Elang tetap tenang, meskipun sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak ingin membahas masalah ini lebih lama. "Tidak ada ruang untuk menolak, Audrey. Ini soal kesepakatan antara kau dan aku, yang wajib kita lakukan."
Audrey terdiam sejenak, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Tidak ada jalan keluar dari situasi ini, dan meskipun hatinya menolak, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. "Baiklah." Jawaban Audrey membuat Elang segera memberi bulpoint agar gadis itu segera bertanda tangan. "Sekarang kau boleh pergi." Usir Elang dengan mengibas-ngibaskan tangannya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Audrey segera keluar tanpa berucap apapun dengan tangan memegang dokumen itu. Audrey berjeringkit terkejut, saat baru saja membuka pintu. Sosok pelayan yang tadinya mengantarnya ternyata menunggunya. "Maafkan saya, Nyonya." Ucap pelayan itu saat tidak sengaja mengejutkan majikannya. Audrey tersenyum. "Tidak masalah, boleh antarkan aku ke kamar?" Pinta Audrey yang jujur saja ia masih bingung dengan letak ruangan mansion ini. Pelayan itu segera mengangguk dengan sopan. "Tentu, Nyonya. Mari saya antar." Jawabnya dengan suara lembut sambil mempersilahkan Audrey untuk mengikuti langkahnya. Sepanjang perjalanan menuju kamar, Audrey terdiam, masih terngiang-ngiang dengan apa yang baru saja terjadi. Tanda tangannya yang baru saja dituangkan di atas kertas itu terasa berat. Hatinya campur aduk, merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya. Sesampainya di depan kamar, pelayan itu membukakan pintu. "Jika Nyonya membutuhkan sesuatu, saya selalu siap membantu." Pamit pelayan itu lalu membungkukkan badannya dengan sopan. Audrey mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum masuk ke kamarnya. Begitu pintu tertutup, Audrey duduk di tepi ranjang, memandangi dokumen di tangannya. Ia menghela napas panjang, merasa semakin jauh dari bayangan pernikahan yang ia impikan. Audrey memandang dokumen itu, namun tiba-tiba tersenyum tipis. "Namun tidak masalah, aku mendapat uang pesangon. Itu bisa digunakan untuk biaya pendidikan alsa danbeberapa anak panti." Ucapnya mencoba merasa lebih baik. Setelahnya ia memencet tombol yang berada dimeja nakas disamping tempat tidurnya. "Aku minta tolong, untuk makan malamnya diantar ke kamarku saja." Ucap Audrey pada sosok pelayan yang menerima panggilan darinya. Audrey menutup telepon dan kembali menatap dokumen di tangannya. Meski situasi yang ia hadapi jauh dari impiannya, setidaknya ada sesuatu yang bisa ia peroleh untuk masa depan adik-adiknya. Beberapa saat kemudian, ketukan terdengar dari pintu. "Makan malam sudah tiba, Nyonya." Suara pelayan terdengar dari luar. "Masuk saja." Jawab Audrey. Pelayan itu masuk dengan mendorong troli makanan yang tertata rapi. "Apakah ada yang Nyonya butuhkan lagi?" tanyanya dengan sopan. Audrey menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih. Itu saja." Setelah pelayan keluar, Audrey duduk di meja kecil di samping jendela. Ia menatap makanan di depannya, namun pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai hal. Meskipun tidak ada selera makan yang besar, Audrey mulai menyuapkan makanan dengan perlahan, mencoba menenangkan dirinya. ^^^ Gelapnya malam sudah menyingsir tergantikan dengan cerahnya sinar matahari. Audrey dipagi hari sudah menyibukkan diri dengan menyiram bunga-bunga yang berada ditaman mansion itu, membuat suasana hati Audrey menjadi semakin baik. Pagi yang cerah dan segar memberikan Audrey sedikit ketenangan. Setiap tetes air yang jatuh dari alat siramnya ke bunga-bunga di taman mansion memberikan rasa damai di hatinya. Meskipun banyak hal yang tak terduga telah terjadi dalam hidupnya, merawat bunga-bunga ini membuatnya merasa terkoneksi dengan sesuatu yang sederhana namun indah. