Dari atas balkon, Gus Fahmi terus memperhatikan Rindu yang berjalan menuju ke asramanya. Seulas senyum terbit dari bibirnya yang menawan kala melihat Rindu mengenakan jaket pemberian darinya. Pandangannya tak mau terlepas hingga Rindu hilang di balik pintu asrama."Assalamu'alaikum." Rindu mengucap salam begitu membuka pintu kamar asramanya."Wassalamu'alaikum," jawab Anisa dan Mina, sedangkan Fatimah dan Rahma sudah tertidur pulas di atas ranjangnya. Mereka semua adalah sahabat yang sekamar dengan Rindu.Anisa dan Mina mengamati Rindu yang melangkah ke arahnya. Mereka berdua terheran-heran melihat jaket kedodoran yang Rindu kenakan. Mereka sangat familiar dengan jaket yang kebesaran itu. Mata Mina terbelalak ketika mendapat jawaban dari bordiran nama di jaket itu."Ya ampuuun, Rinduuuu. Sudah aku duga ini jaketnya Gus Fahmi," sorak Mina kegirangan begitu membaca bordiran nama M. Fahmi Saddam Husein di jaket tersebut. Ia menarik tangan Rindu, lalu mendudukkannya ke tepi ranjang."Seri
Para santriwati mengepak semua barang dan pakaiannya, termasuk Rindu dan sahabatnya. Rombongan santri akan pulang besok pagi."Alhamdulillah, akhirnya bisa bebas dari sangkar emas yang penuh dengan barokah ini." Mina sangat bahagia, sebentar lagi bisa menikmati udara bebas di luar pesantren."Gimana kalau bulan ramadhan kita buka puasa bersama?" Tangan Rindu masih sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas."Boleh, boleh, tapi gimana cara kita komunikasi. Kita 'kan nggak punya hp," sahut Anisa lesu."Gampang, kita pakai nomor orang tua kita aja." Rahma mengeluarkan buku dan bolpoin, kemudian menulis nomer orang tuanya. Setelah itu, Rahma memberikan kertas dan bolpoinnya pada Rindu, pun menulis nomor wa Nurmala. Secara bergiliran 5 sahabat itu menulis nomor orang tua mereka masing-masing."Kalau buka puasa bersama rasanya mustahil, deh. Rumah kita 'kan beda kota," keluh Rahma. Dia berasal dari kota Bangil Jawab Timur, Fatimah dari kota Madura dan Anisa dari kota Surabaya, sedangkan Mina
Sepanjang perjalanan pulang, suasana mobil hening. Tidak ada satupun di antara mereka bertiga yang mau membuka suara. Hal itu membuat Rindu merasa canggung. Ashraf melirik tangan Rindu yang saling meremas, sudah menjadi kebiasaan Rindu sejak kecil jika gugup akan meremas tangannya sendiri."Setelah lulus Aliyah, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Ashraf yang ingin mencairkan suasana canggung di dalam mobil, ia tidak ingin larut dalam kesedihan yang membuat Rindu makin tidak nyaman karena sikapnya. Tatapan matanya masih fokus ke jalanan depan."Kak Ashraf, ngomong sama aku?" tanya Rindu dengan polosnya karena tidak fokus dengan pertanyaan Ashraf.Ashraf menoleh pada Rindu yang duduk di sebelahnya seraya menyunggingkan senyum dengan manisnya. “Memangnya siapa lagi di sini yang lulusan Aliyah kalau bukan kamu?”"Hehehe." Rindu cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Memangnya Kak Ashraf tanya apa barusan, aku nggak dengar?”"Tadi Kak Ashraf tanya, setelah lulus Aliyah
"Apel, mangga sama jeruknya perkilo berapa, Pak?" tanya Rindu, sembari mencium aroma harum buah mangga segar di lapak pedagan di pasar tradisional."Kalo apel satu kilonya 45.000, Neng. Kalo jeruknya 30.000 perkilo, mangganya 20.000 perkilo." Jawab si penjual sambil menimbang buah dari pelanggannya yang lain."Nggak boleh kurang, Pak?" tawar Rindu."Udah harga pas, Neng." si pedangan tahu jika Rindu dan Ashraf adalah orang kaya, maka dari itu ia tidak mau menurunkan harganya. Terlihat jelas dari perawakan dan penampilan Ashraf yang sangat berwibawa dan tampan."Sudah murah, nggak usah ditawar lagi," ucap Ashraf."Iiih, ditawarlah, Kak, biar lebih murah." Rindu tersenyum di balik cadarnya. Kebiasaan hidup irit di pesantren terbawa sampai ke Jakarta. Ashraf hanya mengembangkan senyuman sambil memilih buah-buahan yang segar."Ya udah, apelnya 10 kilo, terus jeruknya 10 kilo, mangganya 3 kilo saja," pinta Ashraf. Rindu membantu Ashraf memilih buah-buahan segar. "Buat hajatan, Mas?" tany
