“Apa ini Nona Shelia?” Pak Arya menatap Bu Nara dengan raut wajah ingin tahu.
“Iya. Itu Shelia dua tahun yang lalu,” angguk Bu Nara lemas.
“Saya baru tahu bahwa Nona Shelia sudah menikah,” celetuk Pak Arya, heran sekaligus terkejut.
“Panjang ceritanya, Pak. Tapi saya curiga, orang yang memukul Bapak itu mantan suami Wa—eh, Shelia,” ujar Bu Nara.
Bu Nara lalu menghela napas panjang dengan berat. Terlihat nyata beban pikiran dari raut wajahnya yang prihatin.
“Apa Shelia bisa selamat ya, Pak?” tanya Bu Nara penuh kekhawatiran.
“Tuan pasti akan mengerahkan polisi untuk mencari Nona Shelia, Bu. Semoga Nona selamat. Sekarang saya sedang memikirkan nasib saya ke depan. Saya takut dipecat karena sudah lalai,” ujar Pak Arya murung.
Bu Nara terdiam, ia sibuk memikirkan Wa
“Kamu betul-betul ceroboh!” marah Pak Sultan kepada Pak Arya.Kemurkaan membuat wajah Pak Sultan memerah seperti baru saja terkena panas terik. Bahkan biji-biji keringat membulir di atas dahi dan pelipisnya. Sosoknya yang tinggi besar dan berkacak pinggang tampak seperti raksasa siap melahap manusia kerdil di hadapannya.Pak Arya mengerut ketakutan tanpa berani bicara barang sepatah. Memang semua ini murni kesalahannya. Pak Arya hanya bisa pasrah tanpa perlu lagi membantah.“Percuma marah kepada Pak Arya, Pak. Sekarang kita harus bagaimana?” tanya Bu Sultan panik.Setelah mendengar kronologi peristiwa hilangnya Wati secara terperinci dari Pak Arya, baik Pak Sultan maupun Bu Sultan sama-sama merasa panik sekaligus khawatir bukan kepalang. Siapa yang tidak panik? Baru saja mereka menemukan anak kandungnya, sekarang anak kandung itu kembali hilang.“Aku
“Coba kamu ceritakan isi hatimu, Al,” titah Tito seraya menepuk bahu Alde.“Jadi begini, Om dan Tante. Seperti yang kita ketahui bersama, saya ditunangkan dengan Raya dan bukan Shelia. Hubungan saya dan Raya sudah berlangsung baik, kami betul-betul saling cinta dan bukan hanya karena dijodohkan saja.” Alde menarik napas untuk memasukkan energi lebih ke dalam paru-parunya.“Ketika terjadi masalah tentang identitas Raya, hubungan saya dan Raya memang sempat memburuk, bahkan saya kehilangan kontak dengannya. Tapi kemudian saya berhasil menghubunginya dan kami bicara dari hati ke hati,” lanjut Alde.“Jadi bagaimana maksudmu?” tanya Pak Sultan yang mulai tidak sabaran. Pikirannya selalu tertuju pada anaknya Shelia yang kini sedang dalam keadaan bahaya.“Saya dan Raya tidak ingin berpisah, Om. Saya minta maaf apabila saya tidak dapat menerima Shelia,&rd
Tubuh Wati gemetar saat melihat Dedy kembali. Rasanya ia seperti melihat hantu atau vampir yang siap untuk menerkam. Apalagi Dedy menyeringai saat melihat Wati yang ketakutan, mirip buruan yang sudah tak dapat lari dari jeratan pemburu.Dedy sampai di dekat Wati dan membelai-belai wajahnya.“Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi. Kamu akan jadi milikku selamanya,” bisik Dedy.Dedy melepaskan ikatan Wati pada pilar. Seketika Wati berontak dan berusaha lari. Tangannya memukul-mukul dan kakinya menendang-nendang.Dedy yang kelabakan dengan aksi Wati, mengambil jalan pintas. Ia menampar Wati sekeras-kerasnya sampai Wati terhuyung dan hampir ambruk.“Kamu memang perlu diikat,” geram Dedy.Dedy menendang kaki Wati sampai Wati jatuh terduduk di lantai. Secepat kilat Dedy meringkus tangan Wati. Wati yang tak berdaya dibaringkan di lant
Semua orang terbelalak dan terpana. Bu Sultan terhuyung. Tubuhnya doyong ke kiri, ke arah suaminya. Sigap Pak Sultan mengulurkan tangan untuk menangkap kedua pundak sang istri, lalu menariknya ke dalam pelukan. Andaikan tidak ditangkap oleh Pak Sultan, pasti Bu Sultan sudah terjatuh dan terpuruk ke tanah.“Anakku … Anakku,” desis Bu Sultan dengan tubuh lunglai.“Ayo kita periksa,” ajak AKP Brugman kepada kawannya.Anjing pelacak yang sedari tadi dipegang tali lehernya, kini dibiarkan berlari ke arah bangunan yang baru saja meledak. Dalam waktu singkat, AKP Brugman dan temannya telah berlari mengikuti anjing yang sudah lebih dulu melesat. Tinggal pasangan Sultan dan Byzan yang masih terpaku di tempat.“Bagaimana sekarang, Pak? Apakah kita tunggu di sini atau susul kedua polisi itu?” Byzan meminta pertimbangan Pak Sultan.“Aku ingin
