Para santriwati mengepak semua barang dan pakaiannya, termasuk Rindu dan sahabatnya. Rombongan santri akan pulang besok pagi."Alhamdulillah, akhirnya bisa bebas dari sangkar emas yang penuh dengan barokah ini." Mina sangat bahagia, sebentar lagi bisa menikmati udara bebas di luar pesantren."Gimana kalau bulan ramadhan kita buka puasa bersama?" Tangan Rindu masih sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas."Boleh, boleh, tapi gimana cara kita komunikasi. Kita 'kan nggak punya hp," sahut Anisa lesu."Gampang, kita pakai nomor orang tua kita aja." Rahma mengeluarkan buku dan bolpoin, kemudian menulis nomer orang tuanya. Setelah itu, Rahma memberikan kertas dan bolpoinnya pada Rindu, pun menulis nomor wa Nurmala. Secara bergiliran 5 sahabat itu menulis nomor orang tua mereka masing-masing."Kalau buka puasa bersama rasanya mustahil, deh. Rumah kita 'kan beda kota," keluh Rahma. Dia berasal dari kota Bangil Jawab Timur, Fatimah dari kota Madura dan Anisa dari kota Surabaya, sedangkan Mina
Sepanjang perjalanan pulang, suasana mobil hening. Tidak ada satupun di antara mereka bertiga yang mau membuka suara. Hal itu membuat Rindu merasa canggung. Ashraf melirik tangan Rindu yang saling meremas, sudah menjadi kebiasaan Rindu sejak kecil jika gugup akan meremas tangannya sendiri."Setelah lulus Aliyah, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Ashraf yang ingin mencairkan suasana canggung di dalam mobil, ia tidak ingin larut dalam kesedihan yang membuat Rindu makin tidak nyaman karena sikapnya. Tatapan matanya masih fokus ke jalanan depan."Kak Ashraf, ngomong sama aku?" tanya Rindu dengan polosnya karena tidak fokus dengan pertanyaan Ashraf.Ashraf menoleh pada Rindu yang duduk di sebelahnya seraya menyunggingkan senyum dengan manisnya. “Memangnya siapa lagi di sini yang lulusan Aliyah kalau bukan kamu?”"Hehehe." Rindu cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Memangnya Kak Ashraf tanya apa barusan, aku nggak dengar?”"Tadi Kak Ashraf tanya, setelah lulus Aliyah
"Apel, mangga sama jeruknya perkilo berapa, Pak?" tanya Rindu, sembari mencium aroma harum buah mangga segar di lapak pedagan di pasar tradisional."Kalo apel satu kilonya 45.000, Neng. Kalo jeruknya 30.000 perkilo, mangganya 20.000 perkilo." Jawab si penjual sambil menimbang buah dari pelanggannya yang lain."Nggak boleh kurang, Pak?" tawar Rindu."Udah harga pas, Neng." si pedangan tahu jika Rindu dan Ashraf adalah orang kaya, maka dari itu ia tidak mau menurunkan harganya. Terlihat jelas dari perawakan dan penampilan Ashraf yang sangat berwibawa dan tampan."Sudah murah, nggak usah ditawar lagi," ucap Ashraf."Iiih, ditawarlah, Kak, biar lebih murah." Rindu tersenyum di balik cadarnya. Kebiasaan hidup irit di pesantren terbawa sampai ke Jakarta. Ashraf hanya mengembangkan senyuman sambil memilih buah-buahan yang segar."Ya udah, apelnya 10 kilo, terus jeruknya 10 kilo, mangganya 3 kilo saja," pinta Ashraf. Rindu membantu Ashraf memilih buah-buahan segar. "Buat hajatan, Mas?" tany
