Dear pembaca, terima kasih atas dukungan kalian :)
“Elu tuh umur berapa sih! Masih aja gelut kayak gini, sama tetangga sendiri pula. Malu-maluin. Dasar anak nakal!” Bimo meringis karena Atika malah menjewer sambil mengompres hidung dan wajahnya yang memar kebiru-biruan. Bimo ingin balas mengomel, tetapi dia terdiam karena sekarang Atika malah menangis, meskipun mulut kakaknya itu mengomel tetapi tangannya tak berhenti bergerak mengobatinya dengan tatapan sarat kekhawatiran yang muram. “Maafin gue, Kak.” Bimo berkata lirih setelah Atika berhenti mengomel, namun tangan si kakak belum berhenti mengompres wajahnya yang lebam. Bimo tahu, Atika sejak dulu sangat menyayanginya. Saat kecil, ketika Bimo masih bertarung di arena, Atika adalah orang yang paling ramai menyemangatinya di pinggir lapangan dan menjerit paling keras saat Bimo meraih kemenangan. Dan Atika jugalah orang pertama yang akan memeluknya saat Bimo menerima kekalahan. Sedangkan keluarganya yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka bukan anak yatim-piatu tetapi
“Nah. Jadi? Masih mau putus?” William mengedipkan sebelah matanya saat Jelita menunduk namun mencuri-curi tatap kepadanya. Melihat Jelita masih terdiam sambil menggigiti bibirnya, William sudah tak tahan lagi, direngkuhnya gadis itu dan diciumnya sebanyak-banyaknya bibir Jelita yang sangat dia rindukan. “Awhh.” Dia meringis karena rasa perih di bibirnya akibat pukulan Bimo. “Sakit?” Jelita membelai-belai bibir William dengan mata berkaca-kaca, matanya yang berkabut air mata itu memandang wajah William yang terluka dengan sorot cemas. William tersenyum, ada kelegaan luar biasa menyembul dalam hatinya. “Tak sesakit saat mendengarmu minta putus dariku,” bisiknya seraya menciumi Jelita lagi. Dan dia mendesah bahagia kala gadis itu membalas ciumannya dengan hati-hati, seperti mengkhawatirkan luka di bibirnya. Kembalinya Jelita ke pelukannya bagai penebus segala rasa sakit yang William rasakan belakangan ini. Kerasnya pukulan Bimo tak ada apa-apanya dibandingkan rasa nyeri yang menusuk
Di rumah keluarga Adyatama, di dalam sebuah kamar, Nadya buru-buru mengusap air mata saat mendengar pintunya diketuk-ketuk. Ketika dia membukanya, tampak wajah sang ibu yang memandangnya dengan sorot prihatin. Nadya tak suka dengan sorot itu. Sejak William mengumumkan kabar tentang putusnya hubungan mereka, dia jadi tampak menyedihkan di depan semua orang. Nadya benci dipandangi seperti itu. Inilah yang membuatnya tak nyaman masih tinggal bersama orangtua, sulit mendapatkan privasi karena gerak-geriknya mudah terawasi. Nyonya Mirasih memang melarang keras puterinya berpisah tempat tinggal dengannya hingga sang puteri nanti menikah dan ikut suaminya. “Boleh Mama masuk?” Nadya memiringkan badan, memberi jalan sang ibu memasuki kamarnya. Nyonya Mirasih mengedarkan pandang ke kamar Nadya yang selalu rapi dan apik. Sejak kecil Nadya memang peka dengan hal-hal yang estetik. Nyonya Mirasih duduk di sebuah sofa malas yang tadi diduduki Nadya, tanpa sengaja matanya menangkap sebuah album f
“Katakan, … siapa perempuan itu? Memang apa hebatnya dia sampai-sampai kau melepas seorang Nadya Putri Adyatama!” William menghela napas dalam-dalam. Dia sudah siap untuk membuka hubungannya dengan Jelita. Namun dilihatnya Jelita menggeleng keras-keras di belakang Nyonya Marta. “Katakan!” Nyonya Marta tak sabar melihat kediaman William. William bergeming, menatap Jelita yang memucat di belakang Nyonya Marta. Jika mengikuti emosi, dia ingin jujur saja sekarang, tapi dia juga perlu mempertimbangkan kesiapan Jelita. Dan tiba-tiba terngiang kembali nasehat Sam yang menyuruhnya bersabar dalam menjalani hubungannya dengan Jelita. Dia tak boleh terlalu bernafsu menuruti egonya sendiri dan mengabaikan kenyamanan Jelita. “Baiklah,” Nyonya Marta bersedekap dan menatap William lurus-lurus, “apa perempuan itu puteri pejabat, politikus, atau puteri konglomerat?” Jika memang seperti itu sosok perempuan yang telah merebut William dari Nadya, dia masih bisa mempertimbangkan. “Atau jangan-jangan c
