“Bapak berpesan bahwa beliau ada urusan yang belum bisa ditinggalkan, Bu,” jawab Samir sigap.
Pandangan Bu Sultan beralih kepada Lily di sebelah Samir.
“Lily, tugasmu merawat Shelia selama dia dirawat di sini,” ujar Bu Sultan.
“Baik, Nyonya. Saya mengerti tugas saya,” jawab Lily seraya mengangguk patuh.
Hari berganti hari, keadaan Wati semakin baik. Setelah Wati cukup kuat, ia dipindahkan ke rumah sakit langganan keluarganya. Di sana, Bu Sultan dan Pak Sultan membahas tentang kemungkinan melakukan operasi plastik pada wajah putri mereka kepada dokter yang mereka percaya.
Tindakan operasi pun dijadwalkan untuk Wati. Dalam masa-masa pemulihan itu, Bu Sultan menyimpan rasa penasaran di dalam hatinya tentang peristiwa yang terjadi di gudang yang terbakar tersebut.
“Boleh Ibu tahu yang terjadi sebelum bangunan itu terbakar
“Pemuda yang ikut menolongku bersama polisi. Siapa dia? Mengapa tiba-tiba ada di tempat itu? Apa betul dia kenalan Ibu?” tanya Wati bertubi-tubi.Bu Sultan meneguk ludah. Dalam waktu sepersekian detik itu, Bu Sultan mengambil keputusan bahwa belum saatnya ia menerangkan identitas Byzan dan maksudnya ikut mencari Wati. Kisah itu cukup rumit dan tidak akan sebentar untuk dibahas.“Ya, dia anak kenalan Ibu. Tentang kehadirannya saat itu hanya kebetulan saja. Apabila sudah sehat betul, akan Ibu jelaskan lebih rinci tentang dia,” janji Bu Sultan.Dahi Wati mengernyit. Jawaban ibunya tak memuaskan rasa ingin tahunya sama sekali. Bahkan, kesan bahwa ibunya menutupi sesuatu sangat kentara. Namun, Wati memilih diam.“Sekarang pikirkan dulu kesehatanmu. Setelah itu, barulah kita urus hal-hal lain,” lanjut Bu Sultan.Sekarang Wati mengangguk pasrah. Dari
“Bagus. Jadi wajah barunya yang lebih cantik ini akan menjadi kejutan manis buatnya,” ujar Pak Sultan lega.Wati tengah melamun sendiri sambil duduk di dekat jendela kamar. Pemandangan di luar berupa tanaman hias yang menghijau menjadi satu-satunya hiburan bagi mata Wati. Seisi kamarnya dipenuhi peralatan elektronik. Bahkan ponsel yang diberikan oleh Bu Sultan juga menyajikan citra yang maya. Hanya bunga dan daun-daun di luar jendela yang nyata untuk dipandang.Sambil melamun, ia mengusap-usap pipinya yang terasa lebih halus setelah operasi plastik. Ia sangat penasaran dengan rupa wajahnya, tapi tak ada cermin yang bisa digunakannya untuk berkaca. Sempat ia menggeledah seluruh laci dan lemari di dalam kamar, tapi tak ada satu cermin pun yang ditemukan olehnya.Ketukan di pintu membuat kepala Wati menoleh.“Masuk saja,” seru Wati yang sedang enggan turun dan membukakan pintu ka
Apabila sudah begini, ia akan menyerah kepada keadaan. Ia memejamkan mata dan tidur, berharap rasa pusing itu akan hilang setelah terlelap. Namun, setelah bangun bayangan-bayangan itu kembali datang, merongrong seperti mendesak untuk diingat olehnya.“Siapa kalian?” Tanya itu sering ia lontarkan terhadap diri sendiri dengan penuh rasa bingung dan lelah karena putus asa.***“Apakah ini wajahku?” tanya Wati dengan mata terbelalak tak percaya. Berkali-kali ia menggosok pelupuk matanya, juga mengusap pipinya yang kini mulus licin bagaikan porselen.Pak Sultan dan Bu Sultan saling melirik dan bertukar senyum mendengar ocehan Shelia mereka.“Rasanya seperti melihat versi boneka dari diriku yang dulu,” gumam Wati yang masih terpana. Bola matanya menatap cermin tanpa berkedip.“Aku seperti terlahir kembali. Rasanya sep
