Anwar berdiri dengan tangan di belakang punggung dan melirik Janice sekilas sebelum tatapannya tertuju pada Ivy."Begini caramu mendidik anak? Biaya sekolahnya semakin tahun semakin mahal, apa yang kurang diberikan Zachary sama dia? Ini balasannya?""Selama ini, aku berharap kamu mengerti sedikit tata krama dan menjadi pendamping yang baik, tapi bahkan mendidik seorang anak pun kamu nggak bisa. Apa lagi yang bisa kamu lakukan?"Kata-katanya tajam seperti pisau, membuat kepala Ivy semakin tertunduk. Bahkan lehernya juga merah padam. Tangannya yang kikuk mengepal erat.Melihat semua itu, hati Janice terasa perih. Amarah membakar sekujur tubuhnya, hingga napasnya pun terasa panas. Dia tahu dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi rasa bersalah itu tetap menekan hingga matanya terasa pedih.Dia sangat menyadari siapa sebenarnya yang ingin dimarahi oleh Anwar.Dulu, Janice benar-benar menganggap Anwar sebagai kakeknya sendiri. Saat ibunya merawat Anwar yang sakit, dia juga banyak m
Beberapa saat kemudian, di luar ruang perawatan.Anwar dan Jason berjalan keluar. Ayah dan anak itu masing-masing berjalan di satu sisi dengan memancarkan aura yang menakutkan. Anwar berdiri dengan tangan di belakang punggung dan bertanya dengan suara tenang, "Semalam sama Vania?""Ya," jawab Jason singkat.Anwar mengangguk. "Kamu juga sudah nggak muda lagi. Saatnya menetapkan hati, memang sudah seharusnya berkeluarga dan membangun masa depan. Kalau Vania bisa menyelesaikan masalah tambang, jangan terlalu keras sama Keluarga Tanaka.""Ya.""Baiklah, nggak usah antar lagi. Temani saja Vania, jangan sampai fokusmu terbagi." Anwar tidak banyak bicara. Namun, setiap katanya mengandung makna yang dalam dan dia tahu Jason memahaminya.Begitu pintu lift tertutup, Norman keluar dari pintu samping. "Tuan Jason, kepala pelayan memang sudah periksa rekaman CCTV di jalan kemarin.""Yoshua."Jason berjalan ke jendela dan menyalakan sebatang rokok. Alisnya yang setengah tertutup tampak kabur di bali
"Sekitar setengah jam lagi aku sampai di rumah," balas Janice.Dia yakin paket itu adalah ponselnya yang sudah selesai diperbaiki. Sebelumnya, dia sempat memberikan uang tambahan kepada pemilik toko servis agar ponselnya diperbaiki lebih cepat, karena dia tidak ingin ada penundaan.Kurir menjawab, "Baik, saya akan mengantarkan barangnya dalam waktu setengah jam."Begitu telepon ditutup, Janice segera memesan taksi untuk pulang.Sesampainya di apartemen, dia bertemu dengan kurir di lobi. Setelah menandatangani penerimaan, dia langsung naik ke atas dan membuka paket tersebut.Saat ponsel mulai menyala, rasa gugup tiba-tiba menyelimuti dirinya. Dia harus memastikan segalanya.Namun, ketika membuka galeri foto di ponselnya, dia tiba-tiba terdiam dan tubuhnya kaku di tempat. Pandangan matanya menjadi kosong seolah kehilangan fokus dan segalanya di sekitarnya terasa kabur.Brak!Ponsel itu terjatuh ke lantai dengan keras. Janice ikut terduduk lemas di lantai dan terdiam selama beberapa detik
Janice belum pernah pergi ke bar sebelumnya. Agar tidak terlihat mencolok, dia sengaja belajar cara membuat riasan smokey eyes dari internet dan membeli pakaian ala gadis bar yang paling umum.Atasan berkerah tinggi dan rok lipat mini berpinggang rendah. Menurut internet, itu adalah gaya paling laris dan umum untuk gadis bar. Dengan penampilan seperti ini, dia tidak akan terlalu mencolok dan juga sulit dikenali.Setelah sedikit menyesuaikan penampilannya, Janice memanggil taksi dan menuju ke bar.Namun, begitu tiba di tempat tujuan, dia langsung menarik perhatian semua orang di sekitarnya begitu keluar dari mobil.Janice agak bingung. Reaksi pertamanya adalah, "Apakah aku salah kostum?" Konon, orang-orang yang datang ke bar biasanya sangat modis. Jangan-jangan penampilannya terlalu biasa?Namun, saat dia berjalan menuju pintu bar, sepanjang jalan terdengar siulan dari orang-orang, membuatnya sadar apa arti tatapan mereka.Janice teringat panduan daring tentang kunjungan pertama ke bar.
