2 tahun sudah berlalu, segala pengobatan sudah dilakukan untuk menyembuhkan kaki Rindu, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Memakai kruk tongkat saja, Rindu masih sering terjatuh, maka dari itu Ashraf melarang keras Rindu untuk berjalan menggunakan kruk. Selama 2 tahun ini, Rindu hanya bergantung pada kursi Roda untuk pergi kemana pun.Setelah sholat dan berdzikir, Ashraf duduk dengan tangan yang menengadah ke atas dan berdoa untuk keselamatan keluarganya dunia akhirat, serta meminta kesembuhan untuk istrinya. Rindu sebagai ma'mum, mengaminkan setiap doa-doa suaminya."Aamiin..." Ashraf dan Rindu meraupkan telapak tangan ke wajahnya. Rindu pun mencium tangan Ashraf. ***Ashraf mendorong kursi roda yang Rindu duduki memasuki sebuah restoran yang mewah. Mata para pengunjung menatap aneh ke arah Rindu. Menurut mereka, pria setampan Ashraf tidak cocok bersanding dengan wanita bercadar yang duduk di kursi roda. Tatapan mereka membuat Rindu semakin tidak percaya diri."Tumben Kakak bawa aku
"Kak, tumben nggak pakai jas?" tanya Rindu ketika Ashraf menyimpan kembali jas yang tadi sudah Rindu siapkan."Aku nggak ke kantor, Sayang." Jawab Ashraf sembari memakai arloji ke pergelangan tangannya."Terus mau kemana?" Rindu menatap Ashraf dengan tatapan menyelidik. Sejak bertemu dengan Senja, Rindu selalu menaruh curiga pada suaminya."Mau ke pembangunan proyek yang akan digunakan sebagai cabang perusahaan. Sekalian mau ketemu sama klien di restoran daerah sana." "Sama Kak Senja juga?" tanya Rindu dengan wajah cemberut. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang sedang cemburu.Ashraf menghela napas panjang, entah kenapa pertemuannya dengan Senja beberapa hari yang lalu malah membuat Rindu overprotektif padanya."Aku ikut kalau Kakak perginya sama Kak Senja!" Rindu menarik kemeja bagian kancing yang Ashraf kenakan, hingga tubuh Ashraf condong ke arahnya."Sayang, kemejaku abis disetrika, bisa kusut kalau kamu tarik dan remas begini," keluh Ashraf, tangannya bertumpu di kedua
BRAAAAKKKRindu mendorong Ashraf dengan kuat hingga keduanya terjatuh ke tanah sebelum besi berat menimpa mereka berdua."Kak, Kak Ashraf... Kamu nggak apa-apa?" Rindu yang panik mengguncang dada Ashraf yang masih tiduran di tanah."Rindu, kamu bisa jalan?" Ashraf berinsut duduk memperhatikan Rindu dengan tatapan terheran-heran. Ia masih belum percaya melihat istrinya bisa berjalan, semua ini terasa seperti mimpi baginya.Rindu tercengang, lalu melihat kakinya sendiri dan jarak mobil yang lumayan jauh."Kak, aku bisa jalan." Rindu tersenyum kegirangan sambil menatap Ashraf dengan mata berkaca-kaca. Rindu langsung berdiri, kemudian menggerakkan kakinya dengan riang gembira, ia sangat bahagia bisa kembali berjalan."Alhamdulillah, Sayang. Kamu bisa jalan." balas Ashraf yang tak kalah bahagianya dengan Rindu."Alhamdulillah, ya Allah... Akhirnya aku bisa jalan." Rindu berlutut ke tanah, kemudian melakukan sujud syukur. Kebahagiaan yang ia rasakan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata..
