Alfian sangat ingin Ashraf menikahi Rindu, karena memang itulah wasiat terakhir dari Dirga tapi ia sama sekali tidak ingin menyakiti Rindu apalagi dalam keadaan seperti ini. Ia takut Rindu merasa tertekan jika Alfian mengambil keputusan yang salah."Aku sangat berterima kasih atas niat baik kalian berdua, tapi untuk semua keputusan, aku pasrahkan kepada Rindu. Aku tidak ingin Rindu merasa terbebani dengan keputusanku." jawab Alfian sambil merangkul Nurmala yang masih menangis.Ashraf dan Gus Fahmi menunduk lesu mendengar jawaban dari Alfian. Tiba-tiba saja Hp Gus Fahmi berdering, ia pun pamit untuk menerima telepon.Ashraf memegang selembar resep obat, kemudian pergi menuju farmasi untuk menebus obat untuk Rindu, tak sengaja melihat Gus Fahmi yang tengah berdiri dengan telepon yang menempel di telinganya. Gus Fahmi sedang berdebat dengan seseorang di seberang telepon."Tapi Umi, bukankah Abi dan Umi sudah setuju aku menikahi Rindu?" tanya Gus Fahmi dengan frustasi karena keputusan Umi
Tiga bulan sudah berlalu, selama itu pula Rindu menjalani perawatan di rumah sakit. Sengaja Rindu dirawat di rumah sakit supaya pengobatan kakinya lebih maksimal. Dokter menyarankan supaya Rindu tidak terlalu memberi tekanan pada kakinya yang cedera karena belum sembuh total."Kenapa anda menunggu di luar? Jika ingin bertemu dengan Rindu, anda bisa masuk ke dalam!" Ashraf menganjurkan Sulastri yang mengintip Rindu lewat kaca di pintu. Ashraf tahu, jika Sulastri diam-diam sering ke rumah sakit untuk memantau kondisi Rindu. Ashraf menceritakan hal itu pada Rindu, pun meminta izin supaya memperbolehkan Sulastri untuk menjenguknya jika Sulastri ingin."Tidak perlu, Nak. Ibu pergi aja," tolak Sulastri karena malu mengingat semua dosa-dosanya pada Rindu selama ini."Tapi, ini Rindu yang meminta." Pernyataan Ashraf mampu menghentikan langkah Sulastri.***"Assalamu'alaikum..." Ashraf dan Sulastri serempak mengucap salam."Wassalamu'alaikum," jawab Rindu sembari mengulas senyum ramah pada Sul
Rindu mengambil blazer dan celana yang digantung di dalam lemari. Ia mempersiapkan pakaian untuk Ashraf kenakan di hari pertamanya menginginjakkan kaki di kantor. Ashraf keluar dari kamar mandi hanya dengan lilitan handuk di pinggangnya. Ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Ia mengulang percintaannya bersama sang istri selepas subuh."Kakak lebih suka yang warna hitam atau silver?" Rindu menunjukkan blazer warna hitam dan silver pada Ashraf."Rindu, apa yang kamu lakukan?" Ashraf terkejut melihat Rindu berdiri di depan lemari menggunakan kruk tongkat. Ia buru-buru menghampiri Rindu.Dengan sekali hentakan, Ashraf sudah mengendong Rindu, kemudian mendudukkannya di tepi ranjang. Kruk yang Rindu gunakan sudah terjatuh di lantai."Sayang, dokter 'kan sudah bilang jangan memberi tekanan pada kaki kamu. Kalau kamu jatuh gimana?" Ashraf berucap dengan nada cemas, ia tidak ingin Rindu mengalami kesulitan di kemudian hari."Kakak suka pakai jas yang warna hitam atau silve
