Tiga bulan sudah berlalu, selama itu pula Rindu menjalani perawatan di rumah sakit. Sengaja Rindu dirawat di rumah sakit supaya pengobatan kakinya lebih maksimal. Dokter menyarankan supaya Rindu tidak terlalu memberi tekanan pada kakinya yang cedera karena belum sembuh total."Kenapa anda menunggu di luar? Jika ingin bertemu dengan Rindu, anda bisa masuk ke dalam!" Ashraf menganjurkan Sulastri yang mengintip Rindu lewat kaca di pintu. Ashraf tahu, jika Sulastri diam-diam sering ke rumah sakit untuk memantau kondisi Rindu. Ashraf menceritakan hal itu pada Rindu, pun meminta izin supaya memperbolehkan Sulastri untuk menjenguknya jika Sulastri ingin."Tidak perlu, Nak. Ibu pergi aja," tolak Sulastri karena malu mengingat semua dosa-dosanya pada Rindu selama ini."Tapi, ini Rindu yang meminta." Pernyataan Ashraf mampu menghentikan langkah Sulastri.***"Assalamu'alaikum..." Ashraf dan Sulastri serempak mengucap salam."Wassalamu'alaikum," jawab Rindu sembari mengulas senyum ramah pada Sul
Rindu mengambil blazer dan celana yang digantung di dalam lemari. Ia mempersiapkan pakaian untuk Ashraf kenakan di hari pertamanya menginginjakkan kaki di kantor. Ashraf keluar dari kamar mandi hanya dengan lilitan handuk di pinggangnya. Ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Ia mengulang percintaannya bersama sang istri selepas subuh."Kakak lebih suka yang warna hitam atau silver?" Rindu menunjukkan blazer warna hitam dan silver pada Ashraf."Rindu, apa yang kamu lakukan?" Ashraf terkejut melihat Rindu berdiri di depan lemari menggunakan kruk tongkat. Ia buru-buru menghampiri Rindu.Dengan sekali hentakan, Ashraf sudah mengendong Rindu, kemudian mendudukkannya di tepi ranjang. Kruk yang Rindu gunakan sudah terjatuh di lantai."Sayang, dokter 'kan sudah bilang jangan memberi tekanan pada kaki kamu. Kalau kamu jatuh gimana?" Ashraf berucap dengan nada cemas, ia tidak ingin Rindu mengalami kesulitan di kemudian hari."Kakak suka pakai jas yang warna hitam atau silve
2 tahun sudah berlalu, segala pengobatan sudah dilakukan untuk menyembuhkan kaki Rindu, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Memakai kruk tongkat saja, Rindu masih sering terjatuh, maka dari itu Ashraf melarang keras Rindu untuk berjalan menggunakan kruk. Selama 2 tahun ini, Rindu hanya bergantung pada kursi Roda untuk pergi kemana pun.Setelah sholat dan berdzikir, Ashraf duduk dengan tangan yang menengadah ke atas dan berdoa untuk keselamatan keluarganya dunia akhirat, serta meminta kesembuhan untuk istrinya. Rindu sebagai ma'mum, mengaminkan setiap doa-doa suaminya."Aamiin..." Ashraf dan Rindu meraupkan telapak tangan ke wajahnya. Rindu pun mencium tangan Ashraf. ***Ashraf mendorong kursi roda yang Rindu duduki memasuki sebuah restoran yang mewah. Mata para pengunjung menatap aneh ke arah Rindu. Menurut mereka, pria setampan Ashraf tidak cocok bersanding dengan wanita bercadar yang duduk di kursi roda. Tatapan mereka membuat Rindu semakin tidak percaya diri."Tumben Kakak bawa aku
"Kak, tumben nggak pakai jas?" tanya Rindu ketika Ashraf menyimpan kembali jas yang tadi sudah Rindu siapkan."Aku nggak ke kantor, Sayang." Jawab Ashraf sembari memakai arloji ke pergelangan tangannya."Terus mau kemana?" Rindu menatap Ashraf dengan tatapan menyelidik. Sejak bertemu dengan Senja, Rindu selalu menaruh curiga pada suaminya."Mau ke pembangunan proyek yang akan digunakan sebagai cabang perusahaan. Sekalian mau ketemu sama klien di restoran daerah sana." "Sama Kak Senja juga?" tanya Rindu dengan wajah cemberut. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang sedang cemburu.Ashraf menghela napas panjang, entah kenapa pertemuannya dengan Senja beberapa hari yang lalu malah membuat Rindu overprotektif padanya."Aku ikut kalau Kakak perginya sama Kak Senja!" Rindu menarik kemeja bagian kancing yang Ashraf kenakan, hingga tubuh Ashraf condong ke arahnya."Sayang, kemejaku abis disetrika, bisa kusut kalau kamu tarik dan remas begini," keluh Ashraf, tangannya bertumpu di kedua
BRAAAAKKKRindu mendorong Ashraf dengan kuat hingga keduanya terjatuh ke tanah sebelum besi berat menimpa mereka berdua."Kak, Kak Ashraf... Kamu nggak apa-apa?" Rindu yang panik mengguncang dada Ashraf yang masih tiduran di tanah."Rindu, kamu bisa jalan?" Ashraf berinsut duduk memperhatikan Rindu dengan tatapan terheran-heran. Ia masih belum percaya melihat istrinya bisa berjalan, semua ini terasa seperti mimpi baginya.Rindu tercengang, lalu melihat kakinya sendiri dan jarak mobil yang lumayan jauh."Kak, aku bisa jalan." Rindu tersenyum kegirangan sambil menatap Ashraf dengan mata berkaca-kaca. Rindu langsung berdiri, kemudian menggerakkan kakinya dengan riang gembira, ia sangat bahagia bisa kembali berjalan."Alhamdulillah, Sayang. Kamu bisa jalan." balas Ashraf yang tak kalah bahagianya dengan Rindu."Alhamdulillah, ya Allah... Akhirnya aku bisa jalan." Rindu berlutut ke tanah, kemudian melakukan sujud syukur. Kebahagiaan yang ia rasakan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata..