Wajah AKP Brugman lesu saat menggelengkan kepala. Ia menarik napas berat sebelum menjawab.“Api sangat besar, Pak. Kami kesulitan memeriksa lokasi. Kita tunggu sampai api padam dulu, baru kita cari lagi sampai ke dalam,” terang AKP Brugman.Sorot mata kecewa terlihat dari pandangan Pak Sultan.“Ya, sudah kalau begitu kita pulang dulu saja,” kata Pak Sultan berat.“Semoga saja dia tidak lolos dari api,” sambung Pak Sultan penuh harap.“Lebih baik kita bawa dulu Shelia pulang, Pak. Soal penjahat itu, biar kita serahkan kepada Mas Brugman,” pinta Bu Sultan yang masih mendekap Wati erat di dalam pelukan.Bu Sultan berkali-kali mengusap pelupuk matanya yang digenangi air yang tak henti-henti. Pak Sultan tersentak, ia baru menyadari lagi bahwa anaknya sedang kritis.“Betul juga. Ayo segera k
“Bapak berpesan bahwa beliau ada urusan yang belum bisa ditinggalkan, Bu,” jawab Samir sigap.Pandangan Bu Sultan beralih kepada Lily di sebelah Samir.“Lily, tugasmu merawat Shelia selama dia dirawat di sini,” ujar Bu Sultan.“Baik, Nyonya. Saya mengerti tugas saya,” jawab Lily seraya mengangguk patuh.Hari berganti hari, keadaan Wati semakin baik. Setelah Wati cukup kuat, ia dipindahkan ke rumah sakit langganan keluarganya. Di sana, Bu Sultan dan Pak Sultan membahas tentang kemungkinan melakukan operasi plastik pada wajah putri mereka kepada dokter yang mereka percaya.Tindakan operasi pun dijadwalkan untuk Wati. Dalam masa-masa pemulihan itu, Bu Sultan menyimpan rasa penasaran di dalam hatinya tentang peristiwa yang terjadi di gudang yang terbakar tersebut.“Boleh Ibu tahu yang terjadi sebelum bangunan itu terbakar
“Pemuda yang ikut menolongku bersama polisi. Siapa dia? Mengapa tiba-tiba ada di tempat itu? Apa betul dia kenalan Ibu?” tanya Wati bertubi-tubi.Bu Sultan meneguk ludah. Dalam waktu sepersekian detik itu, Bu Sultan mengambil keputusan bahwa belum saatnya ia menerangkan identitas Byzan dan maksudnya ikut mencari Wati. Kisah itu cukup rumit dan tidak akan sebentar untuk dibahas.“Ya, dia anak kenalan Ibu. Tentang kehadirannya saat itu hanya kebetulan saja. Apabila sudah sehat betul, akan Ibu jelaskan lebih rinci tentang dia,” janji Bu Sultan.Dahi Wati mengernyit. Jawaban ibunya tak memuaskan rasa ingin tahunya sama sekali. Bahkan, kesan bahwa ibunya menutupi sesuatu sangat kentara. Namun, Wati memilih diam.“Sekarang pikirkan dulu kesehatanmu. Setelah itu, barulah kita urus hal-hal lain,” lanjut Bu Sultan.Sekarang Wati mengangguk pasrah. Dari
“Bagus. Jadi wajah barunya yang lebih cantik ini akan menjadi kejutan manis buatnya,” ujar Pak Sultan lega.Wati tengah melamun sendiri sambil duduk di dekat jendela kamar. Pemandangan di luar berupa tanaman hias yang menghijau menjadi satu-satunya hiburan bagi mata Wati. Seisi kamarnya dipenuhi peralatan elektronik. Bahkan ponsel yang diberikan oleh Bu Sultan juga menyajikan citra yang maya. Hanya bunga dan daun-daun di luar jendela yang nyata untuk dipandang.Sambil melamun, ia mengusap-usap pipinya yang terasa lebih halus setelah operasi plastik. Ia sangat penasaran dengan rupa wajahnya, tapi tak ada cermin yang bisa digunakannya untuk berkaca. Sempat ia menggeledah seluruh laci dan lemari di dalam kamar, tapi tak ada satu cermin pun yang ditemukan olehnya.Ketukan di pintu membuat kepala Wati menoleh.“Masuk saja,” seru Wati yang sedang enggan turun dan membukakan pintu ka