Ia tak merasa perlu berbasa-basi ataupun berwajah palsu di hadapan Byzan. Toh, hubungan mereka tak lebih dari sekadar pelancar bisnis kedua orang tua.Wati tak memiliki rasa tak enak hati terhadap Byzan barang sedikit pun. Diantara mereka, jelas tak ada rasa. Wati yakin hubungan suami-istri diantara mereka yang terjalin nantinya tak lebih dari hubungan formalitas yang kering.Byzan tersenyum. Dekik di pipi kirinya menambah manis raut wajahnya. Tampan sampai ke pori-pori. Status duda yang disandangnya tak mengurangi aura jantan pada sosoknya. Melihat itu, Wati lekas membuang pandang ke gelas minuman di atas meja.Meskipun berusaha tak mengacuhkan senyum semenawan itu, Wati tak kuasa menahan desir di hati yang muncul tanpa permisi. Wati merutuki diri. Ia tak mau sampai jatuh dalam pesona Byzan. Ia kapok jatuh cinta dan terluka lagi.“Sebelum aku menjawabnya, pahami dulu kondisiku,” sahut By
Lily tengah menelepon seseorang dengan posisi tubuh membelakangi Wati. Wati dapat melihat Lily, sedangkan Lily belum menyadari kehadiran Wati.“Aku tidak bisa melakukannya, Gio! Per-setan dengan perjanjian kita!” seru Lily dengan nada tinggi yang ditahan. Suara yang keluar dari tenggorokannya mirip anjing menggeram. Lily menurunkan ponsel dari telinganya. Tampaknya, sambungan telepon telah diputuskan secara sepihak. Lily mendengkus jengkel. Ia membalik badan secara mendadak, dan terpana mendapati Wati yang tengah menatapnya dengan sorot mata yang aneh. Seketika tubuh Lily gemetar. Ekspresi wajahnya juga pucat seperti melihat hantu di siang bolong.“Oh, Nona … sejak kapan ada di situ?” tanya Lily lemah. Ia salah tingkah. “Baru saja,” jawab Wati datar. Rasa curiga menyerbu Wati dari segala penjuru, membuat hatinya hanya be
Melihat itu, para satpam menjadi sadar dari sikap terkejut mereka. Serta merta, dua satpam berlari ke arah Bu Sultan. Kedua satpam itu sama sigapnya bergerak, bermaksud meraih si perempuan tua ke dalam cekalan tangan kekar mereka kembali.Akan tetapi, sejengkal sebelum tangan-tangan terlatih itu menarik si perempuan tua dari hadapan Bu Sultan, suara berwibawa majikan para satpam itu sudah terlebih dulu memberikan titah.“Tunggu! Biarkan dia bicara.”Bu Sultan bahkan menaikkan sebelah tangan dan menunjukkan telapaknya sebagai kode bagi para satpam untuk berhenti bergerak. Sepasang tangan kedua satpam itu seketika terkulai.“Kamu Mbok Darmi, kan?” tanya Bu Sultan kaget, setelah meneliti wajah perempuan tua di hadapannya.“Nyonya masih ingat saya? Terima kasih.” Suara Mbok Darmi tertahan di tenggorokan. Antara ingin menangis karena terharu dan gro
“Tapi sedari awal, hati saya sudah menolak untuk melakukan perintah Mas Dewa. Oleh karena itulah, saya selalu mengulur-ulur waktu tentang Nona.” Lily lekas-lekas menambahkan, begitu ia melihat perubahan air wajah Wati di hadapannya.“Kamu mau melakukannya karena Dewa kekasihmu?” Wati bertanya dengan suara yang lirih karena lemas mendengarkan pengakuan Lily.“Karena saya sudah menjadi milik Mas Dewa dari ujung rambut hingga ujung kaki.” Lily semakin menunduk.Wati terbelalak.“Mas Dewa berjanji menikahi saya apabila misi saya berhasil. Namun saya selalu dihinggapi perasaan ragu. Hati kecil saya selalu berontak setiap kali Mas Dewa mendesak saya untuk mencelakai Nona,” tambah Lily.“Kamu tidak takut ditinggalkan oleh Dewa?” ulik Wati penasaran.Di luar dugaan Wati, Lily menggelengkan kepalanya.
Undangan pesta kelulusan Raya dari kuliah di luar negeri. Jadi, sebentar lagi nona muda keluarga ini akan datang kembali setelah hampir seribu hari berada di luar negeri.“Baik, Nyonya. Akan saya antarkan sekarang,” tanggap Lily, tak memikirkan lebih jauh tentang tulisan di kartu undangan tersebut.“Ya. Lebih cepat lebih baik,” sahut Bu Sultan. Sementara berbicara, kepala Bu Sultan sudah kembali menunduk menekuri daftar nama undangan yang tergeletak di hadapannya di meja kerja.Tak mau mengusik nyonyanya dengan bunyi apapun, Lily undur diri dengan gerakan anggun, cepat namun tidak tergesa-gesa. Lily langsung bergerak menuju kamarnya. Ia menyimpan kartu undangan yang cukup besar tersebut ke dalam tas bahu yang selalu siap tergantung di balik pintu kamar. Setelah mencari sepatunya yang tergeletak di salah satu rak sepatu milik para karyawan rumah di luar pintu dapur, Lily bergegas mencari supir kelu
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas
Bu Sultan tertawa. “Kamu sudah cari dia di kamar mandi?”Shelia pun sadar, bahwa ibunya mengira dirinya dan Byzan masih berada di kamar hotel. Beberapa jam yang lalu, ia dan Byzan pergi diam-diam dari hotel untuk mengejutkan semua orng pada keesokan paginya. Shelia menarik napas panjang.“Kami sudah keluar hotel, Bu. Sekarang aku ada di pantai,” aku Shelia tegas.“Sudah keluar hotel? Sepagi ini?” Bu Sultan terdengar keheranan.“Iya, Bu. Kami ….” Shelia lalu menceritakan ide Byzan untuk kabur diam-diam ke vila di tepi pantai. Termasuk kemunculan Dedy yang tiba-tiba dari balik bagasi mobil dan hantamannya kepada Byzan hingga Byzan tersungkur.Selama Shelia bercerita, Bu Sultan tak henti-hentinya menyerukan rasa terkejut dan terperanjat. Penjabaran itu Shelia akhiri dengan tangis di ujung kisah.“Sekar
“Dia bilang apa?” tanya si lelaki kepada istrinya.“Entah, suaranya terlalu pelan,” balas sang istri.“Coba Mami dekati dan tanyakan lagi. Mungkin ada hal penting,” titah suaminya.Wanita berpiyama itu mendekatkan wajah ke arah Shelia yang berwajah pucat. Ia berbisik ke telinga Shelia.“Apa ada yang mau kamu beritahukan kepada kami?” ujarnya pelan.“Byzan, Byzan …,” desis Shelia lemah.Mendengar nama yang disebut Shelia, wanita itu terus mendesak.“Siapa dia? Orang yang menyakitimu?” lanjut wanita itu.Kepala Shelia menggeleng pelan. Mendadak ia teringat akan Dedy yang menghilang tepat di belakangnya, beberapa saat yang lalu. Rasa khawatir Shelia memuncak. Ia sangat takut Dedy kembali ke pantai dan menyakiti Byzan. Pikiran itu membuat Sheli
Shelia sangat syok, sehingga ia memandang ngeri ke arah Dedy tanpa berbuat apa-apa. Seolah-olah Shelia baru saja melihat orang mati yang bangkit dari kuburnya. Hantu. Dedy bagaikan hantu terseram di dalam pandangan mata Shelia.Dedy yang melihat Byzan terjatuh dan tak lagi bergerak, langsung mengalihkan perhatian ke arah Wati alias Shelia. Dalam satu gerakan cepat, Dedy bergerak mendekati Shelia dan mencengkeram pundak Shelia dengan kedua tangannya yang hitam.“Sekarang kamu tidak akan bisa lolos. Kamu akan jadi milikku, Cantik,” seringai Dedy dengan sorot mata mengerikan.Shelia gemetaran. Ia menatap Dedy dan melihat sorot mata tak biasa dari lelaki itu. Dedy tidak lagi mirip dengan Dedy yang dulu dikenalnya, bahkan bukan lagi Dedy ketika masih menjadi suami Rara.“Gila! Dia gila,” batin Shelia terkejut dan ketakutan.Dedy mendekatkan wajahnya ke wajah Sh