Mobil masuk melewati pintu gerbang, lalu meluncur mulus melewati deretan pohon palem yang ditanam sepanjang jalan sampai ke pintu depan rumah keluarga Sultan. Tepat di depan pintu utama, mobil berhenti.
“Masuk dulu, Mas,” kata Wati berbasa-basi.
Alde menunduk ke arah pergelangan tangan kirinya, tempat jam tangan mewah bersepuh emas melingkar dengan elegan.
“Lain kali saja, Shelia. Terima kasih. Aku masih ada janji yang lain,” tolak Alde.
Wati mengangguk tanpa berusaha membujuk. Toh ia memang tak berharap Alde mau turun. Apalagi setelah kejadian telepon di restoran tadi.
“Oke. Hati-hati di jalan, Mas,” kata Wati.
Mobil berputar arah. Alde melambaikan tangan sebelum mobil meluncur pergi. Setelah membalas lambaian tangan Alde, Wati langsung berbalik untuk masuk rumah. Ia tak merasa perlu repot-repot menunggu mobil Alde menghil
“Jadi mereka sepasang kekasih,” cetus Wati dengan hati yang perih.Tatkala Alde dibawa ke rumah keluarga Sultan dan dikenalkan sebagai tunangannya, Wati berpikir hidupnya seperti di negeri dongeng. Aldebaran adalah pangeran tampan berkuda putih seperti dalam dongeng putri Disney. Ternyata semua itu hanya ilusi.“Mengapa Ibu tidak menceritakan hal ini sebelumnya? Jika Alde adalah tunangan Raya, mengapa dia ditawarkan kepadaku?” tanya Wati lagi dengan suara serak karena menahan tangis yang hampir tumpah.“Maafkan Ibu. Ibu juga tidak menyangka bahwa Alde ternyata sungguh-sungguh mencintai Raya dan sebaliknya. Selama ini Ibu berpikir, Alde dan Raya menerima pertunangan ini sebagai perjodohan bisnis. Mereka berdua mau dijodohkan karena tahu bahwa mereka harus menikah demi hubungan baik antar keluarga. Oleh karena itulah, ketika Raya diketahui bukan anak Ibu, Alde kami jodohkan denganmu,” je
Mobil kecil berjenis city car yang sedang melaju itu bukan mobil yang biasa keluar. Dedy mengamati mobil itu dengan ekspresi ragu. Tiba-tiba mobil itu menepi di sebuah kios buah-buahan di pinggir jalan. Wati keluar dan membeli buah. Melihat Wati, Dedy menatap tajam istrinya tersebut.Dedy menghampiri seorang tukang ojek yang sedang mangkal sambil terkantuk-kantuk.“Pak, saya mau minta antar,” kata Dedy kepada seorang lelaki yang umurnya tak berbeda jauh dengan dirinya.“Ke mana, Pak?” jawab si supir ojek sopan.“Ikuti mobil yang baru jalan itu.” Dedy menunjuk mobil Wati yang kembali melaju setelah Wati selesai berbelanja buah.“Siap!” supir ojek memberikan helm kepada Dedy.Dedy menguntit mobil Wati.***“Wati, buat apa kamu repot-repot begini,” ujar Bu Nara seraya t
Wati mengangguk pertanda setuju dengan ucapan Bu Nara.“Iya, Bu. Aku juga berencana untuk membatalkan pertunanganku dengan Alde. Aku akan mengatakannya kepada ibuku nanti. Saat ini, aku hanya memerlukan teman untuk mendengarkan keluh kesahku,” desah Watiseraya mengusap air mata yang meleleh di pipi.Bu Nara meraih Wati ke dalam pelukan, lalu mengusap-usap punggung Wati dengan penuh kasih sayang. Wati merasakan hangatnya rangkulan Bu Nara seperti layaknya kehangatan dekapan seorang ibu kandung. Wati menghirup aroma Bu Nara dalam-dalam dan ia merasakan ketenangan merasuki jiwanya.“Jangan sedih atau putus asa. Ibu yakin, suatu saat akan kamu temukan cinta sejati,” hibur Bu Nara.“Semoga, Bu. Aku sangat ingin menemukan cinta sejati di dalam hidupku,” balas Wati dengan suara bergetar menahan tangis.Meski mendapat penghiburan dari Bu Nara, na
