Kasih semangat buat William yuk, kasih vote yang banyak :)
Bimo melangkah dengan hati yang berbunga-bunga, terhanyut dalam euforia keberhasilannya meraih IPK 3,01 di semester ini. Dia juga baru mendapatkan banyak hadiah dari ayahnya. Di antara penawaran barang mewah yang diberikan sang ayah, Bimo memilih uang tunai saja. Dengan begitu dia bisa memakainya untuk banyak hal sesuai kebutuhannya dan juga Jelita. Setiap langkah Bimo penuh kegembiraan karena dia tahu bahwa ini semua tidak mungkin terjadi tanpa bantuan dan dukungan Jelita. “Jelita …, darling …? Gue pulang!” Begitu Bimo memasuki apartemennya yang dihiasi dengan bunga-bunga segar oleh Jelita, hatinya berdegup kencang. Dia merasa begitu berutang budi kepada wanita cantik berhati baik ini yang telah memotivasi dan membantunya meraih prestasi akademik yang luar biasa. Jelita tertawa melihat keriangan Bimo. “Hai, Bim.” Jelita baru keluar dari dalam kamar dengan handuk masih basah sehabis keramas. Bimo bersiul melihat Jelita dengan kecantikan alaminya. Dia langsung menuju Jelita dan me
“Bimo! Kamu ini, betul-betul …, ya!” Jelita protes dengan suaranya yang berubah serak setelah ciuman mereka terurai. “Tapi. Elu suka, kan?” Bimo mengecup Jelita, tapi kali ini di kening. Wajah Jelita merona merah. Kusutnya kerah kemeja Bimo salah satu bukti jika Jelita memang sempat terpantik gairah oleh ciuman Bimo yang rakus, tapi berubah lembut dan manis pada akhirnya, sehingga Jelita mencengkeram ujung kemeja Bimo erat-erat ketika percikan-percikan panas mulai merambati hatinya dan menjalari seluruh tubuhnya dengan hawa panas. Jelita tiba-tiba takut terbakar dan melepuh oleh kenikmatan yang berujung menyakitkan. Bagaimana bisa dia mendadak larut dalam ciuman Bimo? Bukankah harusnya Jelita melawan, menjerit, dan mencakar? Tapi. Sialan. Dia malah menikmati cumbuan Bimo yang menggetarkan naluri primitifnya sepagi ini. Padahal, itu cuma ciuman, kenapa bisa … senikmat itu? Bimo memang … berbahaya! “Kenapa kamu tiba-tiba tidur di sini?” “Ini apartemenku, jadi ini juga kamarku.” “
Ruang pertemuan dipenuhi oleh keheningan yang tegang. Tim investigasi yang dibentuk William duduk mengelilingi meja, memandang dengan penuh konsentrasi pada berkas-berkas yang terbuka di hadapan mereka. Mereka telah bekerja tanpa lelah, menggali setiap detail, dan akhirnya menemukan beberapa petunjuk samar yang bisa menjadi kunci dalam mengungkap dalang di balik korupsi yang melanda perusahaan. Dorothy, seorang ahli audit, memecahkan keheningan, "Kami menemukan sejumlah transaksi keuangan yang mencurigakan. Ada aliran dana yang tidak dapat dijelaskan secara rinci. Saya sudah menyusun pola-pola yang tampaknya terhubung satu sama lain, tetapi masih membutuhkan bukti konkret untuk menguatkan dugaan kita." Maruli, seorang pakar IT dengan pengetahuan mendalam tentang sistem perusahaan, mengangguk setuju. "Saya juga menemukan serangkaian aktivitas yang mencurigakan di jaringan internal kita. Ada akses ilegal ke data-data sensitif, dan jejak-jejak yang mengarah ke beberapa individu tertentu
Di sebuah restoran mewah, lampu-lampu kristal memancarkan cahaya berkilauan menghiasi langit-langit, menciptakan suasana romantis. Setiap meja disuguhi cahaya lilin yang lembut, diiringi melodi piano yang memikat hati. Pelayan-pelayan yang berpakaian rapi dengan penuh keramahan melayani para tamu dengan hidangan-hidangan lezat yang disajikan dengan detail sempurna. Nadya duduk dengan tegang di salah satu meja. Matanya terus memandang pintu masuk, menunggu kehadiran William. Hatinya berdebar-debar, campuran antara harapan dan kecemasan. Ini adalah momen yang dia rasa harus dia lakukan, meskipun dengan sedikit ragu. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan William melangkah masuk dengan ayunan kakinya yang mantap. Dia terlihat tampan dan karismatik seperti biasanya. Nadya merasa dadanya berdesir sepanjang memandangnya. “Malam, Nad?” William tersenyum lembut. Senyum yang melemahkan hati Nadya yang selama ini menyimpan cinta untuknya. "Malam, Will." Nadya menyahut dengan suara yang sedik
