“Ini dia.” Lily mengulurkan kartu undangan dari Bu Sultan. Lily tersenyum saat memandang Sani sambil menyerahkan undangan. Kecamuk di benak Lily belum usai, tapi ia sudah bisa mengendalikan diri agar tak semua orang tahu kehancuran hatinya.
Sani mengulurkan tangan untuk menyambut kartu undangan yang terulur. Tatkala tangan Sani berhasil meraih kartu dan Lily siap melepaskan undangan itu, Sani dan Lily saling menatap. Sorot mata mereka mengungkapkan segalanya. Sani dan Lily bertukar pemahaman bahwa mereka sama-sama tahu yang terjadi di ruang dalam. Sebuah skandal yang berada di luar jangkauan mereka sebagai pelayan.
Baik Sani maupun Lily sama-sama tersenyum. Sama-sama maklum. Sama-sama tahu kewajiban mereka yaitu melupakan peristiwa itu pernah terjadi, bila tak ingin pekerjaan mereka tergantikan.
“Terima kasih.” Sani berkata singkat. Lily bangkit dari duduk, lalu membenahi baju dan letak tali tas y
Saat Shelia atau Wati menikmati kebahagiaannya di atas pelaminan, ada seseorang yang tengah termenung dan terpekur berpuluh kilometer jauhnya dari hotel berbintang tempat pesta besar-besaran keluarga Sultan berlangsung.Air langit yang mengguyur atap hotel berbintang tempat perhelatan dilangsungkan juga mengguyur atap rumah sederhana yang sudah sangat rombeng. Sesekali kilat menyambar dari dalam kelamnya awan, menerangi pondok pemulung di bawah langit temaram tanpa penerangan.Kamar yang ditempati si lelaki yang dulu pernah terluka bahkan gelap sempurna. Lelaki itu, hanya diam berbaring di kasur tanpa berniat bergerak sedikitpun untuk menyalakan lampu. Sepasang matanya menjadi satu-satunya benda yang berkilat di dalam kegelapan.Awalnya, kilat yang menyambar-nyambar membuatnya ketakutan, sampai kilasan-kilasan peristiwa berputar di dalam benaknya. Ia merasakan déjà vu. Ia pernah melihat kilatan petir semaca
Dedy melangkah keluar dari rumah pemulung yang telah menolongnya. Ia tak membawa apapun selain baju yang melekat di badan. Tak peduli dengan air hujan yang membasahi tanah dengan deras, Dedy tetap mengayun kaki menembus tirai hujan.Bibir Dedy bergetar, namun bukan karena dingin yang mengigilkan badan. Ia berkomat-kamit pelan, hanya telinganya sendiri yang mampu mendengar ucapannya.“Wati … Wati. Sekarang aku sudah ingat semuanya.” Dedy berulang kali menggumamkan kalimat itu.Sepasang mata Dedy yang beberapa jam lalu kosong, kini bersinar penuh tekad. Siapapun yang melihat mata Dedy saat ini, tentu sepakat bahwa mata itu tajam bagaikan sinar mata binatang buas yang tengah lapar.Dari koran yang dibacanya beberapa saat yang lalu, Dedy menghapalkan nama hotel tempat dilangsungkannya pernikahan Wati atau Shelia. Dedy tahu hotel itu. Ia tahu alamatnya. Ke sanalah kaki Dedy melangkah.***Pesta pernikahan Shelia dan Byzan yang sangat mewah sudah berada pada titik akhirnya. Sebagian besar t