Sepanjang perjalanan, Rindu menceritakan semua yang Sulastri katakannya. Ashraf menjadi pendengar yang baik dengan menyimak semua cerita yang disampaikan Rindu. Penolakan dan sikap kasar Sulastri membuat Rindu sangat sedih, apa lagi tuduhannya terhadap Alfian. Rindu tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi, ia meminta penjelasan, tapi Ashraf malah membawanya ke pemakaman."Kamu ingat makam ini?" tanya Ashraf begitu sampai di pemakaman Dirga dan Ningrum. Pemakamannya tampak terawat karena Alfian sudah mengutus seseorang untuk selalu merawat makam tersebut."Iya." Rindu mengangguk. Mana mungkin ia bisa lupa pada pemakanan yang setiap tahunnya selalu Rindu, Alfian dan Nurmala kunjungi."Yang ini makam Almarhum Pak Dirgantara dan yang ini makam Almarhumah Ibu Ningrum Ayuningtyas." Ashraf menunjuk makam kedua orang tua Rindu secara bergantian, kemudian menghela napas dengan berat, "Ini adalah makam kedua orang tua kamu. Ayah dan ibu kandung kamu."DEGJantung Rindu berdebar kencan
"Ashraf 'kok bilang gitu 'sih! Bukannya merayu Rindu supaya pilih kamu. Emangnya kamu nggak cemburu kalau nantinya Rindu nikah sama orang lain?" keluh Nurmala, ia tahu betapa cintanya Ashraf Pada Rindu. Nurmala tidak ingin melihat putranya patah hati.Ashraf tersenyum simpul, "Cemburu lah, Ma, tapi Ashraf nggak mau menentang takdir dari Allah. Selama ini Ashraf juga salah, mungkin Allah cemburu karena Ashraf terlalu mencintai makhluknya, makanya Allah mengirimkan pria yang insyaAllah lebih baik dari Ashraf, Ma. Lagian, Ashraf nggak tahu cara merayu perempuan yang belum Ashraf halalkan, Ma. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua.""Aamiin... MasyaAllah, Nak. Kamu 'tuh ikhlas banget." Nurmala mengusap lengan Ashraf penuh haru."Ashraf cuma bisa berjuang lewat doa, Ma. Apa yang melewatiku berarti dia bukan Takdirku dan apa yang menjadi takdirku tidak akan melewatiku," ujar Ashraf.Rindu meremas tangannya dan semakin menunduk karena rasa sungkan. Ia tidak pernah menyangka b
Gus Fahmi dan Ashraf berbincang-bincang layaknya teman sambil menikmati hidangan yang disajikan oleh tuan rumah. Siapa yang akan menyangka jika mereka sebenarnya adalah rival. Arman dan Ivan pun masih tidak percaya jika Ashraf dan Gus Fahmi sedang bersaing memperebutkan cintanya. Setelah beberapa saat waktu berlalu, Gus Fahmi pamit undur diri pada Ashraf."Saya duluan, ya! Karena saya masih ada urusan." Gus Fahmi berdiri, lalu bersalaman dengan Arman dan Ashraf."Iya, senang berjumpa dengan anda," ucap Ashraf dengan tulus."Semoga lain waktu kita masih bisa berjumpa." Gus Fahmi tak kalah ramahnya dengan Ashraf."Aamiin."Rindu dan Mina berdiri dan menunduk ketika Gus Fahmi dan Ivan berjalan melewati mereka. Sekilas Gus Fahmi melirik Rindu, lalu melempar senyumannya yang mempesona. Sudut mata Rindu masih sempat melihat tingkah Gus Fahmi, ia pun kian menunduk malu."Eh, kenapa kalian berdua malah berdiri, memangnya siapa barusan yang lewat?" tanya salah satu teman Rindu dan Mina."Itu G
"Rindu," pekik Ashraf saat melihat kening Rindu yang terluka dan berlumuran darah segar. Kaki Ashraf terasa lemas, tubuhnya lunglai, ia terduduk, lalu memangku kepala Rindu. Air mata Ashraf jatuh tanpa bisa dicegah. Ashraf langsung mati akal, ia tak tahu harus berbuat apa. "Rindu, bangun Rindu. Jangan tinggalin Kakak." Air mata Ashraf berjatuhan ke wajah Rindu yang tertutup cadar. Hatinya terlalu sakit melihat keadaan Rindu terluka parah.Satu-persatu orang-orang berdatangan mengerubungi Rindu, ada yang penasaran, ada juga yang merasa simpati. Orang-orang juga mengerubungi si penabrak dan memintanya untuk tanggungjawab."Rindu, bangun, Rin. Jangan tinggalin Kakak." Ashraf menepuk-nepuk pipi Rindu, tapi Rindu tak kunjung sadarkan diri. Ashraf sangat cemas, khawatir hal buruk terjadi pada Rindu. Tangannya sudah gemetar karena banyaknya darah Rindu yang keluar juga membasahi tangan dan kemeja yang Ashraf kenakan. Air mata terus saja mengalir tak mau berhenti. Kerudung panjang yang Rindu