Sepanjang perjalanan, Rindu menceritakan semua yang Sulastri katakannya. Ashraf menjadi pendengar yang baik dengan menyimak semua cerita yang disampaikan Rindu. Penolakan dan sikap kasar Sulastri membuat Rindu sangat sedih, apa lagi tuduhannya terhadap Alfian. Rindu tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi, ia meminta penjelasan, tapi Ashraf malah membawanya ke pemakaman."Kamu ingat makam ini?" tanya Ashraf begitu sampai di pemakaman Dirga dan Ningrum. Pemakamannya tampak terawat karena Alfian sudah mengutus seseorang untuk selalu merawat makam tersebut."Iya." Rindu mengangguk. Mana mungkin ia bisa lupa pada pemakanan yang setiap tahunnya selalu Rindu, Alfian dan Nurmala kunjungi."Yang ini makam Almarhum Pak Dirgantara dan yang ini makam Almarhumah Ibu Ningrum Ayuningtyas." Ashraf menunjuk makam kedua orang tua Rindu secara bergantian, kemudian menghela napas dengan berat, "Ini adalah makam kedua orang tua kamu. Ayah dan ibu kandung kamu."DEGJantung Rindu berdebar kencan
"Ashraf 'kok bilang gitu 'sih! Bukannya merayu Rindu supaya pilih kamu. Emangnya kamu nggak cemburu kalau nantinya Rindu nikah sama orang lain?" keluh Nurmala, ia tahu betapa cintanya Ashraf Pada Rindu. Nurmala tidak ingin melihat putranya patah hati.Ashraf tersenyum simpul, "Cemburu lah, Ma, tapi Ashraf nggak mau menentang takdir dari Allah. Selama ini Ashraf juga salah, mungkin Allah cemburu karena Ashraf terlalu mencintai makhluknya, makanya Allah mengirimkan pria yang insyaAllah lebih baik dari Ashraf, Ma. Lagian, Ashraf nggak tahu cara merayu perempuan yang belum Ashraf halalkan, Ma. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua.""Aamiin... MasyaAllah, Nak. Kamu 'tuh ikhlas banget." Nurmala mengusap lengan Ashraf penuh haru."Ashraf cuma bisa berjuang lewat doa, Ma. Apa yang melewatiku berarti dia bukan Takdirku dan apa yang menjadi takdirku tidak akan melewatiku," ujar Ashraf.Rindu meremas tangannya dan semakin menunduk karena rasa sungkan. Ia tidak pernah menyangka b
Gus Fahmi dan Ashraf berbincang-bincang layaknya teman sambil menikmati hidangan yang disajikan oleh tuan rumah. Siapa yang akan menyangka jika mereka sebenarnya adalah rival. Arman dan Ivan pun masih tidak percaya jika Ashraf dan Gus Fahmi sedang bersaing memperebutkan cintanya. Setelah beberapa saat waktu berlalu, Gus Fahmi pamit undur diri pada Ashraf."Saya duluan, ya! Karena saya masih ada urusan." Gus Fahmi berdiri, lalu bersalaman dengan Arman dan Ashraf."Iya, senang berjumpa dengan anda," ucap Ashraf dengan tulus."Semoga lain waktu kita masih bisa berjumpa." Gus Fahmi tak kalah ramahnya dengan Ashraf."Aamiin."Rindu dan Mina berdiri dan menunduk ketika Gus Fahmi dan Ivan berjalan melewati mereka. Sekilas Gus Fahmi melirik Rindu, lalu melempar senyumannya yang mempesona. Sudut mata Rindu masih sempat melihat tingkah Gus Fahmi, ia pun kian menunduk malu."Eh, kenapa kalian berdua malah berdiri, memangnya siapa barusan yang lewat?" tanya salah satu teman Rindu dan Mina."Itu G
"Rindu," pekik Ashraf saat melihat kening Rindu yang terluka dan berlumuran darah segar. Kaki Ashraf terasa lemas, tubuhnya lunglai, ia terduduk, lalu memangku kepala Rindu. Air mata Ashraf jatuh tanpa bisa dicegah. Ashraf langsung mati akal, ia tak tahu harus berbuat apa. "Rindu, bangun Rindu. Jangan tinggalin Kakak." Air mata Ashraf berjatuhan ke wajah Rindu yang tertutup cadar. Hatinya terlalu sakit melihat keadaan Rindu terluka parah.Satu-persatu orang-orang berdatangan mengerubungi Rindu, ada yang penasaran, ada juga yang merasa simpati. Orang-orang juga mengerubungi si penabrak dan memintanya untuk tanggungjawab."Rindu, bangun, Rin. Jangan tinggalin Kakak." Ashraf menepuk-nepuk pipi Rindu, tapi Rindu tak kunjung sadarkan diri. Ashraf sangat cemas, khawatir hal buruk terjadi pada Rindu. Tangannya sudah gemetar karena banyaknya darah Rindu yang keluar juga membasahi tangan dan kemeja yang Ashraf kenakan. Air mata terus saja mengalir tak mau berhenti. Kerudung panjang yang Rindu
