Selamat membaca :)
Bimo berdiri di atas panggung dengan toga sarjana yang melingkari tubuhnya. Di sebelahnya, orangtuanya tersenyum bangga. Atika turut juga hadir dalam acara wisuda adiknya, bersama Jelita yang memakai kebaya senada dengan yang dipakai Atika dan Nyonya Puspa. Orang-orang mengira Jelita sudah diterima baik oleh keluarga Bimo. Ini kali kedua Jelita terlibat dalam acara inti keluarga Bimo, pertama saat pernikahan Atika dan kali ini wisuda Bimo sendiri. Gadis-gadis yang melihat kebersamaan Bimo dan Jelita di acara wisuda itu merasa iri akan keberuntungan Jelita yang menjadi pelabuhan terakhir Bimo, kekasih mereka bersama selama ini. “Akhirnya, Bimo menggunting juga label playboynya.” Sasha bergumam dengan perasaan pahit, namun diam-diam hatinya turut bahagia untuk Bimo. Gadis-gadis itu akan mengenang Bimo sebagai mantan kekasih terindah mereka, meskipun Bimo tak pernah mengakui mereka sebagai kekasih. Para gadis akhirnya angkat topi kepada Jelita yang sanggup menjinakkan playboy kel
Hari itu tiba. Di pelataran bandara yang ramai, Bimo dan Jelita berdiri di hadapan satu sama lain. Bimo meraih erat tangan Jelita, matanya penuh dengan kelembutan dan keinginan yang mendalam. "Kamu tahu, Ta, aku tak ingin melepaskanmu." Bimo bersuara lirih. Ada air mata yang mengintip di sudut matanya. "Ini keputusan yang terbaik untukmu, Bim, untuk masa depanmu yang cerah." “Untuk kita, Ta.” Bimo mengangguk-angguk tanpa melepaskan kontak matanya sedikitpun dari Jelita. Bimo menatap Jelita dengan penuh kasih, mencoba menenangkan kegelisahannya sendiri yang membuncah dalam hati. Ia menepuk lembut pipi Jelita dan berkata, "Aku tak akan pernah lupa betapa berharganya kebersamaan kita, Ta. Aku pergi cuma buat sementara, kamu jangan nakal ya?” Bimo dan Jelita tertawa lirih bersama. “Nakal? Aku?” Jelita memutar bola mata. Bimo mencubit pipi Jelita dengan gemas. Bimo akan merindukan momen ini, di mana dia bisa menyentuh Jelitanya secara nyata. “I love you, Ta.” Bimo mengecup kening
Sam dan William tengah bercakap-cakap di lounge hotel bintang lima di Jakarta, menikmati suasana santai dan pemandangan malam ibukota melalui jendela kaca besar di hadapan mereka. “Sampai saat ini, belum ada yang menemukan bukti keterlibatan omku dalam semua kasus di perusahaanku, Sam. Kami hanya bisa menelan kecurigaan dan dugaan kami saja sampai detik ini,” ujar Sam menutup kisah yang pernah membelit perusahaannya. “Om kamu itu memang bajingan berdasi yang tengik, aku ingin melihat kejatuhannya suatu saat nanti,” ketus Sam dengan sorot seperti menyimpan rencana. Sam mengatur napas, kemudian tersenyum kepada William. “Tapi, sekarang kau jadi tampak lebih matang dan kuat, Will. Aku bangga padamu,” ujarnya sambil menepuk pundak William. “Nilai saham perusahaanmu kembali meningkat pesat. Tak rugi aku memborong banyak ketika sahammu menukik tajam. Kalau kujual sekarang, capital gainnya bisa bikin aku tambah kaya. Tapi, aku pilih mempertahannya dalam jangka panjang. Aku tak sabar menu
Jelita duduk di meja studinya di ruang apartemennya yang tenang. Kertas-kertas tugas tersebar di sekitarnya, sedangkan laptopnya terbuka dengan aplikasi pengetikan yang siap untuk menampung pemikirannya yang terus mengalir. Ruangan yang terisi dengan buku-buku dan catatan-catatan, menggambarkan upayanya yang tak kenal lelah. Jelita telah mengumpulkan sejumlah referensi, membaca buku-buku tebal, dan mencatat poin-poin penting yang harus dijadikan dasar penulisan tugas skripsinya. Waktu berlalu cepat setiap kali Jelita tenggelam dalam tugas-tugasnya. Tidak ada yang bisa mengganggunya di ruang apartemennya yang sunyi, kecuali suara ketukan jari-jarinya pada keyboard. Dia tahu, untuk meraih impian dan mendapatkan kemandirian finansial yang memadai, dia harus melewati tahap ini dengan kesungguhan dan tekad yang kuat. Jelita bukan hanya ingin mengejar gelar Sarjana, tapi juga mencari kesempatan untuk membangun masa depannya yang lebih baik. Sikap orangtua Bimo yang memberinya uang dan m
