagaimana bisa dia mendadak larut dalam ciuman Bimo? Bukankah harusnya Jelita melawan, menjerit, dan mencakar? Tapi. Sialan. Dia malah menikmati cumbuan Bimo yang menggetarkan naluri primitifnya sepagi ini. Padahal, itu cuma ciuman, kenapa bisa … senikmat itu? Bimo memang … berbahaya! “Kenapa kamu tiba-tiba tidur di sini?” “Ini apartemenku, jadi ini juga kamarku.” “
Ruang pertemuan dipenuhi oleh keheningan yang tegang. Tim investigasi yang dibentuk William duduk mengelilingi meja, memandang dengan penuh konsentrasi pada berkas-berkas yang terbuka di hadapan mereka. Mereka telah bekerja tanpa lelah, menggali setiap detail, dan akhirnya menemukan beberapa petunjuk samar yang bisa menjadi kunci dalam mengungkap dalang di balik korupsi yang melanda perusahaan. Dorothy, seorang ahli audit, memecahkan keheningan, "Kami menemukan sejumlah transaksi keuangan yang mencurigakan. Ada aliran dana yang tidak dapat dijelaskan secara rinci. Saya sudah menyusun pola-pola yang tampaknya terhubung satu sama lain, tetapi masih membutuhkan bukti konkret untuk menguatkan dugaan kita." Maruli, seorang pakar IT dengan pengetahuan mendalam tentang sistem perusahaan, mengangguk setuju. "Saya juga menemukan serangkaian aktivitas yang mencurigakan di jaringan internal kita. Ada akses ilegal ke data-data sensitif, dan jejak-jejak yang mengarah ke beberapa individu tertentu
Di sebuah restoran mewah, lampu-lampu kristal memancarkan cahaya berkilauan menghiasi langit-langit, menciptakan suasana romantis. Setiap meja disuguhi cahaya lilin yang lembut, diiringi melodi piano yang memikat hati. Pelayan-pelayan yang berpakaian rapi dengan penuh keramahan melayani para tamu dengan hidangan-hidangan lezat yang disajikan dengan detail sempurna. Nadya duduk dengan tegang di salah satu meja. Matanya terus memandang pintu masuk, menunggu kehadiran William. Hatinya berdebar-debar, campuran antara harapan dan kecemasan. Ini adalah momen yang dia rasa harus dia lakukan, meskipun dengan sedikit ragu. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan William melangkah masuk dengan ayunan kakinya yang mantap. Dia terlihat tampan dan karismatik seperti biasanya. Nadya merasa dadanya berdesir sepanjang memandangnya. “Malam, Nad?” William tersenyum lembut. Senyum yang melemahkan hati Nadya yang selama ini menyimpan cinta untuknya. "Malam, Will." Nadya menyahut dengan suara yang sedik
Bimo dan Jelita melangkah keluar dari restoran setelah menikmati makan malam yang romantis. Mereka berjalan bersama menuju lift, tersenyum dan saling berbisik tentang betapa indahnya malam itu. Saat lift membuka pintunya di lantai lobi, Bimo terkejut melihat sosok kakak iparnya ada di depan mata. “Mas Ibas?” tegurnya sambil keluar dari lift, diikuti Jelita. Bastian kaget melihat Bimo. Pria itu balas menyapa dengan sedikit gugup. “Oh. Hai, Bim?” Dia tersenyum dan melirik tangan Bimo yang sedang menggandeng Jelita. Bastian ingat wajah gadis cantik ini yang pernah dibawa Bimo ke pesta pernikahannya dengan Atika dulu. “Wah, ngapain di sini?” Bastian mengulum senyum, dia tahu kalau adik iparnya ini playboy dan biasa check in dengan gadis-gadisnya. ‘Like father like son,’ pikirnya. “Dinner.” Bimo menyahut dengan raut tak suka melihat tudingan negatif yang tergambar lewat raut wajah kakak iparnya. “Mas Ibas mau ngapain malam-malam ke sini? Mana Kak Tika?” Bastian baru akan membuka mul