Selamat membaca dan jangan lupa vote ya :)
“Kamu pacarnya Bimo?”Jelita menggeleng. Ada kelegaan di sorot mata Pak Mitra saat mendengarnya. Dia sudah mendengar banyak cerita miring tentang mahasiswa abadinya yang bernama Bimo itu. Kalau bukan karena ayah Bimo yang memiliki hubungan dekat dengan semua pejabat di kampus ini, mungkin bocah itu sudah sejak dulu kena drop out.“Terus buat apa kamu bantu Bimo?”“Kami … berteman baik, Pak. Saya cuma berniat menolongnya. Maaf, saya sadar itu salah.” “Hmm. Teman baik ya sama Bimo.” Pak Mitra mengangguk-angguk dengan senyum terkulum. Dalam pikiran Pak Mitra, jika Jelita semakin berteman baik dengan Bimo, berarti gadis itu malah tak semakin baik. Sebab cerita tentang bagaimana cara Bimo berteman dengan para gadis cantik itu sampai juga ke telinga Pak Mitra.Pak Mitra bersedekap. “Kamu mau tetap lulus di kelasku?” tawarnya.Jelita mengangguk-angguk.“Baiklah, karena kau sudah jujur dan ini adalah pertama kalinya kau melakukan kesalahan, maka aku akan memberimu kesempatan.”Jelita mengan
Seperti yang diharapkan Pak Mitra, Jelita betul-betul datang ke kamar hotelnya. Mahasiswinya itu memakai kemeja katun putih yang berpotongan bagus dipadukan dengan skinny jeans dan branded sneakers. Model celana skinny jeans yang memiliki potongan ketat mulai dari bagian pinggang sampai ujung celana itu kian menonjolkan keseksian tubuh Jelita yang ramping dan tungkainya yang jenjang. Gadis itu tampak luar biasa. Cantik, tapi pura-pura polos. Perpaduan yang disukainya. Pak Mitra ingin mendominasinya malam ini. Mata Pak Mitra berkilat puas menatap Jelita. Dalam hatinya bersiul senang. Jelita adalah mahasiswi tercantik yang pernah mendatanginya. Dia tersenyum hanya dengan membayangkan bagaimana rasa dan kenikmatan gadis itu ketika dia berhasil memasukinya nanti, sebentar lagi. “Kau bawa tugasmu?” Jelita menunjukkan kertas tugasnya. “Bacakan untukku.” “Dibaca semuanya, Pak?” “Iyalah. Aku sibuk sekali hari ini dan baru selesai rapat. Mataku lelah kalau membacanya sendiri. Jadi bacalah
“Abang, besok harus ke Batam, kan?” tegur Jelita karena William malah ingin memperpanjang istirahat mereka di hotel ini. “Ayo pulang saja, aku belum mempersiapkan kopor buat Abang.” William menghela napas seraya memandangi wajah wanita yang dicintainya ini. “Aku bisa minta orang lain untuk menggantikanku pergi ke sana, tapi aku tak mungkin mencari pengganti orang lain untuk menemanimu, Sayang,” katanya sambil membelai wajah Jelita yang masih kusut. Dia tahu Jelita butuh teman sekarang. Jelita membutuhkan dirinya. “Aku baik-baik saja, Bang.” “Tapi aku yang tidak. Aku tidak baik-baik saja jika meninggalkanmu sekarang ini, Ta.” Jelita menghela napas dan tersenyum kepada William. Dia bisa merasakan jelas bagaimana pria itu mencintai dirinya. Dan Jelita sangat bersyukur karenanya. Cinta yang telah diberikan William kepadanya bagai penebus krisis kasih sayang dalam dirinya, yang sejak kecil tak mendapatkan sentuhan cinta dan kasih dari orang tuanya sendiri. Cinta William terhadap Jeli
[Ingat, Sayang. Jangan memaksakan diri ke kampus. Mungkin saja bakal ada wartawan yang mencarimu dan membuatmu tak nyaman. Suruh saja mereka menghubungi pengacaramu. Oke?]Jelita tersenyum membaca pesan dari William. Pria itu sedang di bandara untuk terbang ke Batam karena Jelita yang mendorongnya pergi. Dia meyakinkan William bahwa dirinya baik-baik saja. “Lagipula sudah ada pengacara yang mendampingiku mengurus proses ini, kan? Abang tenang saja. Jangan sampai masalahku ini membuat kacau pekerjaanmu, itu proyek yang penting, kan? Aku justru merasa bersalah kalau Abang jadi tidak bisa pergi gara-gara aku. Padahal sebelum ini kan Abang nggak pernah melalaikan tanggung jawab dan pekerjaan, tetaplah seperti itu. Oke?” bujuknya. Maka akhirnya William luluh dan pergi juga.Benar saja, ada banyak nomor asing yang menghubunginya, juga mengirim pesan, mengaku sebagai wartawan. Dan seperti apa yang William bilang, Jelita memberikan nomor pengacaranya kepada para wartawan itu agar mereka mengh