“Siapa kamu?” teriak Wati keras. Ia sengaja berteriak galak untuk meredakan kecamuk gugup di dalam dadanya sendiri. Mungkinkah orang yang semobil dengannya itu Dedy seperti dugaannya? Dedy menoleh dan menyeringai ke arah Wati. Wati terkesiap. Wajahnya memucat, sedangkan tangannya gemetaran. Wajah itu wajah Dedy, namun lebih mengerikan daripada terakhir kali Wati bertemu dengan Dedy. Sorot mata Dedy memancarkan kenekadan dan kebuasan seekor binatang pemangsa. Baret di pipi Dedy menambah seram raut wajahnya. “Sekarang kamu tidak akan bisa lepas dariku,” desis Dedy seraya memamerkan gigi-giginya yang sudah lama tidak disikat, menguning seperti gigi yang lapuk. Wati meringkuk di kursinya. Mata Wati liar mengamati suasana di luar mobil. Jalan yang ditempuh Dedy semakin sepi. Wati ingin berteriak tapi pasti percuma saja. Memecahkan kaca jendela mobil bukan pilihan bagus, Wati tidak memiliki alat untuk menghancurkan kaca depan, sedangkan jendela belakang terbuat dari plastik yang tebal. P
“Aduh!” keluh itu begitu saja meluncur dari bibir Pak Arya, ketika ia sadar dari pingsan. Rasa sakit di bagian kepala yang kena pukul membuat Pak Arya mengernyitkan dahi, sementara tangannya naik mengelus bagian belakang kepalanya yang terasa nyeri. Mulut Pak Arya terus berdesis menahan sakit, tapi pikirannya sudah mulai bisa berpikir. Hal pertama yang disadari Pak Arya adalah pakaiannya yang telah berganti tanpa ia ketahui. Pak Arya juga melihat dirinya berada di bawah sebatang pohon, bukan di mobil milik keluarga Sultan. Pelan namun pasti, potongan puzzle di kepala Pak Arya bergerak membentuk gambaran kejadian yang utuh. Lelaki dengan baret di pipi itu, pasti dia yang melakukan semua ini. Dia yang mengatakan bahwa ban mobilnya kempes padahal tidak. Setelah itu Pak Arya tahu bahwa ia tak ingat apa-apa lagi sampai beberapa menit barusan. Pak Arya memaksakan diri untuk bangkit dan berjalan menuju rumah di hadapannya. Mobil milik majikannya telah lenyap. Pasti lelaki berbaret itu jug
“Apa ini Nona Shelia?” Pak Arya menatap Bu Nara dengan raut wajah ingin tahu.“Iya. Itu Shelia dua tahun yang lalu,” angguk Bu Nara lemas.“Saya baru tahu bahwa Nona Shelia sudah menikah,” celetuk Pak Arya, heran sekaligus terkejut.“Panjang ceritanya, Pak. Tapi saya curiga, orang yang memukul Bapak itu mantan suami Wa—eh, Shelia,” ujar Bu Nara.Bu Nara lalu menghela napas panjang dengan berat. Terlihat nyata beban pikiran dari raut wajahnya yang prihatin.“Apa Shelia bisa selamat ya, Pak?” tanya Bu Nara penuh kekhawatiran.“Tuan pasti akan mengerahkan polisi untuk mencari Nona Shelia, Bu. Semoga Nona selamat. Sekarang saya sedang memikirkan nasib saya ke depan. Saya takut dipecat karena sudah lalai,” ujar Pak Arya murung.Bu Nara terdiam, ia sibuk memikirkan Wa
“Kamu betul-betul ceroboh!” marah Pak Sultan kepada Pak Arya.Kemurkaan membuat wajah Pak Sultan memerah seperti baru saja terkena panas terik. Bahkan biji-biji keringat membulir di atas dahi dan pelipisnya. Sosoknya yang tinggi besar dan berkacak pinggang tampak seperti raksasa siap melahap manusia kerdil di hadapannya.Pak Arya mengerut ketakutan tanpa berani bicara barang sepatah. Memang semua ini murni kesalahannya. Pak Arya hanya bisa pasrah tanpa perlu lagi membantah.“Percuma marah kepada Pak Arya, Pak. Sekarang kita harus bagaimana?” tanya Bu Sultan panik.Setelah mendengar kronologi peristiwa hilangnya Wati secara terperinci dari Pak Arya, baik Pak Sultan maupun Bu Sultan sama-sama merasa panik sekaligus khawatir bukan kepalang. Siapa yang tidak panik? Baru saja mereka menemukan anak kandungnya, sekarang anak kandung itu kembali hilang.“Aku