Jelita terkejut saat pintu apartemennya terbuka lebar, William sudah berdiri di hadapannya, membawa tentengan makanan dengan aroma menggoda. Jelita merasakan detakan jantungnya melonjak saat matanya bertemu dengan mata penuh kehangatan milik William. “Bang? Kau … betulan ke sini, semalam ini?” "Maafkan aku, Ta," ucap William dengan suara yang lembut, sambil tersenyum dengan pesona yang masih sama seperti dulu. "Aku tahu kau sering mengabaikan waktu makan saat kau terjebak dalam pekerjaanmu. Jadi kupikir, aku bisa membantu dengan membawakan makanan untukmu." Jelita merasa hatinya meleleh menerima perhatian tulus dari William. Dia merasa begitu beruntung memiliki seseorang yang begitu peduli padanya di tengah-tengah kesibukannya. Jelita mengangguk, suara tercekat di tenggorokannya saat ia mencoba menahan perasaannya yang meluap. Mereka duduk di ruang tamu apartemen Jelita, menggigit setiap suap makanan dengan penuh nikmat. Terselip keheningan di antara mereka, keduanya sama-sama ter
Cahaya lampu gantung kristal yang berkilauan memantulkan keindahan ruangan gala dinner yang megah. Musik lembut mengalun di latar belakang, menciptakan suasana yang romantis dan glamor. Dalam kerumunan orang-orang yang berdandan mewah, William berjalan dengan percaya diri, jas hitam yang sempurna melingkupi tubuh atletisnya.Nadya datang menyambutnya. “Will, terima kasih sudah datang ke acaraku. Senang sekali melihatmu di sini,” katanya sambil memeluk William sejenak, saling menempelkan pipi kanan dan kiri.“Sama-sama, Nad. Aku juga senang bisa datang memenuhi undanganmu ini. Semoga sukses ya acaranya.”“Makasih, Will.” Nadya tersenyum ramah, menyembunyikan perasaannya yang masih patah karena cintanya terlalu sering ditolak oleh pria itu.“Aku tinggal dulu ya, Will. Kau nikmati saja pestanya.”“Oke, Nad.”Sepeninggalan Nadya, di tengah keramaian, matanya tiba-tiba terhenti pada sosok yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu, yang dahulu pernah memikat hatinya, berdiri di sana dengan
William dan Dina memasuki sebuah restoran yang elegan dengan dekorasi yang mempesona. Langit-langit tinggi dipenuhi dengan lampu kristal yang berkilauan, menciptakan cahaya yang lembut dan romantis. Meja mereka berada di pojok ruangan, terpisah dari keramaian, memberikan privasi yang mereka butuhkan. Dina melangkah maju dengan langkah anggun, gaun malamnya mengalir menawan di sepanjang lantai. William tak bisa mengalihkan pandangannya dari kecantikan Dina, bagai bidadari yang turun dari langit untuk menemui dirinya. Suasana ruangan terasa penuh dengan kelembutan dan ketenangan. Musik klasik memainkan serenade yang menenangkan di latar belakang, melengkapi suasana romantis mereka. William menarik kursi untuk Dina, memperhatikan setiap gerakan kecilnya. William tersenyum padanya dengan tatapan penuh kekaguman. “Silakan, Din.” “Terima kasih, Will.” William dan Dina duduk di meja yang diterangi cahaya lembut dari lilin-lilin. Suasana romantis menghiasi udara, menciptakan aura yang
William mengantar Dina pulang ke rumahnya setelah makan malam mereka yang menyenangkan. William membukakan pintu mobil untuk Dina. Wanita itu keluar dari mobil dengan gerakan anggun, lalu dia menoleh kepada William seraya tersenyum dan berterima kasih.“Ayo masuk ke dalam, Will, mampirlah sebentar.”“Tapi ini sudah malam, Din.”Dina tertawa dan mengecek arloji mahalnya yang berhiaskan batu permata. “Ini masih jam sebelas, Will. Ayolah?”“Baiklah, aku akan mampir sebentar saja.”Mereka berjalan bersama-sama melewati undakan di teras rumah.“Awh!”Dina tiba-tiba tersandung dan hampir tersungkur jatuh. Untungnya William bereaksi dengan insting yang cepat, tangannya yang kuat menangkap Dina dalam pelukannya. “Ups, hampir saja.” William lega berhasil mengamankan Dina dalam pelukannya.Dalam momen itu, mata mereka bertemu, saling mengunci pandangan sejenak.“Kau tak apa-apa?” William melepaskan Dina dari pelukannya.Dina menggeleng, tapi kemudian dia mengeluh, “A-aduh.” Dia meringis saat