Jangan lupa klik vote ya :)
Di sebuah restoran mewah, lampu-lampu kristal memancarkan cahaya berkilauan menghiasi langit-langit, menciptakan suasana romantis. Setiap meja disuguhi cahaya lilin yang lembut, diiringi melodi piano yang memikat hati. Pelayan-pelayan yang berpakaian rapi dengan penuh keramahan melayani para tamu dengan hidangan-hidangan lezat yang disajikan dengan detail sempurna. Nadya duduk dengan tegang di salah satu meja. Matanya terus memandang pintu masuk, menunggu kehadiran William. Hatinya berdebar-debar, campuran antara harapan dan kecemasan. Ini adalah momen yang dia rasa harus dia lakukan, meskipun dengan sedikit ragu. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan William melangkah masuk dengan ayunan kakinya yang mantap. Dia terlihat tampan dan karismatik seperti biasanya. Nadya merasa dadanya berdesir sepanjang memandangnya. “Malam, Nad?” William tersenyum lembut. Senyum yang melemahkan hati Nadya yang selama ini menyimpan cinta untuknya. "Malam, Will." Nadya menyahut dengan suara yang sedik
Bimo dan Jelita melangkah keluar dari restoran setelah menikmati makan malam yang romantis. Mereka berjalan bersama menuju lift, tersenyum dan saling berbisik tentang betapa indahnya malam itu. Saat lift membuka pintunya di lantai lobi, Bimo terkejut melihat sosok kakak iparnya ada di depan mata. “Mas Ibas?” tegurnya sambil keluar dari lift, diikuti Jelita. Bastian kaget melihat Bimo. Pria itu balas menyapa dengan sedikit gugup. “Oh. Hai, Bim?” Dia tersenyum dan melirik tangan Bimo yang sedang menggandeng Jelita. Bastian ingat wajah gadis cantik ini yang pernah dibawa Bimo ke pesta pernikahannya dengan Atika dulu. “Wah, ngapain di sini?” Bastian mengulum senyum, dia tahu kalau adik iparnya ini playboy dan biasa check in dengan gadis-gadisnya. ‘Like father like son,’ pikirnya. “Dinner.” Bimo menyahut dengan raut tak suka melihat tudingan negatif yang tergambar lewat raut wajah kakak iparnya. “Mas Ibas mau ngapain malam-malam ke sini? Mana Kak Tika?” Bastian baru akan membuka mul
“Darling, ayo berangkat!” Bimo memanggil dengan tak sabar karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Bimo harus menemui dosen untuk bimbingan skripsi. Jelita berlari-lari kecil sambil menyampirkan tote bag di salah satu bahunya. Gadis itu tersenyum sambil menerima uluran tangan Bimo yang menunggunya di ambang pintu. Mereka berlari-lari kecil menuju lift yang akan membawa mereka menuju basement untuk mengambil mobil. “Bawa apa, darling?” tanya Bimo setelah mobilnya meluncur ke jalanan. Jelita menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya, kemudian membuka kotak bekal berisi sandwich buat Bimo. “Makan,” katanya sambil mendekatkan setangkup sandwich ke mulut Bimo. Bimo membuka mulut lebar-lebar dan menggigitnya. Pria itu senang sekali dengan pelayanan Jelita yang seperti ini. Gadis itu tak pernah membiarkan Bimo melewatkan sarapan paginya. Tadi Bimo bangun kesiangan dan tak sempat sarapan, ternyata Jelita telah menyiapkan ini buatnya. Bimo merasa terawat sejak tinggal bersam
Ponsel di meja bergetar dengan dering yang menyela keheningan ruangan. Hartono menatap perangkat tersebut dan tersenyum melihat nama Sam terpampang di layar. “Halo, Sam? Apa kabarmu, Nak?” “Ayah. Aku harus pergi untuk urusan bisnis mendadak. Maaf, aku belum bisa mampir dalam waktu dekat untuk mengunjungi Ayah di Surabaya. Nomorku tidak akan aktif selama dua sampai tiga minggu ke depan, karena aku akan mengunjungi investorku yang sedang berlibur di sebuah desa terpencil yang sulit sinyal,” suara Sam terdengar tenang. "Tapi jangan khawatir, semuanya baik-baik saja. Aku akan kembali secepat mungkin." Hartono terdiam sejenak, meskipun suara Sam terdengar damai, namun dia merasa ada sesuatu yang tak beres. "Sam, apa ada masalah dengan bisnismu? Kenapa kau sendiri dan tak didampingi asisten?” "Jangan cemas, Yah. Aku hanya merasa perlu melakukan pendekatan secara pribadi dengan investor ini.” “Wah, apa investormu ini wanita? Dia sangat cantik, ya?” Hartono terkekeh, menggoda puteranya
Mata Nyonya Cindy tak berkedip melihat grafik saham perusahaan William yang terus merosot. Hatinya berdegup kencang, dan pikirannya segera meluncur ke masa lalu yang kelam.Ia teringat betapa perusahaannya pernah hancur berantakan setelah ia menolak mengikuti perintah Deni Subrata untuk menikahi seseorang yang tidak dicintainya. Keputusannya itu menjadi bumerang, perusahaan yang ia bangun dengan susah payah semakin sering mengalami kekacauan. Seperti ada yang menyabotase bisnisnya. Kebangkrutan nyaris tak terhindarkan. Sampai akhirnya datang investor, yang sangat mempercayainya dan baik hati, memberinya suntikan dana besar. Pelan-pelan perusahaannya yang nyaris redup kembali menunjukkan sinar kehidupannya yang terang.Sekarang, dalam situasi yang serupa, William juga pernah menolak permintaan Tuan Deni yang ingin menjodohkan dirinya dengan Nadya, cucu seorang konglomerat. Kecurigaan langsung menyelinap ke dalam pikiran Nyonya Cindy. Seperti pola yang berulang, atau hanya kebetulan?