2 tahun sudah berlalu, segala pengobatan sudah dilakukan untuk menyembuhkan kaki Rindu, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Memakai kruk tongkat saja, Rindu masih sering terjatuh, maka dari itu Ashraf melarang keras Rindu untuk berjalan menggunakan kruk. Selama 2 tahun ini, Rindu hanya bergantung pada kursi Roda untuk pergi kemana pun.Setelah sholat dan berdzikir, Ashraf duduk dengan tangan yang menengadah ke atas dan berdoa untuk keselamatan keluarganya dunia akhirat, serta meminta kesembuhan untuk istrinya. Rindu sebagai ma'mum, mengaminkan setiap doa-doa suaminya."Aamiin..." Ashraf dan Rindu meraupkan telapak tangan ke wajahnya. Rindu pun mencium tangan Ashraf. ***Ashraf mendorong kursi roda yang Rindu duduki memasuki sebuah restoran yang mewah. Mata para pengunjung menatap aneh ke arah Rindu. Menurut mereka, pria setampan Ashraf tidak cocok bersanding dengan wanita bercadar yang duduk di kursi roda. Tatapan mereka membuat Rindu semakin tidak percaya diri."Tumben Kakak bawa aku
"Kak, tumben nggak pakai jas?" tanya Rindu ketika Ashraf menyimpan kembali jas yang tadi sudah Rindu siapkan."Aku nggak ke kantor, Sayang." Jawab Ashraf sembari memakai arloji ke pergelangan tangannya."Terus mau kemana?" Rindu menatap Ashraf dengan tatapan menyelidik. Sejak bertemu dengan Senja, Rindu selalu menaruh curiga pada suaminya."Mau ke pembangunan proyek yang akan digunakan sebagai cabang perusahaan. Sekalian mau ketemu sama klien di restoran daerah sana." "Sama Kak Senja juga?" tanya Rindu dengan wajah cemberut. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang sedang cemburu.Ashraf menghela napas panjang, entah kenapa pertemuannya dengan Senja beberapa hari yang lalu malah membuat Rindu overprotektif padanya."Aku ikut kalau Kakak perginya sama Kak Senja!" Rindu menarik kemeja bagian kancing yang Ashraf kenakan, hingga tubuh Ashraf condong ke arahnya."Sayang, kemejaku abis disetrika, bisa kusut kalau kamu tarik dan remas begini," keluh Ashraf, tangannya bertumpu di kedua
BRAAAAKKKRindu mendorong Ashraf dengan kuat hingga keduanya terjatuh ke tanah sebelum besi berat menimpa mereka berdua."Kak, Kak Ashraf... Kamu nggak apa-apa?" Rindu yang panik mengguncang dada Ashraf yang masih tiduran di tanah."Rindu, kamu bisa jalan?" Ashraf berinsut duduk memperhatikan Rindu dengan tatapan terheran-heran. Ia masih belum percaya melihat istrinya bisa berjalan, semua ini terasa seperti mimpi baginya.Rindu tercengang, lalu melihat kakinya sendiri dan jarak mobil yang lumayan jauh."Kak, aku bisa jalan." Rindu tersenyum kegirangan sambil menatap Ashraf dengan mata berkaca-kaca. Rindu langsung berdiri, kemudian menggerakkan kakinya dengan riang gembira, ia sangat bahagia bisa kembali berjalan."Alhamdulillah, Sayang. Kamu bisa jalan." balas Ashraf yang tak kalah bahagianya dengan Rindu."Alhamdulillah, ya Allah... Akhirnya aku bisa jalan." Rindu berlutut ke tanah, kemudian melakukan sujud syukur. Kebahagiaan yang ia rasakan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata..