Suara siulan dan sorak-sorai dari penonton di bawah panggung terus bergema.Diiringi musik yang semakin menggema, wanita itu melangkah perlahan ke arah seorang pria di bawah panggung. Akhirnya, dia melepaskan topengnya dan jatuh ke dalam pelukan pria tersebut.Karena kerumunan terlalu ramai, Janice tidak bisa melihat jelas wajah pria dan wanita itu. Namun, saat pria tersebut merangkul wanita itu, cahaya panggung kebetulan menyinari pergelangan tangannya dan memperlihatkan jam tangan yang dikenakannya.AC.Huruf yang dirangkai dari berlian kecil-kecil itu bersinar dengan mencolok. Janice langsung mengenalinya.Arya! Berarti wanita itu pasti Caitlin!Janice tidak menyangka bahwa Caitlin, seorang putri dari keluarga terpandang, akan menari di atas panggung hanya untuk menyenangkan seorang pria. Dia menyimpan kembali ponselnya, membawa gelas minuman, lalu mendekati area tempat duduk Arya dan rombongannya.Sebagai pemilik bar, Arya tentu mendapatkan posisi terbaik. Dari tempatnya bisa melih
Arya membuka sebuah pintu di ujung terdalam koridor. Di balik pintu itu terdapat sebuah taman kecil di tengah bangunan yang terhubung dengan kantor pemilik bar.Taman itu memiliki desain yang sangat berbeda dari gaya futuristik bar utama. Setiap pohon dan elemen dekorasi tampak dirancang dengan detail sehingga menciptakan suasana yang unik. Sama seperti kehidupan Arya yang memiliki dua sisi, tidak ada hubungannya satu sama lain.Arya tampak terburu-buru, sehingga sama sekali tidak menyadari kehadiran Janice yang mengikutinya diam-diam.Janice menyelinap masuk ke taman kecil itu dan bersembunyi di balik sebuah batu buatan. Dia baru berani mengintip setelah merasa aman. Saat itu, Vania berdiri di bawah pohon, sepertinya sudah menunggu cukup lama.Arya melangkah mendekat dan mencoba menggenggam tangannya, tetapi Vania menepis dan menghindar. "Kamu masih berani datang? Bukannya sibuk nyuapin pacarmu?"Vania berbalik hendak pergi, tetapi Arya menarik dan melingkarkan tangan di pinggangnya.