“Sekarang keluargaku sudah tahu tentang kita. Tante Marta pasti akan langsung memberitahu keluarga besar Subrata dan juga keluarga mamiku. Aku sedikit lega karena tak lagi menyimpan kebohongan tentang kita lebih lama lagi,” kata William sambil membelai rambut Jelita. Hari ini dia tak mengizinkan Jelita melakukan apapun selain istirahat. Mereka tidur di dalam kamar utama William yang lebih luas dan nyaman.“Lalu apa rencanamu, Bang? Kau tak takut keluargamu bakal marah besar? Bagaimana kalau ini bakal mempengaruhi bisnismu, perusahaanmu masih tergantung erat dengan mereka, kan?”William mengecup kening Jelita. Dia tahu tanpa diberitahu. Tapi William tak peduli. Dia bahkan rela jika harus kehilangan perusahaan warisan itu.“Pahit-pahitnya, aku akan menjual perusahaan itu dan membangun perusahaan baru.”“Abang!” Jelita betul-betul ngeri mendengarnya. Membangun perusahaan baru pasti tak akan mudah.“Hmm?” William malah santai saja menanggapinya. Rasa cintanya kepada Jelita sudah tak terbe
“Sudah saatnya kau tahu sekarang, Lita! Bahwa mandor Irwan, bukanlah bapak kandungmu! Lelaki itu hanyalah orang lain yang menikahi emakmu dalam keadaan hamil kamu.” Pada detik itu juga, bumi yang dipijak Jelita serasa runtuh, hancur, berserakan. Jelita membeku lalu menggigil. Dadanya mendadak sesak. Dia tahu sekarang, kenapa selama ini si emak begitu kejam padanya. Dan si bapak tega mau memperkosanya, karena Jelita memang bukan anaknya! Ternyata kehadirannya memang tak pernah diinginkan oleh ibu kandungnya sendiri, sebab dirinya anak hasil dari perzinahan. William yang sudah terbangun dari sujudnya juga gemetar. Dia syok mengetahui rahasia besar yang tak pernah terbayangkan bakal dia dengar. Dia dan Jelita, … adalah kakak beradik? Ya, Tuhan. Tak pernah ada yang lebih menyakitkan daripada fakta ini! “Sayang!” William merengkuh Jelita yang menjerit-jerit histeris. Gadis ini pasti lebih terpukul daripada dia. William menguatkan diri untuk menguatkan Jelita yang sangat syok. Hatinya ped
Bimo menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, menuju Atika yang tengah bersiap-siap pergi bekerja. “Kak!” serunya sambil mencekal lengan Atika. “Apa maksudnya ini?” Bimo menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan ruang percakapan keluarga besarnya. Bimo tak menyangka Atika betul-betul menerima lamaran si Bastian yang akan menikahinya bulan depan. “Elu mau nikah? Sama si Bastian brengsek itu?” cecar Bimo penuh emosi. “Jaga mulut elu, Bim. Dia calon kakak ipar elu dan dia jauh lebih tua dari elu.” “Dia juga jauh lebih tua dari elu, Kak! Elu dua puluh delapan dan dia sudah empat puluh, seumuran sama om kita!” “Tapi dia masih single, bukan duda.” “Single apanya! Simpanannya banyak. Dia sebelas duabelas sama ayah! Laki kayak gini mau elu nikahin, Kak? Jangan gila, lu!” ketus Bimo berapi-api. Kemana nalar dan logikanya Atika? Kenapa mendadak tumpul? “Please, Kak! Elu nggak harus lihat dengan mata kepala elu sendiri buat tahu dia itu gimana. Dia itu kan cyrcle-nya ayah!” “Apa
Pria itu tertawa. “Ah, kau orang Indonesia rupanya,” ujarnya sambil melepas jarum di lengan Atika lalu menekan bekas lukanya dengan kapas steril dan menutupnya dengan plester. “Kenapa mau mati? Kau seputus asa itu? Apa ada orang brengsek yang mengganggumu? Katakan saja. Aku tak keberatan membereskannya untukmu, gratis. Anggap ini balas budiku karena kau pernah menolongku.” Atika berkedip-kedip, menatap pria yang bicara terlalu blak-blakan kepadanya itu. “Memangnya kau John Wick?” Atika menyebut nama pembunuh bayaran yang terkenal di sebuah film thriller aksi. Sekilas penampakan pria itu memang mirip dengan sosok Keanu Reeves yang gondrong sebahu dan tinggi gagah di film itu. Bedanya, pria ini terlihat lebih hangat dibanding sosok John Wick yang dingin di film. “Anggap saja begitu,” sahut pria itu sambil mengedipkan sebelah mata. “Jadi. Katakan saja. Ada yang mengganggumu?” tanyanya dengan sorot menyelidik. Atika kemudian menangis dan menjerit-jerit. Dan pria itu sabar menunggunya