Ashraf sangat bahagia saat mengetahui kehamilan istrinya. Senyum di wajahnya terus mengembang. Ashraf mengurai pelukannya, lalu menggendong Rindu dengan tangan kekarnya. Ia terus melangkah, matanya fokus pada ranjang."Kak, apa-apaan 'sih! Aku udah bisa jalan. Kenapa mesti digendong." Meski protes, Rindu tetap mengalungkan tangannya ke leher Ashraf. Ia takut jatuh dari gendongan Ashraf, apalagi dia sedang berbadan dua."Ibu hamil itu harus di istimewakan." Bukannya menurunkan Rindu, Ashraf malah tersenyum, lalu mengecup bibir istrinya yang terlalu banyak bicara akhir-akhir ini."Iiih, nakal." Rindu tertawa seraya menarik hidung mancung suaminya dengan gemas. Ia sangat bahagia melihat Ashraf bahagia. Sudah lama Ashraf menantikan kehamilannya, dan sekarang satu persatu doa-doanya terwujud.“Nggak apa-apa, yang penting nakal sama istri sendiri.” Sejak menikahi Rindu, Ashraf sudah banyak membaca buku tentang wanita dan juga ibu hamil. Wanita hamil harus diberi perhatian lebih demi kesehat
"Aaakkkhhh..." Kanaya menjerit histeris sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangannya. Pipinya sudah basah oleh air mata, ia menangis sejadi-jadinya karena merasa hidupnya sudah hancur. Kehormatannya telah direnggut oleh pria yang tidak pernah ia kenal.Kanaya menggaruk tubuhnya dengan kasar hingga membekas goresan luka akibat kukunya. Terasa perih, tapi perihnya tidak bisa melampaui perih hati Kanaya.PRAAAANNKKKKanaya mengambil vas bunga yang bertengger di atas meja, lalu membantingnya di lantai hingga pecahan beling berserakan di mana-mana. Kanaya turun dari ranjangnya, mengambil satu pecahan beling. Dengan tangan gemetar dan pandangan mata yang buram karena air mata, Kanaya hendak menggoreskannya ke pergelangan tangan."1000 kali pun bersyahadat, jika mati karena bunuh diri, maka pelakunya akan kekal di neraka. Semua manusia itu pasti diuji. Ujiannya pun berbeda-beda. Yang pasti, Allah tidak akan menguji manusia melebihi batas kemampuannya, " tiba-tiba nasehat Rindu t
“Kamu nggak apa-apa ‘kan?” tanya Kurnia setelah melepaskan lengan Dimas.“Tidak apa, terima kasih.” Jawab Dimas, kemudian menghampiri Tania yang menatapnya dengan kesal.Kurnia terkejut melihat Rian ada bersama Kanaya. Kurnia tak mempedulikan Rian, dia lebih memilih menyapa Kanaya dan Nurmala dengan mengurai senyuman hangat sebagai salam perkenalan. Kanaya dan Nurmala pun balas tersenyum.“Bu, kenapa anda ada di sini?” tanya Rian dengan sopan saat melihat Bos-nya. Rian merupakan karyawan di perusahaan Manufaktur yang didirikan oleh keluarga Kurnia.“Saya temannya Dimas, kamu sendiri kenapa di sini?” Kurnia balik bertanya.“Oh, Tania adalah anak dari tunangan saya.” Rian melirik Kanaya sebagai isyarat jika Kanaya adalah calon istrinya.“Oh.” Kurnia hanya menganggukkan kepala, hatinya memikirkan kacaunya perasaan Dimas yang ada dalam satu ruangan dengan mantan istri dan calon suaminya.“Kalian saling kenal?” tanya Nurmala.“Iya, beliau anak dari perusahaan Manufaktur tempat saya bekerj
“Dimas memang mantan pacarku, tapi hubungan kami sudah lama berakhir jauh sebelum Dimas kenal sama kamu, itu pun karena aku mengkhianati Dimas dan hanya mengincar uang Dimas. Setelah itu, kami nggak pernah punya hubungan apa pun lagi.Setelah bertahun-tahun nggak ketemu, akhirnya aku ketemu Dimas lagi saat Tante Lilis kenalin aku sama kamu dan keluarganya untuk dijodohkan dengan Ardi. Dimas nggak pernah mengkhianati kamu, aku memfitnah Dimas karena Dimas bongkar keburukanku sama Ardi, makanya Ardi nggak mau nikahin aku. Aku juga yang buat laporan palsu ke polisi kalau Dimas itu pengedar narkoba, aku dan Tante Lilis yang sudah bersekongkol karena kami punya dendam pada Dimas. Kami menyuap para penegak hukum supaya Dimas mendekam lama di penjara.”Kejujuran Sonya terasa seperti tamparan keras yang memporak-porandakan hati Kanaya. Ia menatap Sonya dengan tatapan penuh luka bercampur marah, andaikan dirinya lebih percaya pada Dimas, tentu saja Tania tidak akan kehilangan kasih sayang seor
