Terima kasih atas dukungan vote pembaca sekalian :) Happy reading ya ....
Jelita menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Dia masih syok usai melihat sendiri isi video itu. Pikirannya kembali memutar kisah pertemuan awalnya dengan William, saat itu William begitu ketus dan terlihat jijik kepadanya, seperti melihat kotoran. Lalu pria itu mulai berubah baik setelah Jelita bekerja di rumahnya. Sampai kemudian terjadi ciuman pertama mereka di puncak Bogor, bertepatan dengan William mengucap cinta pertama kalinya. Namun ternyata pria itu tak sendiri, ada Nadya juga bersamanya. “Apa itu masuk akal?” Jelita bergumam. “Nadya cantik, orang kaya, pengusaha muda, keluarganya juga merestui hubungan asmara mereka. Tetapi Abang malah memilihku yang cuma pembantu dan bukan siapa-siapa?” Jelita mulai menerka-nerka. Lalu pikirannya mendarat pada semua kemesraan yang mereka lalui selama ini, bahkan William pernah melakukan terang-terangan di depan Nadya. Ucapan Bimo terngiang lagi di telinganya, tentang pacar kamuflase. “Apa karena aku pembantu miskin, makan
“Sayang, kumohon …? Biarkan kujelaskan dulu tentang apa yang kamu dengar di telepon tadi. Aku—” Jelita menggeleng keras-keras. Dia tak mau mendengar apapun alasan busuk William untuk menjebaknya sebagai wanita kamuflasenya lagi. Dia tak peduli lagi William akan menikahi Nadya atau siapa pun! “Tolong keluarlah, Tuan.” “Sayang—” “Keluar!” William menghela napas dalam-dalam. Jelita tak pernah semarah ini padanya. Gadisnya itu pasti sangat sedih dan sakit hati makanya sampai marah begini. “Baiklah, kita bicarakan ini besok lagi.” “Tak ada lagi pembicaraan soal ini. Hubungan kita sudah selesai.” Jelita berkata sambil melepas cincin dari jari manisnya dan meletakkannya di ranjang, di depan William. “Ambillah, Tuan. Saya bukan tunangan Anda lagi,” ujarnya sambil menatap William dengan sorot tegas dan serius. “Sayang!” William tak tahan untuk tak membentak kekasihnya. Jelita sudah kelewatan! "Saya punya nama, Tuan. Panggil dengan nama saya."“Jangan membuat keputusan apapun dalam kon
Jelita buru-buru menuruni anak tangga karena dia bangun kesiangan. Jam tujuh pagi itu sudah termasuk siang baginya. Gara-gara menangis semalam, dia baru bisa tidur menjelang waktu subuh. Jelita bergegas menuju dapur, terkejut melihat William ada di sana. Pria itu mencuci piring, memakai celemek yang biasa Jelita kenakan. Padahal dia seharusnya sudah bersiap berangkat ke kantor pagi ini, tetapi pria itu bahkan masih memakai baju rumahan. “Tuan, maaf saya kesiangan. Biar saya yang melanjutkan cuci piringnya. Ini sudah siang, Tuan harus bersiap-siap ke kantor.” William menahan kesal mendengar Jelita masih juga bersikap formal kepadanya dan memanggilnya ‘Tuan’. Sepertinya Jelita sedang berusaha ingin mengembangkan jarak antar mereka. “Aku ke kantor nanti agak siangan. Kamu sarapanlah dulu, aku sudah buatkan susu dan sandwich buatmu. Kamu nanti ada kuliah jam sepuluh, kan?” Jelita sebal karena William hafal dengan jadwal kuliahnya. “Terima kasih, Tuan.” Jelita menuju meja makan. Du
“Apa aku mengambil sesuatu yang menjadi milikmu, Jelita?” Jelita tertegun mendengar pertanyaan Sam yang ditujukan padanya. “Ap-apa?” Jelita bingung. “Caramu menatapku, … seperti aku baru saja mencuri milikmu yang berharga.” Sial! Jelita kesal sekali pada pria ini. Apa sih maksudnya? Terlebih ada sorot mengejek di mata itu saat mengatakannya. 'Ya, kau mencuri William-ku!' ketus Jelita dalam hati. Tapi kemudian Jelita tertawa getir. 'Atau malah aku yang mencuri William-nya?' pikirnya kecut. “Sama sekali tidak. Masa saya menuduh Anda begitu? Padahal ini pertama kalinya kita bertemu.” “Pencopet tak harus bertemu lebih dulu dengan korbannya saat akan mencuri dompetnya. Dia bisa saja mencopet sejak pandangan pertamanya dengan si korban, bukan?” Jelita tertawa garing, tak mengerti ke mana arah bicara orang aneh ini. “Selera humor Anda bagus, tapi maaf …, saya tak paham apa maksudnya.” Kali ini William terbahak-bahak setelah kediaman panjangnya sejak tadi, membuat Jelita menoleh heran