Saat itu, klien yang duduk di seberang Jason mengangkat gelasnya sambil tertawa. "Pak Jason, kamu benar-benar terlalu sungkan. Baru saja aku turun dari pesawat, kamu sudah menyambutku dengan begitu meriah.""Sudah seharusnya. Silakan." Jason menekan puntung rokok di asbak, membuat gerakan mempersilakan dengan ekspresi dingin.Mendengar hal itu, tubuh Janice sedikit gemetar. Dia langsung menyadari tujuan para wanita ini adalah untuk menemani minum atau mungkin lebih dari itu.Wajahnya semakin pucat. Dia tidak percaya Jason tidak mengenalinya. Namun, dia tetap berpura-pura tidak melihat, bahkan membiarkan kliennya memilih terlebih dahulu.Klien itu meletakkan gelasnya dan berdiri perlahan, pandangannya menyapu barisan wanita di depannya. Akhirnya, tatapannya berhenti pada Janice.Napas Janice tersendat. Dia menggigit bibir dengan keras, tangannya mengepal erat tanpa sadar. Meski panik, dia berusaha keras menyembunyikannya. Jika klien itu berani mendekatinya, dia sudah bersiap untuk melup
Janice terperangkap di atas paha Jason, sementara tangan besarnya mencengkeram pinggang Janice dengan erat dan menyentuh kulitnya yang terekspos oleh atasan pendek yang dia kenakan.Jari-jarinya yang hangat bergerak dengan tekanan yang keras dan membuat area di pinggang Janice memerah dengan cepat."Pakai baju begini? Nggak takut kedinginan, ya?" ucap Jason dengan nada yang seolah-olah mencela.Janice menahan napas, tubuhnya meronta sambil berbisik dengan nada kesal, "Bukan urusanmu. Lepaskan aku."Mengingat bagaimana Jason sengaja membiarkannya berada dalam situasi berbahaya sebelumnya, kemarahan langsung menyala di mata Janicee.Jason menyeringai tipis. Satu tangannya yang lain meraih tinju Janice, membuka telapak tangannya, dan memperhatikan bekas merah yang ditinggalkan oleh kuku-kukunya "Kalau aku nggak mengurusmu, lain kali mungkin kamu akan cakar aku," gumamnya sambil mencubit lembut telapak tangan Janice."Kamu ... jadi Paman menganggap ini semua lucu? Apa lagi kali ini? Mau me
Di antara orang-orang yang bersimpati pada pemuda itu, sebagian besar berasal dari Kota Pakisa. Kabar menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut, sehingga kini kerumunan orang mulai berdatangan ke kantor polisi untuk menuntut penjelasan. Melihat tatapan mereka sangat mengerikan, Naura melindungi Janice saat masuk ke kantor polisi.Saat melihat Zachary yang sudah menunggu bersama asistennya, Janice segera maju dan bertanya, "Paman, bagaimana keadaan ibuku?""Ibumu baik-baik saja, tapi Fenny tiba-tiba mulai menyakiti dirinya sendiri. Kabar itu sudah tersebar keluar, jadi publik sangat marah," jelas Zachary."Paman, tolong selidiki putranya Fenny. Aku curiga ada yang sengaja membantunya membangun citra ini," kata Janice."Ini ...." Mendengar perkataan Janice, Zachary menggigit bibirnya dan tidak langsung menjawab.Pada akhirnya, asistennya Zachary berkata dengan tidak berdaya, "Nona Janice, Pak Zachary sudah diskors perusahaan dan semua dananya juga sudah dibekukan Keluarga Karim.""Ini ..
Saat keluar dari lift, Janice kebetulan bertemu dengan Naura.Naura menatap ke arah Janice terlebih dahulu, lalu melihat ke belakang Janice. "Eh? Mana abang pengawal itu?""Sudah pulang ke tempat Pak Landon," kata Janice dengan tenang.Naura berdecak, lalu mengeluh, "Hah? Mereka hanya menjagamu sehari? Pak Landon ini jadi pacar terlalu santai. Tapi, kalian benar-benar romantis, semalam juga nggak peduli aku yang ada di sebelah."Mendengar perkataan itu, ekspresi Janice terlihat curiga. Dia ingin menjelaskan pada Naura bahwa semalam dia tidak tidur di rumah, tetapi dia tiba-tiba teringat sesuatu dan segera mengeluarkan kunci untuk membuka pintu. Begitu pintu terbuka, dia dan Naura langsung tercengang karena hampir seluruh isi rumah Janice sudah diubrak-abrik dan hanya tinggal lantai saja yang utuh.Naura terkejut dan berkata, "Rumahmu dirampok? Jangan-jangan semalam .... Aku kira kalian sedang bermesraan. Kalau begitu, aku lapor polisi dulu."Setelah mengatakan itu, Naura mengeluarkan p