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh taman, menikmati hijaunya dedaunan dan warna-warni bunga yang mekar. Suasana pagi yang tenang dan cahaya matahari yang lembut membangkitkan rasa syukur kecil di dalam hatinya. Saat Audrey sibuk dengan rutinitas menyiram tanaman, terdengar suara langkah kaki mendekat. Audrey menoleh dan melihat Grett, kepala pelayanmmansion itu, menghampirinya. "Nyonya, Tuan Elang meminta Anda untuk sarapan bersama di ruang makan." Ujar Grett dengan hormat. Audrey terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baik, aku akan segera ke sana." Jawabnya lembut sebelum menyimpan alat siram dan berjalan menuju ruang makan, sedikit penasaran dengan apa yang akan terjadi hari ini. Audrey menatap Elang. "Selamat pagi, kak. Ada apa?" Tanya Audrey merasa heran. Elang yang menunduk sibuk pada tablet ditangannya mendongak. "Duduklah, setelah sarapan, kita akan berbicara." Setelahnya para pelayan mulai menata makanan yang menggunggah selera. Audrey menurut dan duduk di hadapan Elang, sambil memperhatikan pelayan yang menata makanan dengan teliti. Ada perasaan aneh yang menyelip di hatinya, penasaran tentang apa yang ingin dibicarakan oleh Elang. Meskipun hubungan mereka baru saja dimulai dengan perjanjian kontrak, Audrey merasa sedikit gugup. Elang mengambil beberapa suapan makanan tanpa berbicara, seolah-olah tidak ada yang mendesak. Audrey merasa suasana ini agak canggung, namun dia tetap tenang. Setelah beberapa menit dalam keheningan, Elang meletakkan garpunya dan menatap Audrey. "Oh ya, kau dari mana tadi?" Tanyanya pada Audrey karena melihat gadis itu yang baru saja dari lantai 1, sedangkan kamar mereka terletak dilantai 2. Audrey mengerut kening heran, namun tetap menjawab. "Menyiram bunga ditaman." Brak Suara pukulan dimeja membuat Audrey terjengkat terkejut, lalu menatap Elang yang tiba-tiba saja menatapnya dengan tatapan marah. "Jangan pernah kau menginjakkan kakimu ketaman itu lagi! Apalagi dengan menyiram bunga-bunga itu, Kau tidak pantas!" Bentak Elang dengan suara penuh amarah, lalu segera bangkit meninggalkan meja makan. Audrey mengusap dadanya terkejut dengan mata berkaca-kaca. "Kami sudah selesai sarapan, segera bereskan ini. Terima kasih." Ucap Audrey pada beberapa pelayan yang berada didapur mengintip arah meja makan. BersambungPara pelayan dengan sigap langsung membersihkan meja, merasa malu terpergok majikan, bahwa mereka tengah mengintip. Juga tidak adanya, Grett yang biasa memarahi mereka. Audrey masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami kemarahan Elang yang tiba-tiba meledak. Pikirannya berkecamuk, merasa bingung dan terluka. "Kenapa dia begitu marah hanya karena aku menyiram bunga?" batinnya, berusaha menenangkan diri. Air matanya mulai menetes, namun segera dihapus dengan cepat, tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para pelayan. Setelah meja makan dibersihkan, Audrey berjalan perlahan ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa dengan taman itu? Apa ada sesuatu yang aku tidak tahu?” pikirnya. Di dalam kamar, Audrey mencoba menenangkan perasaannya. "Aku harus mencari tahu kenapa dia begitu marah. Aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebingungan seperti ini." gumamnya pada diri sendiri. Tiba-tiba saja ketukan di pintu membuat Audrey seger