“Padahal sudah minum obat, tapi demamnya nggak turun-turun, Ma.” Kanaya mengadu pada Nurmala sembari mengompres kening Tania dengan handuk basah.Kanaya sangat khawatir karena sudah 7 hari ini Tania sakit, akan tetapi semakin hari kondisinya semakin memburuk. Mata Tania terus terpejam, sementara bibirnya selalu memanggil ‘Papa’.“Nay, sepertinya Tania kangen sama Papanya. Suruh Papanya ke sini siapa tahu Tania bisa cepet sembuh,” Nurmala tidak ingin melihat kesehatan cucunya semakin menurun karena merindukan ayah kandungnya.“Tidak ada ruang untuk pria itu di sini.” Ujar Alfian yang baru tiba di bangsal setelah pulang dari kantor.“Walau bagaimana pun Dimas adalah orang tuanya Tania, dia berhak tahu kondisi putrinya.”“Aku tidak mau pria itu memberi pengaruh buruk pada Tania.” Alfian masih belum bisa memaafkan pengkhianatan Dimas pada Kanaya di masa lalu.“Yang penting kita selalu mengawasi Tania dan mendidiknya. Dengan memisahkan Tania dan Dimas, itu sama saja kamu menyiksa Tania. Ya
Bunyi ketukan pintu membuat Dimas yang sedang menulis terlonjak kegirangan. Ia buru-buru mengambil tongkat kruk dan langkah tertatih-tatih pergi ke pintu utama karena tidak ingin Kanaya menunggunya terlalu lama.“Kamu siapa?” senyum di wajah Dimas mendadak surut saat melihat bukan Kanaya yang datang ke apartemennya.“Saya Reno, Nyonya Kanaya menyuruh saya untuk menjaga dan membantu anda menulis terjemahan bahasa asing.” Reno tak kalah terkejutnya melihat pria yang harus dijaganya adalah mantan suami dari majikannya. Reno ingat betul dulu ketika selesai akad nikah, Dimas melumat ****** Kanaya dengan rakus.“Kenapa bukan Kanaya yang datang kemari?” tanya Dimas dengan kecewa.“Nyonya Kanaya sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Pak Rian.”DEGJantung Dimas sakit serasa disambar petir, dunia terasa berputar, kepalanya tiba-tiba pusing hingga membuat tubuhnya oleng. Beruntung Dimas berpegangan pada bingkai pintu untuk menopang berat tubuhnya.“Pak, anda baik-baik saja?” Reno deng
“Kapan kau akan bayar hutangmu?”“Beri aku waktu, sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan uangnya. Aaaaghh...” Rian berteriak kesakitan saat tangannya dipelintir.“2 minggu yang lalu kau juga berkata begitu.” Rentenir itu merampas kontak mobil dan kunci rumah milik Rian. “Sita semua barang-barang di rumah ini.”“Jangan, Pak. Aku mohon jangan sita mobil saya, saya pasti akan melunasi semua hutang-hutang saya.”“Mau bayar pakai apa, hah? Ingat, kalau sampai 2 minggu kau belum membayar hutangmu, maka rumahmu akan aku sita.”Rian hanya bisa pasrah melihat satu-persatu barang dalam rumahnya digotong keluar. Usahanya yang bangkrut membuatnya terlilit hutang pada lintah darat. Satu-satunya harapan adalah dengan menikahi Kanaya dan menguras semua hartanya, akan tetapi wanita itu sangat sulit untuk didekati.***Satu minggu kemudian, Kanaya mengantarkan Dimas ke apartemennya karena Dimas ngotot ingin pulang. Ia takut tagihan rumah sakit akan membengkak dan Dimas tidak bisa membayarnya.Begitu
