Jelita duduk di meja studinya di ruang apartemennya yang tenang. Kertas-kertas tugas tersebar di sekitarnya, sedangkan laptopnya terbuka dengan aplikasi pengetikan yang siap untuk menampung pemikirannya yang terus mengalir. Ruangan yang terisi dengan buku-buku dan catatan-catatan, menggambarkan upayanya yang tak kenal lelah. Jelita telah mengumpulkan sejumlah referensi, membaca buku-buku tebal, dan mencatat poin-poin penting yang harus dijadikan dasar penulisan tugas skripsinya. Waktu berlalu cepat setiap kali Jelita tenggelam dalam tugas-tugasnya. Tidak ada yang bisa mengganggunya di ruang apartemennya yang sunyi, kecuali suara ketukan jari-jarinya pada keyboard. Dia tahu, untuk meraih impian dan mendapatkan kemandirian finansial yang memadai, dia harus melewati tahap ini dengan kesungguhan dan tekad yang kuat. Jelita bukan hanya ingin mengejar gelar Sarjana, tapi juga mencari kesempatan untuk membangun masa depannya yang lebih baik. Sikap orangtua Bimo yang memberinya uang dan m
Jelita terkejut saat pintu apartemennya terbuka lebar, William sudah berdiri di hadapannya, membawa tentengan makanan dengan aroma menggoda. Jelita merasakan detakan jantungnya melonjak saat matanya bertemu dengan mata penuh kehangatan milik William. “Bang? Kau … betulan ke sini, semalam ini?” "Maafkan aku, Ta," ucap William dengan suara yang lembut, sambil tersenyum dengan pesona yang masih sama seperti dulu. "Aku tahu kau sering mengabaikan waktu makan saat kau terjebak dalam pekerjaanmu. Jadi kupikir, aku bisa membantu dengan membawakan makanan untukmu." Jelita merasa hatinya meleleh menerima perhatian tulus dari William. Dia merasa begitu beruntung memiliki seseorang yang begitu peduli padanya di tengah-tengah kesibukannya. Jelita mengangguk, suara tercekat di tenggorokannya saat ia mencoba menahan perasaannya yang meluap. Mereka duduk di ruang tamu apartemen Jelita, menggigit setiap suap makanan dengan penuh nikmat. Terselip keheningan di antara mereka, keduanya sama-sama ter
Cahaya lampu gantung kristal yang berkilauan memantulkan keindahan ruangan gala dinner yang megah. Musik lembut mengalun di latar belakang, menciptakan suasana yang romantis dan glamor. Dalam kerumunan orang-orang yang berdandan mewah, William berjalan dengan percaya diri, jas hitam yang sempurna melingkupi tubuh atletisnya.Nadya datang menyambutnya. “Will, terima kasih sudah datang ke acaraku. Senang sekali melihatmu di sini,” katanya sambil memeluk William sejenak, saling menempelkan pipi kanan dan kiri.“Sama-sama, Nad. Aku juga senang bisa datang memenuhi undanganmu ini. Semoga sukses ya acaranya.”“Makasih, Will.” Nadya tersenyum ramah, menyembunyikan perasaannya yang masih patah karena cintanya terlalu sering ditolak oleh pria itu.“Aku tinggal dulu ya, Will. Kau nikmati saja pestanya.”“Oke, Nad.”Sepeninggalan Nadya, di tengah keramaian, matanya tiba-tiba terhenti pada sosok yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu, yang dahulu pernah memikat hatinya, berdiri di sana dengan
William dan Dina memasuki sebuah restoran yang elegan dengan dekorasi yang mempesona. Langit-langit tinggi dipenuhi dengan lampu kristal yang berkilauan, menciptakan cahaya yang lembut dan romantis. Meja mereka berada di pojok ruangan, terpisah dari keramaian, memberikan privasi yang mereka butuhkan. Dina melangkah maju dengan langkah anggun, gaun malamnya mengalir menawan di sepanjang lantai. William tak bisa mengalihkan pandangannya dari kecantikan Dina, bagai bidadari yang turun dari langit untuk menemui dirinya. Suasana ruangan terasa penuh dengan kelembutan dan ketenangan. Musik klasik memainkan serenade yang menenangkan di latar belakang, melengkapi suasana romantis mereka. William menarik kursi untuk Dina, memperhatikan setiap gerakan kecilnya. William tersenyum padanya dengan tatapan penuh kekaguman. “Silakan, Din.” “Terima kasih, Will.” William dan Dina duduk di meja yang diterangi cahaya lembut dari lilin-lilin. Suasana romantis menghiasi udara, menciptakan aura yang