Janice segera bangkit dari sofa, lalu merapikan pakaiannya sejenak setelah berdiri tegak. "Satu malam sudah berlalu."Mendengar perkataan itu, tangan Jason langsung terhenti dan tersenyum. "Sekarang kamu bahkan malas berbohong padaku."Melihat Janice hanya terdiam, Jason pun berdiri dan berkata, "Sarapan dulu baru pergi saja.""Nggak perlu, aku nggak lapar," jawab Janice.Namun, perut Janice tiba-tiba berbunyi sampai dia segera menutupi perutnya dengan tas karena malu.Pada saat itu, bel pintu berbunyi. Setelah berbunyi tiga kali, Norman baru membuka pintu dan masuk. Melihat dua orang yang berdiri di dalam, dia sempat tertegun sejenak dan bertanya-tanya apakah dia datang di waktu yang salah lagi. Padahal tadi dia sudah sengaja menekan bel terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam. "Pak Jason, Nona Janice, selamat ... pagi."Saat Janice tidak fokus, Jason langsung mengambil tasnya. Melihat Jason meletakkan tasnya di kursi, dia hanya bisa duduk dengan patuh.Norman meletakkan satu per satu
Masih pura-pura tidak tahu.Janice memejamkan mata rapat-rapat, bibirnya terkatup kuat.Beberapa detik kemudian, film langsung melompat ke bagian akhir yang penuh tarian dan nyanyian. Irama musiknya ceria dan menggembirakan.Janice diam-diam membuka satu mata, memastikan bahwa layar sudah aman. Kemudian, dia baru membuka matanya sepenuhnya.Harus diakui, adegan tarian dalam film musikal ini memang indah. Warna keemasan berkilau, air mancur yang menyala, kelopak mawar merah berserakan di tanah, dan para wanita cantik dengan pakaian mewah menari sambil menyanyi. Semuanya kontras dengan adegan sebelumnya.Janice refleks menoleh ke arah pria di sampingnya, tidak menyangka Jason masih menatapnya. Tatapan mereka bertemu dari jarak dekat. Sedikit saja dia bergerak, bibir mereka bisa langsung bersentuhan.Janice kaget. Saat dia mencoba menghindar dengan menyandar ke belakang, dia malah jatuh dari sofa.Jason langsung menangkapnya dan menariknya kembali. Gerakan itu membuat mereka berdua terjat
Namun, hal itu tetap tak bisa menyembunyikan pesona khasnya.Tangan Jason menyusuri rambut Janice dengan gerakan lembut, membuatnya merasa diperlakukan dengan penuh hati-hati.Tanpa sadar, Janice bahkan tidak tahu kapan suara pengering rambut itu berhenti. Saat pikirannya kembali, dia baru sadar Jason membawanya keluar dari kamar utama.Dia tak mengerti apa yang sedang direncanakan pria itu, sampai dia melihat tiga hidangan rumahan di atas meja makan.Jason menarik kursi untuknya, menyajikan sepiring nasi hangat di depan Janice. "Masakanku biasa saja, makan seadanya."Janice tidak tahu harus berkata apa, akhirnya hanya mengangguk pelan. "Hm."Dia tahu Jason bisa masak sedikit, tetapi dia hanya pernah mencicipi mie dan sandwich buatannya yang gagal.Hidangan di depan mata ini memang tak seindah buatan koki Keluarga Karim, tetapi tetap terlihat menggugah selera.Janice mencicipi telur orak-arik tomat. Ternyata enak. Tanpa sadar, dia memuji, "Enak.""Masih ada di panci.""Masih ada?" Jani