Alfian sangat ingin Ashraf menikahi Rindu, karena memang itulah wasiat terakhir dari Dirga tapi ia sama sekali tidak ingin menyakiti Rindu apalagi dalam keadaan seperti ini. Ia takut Rindu merasa tertekan jika Alfian mengambil keputusan yang salah."Aku sangat berterima kasih atas niat baik kalian berdua, tapi untuk semua keputusan, aku pasrahkan kepada Rindu. Aku tidak ingin Rindu merasa terbebani dengan keputusanku." jawab Alfian sambil merangkul Nurmala yang masih menangis.Ashraf dan Gus Fahmi menunduk lesu mendengar jawaban dari Alfian. Tiba-tiba saja Hp Gus Fahmi berdering, ia pun pamit untuk menerima telepon.Ashraf memegang selembar resep obat, kemudian pergi menuju farmasi untuk menebus obat untuk Rindu, tak sengaja melihat Gus Fahmi yang tengah berdiri dengan telepon yang menempel di telinganya. Gus Fahmi sedang berdebat dengan seseorang di seberang telepon."Tapi Umi, bukankah Abi dan Umi sudah setuju aku menikahi Rindu?" tanya Gus Fahmi dengan frustasi karena keputusan Umi
“Kamu nggak apa-apa ‘kan?” tanya Kurnia setelah melepaskan lengan Dimas.“Tidak apa, terima kasih.” Jawab Dimas, kemudian menghampiri Tania yang menatapnya dengan kesal.Kurnia terkejut melihat Rian ada bersama Kanaya. Kurnia tak mempedulikan Rian, dia lebih memilih menyapa Kanaya dan Nurmala dengan mengurai senyuman hangat sebagai salam perkenalan. Kanaya dan Nurmala pun balas tersenyum.“Bu, kenapa anda ada di sini?” tanya Rian dengan sopan saat melihat Bos-nya. Rian merupakan karyawan di perusahaan Manufaktur yang didirikan oleh keluarga Kurnia.“Saya temannya Dimas, kamu sendiri kenapa di sini?” Kurnia balik bertanya.“Oh, Tania adalah anak dari tunangan saya.” Rian melirik Kanaya sebagai isyarat jika Kanaya adalah calon istrinya.“Oh.” Kurnia hanya menganggukkan kepala, hatinya memikirkan kacaunya perasaan Dimas yang ada dalam satu ruangan dengan mantan istri dan calon suaminya.“Kalian saling kenal?” tanya Nurmala.“Iya, beliau anak dari perusahaan Manufaktur tempat saya bekerj
“Dimas memang mantan pacarku, tapi hubungan kami sudah lama berakhir jauh sebelum Dimas kenal sama kamu, itu pun karena aku mengkhianati Dimas dan hanya mengincar uang Dimas. Setelah itu, kami nggak pernah punya hubungan apa pun lagi.Setelah bertahun-tahun nggak ketemu, akhirnya aku ketemu Dimas lagi saat Tante Lilis kenalin aku sama kamu dan keluarganya untuk dijodohkan dengan Ardi. Dimas nggak pernah mengkhianati kamu, aku memfitnah Dimas karena Dimas bongkar keburukanku sama Ardi, makanya Ardi nggak mau nikahin aku. Aku juga yang buat laporan palsu ke polisi kalau Dimas itu pengedar narkoba, aku dan Tante Lilis yang sudah bersekongkol karena kami punya dendam pada Dimas. Kami menyuap para penegak hukum supaya Dimas mendekam lama di penjara.”Kejujuran Sonya terasa seperti tamparan keras yang memporak-porandakan hati Kanaya. Ia menatap Sonya dengan tatapan penuh luka bercampur marah, andaikan dirinya lebih percaya pada Dimas, tentu saja Tania tidak akan kehilangan kasih sayang seor