“Coba kamu ceritakan isi hatimu, Al,” titah Tito seraya menepuk bahu Alde.“Jadi begini, Om dan Tante. Seperti yang kita ketahui bersama, saya ditunangkan dengan Raya dan bukan Shelia. Hubungan saya dan Raya sudah berlangsung baik, kami betul-betul saling cinta dan bukan hanya karena dijodohkan saja.” Alde menarik napas untuk memasukkan energi lebih ke dalam paru-parunya.“Ketika terjadi masalah tentang identitas Raya, hubungan saya dan Raya memang sempat memburuk, bahkan saya kehilangan kontak dengannya. Tapi kemudian saya berhasil menghubunginya dan kami bicara dari hati ke hati,” lanjut Alde.“Jadi bagaimana maksudmu?” tanya Pak Sultan yang mulai tidak sabaran. Pikirannya selalu tertuju pada anaknya Shelia yang kini sedang dalam keadaan bahaya.“Saya dan Raya tidak ingin berpisah, Om. Saya minta maaf apabila saya tidak dapat menerima Shelia,&rd
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas
Bu Sultan tertawa. “Kamu sudah cari dia di kamar mandi?”Shelia pun sadar, bahwa ibunya mengira dirinya dan Byzan masih berada di kamar hotel. Beberapa jam yang lalu, ia dan Byzan pergi diam-diam dari hotel untuk mengejutkan semua orng pada keesokan paginya. Shelia menarik napas panjang.“Kami sudah keluar hotel, Bu. Sekarang aku ada di pantai,” aku Shelia tegas.“Sudah keluar hotel? Sepagi ini?” Bu Sultan terdengar keheranan.“Iya, Bu. Kami ….” Shelia lalu menceritakan ide Byzan untuk kabur diam-diam ke vila di tepi pantai. Termasuk kemunculan Dedy yang tiba-tiba dari balik bagasi mobil dan hantamannya kepada Byzan hingga Byzan tersungkur.Selama Shelia bercerita, Bu Sultan tak henti-hentinya menyerukan rasa terkejut dan terperanjat. Penjabaran itu Shelia akhiri dengan tangis di ujung kisah.“Sekar
“Dia bilang apa?” tanya si lelaki kepada istrinya.“Entah, suaranya terlalu pelan,” balas sang istri.“Coba Mami dekati dan tanyakan lagi. Mungkin ada hal penting,” titah suaminya.Wanita berpiyama itu mendekatkan wajah ke arah Shelia yang berwajah pucat. Ia berbisik ke telinga Shelia.“Apa ada yang mau kamu beritahukan kepada kami?” ujarnya pelan.“Byzan, Byzan …,” desis Shelia lemah.Mendengar nama yang disebut Shelia, wanita itu terus mendesak.“Siapa dia? Orang yang menyakitimu?” lanjut wanita itu.Kepala Shelia menggeleng pelan. Mendadak ia teringat akan Dedy yang menghilang tepat di belakangnya, beberapa saat yang lalu. Rasa khawatir Shelia memuncak. Ia sangat takut Dedy kembali ke pantai dan menyakiti Byzan. Pikiran itu membuat Sheli
Shelia sangat syok, sehingga ia memandang ngeri ke arah Dedy tanpa berbuat apa-apa. Seolah-olah Shelia baru saja melihat orang mati yang bangkit dari kuburnya. Hantu. Dedy bagaikan hantu terseram di dalam pandangan mata Shelia.Dedy yang melihat Byzan terjatuh dan tak lagi bergerak, langsung mengalihkan perhatian ke arah Wati alias Shelia. Dalam satu gerakan cepat, Dedy bergerak mendekati Shelia dan mencengkeram pundak Shelia dengan kedua tangannya yang hitam.“Sekarang kamu tidak akan bisa lolos. Kamu akan jadi milikku, Cantik,” seringai Dedy dengan sorot mata mengerikan.Shelia gemetaran. Ia menatap Dedy dan melihat sorot mata tak biasa dari lelaki itu. Dedy tidak lagi mirip dengan Dedy yang dulu dikenalnya, bahkan bukan lagi Dedy ketika masih menjadi suami Rara.“Gila! Dia gila,” batin Shelia terkejut dan ketakutan.Dedy mendekatkan wajahnya ke wajah Sh