William membentuk tim investigasi baru, terdiri dari para ahli yang andal dalam bidangnya masing-masing dan yang pasti tak ada orang-orang Deni Subrata di antara mereka. Tim ini bekerja di bawah radar, dengan hati-hati dan tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan. Tim investigasi bayangan tersebut mulai memetakan jaringan perusahaan, mengumpulkan bukti-bukti yang ada, dan menganalisis setiap detail yang terkait dengan kejadian-kejadian yang mencurigakan. Mereka merasa ada sesuatu yang tidak beres, seperti sebuah alur cerita yang rumit yang dirancang dengan cermat. Mereka menyadari kekacauan yang terjadi di perusahaan merupakan bagian dari rencana jahat yang melibatkan banyak orang yang bersembunyi manis di balik topeng loyalitas. Hasil penyelidikan mulai menunjukkan pola yang tak terduga. Semua petunjuk dan bukti mengarah kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan Deni Subrata. Namun, sosok pimpinan tertinggi perusahaan induk Prima Group itu sepertinya sangat lihai bermain
Bimo berdiri di atas panggung dengan toga sarjana yang melingkari tubuhnya. Di sebelahnya, orangtuanya tersenyum bangga. Atika turut juga hadir dalam acara wisuda adiknya, bersama Jelita yang memakai kebaya senada dengan yang dipakai Atika dan Nyonya Puspa. Orang-orang mengira Jelita sudah diterima baik oleh keluarga Bimo. Ini kali kedua Jelita terlibat dalam acara inti keluarga Bimo, pertama saat pernikahan Atika dan kali ini wisuda Bimo sendiri. Gadis-gadis yang melihat kebersamaan Bimo dan Jelita di acara wisuda itu merasa iri akan keberuntungan Jelita yang menjadi pelabuhan terakhir Bimo, kekasih mereka bersama selama ini. “Akhirnya, Bimo menggunting juga label playboynya.” Sasha bergumam dengan perasaan pahit, namun diam-diam hatinya turut bahagia untuk Bimo. Gadis-gadis itu akan mengenang Bimo sebagai mantan kekasih terindah mereka, meskipun Bimo tak pernah mengakui mereka sebagai kekasih. Para gadis akhirnya angkat topi kepada Jelita yang sanggup menjinakkan playboy kel
Hari itu tiba. Di pelataran bandara yang ramai, Bimo dan Jelita berdiri di hadapan satu sama lain. Bimo meraih erat tangan Jelita, matanya penuh dengan kelembutan dan keinginan yang mendalam. "Kamu tahu, Ta, aku tak ingin melepaskanmu." Bimo bersuara lirih. Ada air mata yang mengintip di sudut matanya. "Ini keputusan yang terbaik untukmu, Bim, untuk masa depanmu yang cerah." “Untuk kita, Ta.” Bimo mengangguk-angguk tanpa melepaskan kontak matanya sedikitpun dari Jelita. Bimo menatap Jelita dengan penuh kasih, mencoba menenangkan kegelisahannya sendiri yang membuncah dalam hati. Ia menepuk lembut pipi Jelita dan berkata, "Aku tak akan pernah lupa betapa berharganya kebersamaan kita, Ta. Aku pergi cuma buat sementara, kamu jangan nakal ya?” Bimo dan Jelita tertawa lirih bersama. “Nakal? Aku?” Jelita memutar bola mata. Bimo mencubit pipi Jelita dengan gemas. Bimo akan merindukan momen ini, di mana dia bisa menyentuh Jelitanya secara nyata. “I love you, Ta.” Bimo mengecup kening