William mengantar Dina pulang ke rumahnya setelah makan malam mereka yang menyenangkan. William membukakan pintu mobil untuk Dina. Wanita itu keluar dari mobil dengan gerakan anggun, lalu dia menoleh kepada William seraya tersenyum dan berterima kasih.“Ayo masuk ke dalam, Will, mampirlah sebentar.”“Tapi ini sudah malam, Din.”Dina tertawa dan mengecek arloji mahalnya yang berhiaskan batu permata. “Ini masih jam sebelas, Will. Ayolah?”“Baiklah, aku akan mampir sebentar saja.”Mereka berjalan bersama-sama melewati undakan di teras rumah.“Awh!”Dina tiba-tiba tersandung dan hampir tersungkur jatuh. Untungnya William bereaksi dengan insting yang cepat, tangannya yang kuat menangkap Dina dalam pelukannya. “Ups, hampir saja.” William lega berhasil mengamankan Dina dalam pelukannya.Dalam momen itu, mata mereka bertemu, saling mengunci pandangan sejenak.“Kau tak apa-apa?” William melepaskan Dina dari pelukannya.Dina menggeleng, tapi kemudian dia mengeluh, “A-aduh.” Dia meringis saat
Setelah melakukan pengintaian seharian sebagai petugas cleaning service, kali ini Sam menyamar sebagai pegawai rumah sakit dengan seragam hijau lembut dan bermasker, dia memasuki sebuah ruangan dengan langkah hati-hati. Di tangannya, terdapat jarum suntik yang berisi zat kimia yang melumpuhkan. Dalam ruangan yang tenang dan penuh keheningan, Sam menatap targetnya yang sedang tertidur dengan tatapan penuh ketegasan. ‘Bocah tengik, seharusnya kau cepat tobat begitu mengetahui Meilani itu istri kesayangan Tuan Arjuna. Tapi kau malah nekat menggigit jempol kaki raksasa. Demi 100 ribu dollar dari si Anton, kau menukarnya dengan masa depanmu. Ckckck. Bodoh! Padahal kau bisa saja mendapatkan jauh lebih besar dari itu lewat prestasimu. Sayang sekali, kau telah memutuskan pilihanmu, kau sudah mengambil 100 ribu dollar itu. Sekarang, saatnya kau menumbalkan masa depanmu.’ Dengan keahlian terlatih, Sam menyuntikkan zat kimia ke dalam tubuh targetnya dengan cepat dan tepat. Tidak ada goresan ata
Jelita duduk di tepi ranjang rumah sakit dengan tatapan lesu yang terpaku pada luar jendela. Dalam hatinya, ia merasa kehausan akan kebebasan dan keinginan yang tak terucap untuk segera meninggalkan ruang perawatan ini. Setelah berhari-hari menghadapi rutinitas medis dan kehampaan yang tak terucap, Jelita memutuskan sudah waktunya untuk pulang.Dokter yang memeriksanya datang menghampiri, memperhatikan gelisah di wajahnya. "Jelita, kondisimu membaik secara signifikan. Aku memahami keinginanmu untuk pulang, tapi ingatlah bahwa pemulihanmu masih memerlukan waktu dan istirahat yang cukup," ujar dokter Nirmala dengan suara lembut.Jelita menatap dokter spesialis penyakit dalam itu dengan penuh harap, "Tapi Dok, saya merasa cukup kuat untuk pulang. Saya bosan di sini."Dokter menggenggam tangan Jelita dengan lembut, menyampaikan kepedulian dan kebijaksanaannya. "Kamu telah melewati banyak hal, Jelita. Aku mengerti rasa bosan yang dirasakan di sini, tapi keputusan untuk pulang haruslah dida
Jelita membuka matanya dengan perasaan yang masih belum betul-betul nyaman. Tubuhnya masih terasa lemah, kondisinya belum sepenuhnya pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Dia mengingat jelas pesan dokter tentang apa yang harus dilakukannya di rumah untuk merawat dirinya agar lekas pulih. Jelita harus cukup istirahat dan makan teratur, tapi dia harus minum obat terlebih dahulu 30 menit sebelum makan.“Sepertinya tadi aku meletakkan obatku di ruang tamu,” gumamnya setelah sadar sepenuhnya.“Aku harus minum obat untuk lambung dulu, setelah itu pesan makanan lewat aplikasi.”Hidup seorang diri di apartemen dengan kondisinya sekarang ini ternyata tak selalu mudah baginya. Dengan setengah terhuyung, Jelita mengangkat tubuhnya dari tempat tidur dan berjalan perlahan keluar dari kamar. Saat dia memasuki ruang tamu, tatapannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Ruangan apartemennya terlihat rapi dan teratur dengan sempurna. Bukan hanya itu, ada aroma lezatnya makanan yang m