Bimo masih bergelung di atas kasur saat Atika membuka pintu kamarnya, dengan cara mendobrak. Brak! “Woy, kebo, ... bangun lu!” Atika mematikan AC lalu menarik selimut Bimo. “Bangun!” omelnya sambil mencubit bokong adiknya yang meringkuk seperti bayi. “Wadaw!” Bimo mengusap-usap pantatnya sambil melotot kepada Atika yang berkacak pinggang. Atika pun balas memelototinya dengan sebagian rambut yang di roll. Persis ibu tiri! “Apaan sih, Kak!” “Gas dan isi galon habis, buruan beli sono ke warung.” “Telpon aja toko langganan!” “Udah, lagi tutup mereka. Buruan gih, beli. Lagian elu kan ada kuliah ntar jam 10, bangun makanya.” Mendengar kata kuliah disebut-sebut Bimo langsung sadar sepenuhnya. Dia ingat sudah janjian dengan Jelita mau ke kampus bareng. Tanpa menunggu komando Atika lagi, Bimo langsung lompat dari atas kasur menuju kamar mandi. Dia harus siap-siap, jangan sampai telat! Selesai mandi dan berpakaian rapi, Bimo menyambar tas dan menuruni tangga. Di bawah tangga sudah ad
“Gue suka sama elu, Ta.” “Bagus. Berarti elu bukan pelangi.” Bimo garuk-garuk kepala. Bingung menerima reaksi Jelita yang diluar dugaan. Gadis itu sedikitpun tak terlihat canggung apalagi kaget. Malah membandingkan dengan kaum pelangi segala. Apaan sih! Baru kali ini Bimo mengatakan rasa sukanya secara serius dan baru pertama kalinya juga dicuekin. Jika ini gadis lain, mungkin sudah semaput di pelukan Bimo. “Serius loh gue, Ta.” “Aku juga suka sama kamu, Bim. TAPI sebagai teman.” “Teman tapi mesra? Boleh juga. Gue nggak nolak.” Bimo mengedipkan sebelah matanya dan meringis saat Jelita menabok lengannya yang bertato sambil mendelik. Astaga. Kenapa Bimo makin suka melihatnya ya? Jelita tetap cantik meskipun lagi mode galak. Menjelang sore, Jelita mengajak pulang, tapi Bimo malah membawanya makan dulu di resto tepi pantai sambil menikmati angin sepoi-sepoi. “Kira-kira kita ntar sampai rumah jam berapa, Bim?” “Kenapa sih, Ta? Buru-buru amat.” Jelita menghela napas. “Aku kan ngga
“Sayang …?” “Saya punya nama, Tuan!” “Kamu ini kenapa sih, Ta!” William menggebrak meja makan dan membuat Jelita terlonjak kaget. “Saya harap kita bisa berpisah baik-baik, Tuan. Tak perlu ribut-ribut seperti ini.” “Jelita, please …!” William menggenggam tangannya erat-erat, ingin sekali dia memukul meja atau membanting gelas. Tapi dia sadar itu kekanakan dan hanya akan memperkeruh suasana. Bisa-bisa Jelita malah semakin takut kepadanya. Pria itupun menghela napas, mengumpulkan kembali stok kesabarannya yang mulai setipis kertas. “Bukan cuma kamu yang lelah dengan hubungan kita yang rumit ini, Ta. Aku juga. Tapi aku mencintaimu. Aku tak peduli jika keluarga Subrata tak sudi mengakuiku sebagai anggota keluarga mereka lagi, asalkan aku bisa tetap bersamamu. Aku lebih pilih kamu ketimbang mereka, Ta.” Jelita mendesah. Dirinya mulai goyah. Kenapa William bisa mengucapkannya dengan begitu alami dan sepenuh penjiwaan? Seakan memang benar seperti itu. Seolah dia memang menginginkan Jeli
“Elu tuh umur berapa sih! Masih aja gelut kayak gini, sama tetangga sendiri pula. Malu-maluin. Dasar anak nakal!” Bimo meringis karena Atika malah menjewer sambil mengompres hidung dan wajahnya yang memar kebiru-biruan. Bimo ingin balas mengomel, tetapi dia terdiam karena sekarang Atika malah menangis, meskipun mulut kakaknya itu mengomel tetapi tangannya tak berhenti bergerak mengobatinya dengan tatapan sarat kekhawatiran yang muram. “Maafin gue, Kak.” Bimo berkata lirih setelah Atika berhenti mengomel, namun tangan si kakak belum berhenti mengompres wajahnya yang lebam. Bimo tahu, Atika sejak dulu sangat menyayanginya. Saat kecil, ketika Bimo masih bertarung di arena, Atika adalah orang yang paling ramai menyemangatinya di pinggir lapangan dan menjerit paling keras saat Bimo meraih kemenangan. Dan Atika jugalah orang pertama yang akan memeluknya saat Bimo menerima kekalahan. Sedangkan keluarganya yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka bukan anak yatim-piatu tetapi