“Ini yang namanya musibah membawa berkah.” Dimas sangat ikhlas mendapat musibah seperti ini, jika Kanaya dan Tania bisa kembali padanya.“Maksudnya?” tanya Kanaya dengan kening berkerut.“Kalau bukan karena menambrakku, mungkin kamu tidak akan mau duduk di dekatku.”Kanaya mengedarkan pandangannya, atmosfir ruangan mendadak terasa panas meski AC sudah menyala. Kanaya menggigit bibir bawahnya, rasa canggung tiba-tiba merayap menyelimuti hati Kanaya.Dimas melihat makanan di atas nakas yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pasien. “Itu makanan untukku?”Kanaya mengikuti arah mata Dimas memandang. “Iya.”“Aku lapar.” Dimas sengaja mengalihkan pembicaraan karena tidak mau melihat Kanaya terus larut dengan rasa bersalahnya. Kanaya mengambil makanan di laci, lalu menyodorkannya pada Dimas.“Bagaimana aku bisa makan kalau kedua tanganku tidak bisa bergerak?”“Bukannya cuma tangan kirimu yang cedera?” Kanaya menatap Dimas dengan tatapan memicing penuh selidik, sebab tangan Dimas yang d
“Pak Dimas, anda sedang apa di sini?” pertanyaan yang terlontar dari sekurity berhasil membuyarkan lamunan Dimas.“Siapa pria yang menggendong Tania?” tanya Dimas to the point.“Oh, dia Pak Rian. Temannya Tuan Ashraf.”“Suaminya Kanaya?” tanya Dimas lagi.“Oh, bukan, Pak. Nyona Tania belum menikah lagi setelah berpisah dari anda.”“Ok.” Perasaan lega seketika menyelimuti hati Dimas. “Jangan katakan pada siapa pun kalau aku datang kemari, aku hanya ingin melihat putriku dari jauh.”Sekurity tidak menanggapi permintaan Dimas, dia lebih setia pada majikan yang menggajinya tiap bulan. Dimas pergi dengan perasaan lega karena memiliki buah hati yang cantik.***“Ma, benar ya tadi itu Papaku?” tanya Tania yang sangat penasaran dengan sosok Dimas karena mengaku sebagai papanya.“Kamu nggak perlu tahu tentang dia. Pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat sama dia.”“Memangnya kenapa, Ma?”“Mama nggak mau dia misahin kita, Sayang.” Kanaya memeluk Tania yang rebahan di atas ranjang dengan erat.“Ma
“Apa maksudmu?” Kanaya pura-pura tidak tahu maksud dari perkataan Dimas.“Jangan membodohiku, aku tahu Tania adalah putriku.”“Dia anakku, bukan anakmu.” Kanaya berdiri, kemudian menyembunyikan Tania di balik tubuhnya.Sikap Kanaya malah membuat Dimas semakin kesal, dia sudah berani merahasiakan kelahiran Tania dan masih ingin menjauhkannya dari Dimas.“Bagaimana jika aku menuntutmu ke pengadilan karena sudah menyembunyikan kelahiran Tania dariku, lalu mengambil hak asuhnya?” Dimas menggertak Kanaya. Ia sama sekali tidak memiliki niat untuk memisahkan Kanaya dari putrinya.Kanaya tersentak kaget takut dengan ancaman Dimas. Raut wajahnya yang tegas berubah menjadi panik hingga membuat Dimas semakin yakin jika Tania adalah putri kandungnya.“Dia memang anak kita ‘kan?” tanya Dimas lagi dengan tatapan mata memicing.Dimas memang marah karena Kanaya sudah merahasiakan kelahiran Tania darinya, tapi ia juga berharap masih memiliki kesempatan untuk kembali pada Kanaya dan bersama-sama membes
"Dia bukan anakmu. Dia anakku," jawab Kanaya dengan tegas.Kanaya sangat mengenal watak Dimas yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan, apalagi jika dia tahu Tania adalah darah dagingnya.“Apa kamu sudah menikah?” tanya Dimas dengan rasa sakit yang menusuk di hati. Dadanya sudah kembang kempis menunggu jawaban Kanaya.“I, iya.” Kanaya terpaksa berbohong karena takut Dimas akan merebut putrinya. Ia tidak mau kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupnya.Jawaban Kanaya benar-benar melukai hati Dimas. Kanaya terpaksa berbohong karena tidak ingin berurusan lagi dengan Dimas, apalagi jika Dimas sampai merebut putrinya.“Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu.” Dimas yang patah hati langsung memutus sambungan teleponnya secara sepihak. Dimas menghela napas berat, ini bukan saatnya untuk frustasi, ia harus mencari pekerjaan untuk melanjutkan sisa hidupnya.“Siapa yang telepon, Ma?” tanya Tania.“Teman Mama, Nak.” Jawab Kanaya membari mengusap ra