Langit senja perlahan memudar, mewarnai taman dengan cahaya orange yang lembut. Seorang gadis berdiri di balik semak-semak, tubuhnya kaku, sementara tatapannya terpaku pada dua sosok di bangku taman. "Kamu yakin nggak ada yang tahu?" Tanya wanita itu dengan suara lembut, sambil bersandar di bahu pria yang ia kenal begitu baik. "Tenang saja. Semua aman." Jawab pria itu, tersenyum tipis, lalu meraih tangan wanita di sebelahnya. Sentuhan itu, yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini menjadi pisau yang menusuk jantungnya. Tangannya gemetar saat dia mengangkat ponsel, menekan tombol rekam dengan tangan yang dingin. Air mata menggenang, kabur di pelupuk matanya, tapi dia berusaha menahannya. Isak tangis tertahan di tenggorokan, seolah jika ia mengeluarkannya, segalanya akan runtuh tak terkendali. “Ini... benar-benar terjadi.”Gumamnya dalam hati, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia lihat. Mata Audrey sontak melebar, napasnya terhenti di tenggorokan. Di depannya, keka
Pagi hari yang cerah menyambut Audrey dan anak-anak panti dengan sinar matahari yang hangat. Namun, suasana di panti asuhan terasa sedikit berbeda dari biasanya. Audrey dan anak-anak lainnya mengerutkan kening heran saat melihat para wanita paruh baya—ibu, nenek, dan pengurus panti—sibuk memasak makanan dan membersihkan seluruh area panti. “Ada apa, ya? Kenapa semua pada sibuk banget pagi-pagi begini?” tanya Audrey sambil melirik ke arah dapur dan area panti yang tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa anak panti lainnya tampak penasaran dan kebingungan, saling bertanya satu sama lain. Meskipun suasana pagi yang cerah dan biasa saja, aktivitas yang tidak biasa ini menimbulkan rasa ingin tahu di antara mereka. Nenek Sri, yang melihat Audrey berdiri di dekat dapur dengan tatapan heran, segera menghampirinya dan memanggilnya. "Nak Audi, nenek minta tolong belikan santan dan beberapa bahan lainnya, ya? Lebih cepat, ya, nak. Hati-hati jalannya." Ujar Nenek Sri sambil menyerahkan
Audrey menelan ludah, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan kabar sebesar itu. Sambil berusaha tetap tenang, ia melirik ke arah Bunda panti yang tersenyum lembut, seolah-olah ini adalah hal yang sudah direncanakan sejak lama. "B-bunda, ini maksudnya...?" Audrey berusaha mencari klarifikasi, suaranya terdengar ragu. Bunda panti meraih tangan Audrey, menggenggamnya dengan hangat. "Iya, Nak. Ini keputusan yang sudah lama kami bicarakan. Keluarga mereka sangat baik, dan Bunda yakin ini akan menjadi keputusan yang terbaik untukmu." Audrey menunduk, mencoba mencerna semua ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan berubah secepat ini, apalagi soal pernikahan dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Dalam hatinya, masih ada rasa kekecewaan yang belum pulih setelah perselingkuhan Leo, dan sekarang ia dihadapkan pada kenyataan baru yang jauh lebih besar. Audrey menegakkan kepalanya dengan tegas,