Sudah jam satu pagi, tapi Jelita belum tidur karena masih mengerjakan tugas mata kuliah statistik yang harus dikumpulkan besok. Jelita tak bisa berpikir jernih belakangan ini sejak kedatangan Nyonya Marta beberapa hari lalu. Kata-kata Nyonya Marta sangat mempengaruhinya. Kalau saja tadi Aya tidak meneleponnya dan bertanya tentang hasil jawaban Jelita dari soal itu, mungkin Jelita betul-betul lupa punya tugas kuliah. Tiba-tiba saja ponsel Jelita berdering, dari William. “Halo, Bang?” sapanya. “Sudah jam segini kok masih belum tidur?” “Kok Abang tahu aku belum tidur?” “Kamu mengangkat teleponku.” “Hehe … iya juga ya.” “Dasar.” William terkekeh, suaranya empuk dan enak didengar. “Sayang lagi ngapain?” tanyanya kemudian. “Ngerjain tugas kuliah.” “Lanjutkan saja besok, sekarang tidurlah, sudah lewat malam.” “Tanggung, Bang.” “Ada kesulitan?” “Kenapa emang? Mau bantuin?” “Butuh bantuan nggak?” “Nggak kok, bentar lagi selesai.” “Yakin jawabannya sudah benar? Sini coba kukoreksi
“Abang, bangun! Sudah pagi. Abang harus siap-siap ke kantor.” Jelita berkata sambil menyingkap gorden. Di luar memang masih terlihat gelap karena mendung, padahal ini sudah jam enam pagi yang seharusnya sudah mulai terang. “Bangun, Bang. Kau sudah melewatkan olahraga pagimu.” Jelita berkata sambil kembali ke sisi ranjang, tersenyum menatap wajah kekasihnya yang baru bangun tidur. Rambut William acak-acakan, tetapi tetap terlihat tampan. “Kemarilah,” kata William sambil menarik Jelita agar lebih dekat dengannya. “I love you,” bisiknya seraya memagut bibir gadis itu. Dia senang karena semalam Jelita mengizinkan dirinya melanjutkan tidur di sini, di ranjang Jelita. Mereka tidur berpelukan seperti saat di Bali dulu. William bahagia, seperti sedang berbulan madu. “Me too.” Jelita cepat-cepat menarik bibirnya, bakal lama kalau meladeni keinginan William. Jelita memandang William sambil menepuk-nepuk wajah sang kekasih. “Sekarang mandilah, terus sarapan,” ucapnya. Untuk sejenak William te
Pagi tadi. Begitu membuka mata, Bimo langsung merindukan Jelita karena semalam mimpi basah. Sialan. Dia tak perlu repot-repot bermimpi erotis semacam itu seharusnya …, buat apa mimpi kalau sudah fasih dalam praktiknya? Tapi memang, playboy tengik itu sudah lama libur bercinta, hampir sebulan ini. Rekor. Ini betul-betul rekor! Mungkin tubuh Bimo sekarang protes karena bosan cuma bermain solo sambil membayangkan sosok indah Jelita. Sudah lama tak ada partner yang membelainya secara live. Bimo cepat-cepat mengambil teropong, lalu mengintip ke kamar Jelita. Kamar Jelita berjendela lebar berbahan kaca yang ditutupi gorden dan vitrase sebagai penahan sorotan sinar matahari dan menahan akses visual orang luar melihat ke dalam sehingga privasi pemilik ruangan terjaga. Namun karena Bimo memakai teropong, maka dia bisa mengintip dengan jelas ke dalam menembus tirai berbahan halus itu apabila gorden dibuka. Bimo tersenyum senang, nyaris melonjak girang. Jelita sudah membuka gorden kamarnya. Ki
Perut Bimo keroncongan setelah puas mengamuk hingga membuat kondisi kamarnya kacau seperti kapal pecah. Kemarahannya menguras energi banyak, membuat dia mendadak lapar. Bimo akhirnya membuka pintu kamarnya, ingin keluar cari makanan, namun dia tertegun melihat Atika berdiri menghadang di depan pintu kamarnya. Rupanya sejak tadi si kakak memang tak beranjak dari situ, menunggu Bimo menuntaskan amukannya. Atika langsung menarik Bimo menuju sofa panjang. “Duduk!” tegasnya. Atika lalu berlari meninggalkan Bimo dan kembali lagi dengan membawa kotak P3K dan beberapa wadah. Bimo membiarkan Atika mengobati tangannya yang berlumuran darah. “Anjirrrr. Sakit, woy!” Bimo kelojotan menahan perih yang menyerangnya ketika Atika membilas tangannya yang tergores pecahan cermin yang tadi ditinjunya. Sialan. Saat mengamuk tadi dia tak merasakan sakit apa-apa, sekarang setelah emosinya reda dia baru merasakan perih yang terasa menggigit luka-lukanya. “Untung lukanya nggak sampai dalam, Bim. Ini nggak