“Padahal sudah minum obat, tapi demamnya nggak turun-turun, Ma.” Kanaya mengadu pada Nurmala sembari mengompres kening Tania dengan handuk basah.Kanaya sangat khawatir karena sudah 7 hari ini Tania sakit, akan tetapi semakin hari kondisinya semakin memburuk. Mata Tania terus terpejam, sementara bibirnya selalu memanggil ‘Papa’.“Nay, sepertinya Tania kangen sama Papanya. Suruh Papanya ke sini siapa tahu Tania bisa cepet sembuh,” Nurmala tidak ingin melihat kesehatan cucunya semakin menurun karena merindukan ayah kandungnya.“Tidak ada ruang untuk pria itu di sini.” Ujar Alfian yang baru tiba di bangsal setelah pulang dari kantor.“Walau bagaimana pun Dimas adalah orang tuanya Tania, dia berhak tahu kondisi putrinya.”“Aku tidak mau pria itu memberi pengaruh buruk pada Tania.” Alfian masih belum bisa memaafkan pengkhianatan Dimas pada Kanaya di masa lalu.“Yang penting kita selalu mengawasi Tania dan mendidiknya. Dengan memisahkan Tania dan Dimas, itu sama saja kamu menyiksa Tania. Ya
Bunyi ketukan pintu membuat Dimas yang sedang menulis terlonjak kegirangan. Ia buru-buru mengambil tongkat kruk dan langkah tertatih-tatih pergi ke pintu utama karena tidak ingin Kanaya menunggunya terlalu lama.“Kamu siapa?” senyum di wajah Dimas mendadak surut saat melihat bukan Kanaya yang datang ke apartemennya.“Saya Reno, Nyonya Kanaya menyuruh saya untuk menjaga dan membantu anda menulis terjemahan bahasa asing.” Reno tak kalah terkejutnya melihat pria yang harus dijaganya adalah mantan suami dari majikannya. Reno ingat betul dulu ketika selesai akad nikah, Dimas melumat ****** Kanaya dengan rakus.“Kenapa bukan Kanaya yang datang kemari?” tanya Dimas dengan kecewa.“Nyonya Kanaya sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Pak Rian.”DEGJantung Dimas sakit serasa disambar petir, dunia terasa berputar, kepalanya tiba-tiba pusing hingga membuat tubuhnya oleng. Beruntung Dimas berpegangan pada bingkai pintu untuk menopang berat tubuhnya.“Pak, anda baik-baik saja?” Reno deng
“Kapan kau akan bayar hutangmu?”“Beri aku waktu, sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aaaaghh...” Rian berteriak kesakitan saat tangannya dipelintir.“2 minggu yang lalu kau juga berkata begitu.” Rentenir itu merampas kontak mobil dan kunci rumah milik Rian. “Sita semua barang-barang di rumah ini.”“Jangan, Pak. Aku mohon jangan sita mobil saya, saya pasti akan melunasi semua hutang-hutang saya.”“Mau bayar pakai apa, hah? Ingat, kalau sampai 2 minggu kau belum membayar hutangmu, maka rumahmu akan aku sita.”Rian hanya bisa pasrah melihat satu-persatu barang dalam rumahnya digotong keluar. Usahanya yang bangkrut membuatnya terlilit hutang pada lintah darat. Satu-satunya harapan adalah dengan menikahi Kanaya dan menguras semua hartanya, akan tetapi wanita itu sangat sulit untuk didekati.***Satu minggu kemudian, Kanaya mengantarkan Dimas ke apartemennya karena Dimas ngotot ingin pulang. Ia takut tagihan rumah sakit akan membengkak dan Dimas tidak bisa membayarnya.Begitu
“Ini yang namanya musibah membawa berkah.” Dimas sangat ikhlas mendapat musibah seperti ini, jika Kanaya dan Tania bisa kembali padanya.“Maksudnya?” tanya Kanaya dengan kening berkerut.“Kalau bukan karena menambrakku, mungkin kamu tidak akan mau duduk di dekatku.”Kanaya mengedarkan pandangannya, atmosfir ruangan mendadak terasa panas meski AC sudah menyala. Kanaya menggigit bibir bawahnya, rasa canggung tiba-tiba merayap menyelimuti hati Kanaya.Dimas melihat makanan di atas nakas yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pasien. “Itu makanan untukku?”Kanaya mengikuti arah mata Dimas memandang. “Iya.”“Aku lapar.” Dimas sengaja mengalihkan pembicaraan karena tidak mau melihat Kanaya terus larut dengan rasa bersalahnya. Kanaya mengambil makanan di laci, lalu menyodorkannya pada Dimas.“Bagaimana aku bisa makan kalau kedua tanganku tidak bisa bergerak?”“Bukannya cuma tangan kirimu yang cedera?” Kanaya menatap Dimas dengan tatapan memicing penuh selidik, sebab tangan Dimas yang d