Ashraf sangat bahagia saat mengetahui kehamilan istrinya. Senyum di wajahnya terus mengembang. Ashraf mengurai pelukannya, lalu menggendong Rindu dengan tangan kekarnya. Ia terus melangkah, matanya fokus pada ranjang."Kak, apa-apaan 'sih! Aku udah bisa jalan. Kenapa mesti digendong." Meski protes, Rindu tetap mengalungkan tangannya ke leher Ashraf. Ia takut jatuh dari gendongan Ashraf, apalagi dia sedang berbadan dua."Ibu hamil itu harus di istimewakan." Bukannya menurunkan Rindu, Ashraf malah tersenyum, lalu mengecup bibir istrinya yang terlalu banyak bicara akhir-akhir ini."Iiih, nakal." Rindu tertawa seraya menarik hidung mancung suaminya dengan gemas. Ia sangat bahagia melihat Ashraf bahagia. Sudah lama Ashraf menantikan kehamilannya, dan sekarang satu persatu doa-doanya terwujud.“Nggak apa-apa, yang penting nakal sama istri sendiri.” Sejak menikahi Rindu, Ashraf sudah banyak membaca buku tentang wanita dan juga ibu hamil. Wanita hamil harus diberi perhatian lebih demi kesehat
"Aaakkkhhh..." Kanaya menjerit histeris sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangannya. Pipinya sudah basah oleh air mata, ia menangis sejadi-jadinya karena merasa hidupnya sudah hancur. Kehormatannya telah direnggut oleh pria yang tidak pernah ia kenal.Kanaya menggaruk tubuhnya dengan kasar hingga membekas goresan luka akibat kukunya. Terasa perih, tapi perihnya tidak bisa melampaui perih hati Kanaya.PRAAAANNKKKKanaya mengambil vas bunga yang bertengger di atas meja, lalu membantingnya di lantai hingga pecahan beling berserakan di mana-mana. Kanaya turun dari ranjangnya, mengambil satu pecahan beling. Dengan tangan gemetar dan pandangan mata yang buram karena air mata, Kanaya hendak menggoreskannya ke pergelangan tangan."1000 kali pun bersyahadat, jika mati karena bunuh diri, maka pelakunya akan kekal di neraka. Semua manusia itu pasti diuji. Ujiannya pun berbeda-beda. Yang pasti, Allah tidak akan menguji manusia melebihi batas kemampuannya, " tiba-tiba nasehat Rindu t
Kanaya meremas sprei ranjangnya. Bisa-bisanya Zivanna berkata demikian. Andaikan Zivanna tidak membaca diary Kanaya, ia takkan tahu jika Kanaya sudah lama mencintai Ardi.Sejak saat itu, Kanaya tak lagi menulis isi hatinya di dalam diary. Kanaya merasa kecolongan dan malu setengah mati. Apalagi Zivanna sering mengancam akan memberi tahu semua orang tentang perasaannya pada Ardi jika Kanaya tidak menuruti semua keinginannya."Zivanna, kamu ngomong apa 'sih?" Nurmala mencolek lengan Zivanna. Ia merasa malu atas sikap putri bungsunya."Upss... Maaf keceplosan." Zivanna menutup mulutnya sendiri sambil terkikik."Maaf ya, Di. Zivanna kalau ngomong emang nggak pernah difilter, suka ngasal," ujar Ashraf yang merasa tidak enak hati pada Ardi."Loh, kata Papa aku 'tuh mirip sama Mama!" celetuk Zivanna sambil bersiku pinggang menatap Ashraf."Duh, ini anak." Nurmala menepuk lengan Zivanna dengan sebal."Nggak apa-apa, Tante. Saya senang 'kok!" sahut Ardi sembari mengulas senyum."Tapi, kalau ka
"Nay, kamu nggak apa-apa 'kan?" tanya Rindu dengan cemas karena Kanaya berdiri di antara pecahan beling, Rindu khawatir beling bisa melukai kaki Kanaya.Kanaya terpaku di tempatnya berdiri, kakinya terasa kaku dan sekujur tubuhnya sangat tegang. Beruntung Kanaya memakai sandal jepit yang melindungi kakinya."Bawa adikmu ke sini, Nak!" pinta Nurmala."Iya, Ma." Rindu menarik tangan Kanaya hingga membuat Kanaya tersentak kaget setelah sadar dari keterkejutannya.Rindu menyeret Kanaya dan membawanya duduk di kursi ruang makan, tepat di hadapan Dimas. Kanaya semakin tegang dan salah tingkah berhadapan dengan Dimas."Nay, muka kamu pucet begitu, kamu sakit, ya?" tanya Nurmala sambil memperhatikan wajah pucat Kanaya yang basah dengan keringat dingin."Nggak panas 'kok." Rindu memeriksa kening Kanaya dengan telapak tangannya. "Kamu makan dulu, terus minum obat, lalu istirahat di kamar." Setelah memberi nasihat, Rindu bergegas pergi mengambil sapu dan sekrup sampah untuk membersihkan pecahan
“Kamu mau membuka lembaran baru, tapi memaksaku seperti ini.”“Memangnya kenapa? Jangankan memelukmu seperti ini, bahkan sudah sewajarnya sepasang suami istri melakukan hubungan intim, lalu di mana letak masalahnya?” Dimas mengecup puncak kepala istrinya.“Masalahnya ada sejak aku ketemu sama kamu, bahkan caramu menikahiku sangat salah. ” Kanaya mendongak, menatap Dimas dengan tatapan dingin. “Sekarang lepasin aku, pagi ini aku ada kuis di kampus!!”Meski enggan, Dimas tetap melepaskan Kanaya dari pelukannya. Wanita itu turun dari ranjang dan bergegas pergi ke kamar mandi. Kanaya mengguyur tubuhnya dengan air shower, ia merenungkan permintaan Dimas yang terngiang-ngiang di telinganya. Apakah Dimas bisa menjadi suami yang bertanggungjawab terhadapnya. Apakah Kanaya harus memberi Dimas kesempatan untuk membuktikan perkataannya.Dimas menyambar air dari botol yang ada di atas meja, lalu meminumnya hingga tersisa setengah botol. Setelah itu, Dimas mengambil sebatang rokok dari bungkusnya