Audrey menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan semua bayangan tentang Leo yang mengusik pikirannya. Ucapan-ucapan menyakitkan dari mantan kekasihnya terus berputar di kepalanya, tetapi ia tahu, menangisi hal itu tidak akan mengubah apa pun. "Leo brengsek! Aku akan membuktikan kalau aku bisa lebih baik tanpamu." Gumam Audrey dengan suara pelan, menatap foto mereka berdua dalam pigura kecil yang dulu penuh kenangan manis. Sekarang, kenangan itu terasa pahit. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Kak Audi? Kakak di dalam kah? Sasa mau masuk ya?" Suara riang Salsa terdengar dari luar pintu. Audrey buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah mengalir, lalu berdiri di depan cermin, meraih bedak untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat sembap. Saat Salsa masuk, gadis itu langsung mendengus. "Astaga, bedakan mulu, kak. Tamunya sudah pergi kok. Ayo kak, kita makan makanan yang masih ada." ajak Salsa dengan semangat, menarik lengan Audrey menuju ruang makan. Audrey ters
Salsa berlari sekuat tenaga, namun mobil yang dinaiki pemuda itu sudah mulai menjauh. "Aduh, kenapa sih dia cepat sekali?" Keluh Salsa, sambil terus berlari hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Salsa terengah-engah, berhenti di pinggir jalan sambil mengatur napas. Ia memandang ke arah mobil yang semakin jauh, merasa kecewa dan kesal. Jepit bunga yang diambil oleh pemuda itu sangat berharga baginya, dan kehilangan itu membuatnya merasa frustasi. "Kakiku sakit lagi." Gumamnya menatap nanar kakinya yang terluka karena goresan bebatuan juga beberapa pasir. Dengan rasa kesal, Salsa kembali ke panti asuhan, dan langsung menuju kamar Audrey mengabaikan kakinya yang terluka. “Kak, ada yang aneh tadi. Sasa kehilangan jepit, dan ada seorang pemuda yang mengambilnya!” Ucap Salsa, mencoba menjelaskan dengan cepat kepada Audrey yang sedang bersiap-siap. Audrey mendengarkan dengan seksama, lalu mengernyitkan dahi. “Pemuda itu seperti apa? Apakah kamu mengenalnya? Kamu tidak terluka
Maudy kemudian menambahkan dengan nada yang penuh dukungan. "Bagaimana kalau kita ajak mereka makan malam bersama? Ini bisa menjadi kesempatan baik untuk mengenal satu sama lain lebih dekat." Audrey merasa lega mendengar respon positif dari Maudy. "Terima kasih, Mama. Itu akan sangat berarti bagi mereka." Benar, tidak semua orang seperti keluarga Leo. Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat makanan yang ingin dikunjungi Audrey, membuat perjalanan sore itu terasa lebih berarti dan hangat. ^^^ Setelah beberapa saat mereka membeli makanan, akhirnya mobil memasuki pekarangan panti asuhan. Audrey turun diikuti Maudy juga sopir yang sibuk mengeluarkan barang-barang yang sudah mereka beli untuk anak panti. "Sepertinya mama tidak bisa makan malam bersama dengan kalian, Audi. Papa menelepon mama, jadi mama harus segera pulang." Jelas Maudy setelah mendapat telepon singkat dari sang suami. Audrey tampak kecewa mendengar hal itu. "Baiklah, Mama. Terima kasih untuk h
Tatapan Audrey terus mencari, bertanya-tanya apakah ia akan segera bertemu pria yang akan menjadi suaminya. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikirannya, suara lembut dari Devan membuyarkan lamunannya. "Sudah sampai, Nak. Tetaplah tenang, semuanya akan baik-baik saja." Kepergian Devan, membuat kegugupan Audrey semakin meningkat. Hingga kedatangan sosok pria tampan yang mengenakan setelan pengantin. "Dia sangat tampan." Batin Audrey menatap sosok pria yang akan menjadi suaminya. Audrey menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Sosok pria tampan yang akan menjadi suaminya berdiri gagah di sampingnya, membuat kegugupan bercampur dengan kekaguman yang tak bisa ia tolak. "Apakah dia benar-benar orang yang tepat untukku?" Pikir Audrey, masih meraba perasaannya sendiri. Suara pembawa acara mulai terdengar, memecah keheningan saat mereka akan memulai prosesi. "Baiklah, karena kedua mempelai sudah hadir. Mari ki