Janice berjalan dalam keadaan linglung sepanjang perjalanan, hingga akhirnya dia masuk ke rumah yang hangat. Saat itu, dia mulai tersadar kembali. Melihat tangannya yang masih digenggam oleh Jason, dia segera menariknya seolah-olah tersengat listrik.Dengan wajah dingin, dia berkata, "Jason, kamu nggak perlu melakukan ini. Aku nggak akan setuju untuk mendonorkan hatiku!"Jason berhenti melangkah, menatapnya tanpa ekspresi, lalu perlahan mendekatinya. Janice mundur selangkah demi selangkah hingga punggungnya menempel pada dinding kaca yang dingin.Tubuh Jason basah kuyup, kemejanya menempel pada otot-ototnya yang tegang, memancarkan kekuatan yang tak terbantahkan."Kalau aku butuh hatimu, sekarang kamu sudah di rumah sakit," kata Jason sambil mendekat.Janice segera mengangkat tangan untuk menahan. "Jangan seperti ini!"Yang terdengar hanya suara klik. Seluruh rumah menjadi terang benderang. Ternyata Jason hanya menyalakan lampu.Dengan tangan menempel pada dinding kaca, Jason berta
Jadi, begitu kenyataannya.Mata Janice yang indah membelalak karena kaget dan takut. Hujan yang tertiup angin membasahi bulu matanya yang panjang, lalu menetes masuk ke mata. Semu dan kabur.Anwar menatapnya dingin. "Janice, dunia ini nggak pernah peduli pada keinginanmu."Begitu kata-kata itu diucapkan, dia menutup jendela mobil. Sopirnya perlahan menginjak gas dan mobil pun melaju pergi.Janice terdiam, tak menyangka Anwar akan membiarkannya begitu saja. Namun, dia segera sadar, dirinya terlalu naif.Begitu mobil Anwar meninggalkan lokasi, lampu sebuah mobil di seberang jalan tiba-tiba menyala. Dari dalam, keluar tiga pria bertubuh tinggi dan kekar.Janice baru sadar, dia sudah diawasi sejak tadi. Alasan kenapa Anwar pergi dulu baru menyuruh orang bertindak karena dia tidak ingin dirinya terseret secara langsung.Janice langsung merasa dadanya sesak. Tanpa peduli pada hujan, dia langsung berlari secepat mungkin.Namun, tiga pria itu seperti sudah tahu ke mana dia akan lari. Mereka se
Begitu membahas tentang Ivy, Janice akhirnya berhenti melangkah.Anwar memang punya kemampuan untuk menyelamatkan Ivy, tetapi Janice tahu pria tua itu pasti datang dengan maksud tertentu.Janice menarik napas panjang, lalu perlahan berbalik. "Kalau ada yang mau dibicarakan, bicaralah langsung. Nggak usah mutar-mutar."Anwar menatapnya sejenak, lalu langsung berkata terus terang, "Aku butuh satu hal dari tubuhmu."Tubuh? Janice menunduk, menatap dirinya sendiri. Apa yang berharga darinya? Barang-barang yang dimilikinya bahkan tidak sebanding dengan mobil Anwar.Dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksud Anwar. Dengan bibir terkatup rapat, dia bertanya, "Hal apa?"Tatapan tajam Anwar menyapu tubuh Janice. "Setengah dari livermu."Janice terdiam, sempat berpikir dirinya sedang berhalusinasi. Liver? Bisa diminta begitu saja?Angin sore berembus dingin, membuat Janice menggigil dan langsung sadar. Dia mundur, menjauh dari mobil."Untuk apa kamu butuh liverku?""Untuk Rachel," jawab Anwar
Dia bahkan menirukan suara perempuan itu. "Kak Norman, maaf, aku salah kirim, jangan dilihat ya ...."Norman dan Arya langsung merinding."Kak Norman, ajarin dong, gimana caranya bikin cewek kirim uang dalam satu menit?" Usai berbicara, Zion meninju ringan dada Norman.Norman menahan napas. Apa Zion tidak tahu betapa keras pukulannya? "Dasar gila."Norman menerima uang itu, lalu langsung menghapus kontak si perempuan. Tindakannya sangat cepat dan tegas.Arya bengong. "Hah? Kamu langsung hapus? Kamu nggak rugi sama sekali lho! Sudah liat fotonya, dapat duit pula!""Mau direkomendasikan ke kamu?""Eh, jangan! Aku nggak sanggup. Mending kasih ke Zion saja, dua-duanya genit, pasti cocok." Arya menunjuk Zion.Zion menikmati teh sambil selonjoran. "Aku sukanya yang tinggi semampai kayak aku.""Gila." Norman menjelaskan, "Pak Jason sempat bilang bakal ada yang hubungin aku buat balikin uang. Sepertinya dia orangnya."Ketiganya sedang asik minum teh saat seorang pengawal tiba-tiba masuk dan me