Bimo dan Jelita melangkah keluar dari restoran setelah menikmati makan malam yang romantis. Mereka berjalan bersama menuju lift, tersenyum dan saling berbisik tentang betapa indahnya malam itu. Saat lift membuka pintunya di lantai lobi, Bimo terkejut melihat sosok kakak iparnya ada di depan mata. “Mas Ibas?” tegurnya sambil keluar dari lift, diikuti Jelita. Bastian kaget melihat Bimo. Pria itu balas menyapa dengan sedikit gugup. “Oh. Hai, Bim?” Dia tersenyum dan melirik tangan Bimo yang sedang menggandeng Jelita. Bastian ingat wajah gadis cantik ini yang pernah dibawa Bimo ke pesta pernikahannya dengan Atika dulu. “Wah, ngapain di sini?” Bastian mengulum senyum, dia tahu kalau adik iparnya ini playboy dan biasa check in dengan gadis-gadisnya. ‘Like father like son,’ pikirnya. “Dinner.” Bimo menyahut dengan raut tak suka melihat tudingan negatif yang tergambar lewat raut wajah kakak iparnya. “Mas Ibas mau ngapain malam-malam ke sini? Mana Kak Tika?” Bastian baru akan membuka mul
“Darling, ayo berangkat!” Bimo memanggil dengan tak sabar karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Bimo harus menemui dosen untuk bimbingan skripsi. Jelita berlari-lari kecil sambil menyampirkan tote bag di salah satu bahunya. Gadis itu tersenyum sambil menerima uluran tangan Bimo yang menunggunya di ambang pintu. Mereka berlari-lari kecil menuju lift yang akan membawa mereka menuju basement untuk mengambil mobil. “Bawa apa, darling?” tanya Bimo setelah mobilnya meluncur ke jalanan. Jelita menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya, kemudian membuka kotak bekal berisi sandwich buat Bimo. “Makan,” katanya sambil mendekatkan setangkup sandwich ke mulut Bimo. Bimo membuka mulut lebar-lebar dan menggigitnya. Pria itu senang sekali dengan pelayanan Jelita yang seperti ini. Gadis itu tak pernah membiarkan Bimo melewatkan sarapan paginya. Tadi Bimo bangun kesiangan dan tak sempat sarapan, ternyata Jelita telah menyiapkan ini buatnya. Bimo merasa terawat sejak tinggal bersam
Ponsel di meja bergetar dengan dering yang menyela keheningan ruangan. Hartono menatap perangkat tersebut dan tersenyum melihat nama Sam terpampang di layar. “Halo, Sam? Apa kabarmu, Nak?” “Ayah. Aku harus pergi untuk urusan bisnis mendadak. Maaf, aku belum bisa mampir dalam waktu dekat untuk mengunjungi Ayah di Surabaya. Nomorku tidak akan aktif selama dua sampai tiga minggu ke depan, karena aku akan mengunjungi investorku yang sedang berlibur di sebuah desa terpencil yang sulit sinyal,” suara Sam terdengar tenang. "Tapi jangan khawatir, semuanya baik-baik saja. Aku akan kembali secepat mungkin." Hartono terdiam sejenak, meskipun suara Sam terdengar damai, namun dia merasa ada sesuatu yang tak beres. "Sam, apa ada masalah dengan bisnismu? Kenapa kau sendiri dan tak didampingi asisten?” "Jangan cemas, Yah. Aku hanya merasa perlu melakukan pendekatan secara pribadi dengan investor ini.” “Wah, apa investormu ini wanita? Dia sangat cantik, ya?” Hartono terkekeh, menggoda puteranya
Mata Nyonya Cindy tak berkedip melihat grafik saham perusahaan William yang terus merosot. Hatinya berdegup kencang, dan pikirannya segera meluncur ke masa lalu yang kelam.Ia teringat betapa perusahaannya pernah hancur berantakan setelah ia menolak mengikuti perintah Deni Subrata untuk menikahi seseorang yang tidak dicintainya. Keputusannya itu menjadi bumerang, perusahaan yang ia bangun dengan susah payah semakin sering mengalami kekacauan. Seperti ada yang menyabotase bisnisnya. Kebangkrutan nyaris tak terhindarkan. Sampai akhirnya datang investor, yang sangat mempercayainya dan baik hati, memberinya suntikan dana besar. Pelan-pelan perusahaannya yang nyaris redup kembali menunjukkan sinar kehidupannya yang terang.Sekarang, dalam situasi yang serupa, William juga pernah menolak permintaan Tuan Deni yang ingin menjodohkan dirinya dengan Nadya, cucu seorang konglomerat. Kecurigaan langsung menyelinap ke dalam pikiran Nyonya Cindy. Seperti pola yang berulang, atau hanya kebetulan?