Wati mengangguk pertanda setuju dengan ucapan Bu Nara.
“Iya, Bu. Aku juga berencana untuk membatalkan pertunanganku dengan Alde. Aku akan mengatakannya kepada ibuku nanti. Saat ini, aku hanya memerlukan teman untuk mendengarkan keluh kesahku,” desah Wati seraya mengusap air mata yang meleleh di pipi.
Bu Nara meraih Wati ke dalam pelukan, lalu mengusap-usap punggung Wati dengan penuh kasih sayang. Wati merasakan hangatnya rangkulan Bu Nara seperti layaknya kehangatan dekapan seorang ibu kandung. Wati menghirup aroma Bu Nara dalam-dalam dan ia merasakan ketenangan merasuki jiwanya.
“Jangan sedih atau putus asa. Ibu yakin, suatu saat akan kamu temukan cinta sejati,” hibur Bu Nara.
“Semoga, Bu. Aku sangat ingin menemukan cinta sejati di dalam hidupku,” balas Wati dengan suara bergetar menahan tangis.
Meski mendapat penghiburan dari Bu Nara, na
“Siapa kamu?” teriak Wati keras. Ia sengaja berteriak galak untuk meredakan kecamuk gugup di dalam dadanya sendiri. Mungkinkah orang yang semobil dengannya itu Dedy seperti dugaannya? Dedy menoleh dan menyeringai ke arah Wati. Wati terkesiap. Wajahnya memucat, sedangkan tangannya gemetaran. Wajah itu wajah Dedy, namun lebih mengerikan daripada terakhir kali Wati bertemu dengan Dedy. Sorot mata Dedy memancarkan kenekadan dan kebuasan seekor binatang pemangsa. Baret di pipi Dedy menambah seram raut wajahnya. “Sekarang kamu tidak akan bisa lepas dariku,” desis Dedy seraya memamerkan gigi-giginya yang sudah lama tidak disikat, menguning seperti gigi yang lapuk. Wati meringkuk di kursinya. Mata Wati liar mengamati suasana di luar mobil. Jalan yang ditempuh Dedy semakin sepi. Wati ingin berteriak tapi pasti percuma saja. Memecahkan kaca jendela mobil bukan pilihan bagus, Wati tidak memiliki alat untuk menghancurkan kaca depan, sedangkan jendela belakang terbuat dari plastik yang tebal. P
“Aduh!” keluh itu begitu saja meluncur dari bibir Pak Arya, ketika ia sadar dari pingsan. Rasa sakit di bagian kepala yang kena pukul membuat Pak Arya mengernyitkan dahi, sementara tangannya naik mengelus bagian belakang kepalanya yang terasa nyeri. Mulut Pak Arya terus berdesis menahan sakit, tapi pikirannya sudah mulai bisa berpikir. Hal pertama yang disadari Pak Arya adalah pakaiannya yang telah berganti tanpa ia ketahui. Pak Arya juga melihat dirinya berada di bawah sebatang pohon, bukan di mobil milik keluarga Sultan. Pelan namun pasti, potongan puzzle di kepala Pak Arya bergerak membentuk gambaran kejadian yang utuh. Lelaki dengan baret di pipi itu, pasti dia yang melakukan semua ini. Dia yang mengatakan bahwa ban mobilnya kempes padahal tidak. Setelah itu Pak Arya tahu bahwa ia tak ingat apa-apa lagi sampai beberapa menit barusan. Pak Arya memaksakan diri untuk bangkit dan berjalan menuju rumah di hadapannya. Mobil milik majikannya telah lenyap. Pasti lelaki berbaret itu jug
“Apa ini Nona Shelia?” Pak Arya menatap Bu Nara dengan raut wajah ingin tahu.“Iya. Itu Shelia dua tahun yang lalu,” angguk Bu Nara lemas.“Saya baru tahu bahwa Nona Shelia sudah menikah,” celetuk Pak Arya, heran sekaligus terkejut.“Panjang ceritanya, Pak. Tapi saya curiga, orang yang memukul Bapak itu mantan suami Wa—eh, Shelia,” ujar Bu Nara.Bu Nara lalu menghela napas panjang dengan berat. Terlihat nyata beban pikiran dari raut wajahnya yang prihatin.“Apa Shelia bisa selamat ya, Pak?” tanya Bu Nara penuh kekhawatiran.“Tuan pasti akan mengerahkan polisi untuk mencari Nona Shelia, Bu. Semoga Nona selamat. Sekarang saya sedang memikirkan nasib saya ke depan. Saya takut dipecat karena sudah lalai,” ujar Pak Arya murung.Bu Nara terdiam, ia sibuk memikirkan Wa