“Pak Dimas, anda sedang apa di sini?” pertanyaan yang terlontar dari sekurity berhasil membuyarkan lamunan Dimas.“Siapa pria yang menggendong Tania?” tanya Dimas to the point.“Oh, dia Pak Rian. Temannya Tuan Ashraf.”“Suaminya Kanaya?” tanya Dimas lagi.“Oh, bukan, Pak. Nyona Tania belum menikah lagi setelah berpisah dari anda.”“Ok.” Perasaan lega seketika menyelimuti hati Dimas. “Jangan katakan pada siapa pun kalau aku datang kemari, aku hanya ingin melihat putriku dari jauh.”Sekurity tidak menanggapi permintaan Dimas, dia lebih setia pada majikan yang menggajinya tiap bulan. Dimas pergi dengan perasaan lega karena memiliki buah hati yang cantik.***“Ma, benar ya tadi itu Papaku?” tanya Tania yang sangat penasaran dengan sosok Dimas karena mengaku sebagai papanya.“Kamu nggak perlu tahu tentang dia. Pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat sama dia.”“Memangnya kenapa, Ma?”“Mama nggak mau dia misahin kita, Sayang.” Kanaya memeluk Tania yang rebahan di atas ranjang dengan erat.“Ma
“Apa maksudmu?” Kanaya pura-pura tidak tahu maksud dari perkataan Dimas.“Jangan membodohiku, aku tahu Tania adalah putriku.”“Dia anakku, bukan anakmu.” Kanaya berdiri, kemudian menyembunyikan Tania di balik tubuhnya.Sikap Kanaya malah membuat Dimas semakin kesal, dia sudah berani merahasiakan kelahiran Tania dan masih ingin menjauhkannya dari Dimas.“Bagaimana jika aku menuntutmu ke pengadilan karena sudah menyembunyikan kelahiran Tania dariku, lalu mengambil hak asuhnya?” Dimas menggertak Kanaya. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk memisahkan Kanaya dari putrinya.Kanaya tersentak kaget takut dengan ancaman Dimas. Raut wajahnya yang tegas berubah menjadi panik hingga membuat Dimas semakin yakin jika Tania adalah putri kandungnya.“Dia memang anak kita ‘kan?” tanya Dimas lagi dengan tatapan mata memicing.Dimas memang marah karena Kanaya sudah merahasiakan kelahiran Tania darinya, tapi ia juga berharap masih memiliki kesempatan untuk kembali pada Kanaya dan bersama-sama membes
"Dia bukan anakmu. Dia anakku," jawab Kanaya dengan tegas.Kanaya sangat mengenal watak Dimas yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan, apalagi jika dia tahu Tania adalah darah dagingnya.“Apa kamu sudah menikah?” tanya Dimas dengan rasa sakit yang menusuk di hati. Dadanya sudah kembang kempis menunggu jawaban Kanaya.“I, iya.” Kanaya terpaksa berbohong karena takut Dimas akan merebut putrinya. Ia tidak mau kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupnya.Jawaban Kanaya benar-benar melukai hati Dimas. Kanaya terpaksa berbohong karena tidak ingin berurusan lagi dengan Dimas, apalagi jika Dimas sampai merebut putrinya.“Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu.” Dimas yang patah hati langsung memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dimas menghela napas berat, ini bukan saatnya untuk frustasi, ia harus mencari pekerjaan untuk melanjutkan sisa hidupnya.“Siapa yang telepon, Ma?” tanya Tania.“Teman Mama, Nak.” Jawab Kanaya membari mengusap ra