Ashraf sangat bahagia saat mengetahui kehamilan istrinya. Senyum di wajahnya terus mengembang. Ashraf mengurai pelukannya, lalu menggendong Rindu dengan tangan kekarnya. Ia terus melangkah, matanya fokus pada ranjang."Kak, apa-apaan 'sih! Aku udah bisa jalan. Kenapa mesti digendong." Meski protes, Rindu tetap mengalungkan tangannya ke leher Ashraf. Ia takut jatuh dari gendongan Ashraf, apalagi dia sedang berbadan dua."Ibu hamil itu harus di istimewakan." Bukannya menurunkan Rindu, Ashraf malah tersenyum, lalu mengecup bibir istrinya yang terlalu banyak bicara akhir-akhir ini."Iiih, nakal." Rindu tertawa seraya menarik hidung mancung suaminya dengan gemas. Ia sangat bahagia melihat Ashraf bahagia. Sudah lama Ashraf menantikan kehamilannya, dan sekarang satu persatu doa-doanya terwujud.“Nggak apa-apa, yang penting nakal sama istri sendiri.” Sejak menikahi Rindu, Ashraf sudah banyak membaca buku tentang wanita dan juga ibu hamil. Wanita hamil harus diberi perhatian lebih demi kesehat
"Aaakkkhhh..." Kanaya menjerit histeris sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangannya. Pipinya sudah basah oleh air mata, ia menangis sejadi-jadinya karena merasa hidupnya sudah hancur. Kehormatannya telah direnggut oleh pria yang tidak pernah ia kenal.Kanaya menggaruk tubuhnya dengan kasar hingga membekas goresan luka akibat kukunya. Terasa perih, tapi perihnya tidak bisa melampaui perih hati Kanaya.PRAAAANNKKKKanaya mengambil vas bunga yang bertengger di atas meja, lalu membantingnya di lantai hingga pecahan beling berserakan di mana-mana. Kanaya turun dari ranjangnya, mengambil satu pecahan beling. Dengan tangan gemetar dan pandangan mata yang buram karena air mata, Kanaya hendak menggoreskannya ke pergelangan tangan."1000 kali pun bersyahadat, jika mati karena bunuh diri, maka pelakunya akan kekal di neraka. Semua manusia itu pasti diuji. Ujiannya pun berbeda-beda. Yang pasti, Allah tidak akan menguji manusia melebihi batas kemampuannya, " tiba-tiba nasehat Rindu t
Kanaya meremas sprei ranjangnya. Bisa-bisanya Zivanna berkata demikian. Andaikan Zivanna tidak membaca diary Kanaya, ia takkan tahu jika Kanaya sudah lama mencintai Ardi.Sejak saat itu, Kanaya tak lagi menulis isi hatinya di dalam diary. Kanaya merasa kecolongan dan malu setengah mati. Apalagi Zivanna sering mengancam akan memberi tahu semua orang tentang perasaannya pada Ardi jika Kanaya tidak menuruti semua keinginannya."Zivanna, kamu ngomong apa 'sih?" Nurmala mencolek lengan Zivanna. Ia merasa malu atas sikap putri bungsunya."Upss... Maaf keceplosan." Zivanna menutup mulutnya sendiri sambil terkikik."Maaf ya, Di. Zivanna kalau ngomong emang nggak pernah difilter, suka ngasal," ujar Ashraf yang merasa tidak enak hati pada Ardi."Loh, kata Papa aku 'tuh mirip sama Mama!" celetuk Zivanna sambil bersiku pinggang menatap Ashraf."Duh, ini anak." Nurmala menepuk lengan Zivanna dengan sebal."Nggak apa-apa, Tante. Saya senang 'kok!" sahut Ardi sembari mengulas senyum."Tapi, kalau ka