“Kamu betul-betul ceroboh!” marah Pak Sultan kepada Pak Arya.Kemurkaan membuat wajah Pak Sultan memerah seperti baru saja terkena panas terik. Bahkan biji-biji keringat membulir di atas dahi dan pelipisnya. Sosoknya yang tinggi besar dan berkacak pinggang tampak seperti raksasa siap melahap manusia kerdil di hadapannya.Pak Arya mengerut ketakutan tanpa berani bicara barang sepatah. Memang semua ini murni kesalahannya. Pak Arya hanya bisa pasrah tanpa perlu lagi membantah.“Percuma marah kepada Pak Arya, Pak. Sekarang kita harus bagaimana?” tanya Bu Sultan panik.Setelah mendengar kronologi peristiwa hilangnya Wati secara terperinci dari Pak Arya, baik Pak Sultan maupun Bu Sultan sama-sama merasa panik sekaligus khawatir bukan kepalang. Siapa yang tidak panik? Baru saja mereka menemukan anak kandungnya, sekarang anak kandung itu kembali hilang.“Aku
“Coba kamu ceritakan isi hatimu, Al,” titah Tito seraya menepuk bahu Alde.“Jadi begini, Om dan Tante. Seperti yang kita ketahui bersama, saya ditunangkan dengan Raya dan bukan Shelia. Hubungan saya dan Raya sudah berlangsung baik, kami betul-betul saling cinta dan bukan hanya karena dijodohkan saja.” Alde menarik napas untuk memasukkan energi lebih ke dalam paru-parunya.“Ketika terjadi masalah tentang identitas Raya, hubungan saya dan Raya memang sempat memburuk, bahkan saya kehilangan kontak dengannya. Tapi kemudian saya berhasil menghubunginya dan kami bicara dari hati ke hati,” lanjut Alde.“Jadi bagaimana maksudmu?” tanya Pak Sultan yang mulai tidak sabaran. Pikirannya selalu tertuju pada anaknya Shelia yang kini sedang dalam keadaan bahaya.“Saya dan Raya tidak ingin berpisah, Om. Saya minta maaf apabila saya tidak dapat menerima Shelia,&rd
Tubuh Wati gemetar saat melihat Dedy kembali. Rasanya ia seperti melihat hantu atau vampir yang siap untuk menerkam. Apalagi Dedy menyeringai saat melihat Wati yang ketakutan, mirip buruan yang sudah tak dapat lari dari jeratan pemburu.Dedy sampai di dekat Wati dan membelai-belai wajahnya.“Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi. Kamu akan jadi milikku selamanya,” bisik Dedy.Dedy melepaskan ikatan Wati pada pilar. Seketika Wati berontak dan berusaha lari. Tangannya memukul-mukul dan kakinya menendang-nendang.Dedy yang kelabakan dengan aksi Wati, mengambil jalan pintas. Ia menampar Wati sekeras-kerasnya sampai Wati terhuyung dan hampir ambruk.“Kamu memang perlu diikat,” geram Dedy.Dedy menendang kaki Wati sampai Wati jatuh terduduk di lantai. Secepat kilat Dedy meringkus tangan Wati. Wati yang tak berdaya dibaringkan di lant
Semua orang terbelalak dan terpana. Bu Sultan terhuyung. Tubuhnya doyong ke kiri, ke arah suaminya. Sigap Pak Sultan mengulurkan tangan untuk menangkap kedua pundak sang istri, lalu menariknya ke dalam pelukan. Andaikan tidak ditangkap oleh Pak Sultan, pasti Bu Sultan sudah terjatuh dan terpuruk ke tanah.“Anakku … Anakku,” desis Bu Sultan dengan tubuh lunglai.“Ayo kita periksa,” ajak AKP Brugman kepada kawannya.Anjing pelacak yang sedari tadi dipegang tali lehernya, kini dibiarkan berlari ke arah bangunan yang baru saja meledak. Dalam waktu singkat, AKP Brugman dan temannya telah berlari mengikuti anjing yang sudah lebih dulu melesat. Tinggal pasangan Sultan dan Byzan yang masih terpaku di tempat.“Bagaimana sekarang, Pak? Apakah kita tunggu di sini atau susul kedua polisi itu?” Byzan meminta pertimbangan Pak Sultan.“Aku ingin
Wajah AKP Brugman lesu saat menggelengkan kepala. Ia menarik napas berat sebelum menjawab.“Api sangat besar, Pak. Kami kesulitan memeriksa lokasi. Kita tunggu sampai api padam dulu, baru kita cari lagi sampai ke dalam,” terang AKP Brugman.Sorot mata kecewa terlihat dari pandangan Pak Sultan.“Ya, sudah kalau begitu kita pulang dulu saja,” kata Pak Sultan berat.“Semoga saja dia tidak lolos dari api,” sambung Pak Sultan penuh harap.“Lebih baik kita bawa dulu Shelia pulang, Pak. Soal penjahat itu, biar kita serahkan kepada Mas Brugman,” pinta Bu Sultan yang masih mendekap Wati erat di dalam pelukan.Bu Sultan berkali-kali mengusap pelupuk matanya yang digenangi air yang tak henti-henti. Pak Sultan tersentak, ia baru menyadari lagi bahwa anaknya sedang kritis.“Betul juga. Ayo segera k