Selamat membaca :)
Pagi tadi. Begitu membuka mata, Bimo langsung merindukan Jelita karena semalam mimpi basah. Sialan. Dia tak perlu repot-repot bermimpi erotis semacam itu seharusnya …, buat apa mimpi kalau sudah fasih dalam praktiknya? Tapi memang, playboy tengik itu sudah lama libur bercinta, hampir sebulan ini. Rekor. Ini betul-betul rekor! Mungkin tubuh Bimo sekarang protes karena bosan cuma bermain solo sambil membayangkan sosok indah Jelita. Sudah lama tak ada partner yang membelainya secara live. Bimo cepat-cepat mengambil teropong, lalu mengintip ke kamar Jelita. Kamar Jelita berjendela lebar berbahan kaca yang ditutupi gorden dan vitrase sebagai penahan sorotan sinar matahari dan menahan akses visual orang luar melihat ke dalam sehingga privasi pemilik ruangan terjaga. Namun karena Bimo memakai teropong, maka dia bisa mengintip dengan jelas ke dalam menembus tirai berbahan halus itu apabila gorden dibuka. Bimo tersenyum senang, nyaris melonjak girang. Jelita sudah membuka gorden kamarnya. Ki
Perut Bimo keroncongan setelah puas mengamuk hingga membuat kondisi kamarnya kacau seperti kapal pecah. Kemarahannya menguras energi banyak, membuat dia mendadak lapar. Bimo akhirnya membuka pintu kamarnya, ingin keluar cari makanan, namun dia tertegun melihat Atika berdiri menghadang di depan pintu kamarnya. Rupanya sejak tadi si kakak memang tak beranjak dari situ, menunggu Bimo menuntaskan amukannya. Atika langsung menarik Bimo menuju sofa panjang. “Duduk!” tegasnya. Atika lalu berlari meninggalkan Bimo dan kembali lagi dengan membawa kotak P3K dan beberapa wadah. Bimo membiarkan Atika mengobati tangannya yang berlumuran darah. “Anjirrrr. Sakit, woy!” Bimo kelojotan menahan perih yang menyerangnya ketika Atika membilas tangannya yang tergores pecahan cermin yang tadi ditinjunya. Sialan. Saat mengamuk tadi dia tak merasakan sakit apa-apa, sekarang setelah emosinya reda dia baru merasakan perih yang terasa menggigit luka-lukanya. “Untung lukanya nggak sampai dalam, Bim. Ini nggak
Jelita baru saja akan memesan taksi online ketika William meneleponnya. Jelita cepat-cepat menerima panggilan itu. “Halo, Bang?” sapanya sambil tersenyum.“Masih di kampus, Sayang?” William menyahut dengan suaranya yang lembut dan sarat perhatian.“Iya, aku baru mau pesan taksi online.”“Jangan pulang ke rumah dulu. Aku nanti ada rapat di hotel dekat apartemen kita, kamu tunggu aku di sana saja. Nanti pulangnya biar bareng aku sekalian. Oke?”Jelita tersenyum dan menjawab ‘oke’. “I miss you, Sayang,” kata William sebelum menutup teleponnya.Jelita tertawa lirih sambil geleng-geleng kepala. Baru juga beberapa jam mereka tak bertemu, tapi sudah kangen saja.“Cie, cowok elu, ya?” Aya menyikut Jelita. “Siapa sih sebenarnya si Abang ini? Kakak tingkat kita apa gimana, Ta?” selidiknya.“Dih. Kepooo.” Jelita malah menjulurkan lidah, bikin Aya keki. Dia penasaran betul, seperti apa sebenarnya cowok Jelita ini, sampai-sampai Bimo yang seganteng itu tak sanggup menggoyahkan hatinya untuk balas
“Cocok sekali buatmu,” puji William melihat Jelita sudah siap berangkat kuliah memakai pakaian yang dibelinya dari toko online Nadya kemarin sore. “Makanya aku tak mau repot-repot memilih sendiri, soalnya Abang selalu tahu yang pas buatku,” cengir Jelita. William mencubit hidung kekasihnya itu dengan gemas. “Omong-omong, lusa aku akan ke Batam. Aku tiga hari di sana. Nanti selesai kuliah kamu pulang dan siapin baju-baju buatku ya?” Jelita mengangguk sambil tersenyum. Mereka bergandengan tangan sambil menuju tempat parkir. William akan mengantar Jelita ke kampus dulu pagi ini, baru menuju ke kantornya. “Sampai jumpa, Sayang.” William berkata sambil tersenyum memandangi Jelita yang sedang turun dari mobilnya. Lalu William kembali melajukan mobil, meninggalkan halaman gedung fakultas ekonomi di mana Jelita kuliah. Suasana masih sepi karena Jelita datang terlalu pagi. Jelita duduk di bangku selasar kampus, sendirian. Dia menelepon Aya yang ternyata tak akan berangkat ke kampus kare
“Kamu pacarnya Bimo?”Jelita menggeleng. Ada kelegaan di sorot mata Pak Mitra saat mendengarnya. Dia sudah mendengar banyak cerita miring tentang mahasiswa abadinya yang bernama Bimo itu. Kalau bukan karena ayah Bimo yang memiliki hubungan dekat dengan semua pejabat di kampus ini, mungkin bocah itu sudah sejak dulu kena drop out.“Terus buat apa kamu bantu Bimo?”“Kami … berteman baik, Pak. Saya cuma berniat menolongnya. Maaf, saya sadar itu salah.” “Hmm. Teman baik ya sama Bimo.” Pak Mitra mengangguk-angguk dengan senyum terkulum. Dalam pikiran Pak Mitra, jika Jelita semakin berteman baik dengan Bimo, berarti gadis itu malah tak semakin baik. Sebab cerita tentang bagaimana cara Bimo berteman dengan para gadis cantik itu sampai juga ke telinga Pak Mitra.Pak Mitra bersedekap. “Kamu mau tetap lulus di kelasku?” tawarnya.Jelita mengangguk-angguk.“Baiklah, karena kau sudah jujur dan ini adalah pertama kalinya kau melakukan kesalahan, maka aku akan memberimu kesempatan.”Jelita mengan
Seperti yang diharapkan Pak Mitra, Jelita betul-betul datang ke kamar hotelnya. Mahasiswinya itu memakai kemeja katun putih yang berpotongan bagus dipadukan dengan skinny jeans dan branded sneakers. Model celana skinny jeans yang memiliki potongan ketat mulai dari bagian pinggang sampai ujung celana itu kian menonjolkan keseksian tubuh Jelita yang ramping dan tungkainya yang jenjang. Gadis itu tampak luar biasa. Cantik, tapi pura-pura polos. Perpaduan yang disukainya. Pak Mitra ingin mendominasinya malam ini. Mata Pak Mitra berkilat puas menatap Jelita. Dalam hatinya bersiul senang. Jelita adalah mahasiswi tercantik yang pernah mendatanginya. Dia tersenyum hanya dengan membayangkan bagaimana rasa dan kenikmatan gadis itu ketika dia berhasil memasukinya nanti, sebentar lagi. “Kau bawa tugasmu?” Jelita menunjukkan kertas tugasnya. “Bacakan untukku.” “Dibaca semuanya, Pak?” “Iyalah. Aku sibuk sekali hari ini dan baru selesai rapat. Mataku lelah kalau membacanya sendiri. Jadi bacalah
“Abang, besok harus ke Batam, kan?” tegur Jelita karena William malah ingin memperpanjang istirahat mereka di hotel ini. “Ayo pulang saja, aku belum mempersiapkan kopor buat Abang.” William menghela napas seraya memandangi wajah wanita yang dicintainya ini. “Aku bisa minta orang lain untuk menggantikanku pergi ke sana, tapi aku tak mungkin mencari pengganti orang lain untuk menemanimu, Sayang,” katanya sambil membelai wajah Jelita yang masih kusut. Dia tahu Jelita butuh teman sekarang. Jelita membutuhkan dirinya. “Aku baik-baik saja, Bang.” “Tapi aku yang tidak. Aku tidak baik-baik saja jika meninggalkanmu sekarang ini, Ta.” Jelita menghela napas dan tersenyum kepada William. Dia bisa merasakan jelas bagaimana pria itu mencintai dirinya. Dan Jelita sangat bersyukur karenanya. Cinta yang telah diberikan William kepadanya bagai penebus krisis kasih sayang dalam dirinya, yang sejak kecil tak mendapatkan sentuhan cinta dan kasih dari orang tuanya sendiri. Cinta William terhadap Jeli
[Ingat, Sayang. Jangan memaksakan diri ke kampus. Mungkin saja bakal ada wartawan yang mencarimu dan membuatmu tak nyaman. Suruh saja mereka menghubungi pengacaramu. Oke?]Jelita tersenyum membaca pesan dari William. Pria itu sedang di bandara untuk terbang ke Batam karena Jelita yang mendorongnya pergi. Dia meyakinkan William bahwa dirinya baik-baik saja. “Lagipula sudah ada pengacara yang mendampingiku mengurus proses ini, kan? Abang tenang saja. Jangan sampai masalahku ini membuat kacau pekerjaanmu, itu proyek yang penting, kan? Aku justru merasa bersalah kalau Abang jadi tidak bisa pergi gara-gara aku. Padahal sebelum ini kan Abang nggak pernah melalaikan tanggung jawab dan pekerjaan, tetaplah seperti itu. Oke?” bujuknya. Maka akhirnya William luluh dan pergi juga.Benar saja, ada banyak nomor asing yang menghubunginya, juga mengirim pesan, mengaku sebagai wartawan. Dan seperti apa yang William bilang, Jelita memberikan nomor pengacaranya kepada para wartawan itu agar mereka mengh