Pesta pernikahan telah sepenuhnya usai. Para kerabat dan sanak saudara keluarga Sultan dan Tito pun sudah pamit undur diri lima belas menit yang lalu. Ruangan hampir sepenuhnya kosong. Hanya terlihat beberapa karyawan hotel yang membereskan kursi dan meja bekas perjamuan kebahagiaan yang baru saja selesai.“Ayah dan Ibu akan beristirahat dulu di kamar. Kalian masih ingin di sini?” tanya Bu Sultan sambil melirik ke arah Byzan dan Shelia yang asyik bercanda.Seketika, Byzan dan Shelia menghentikan canda tawa mereka. Keduanya sama-sama memandang ke arah Bu Sultan dan Pak Sultan yang terlihat kelelahan. Bu Sultan bahkan menguap lebar.“Kami juga akan ke kamar. Sebentar lagi ruangan ini pasti akan dipakai untuk acara lain,” kata Byzan kemudian.Akhirnya, mereka berempat pun keluar dari ruangan tempat terselenggaranya acara. Di depan pintu lift, mereka berpisah. Orang tua Shelia men
Shelia sangat syok, sehingga ia memandang ngeri ke arah Dedy tanpa berbuat apa-apa. Seolah-olah Shelia baru saja melihat orang mati yang bangkit dari kuburnya. Hantu. Dedy bagaikan hantu terseram di dalam pandangan mata Shelia.Dedy yang melihat Byzan terjatuh dan tak lagi bergerak, langsung mengalihkan perhatian ke arah Wati alias Shelia. Dalam satu gerakan cepat, Dedy bergerak mendekati Shelia dan mencengkeram pundak Shelia dengan kedua tangannya yang hitam.“Sekarang kamu tidak akan bisa lolos. Kamu akan jadi milikku, Cantik,” seringai Dedy dengan sorot mata mengerikan.Shelia gemetaran. Ia menatap Dedy dan melihat sorot mata tak biasa dari lelaki itu. Dedy tidak lagi mirip dengan Dedy yang dulu dikenalnya, bahkan bukan lagi Dedy ketika masih menjadi suami Rara.“Gila! Dia gila,” batin Shelia terkejut dan ketakutan.Dedy mendekatkan wajahnya ke wajah Sh
“Dia bilang apa?” tanya si lelaki kepada istrinya.“Entah, suaranya terlalu pelan,” balas sang istri.“Coba Mami dekati dan tanyakan lagi. Mungkin ada hal penting,” titah suaminya.Wanita berpiyama itu mendekatkan wajah ke arah Shelia yang berwajah pucat. Ia berbisik ke telinga Shelia.“Apa ada yang mau kamu beritahukan kepada kami?” ujarnya pelan.“Byzan, Byzan …,” desis Shelia lemah.Mendengar nama yang disebut Shelia, wanita itu terus mendesak.“Siapa dia? Orang yang menyakitimu?” lanjut wanita itu.Kepala Shelia menggeleng pelan. Mendadak ia teringat akan Dedy yang menghilang tepat di belakangnya, beberapa saat yang lalu. Rasa khawatir Shelia memuncak. Ia sangat takut Dedy kembali ke pantai dan menyakiti Byzan. Pikiran itu membuat Sheli
Bu Sultan tertawa. “Kamu sudah cari dia di kamar mandi?”Shelia pun sadar, bahwa ibunya mengira dirinya dan Byzan masih berada di kamar hotel. Beberapa jam yang lalu, ia dan Byzan pergi diam-diam dari hotel untuk mengejutkan semua orng pada keesokan paginya. Shelia menarik napas panjang.“Kami sudah keluar hotel, Bu. Sekarang aku ada di pantai,” aku Shelia tegas.“Sudah keluar hotel? Sepagi ini?” Bu Sultan terdengar keheranan.“Iya, Bu. Kami ….” Shelia lalu menceritakan ide Byzan untuk kabur diam-diam ke vila di tepi pantai. Termasuk kemunculan Dedy yang tiba-tiba dari balik bagasi mobil dan hantamannya kepada Byzan hingga Byzan tersungkur.Selama Shelia bercerita, Bu Sultan tak henti-hentinya menyerukan rasa terkejut dan terperanjat. Penjabaran itu Shelia akhiri dengan tangis di ujung kisah.“Sekar
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol