Vania mengernyit dengan heran. "Kok bisa? Pak, apa kita perlu memanggilnya kemari?"Yoga menggeleng dan membalas, "Nggak perlu. Dia terus mengurung diri untuk apa? Apa mungkin dia bertanggung jawab atas proyek besar dan merasa tertekan, jadi sikapnya berubah drastis?""Nggak mungkin. Soalnya aku belum memberinya tugas apa pun belakangan ini." Vania menggeleng. "Dia mengurung diri cuma untuk membaca data-data dulu. Aku juga nggak ngerti maksudnya."Yoga merenung sambil mengangguk. "Oke, aku sudah mengerti. Lanjutkan saja pekerjaanmu."Vania menatap Yoga dengan tatapan berhasrat dan menggoda, "Pak, belakangan ini tekanan kerjaku agak besar. Apa kamu bisa bersikap lancang kepadaku sedikit? Sebentar juga nggak apa-apa kok."Yoga merasa lucu. Dia bangkit dan berkata, "Di ruang kantormu."Mata Vania sontak berbinar-binar. Dia berhasil merayu Yoga. Dia segera berujar, "Terima kasih, Pak."Keduanya pun menuju ke pintu. Begitu Vania melangkah keluar, Yoga langsung menutup dan mengunci pintu.Va
Raja Naga bertanya, "Jangka waktu yang panjang? Selama apa?""Sekitar seminggu," jawab Yoga."Aku tahu beberapa ilmu sihir yang bisa mengontrol pikiran orang, tapi cuma bisa bertahan selama beberapa jam. Kalau sekitar seminggu, aku nggak pernah dengar," ujar Raja Naga."Oke." Yoga menceritakan tentang perubahan sikap Tama dan lainnya kepada Raja Naga. "Menurutmu, apa yang terjadi kepada mereka?"Setelah merenung sejenak, Raja Naga bertanya, "Apa mungkin raga mereka telah direbut seseorang? Raga mereka masih utuh, tetapi jiwa lain yang menempati raga itu?""Direbut? Bukannya itu cuma ada di novel dan drama? Memangnya ada cara merebut jiwa dan raga orang?" tanya Yoga balik."Aku cuma menebak. Aku nggak pernah bertemu hal seperti itu. Tapi, aku pernah dengar ada ilmu seperti itu di dunia kultivator kuno tingkat tinggi," sahut Raja Naga.Yoga mengangguk dan merasa kemungkinan ini cukup besar. Karena tidak punya cara lain, dia hanya bisa mengamati Tama untuk sementara waktu ini.Selama bebe
Yang mengemudikan mobil adalah Wenny. Begitu turun dari mobil, wanita itu sontak memelototi Yoga.Hilda menghampiri dan berkata, "Kak! Akhirnya kamu datang. Aku sudah menunggumu sejak tadi.""Maaf, jalanan macet tadi," ujar Wenny."Ayo kita masuk, jangan sampai mereka menunggu terlalu lama," ucap Hilda."Nggak perlu terburu-buru. Kita selesaikan masalahmu dulu," sahut Wenny."Memangnya aku punya masalah apa?" tanya Hilda dengan heran.Wenny menghampiri Yoga dan berkata, "Yoga, dengar baik-baik. Lain kali menjauh dari Hilda. Asalkan aku masih hidup, jangan harap kamu bisa mengusik Hilda.""Apa?" Sekujur tubuh Hilda gemetaran. Dia bertanya, "Kak, ka ... kamu panggil dia apa tadi?""Yoga. Kenapa memangnya? Kamu nggak tahu kalau dia Yoga?" tanya Wenny balik.Hilda berkata dengan tidak percaya, "Ternyata dia Yoga! Kakek menjodohkanku dengannya!"Wenny terkejut mendengarnya. Hilda merasa sangat canggung. Dia bertanya, "Kenapa kamu nggak memberitahuku identitasmu sejak awal?""Kamu sendiri ng
Setelah satu per satu serangan, sekelompok pria itu tergeletak tak berdaya dibuat Yoga. Yoga menargetkan wajah mereka sehingga semuanya tampak babak belur. Ini adalah sesuatu yang sangat fatal bagi gigolo seperti mereka!"Berengsek! Beraninya kamu memukul wajahku! Aku nggak akan mengampunimu!""Aku baru menghabiskan banyak uang untuk perawatan, tapi kamu malah memukul wajahku!""Telepon Kak Kris! Bocah ini harus dibunuh!""Benar, suruh Kak Kris beri dia pelajaran!"Yoga menggerakkan pergelangan tangannya sambil berkata, "Oke, aku akan menunggu bala bantuan kalian di sini. Kebetulan, aku memang ingin melampiaskan amarahku."Usai mengatakan itu, Yoga berjalan masuk ke Restoran Floran. Di kamar Roselia, para pelayan terus keluar masuk dan tampak sangat sibuk.Mereka menggunakan berbagai cara untuk membantu Roselia meredakan rasa sakitnya, tetapi semua itu tidak berguna. Roselia meringkuk di ranjang dan bercucuran keringat. Sekujur tubuhnya gemetar tak terkendali.Begitu melihat Yoga, mata
Roselia berkata, "Kalau begitu, tolong bawa Jeje keluar."Erna mengeluarkan sebuah kantong kecil dari sakunya dan melemparkannya kepada Roselia. Dia berkata, "Itu obat penawar untukmu. Cepat dimakan, bisa meredakan rasa sakitmu."'Berengsek.' Roselia hampir mengumpat. Dia berujar, "Aku nggak mau makan obat itu. Obat itu cuma bisa meredakan rasa sakitku untuk sementara waktu. Cuma Yoga yang bisa mengobati penyakitku sampai ke akarnya.""Kalau begitu, kamu mati kesakitan saja," sahut Erna dengan tidak acuh."Aku ...." Roselia sungguh kehabisan kata-kata.Jeje membujuk, "Kak, cepat makan obat itu. Selama ada Kak Erna, jangan harap kalian berdua bisa melakukannya. Tadi Kak Kamelia juga sudah menelepon. Dia bilang akan mengebiri Kak Yoga kalau sudah nggak perjaka."'Benar-benar berengsek!' maki Roselia dalam hati. Dilihat dari penolakan ini, sepertinya dia tidak mungkin melakukannya dengan Yoga lagi. Pada akhirnya, dia hanya bisa menelan obat penawar itu.Setelah merasa lebih baik, Roselia
Semua orang bersenang-senang, sedangkan Hilda dan Wenny hanya duduk di sudut sambil mengobrol. Mereka tidak minum ataupun bernyanyi, seolah-olah bukan datang untuk menghadiri acara ini.Tama menghampiri untuk bersulang. "Hilda, Wenny, jangan cuma duduk dong. Ayo, kita minum-minum."Hilda segera menolak. "Maaf sekali, Tama. Kamu tahu aku nggak minum alkohol sejak dulu. Gimana kalau aku bersulang dengan teh saja?"Tama menyahut, "Kamu harus mencobanya sekali. Ayo, dicicipi dulu. Aku jamin kamu akan takjub dengan rasanya."Hilda masih menolak, tetapi Tama terus memaksanya untuk mencoba. Wenny akhirnya tidak tahan lagi. Dia berkata, "Pak, adikku benar-benar nggak minum alkohol. Biar aku saja yang minum.""Ya, ya." Tama segera mengiakan. Setelah bersulang, dia memberi isyarat mata kepada orang lain supaya bersulang dengan Wenny juga.Wenny buru-buru melambaikan tangan dan berkata, "Maaf, maaf. Aku nggak bisa minum lagi. Aku bersulang dengan teh saja."Seorang wanita yang terlihat berwajah g
Selain itu, mereka tidak ingin diantar Yoga.Ketika sedang kebingungan, tiba-tiba terdengar suara seorang pria. "Hei, apa yang kamu lakukan? Minggir, jangan ganggu mereka!"Ternyata itu Tama. Tama memapah Wenny dan Hilda yang tampak sempoyongan sambil bertanya, "Kalian baik-baik saja, 'kan?""Ya, kami baik-baik saja." Wenny dan Hilda bersikeras untuk terlihat baik-baik saja.Yoga mengernyit dan bertanya, "Kamu yang membuat mereka mabuk?""Bukan urusanmu. Jangan ikut campur urusan kami!" tegur Tama sambil mengerlingkan matanya. Kemudian, dia berkata dengan lembut, "Hilda, Wenny, ayo kita pergi.""Berhenti!" Yoga tiba-tiba membentak, "Siapa suruh kalian pergi?"Tama mendorong Yoga dan menghardik, "Sudah kubilang jangan ikut campur! Jangan cari masalah untuk diri sendiri!"Yoga sontak meraih kerah baju Tama dan menyahut, "Tadi memang bukan urusanku. Tapi, sekarang sudah menjadi urusanku karena kamu membentakku. Cepat minta maaf!"Tama sungguh murka. Dia hendak menampar Yoga, tetapi kecepa
Yoga berkata dengan tidak acuh, "Oke, aku tunggu kedatangannya."Hilda dan Wenny bertatapan dengan cemas. Bagaimanapun, Yoga mendapat masalah karena mereka. Mereka tidak berharap sesuatu terjadi padanya.Jadi, kedua wanita itu mulai memohon kepada Lita, "Kak, nggak perlu merepotkan manajer restoran. Aku rasa nggak perlu berlebihan begitu.""Benar, kita bisa bernegosiasi dengan kepala dingin. Kita pasti bisa menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasi masalah ini."Yoga melirik kedua wanita itu. Ternyata masih punya hati nurani. Sementara itu, Tama mendengus sebelum berujar, "Hilda, Wenny, ini masalahku dengannya. Kalian nggak perlu ikut campur. Aku nggak akan memaafkannya, kecuali dia berlutut minta maaf atau menampar diri sendiri 10 kali."Yoga terkekeh-kekeh menatap Tama sambil menantang, "Kamu saja yang menamparku 10 kali kalau berani.""Aku ...." Tama tidak berani mendekati Yoga. Ketika Tama masih ragu, seorang teman bodohnya maju dan berujar, "Kak, biar aku saja."Pria itu sont