Apabila sudah begini, ia akan menyerah kepada keadaan. Ia memejamkan mata dan tidur, berharap rasa pusing itu akan hilang setelah terlelap. Namun, setelah bangun bayangan-bayangan itu kembali datang, merongrong seperti mendesak untuk diingat olehnya.
“Siapa kalian?” Tanya itu sering ia lontarkan terhadap diri sendiri dengan penuh rasa bingung dan lelah karena putus asa.
***
“Apakah ini wajahku?” tanya Wati dengan mata terbelalak tak percaya. Berkali-kali ia menggosok pelupuk matanya, juga mengusap pipinya yang kini mulus licin bagaikan porselen.
Pak Sultan dan Bu Sultan saling melirik dan bertukar senyum mendengar ocehan Shelia mereka.
“Rasanya seperti melihat versi boneka dari diriku yang dulu,” gumam Wati yang masih terpana. Bola matanya menatap cermin tanpa berkedip.
“Aku seperti terlahir kembali. Rasanya sep
Ia tak merasa perlu berbasa-basi ataupun berwajah palsu di hadapan Byzan. Toh, hubungan mereka tak lebih dari sekadar pelancar bisnis kedua orang tua.Wati tak memiliki rasa tak enak hati terhadap Byzan barang sedikit pun. Diantara mereka, jelas tak ada rasa. Wati yakin hubungan suami-istri diantara mereka yang terjalin nantinya tak lebih dari hubungan formalitas yang kering.Byzan tersenyum. Dekik di pipi kirinya menambah manis raut wajahnya. Tampan sampai ke pori-pori. Status duda yang disandangnya tak mengurangi aura jantan pada sosoknya. Melihat itu, Wati lekas membuang pandang ke gelas minuman di atas meja.Meskipun berusaha tak mengacuhkan senyum semenawan itu, Wati tak kuasa menahan desir di hati yang muncul tanpa permisi. Wati merutuki diri. Ia tak mau sampai jatuh dalam pesona Byzan. Ia kapok jatuh cinta dan terluka lagi.“Sebelum aku menjawabnya, pahami dulu kondisiku,” sahut By
Lily tengah menelepon seseorang dengan posisi tubuh membelakangi Wati. Wati dapat melihat Lily, sedangkan Lily belum menyadari kehadiran Wati.“Aku tidak bisa melakukannya, Gio! Per-setan dengan perjanjian kita!” seru Lily dengan nada tinggi yang ditahan. Suara yang keluar dari tenggorokannya mirip anjing menggeram. Lily menurunkan ponsel dari telinganya. Tampaknya, sambungan telepon telah diputuskan secara sepihak. Lily mendengkus jengkel. Ia membalik badan secara mendadak, dan terpana mendapati Wati yang tengah menatapnya dengan sorot mata yang aneh. Seketika tubuh Lily gemetar. Ekspresi wajahnya juga pucat seperti melihat hantu di siang bolong.“Oh, Nona … sejak kapan ada di situ?” tanya Lily lemah. Ia salah tingkah. “Baru saja,” jawab Wati datar. Rasa curiga menyerbu Wati dari segala penjuru, membuat hatinya hanya be
Melihat itu, para satpam menjadi sadar dari sikap terkejut mereka. Serta merta, dua satpam berlari ke arah Bu Sultan. Kedua satpam itu sama sigapnya bergerak, bermaksud meraih si perempuan tua ke dalam cekalan tangan kekar mereka kembali.Akan tetapi, sejengkal sebelum tangan-tangan terlatih itu menarik si perempuan tua dari hadapan Bu Sultan, suara berwibawa majikan para satpam itu sudah terlebih dulu memberikan titah.“Tunggu! Biarkan dia bicara.”Bu Sultan bahkan menaikkan sebelah tangan dan menunjukkan telapaknya sebagai kode bagi para satpam untuk berhenti bergerak. Sepasang tangan kedua satpam itu seketika terkulai.“Kamu Mbok Darmi, kan?” tanya Bu Sultan kaget, setelah meneliti wajah perempuan tua di hadapannya.“Nyonya masih ingat saya? Terima kasih.” Suara Mbok Darmi tertahan di tenggorokan. Antara ingin menangis karena terharu dan gro
“Tapi sedari awal, hati saya sudah menolak untuk melakukan perintah Mas Dewa. Oleh karena itulah, saya selalu mengulur-ulur waktu tentang Nona.” Lily lekas-lekas menambahkan, begitu ia melihat perubahan air wajah Wati di hadapannya.“Kamu mau melakukannya karena Dewa kekasihmu?” Wati bertanya dengan suara yang lirih karena lemas mendengarkan pengakuan Lily.“Karena saya sudah menjadi milik Mas Dewa dari ujung rambut hingga ujung kaki.” Lily semakin menunduk.Wati terbelalak.“Mas Dewa berjanji menikahi saya apabila misi saya berhasil. Namun saya selalu dihinggapi perasaan ragu. Hati kecil saya selalu berontak setiap kali Mas Dewa mendesak saya untuk mencelakai Nona,” tambah Lily.“Kamu tidak takut ditinggalkan oleh Dewa?” ulik Wati penasaran.Di luar dugaan Wati, Lily menggelengkan kepalanya.
Undangan pesta kelulusan Raya dari kuliah di luar negeri. Jadi, sebentar lagi nona muda keluarga ini akan datang kembali setelah hampir seribu hari berada di luar negeri.“Baik, Nyonya. Akan saya antarkan sekarang,” tanggap Lily, tak memikirkan lebih jauh tentang tulisan di kartu undangan tersebut.“Ya. Lebih cepat lebih baik,” sahut Bu Sultan. Sementara berbicara, kepala Bu Sultan sudah kembali menunduk menekuri daftar nama undangan yang tergeletak di hadapannya di meja kerja.Tak mau mengusik nyonyanya dengan bunyi apapun, Lily undur diri dengan gerakan anggun, cepat namun tidak tergesa-gesa. Lily langsung bergerak menuju kamarnya. Ia menyimpan kartu undangan yang cukup besar tersebut ke dalam tas bahu yang selalu siap tergantung di balik pintu kamar. Setelah mencari sepatunya yang tergeletak di salah satu rak sepatu milik para karyawan rumah di luar pintu dapur, Lily bergegas mencari supir kelu
Sekarang Lily tak hanya mematung, tapi tangannya turut mengepal hingga ia merasakan sakit saat ujung jari jemarinya menekan telapak tangan.“Kenapa nggak? Ini rumahku dan sekarang sepi.” Suara Dewa yang amat dikenal Lily menjawab, serak karena sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya.Lily tak bernapas. Entah keberanian dari mana, Lily memutuskan untuk bangkit dan mendekati pintu yang bertirai. Pelan sekali Lily bangkit dari duduk, lalu dengan sangat berhati-hati ia melangkah berjingkat menuju pintu. Tepat di balik kain penghalang, Lily berhenti. Tangannya gemetar saat menyentuh dinding di sebelah tirai yang digunakannya sebagai tumpuan. Napas Lily mulai naik turun secara cepat, seiring dengan degup jantung yang bertalu dengan irama yang tak beraturan di rongga dada.Suara-suara desah terdengar semakin keras, diiringi dengan bunyi kecupan yang menggila. Lily tak tahan lagi. Ia mengangkat tangan untuk menyiba
“Ini dia.” Lily mengulurkan kartu undangan dari Bu Sultan. Lily tersenyum saat memandang Sani sambil menyerahkan undangan. Kecamuk di benak Lily belum usai, tapi ia sudah bisa mengendalikan diri agar tak semua orang tahu kehancuran hatinya.Sani mengulurkan tangan untuk menyambut kartu undangan yang terulur. Tatkala tangan Sani berhasil meraih kartu dan Lily siap melepaskan undangan itu, Sani dan Lily saling menatap. Sorot mata mereka mengungkapkan segalanya. Sani dan Lily bertukar pemahaman bahwa mereka sama-sama tahu yang terjadi di ruang dalam. Sebuah skandal yang berada di luar jangkauan mereka sebagai pelayan.Baik Sani maupun Lily sama-sama tersenyum. Sama-sama maklum. Sama-sama tahu kewajiban mereka yaitu melupakan peristiwa itu pernah terjadi, bila tak ingin pekerjaan mereka tergantikan.“Terima kasih.” Sani berkata singkat. Lily bangkit dari duduk, lalu membenahi baju dan letak tali tas y
Saat Shelia atau Wati menikmati kebahagiaannya di atas pelaminan, ada seseorang yang tengah termenung dan terpekur berpuluh kilometer jauhnya dari hotel berbintang tempat pesta besar-besaran keluarga Sultan berlangsung.Air langit yang mengguyur atap hotel berbintang tempat perhelatan dilangsungkan juga mengguyur atap rumah sederhana yang sudah sangat rombeng. Sesekali kilat menyambar dari dalam kelamnya awan, menerangi pondok pemulung di bawah langit temaram tanpa penerangan.Kamar yang ditempati si lelaki yang dulu pernah terluka bahkan gelap sempurna. Lelaki itu, hanya diam berbaring di kasur tanpa berniat bergerak sedikitpun untuk menyalakan lampu. Sepasang matanya menjadi satu-satunya benda yang berkilat di dalam kegelapan.Awalnya, kilat yang menyambar-nyambar membuatnya ketakutan, sampai kilasan-kilasan peristiwa berputar di dalam benaknya. Ia merasakan déjà vu. Ia pernah melihat kilatan petir semaca