Para pelayan dengan sigap langsung membersihkan meja, merasa malu terpergok majikan, bahwa mereka tengah mengintip. Juga tidak adanya, Grett yang biasa memarahi mereka.
Audrey masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami kemarahan Elang yang tiba-tiba meledak. Pikirannya berkecamuk, merasa bingung dan terluka. "Kenapa dia begitu marah hanya karena aku menyiram bunga?" batinnya, berusaha menenangkan diri. Air matanya mulai menetes, namun segera dihapus dengan cepat, tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para pelayan. Setelah meja makan dibersihkan, Audrey berjalan perlahan ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa dengan taman itu? Apa ada sesuatu yang aku tidak tahu?” pikirnya. Di dalam kamar, Audrey mencoba menenangkan perasaannya. "Aku harus mencari tahu kenapa dia begitu marah. Aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebingungan seperti ini." gumamnya pada diri sendiri. Tiba-tiba saja ketukan di pintu membuat Audrey segera bangkit membuka pintu itu. Dibalik pintu, Nick tersenyum menyapa Audrey. "Saya ingin menjelaskan secara singkat beberapa aturan yang harus nyonya patuhi ketika tinggal di mansion ini." Jelas pria itu singkat. Audrey segera mempersilahkan pria itu untuk memasuki kamarnya, menuju sofa. "Silahkan, aku ijin merekamnya. Takutnya lupa." Pinta Audrey dengan tersenyum sebelum Nick membuka suaranya. "Silahkan, Nyonya." Setelah mendapat persetujuan akhirnya ia mulai merekam pembicaraan mereka. "Peraturan yang harus Nyonya Audrey patuhi: 1. Tidak boleh menginjakkan kaki di taman mansion. 2. Tidak boleh menyapa Tuan Elang. 3. Tidak boleh memasuki kamar pribadi Tuan Elang tanpa seijinnya. 4. Tidak boleh membawa tamu tanpa seijin Tuan. 5. Tidak boleh mengusik pandangan Tuan Elang. 6. Tidak boleh banyak berbicara, ketika mengobrol dengan Tuan Elang. 7. Harus sigap berakting ketika keluarga Tuan Elang berkunjung. 8. Menuruti keinginan tuan Elang. 9. Wajib melapor pada tuan Elang, bisa juga melalui saya (Nick asisten pribadi beliau) 10. Menghormati tuan Elang, selayaknya Majikan-pelayan." Jelas Nick panjang lebar, yang membuat Audrey tanpa sadar menguap juga beberapa kali memutar bola matanya malas. Audrey segera merubah ekspresinya saat Nick menatapnya. "Baiklah, aku mengerti Nick. Aku akan mengingat dan mematuhinya." Nick mengangguk puas. "Baiklah, Nyonya. Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan hubungi saya." Setelah itu, ia bangkit dan berpamitan. Audrey hanya mengangguk dan mengantar pria itu keluar kamar. Setelah pintu tertutup, Audrey menatap kosong ke arah sofa. "Peraturan? Ini lebih seperti hidup dalam penjara," gumamnya pelan, merasa sesak dengan berbagai aturan yang tak masuk akal baginya. "Bagaimana bisa aku menjalani kehidupan seperti ini selama dua tahun?" pikirnya, merasakan campuran rasa frustasi dan kebingungan. Audrey menatap jendela kamar yang menghadap ke taman yang tadi pagi ia sirami. Taman yang terlihat begitu indah, namun sekarang terasa terlarang baginya. Perlahan ia merasa semakin terasing di rumah besar ini, meskipun secara resmi kini ia adalah 'Nyonya rumah.' Ketukan pintu disusul masuknya pelayan membuat lamunan Audrey berhenti. "Maaf nyonya, dibawah ada tamu yang diperintahkan tuan Elang." Jelas pelayan itu. Audrey mengangguk. "Baiklah, terimakasih." Balasnya lalu segera turun menemui tamu dari Tuan Elang terhormat. Setelah Audrey turun mengunakan lift, begitu sampai diruang tamu, ia mendapati tiga wanita yang berpenampilan familiar dimatanya. "Permisi, apakah anda benar nyonya Audrey?" Tanya salah satu dari ketiga wanita itu. Audrey tersenyum lalu mengangguk. "Benar, maaf ada perlu apa ya kemari?" Tanya Audrey lembut "Kami diutus Tuan Lous untuk memberikan perawatan pada anda, nyonya." Jawab wanita salah satunya yang meredakan rasa penasaran Audrey seraya mengangguk kepalanya saat mengenal brand yang saat itu memberikan perawatannya dipanti asuhan. Audrey yang masih kebingungan tetap tersenyum, "Baiklah, lakukan tugas kalian." Ucapan itu membuat ketiga wanita tersenyum lega. Akhirnya mereka mulai melakukan perawatan pada Audrey. Audrey merasa terkejut juga bahagia saat mengetahui dimansion itu, terdapat alat juga tempat spa pribadi dilantai 3. Setelah kurang lebih tiga jam Audrey habiskan, ia menatap pantulan wajahnya dicermin. Penampilannya benar-benar berbeda dengan dirinya. Walau hanya style rambut dan warna yang diubah. 'So beautiful, very very beautiful.' Gumam Audrey menatap lekat bayangannya dipantulan cermin besar itu, hingga tidak menyadari kepergian ketiga wanita itu. Audrey terus menatap pantulan dirinya di cermin dengan takjub. Rambut yang kini tertata sempurna, warna yang lebih cerah, serta kulitnya yang tampak bercahaya, membuatnya merasa seolah ia menjadi versi terbaik dari dirinya. "Aku benar-benar terlihat berbeda." gumamnya, masih terpesona dengan perubahan yang ia alami. Namun, seiring dengan kekagumannya, muncul perasaan aneh yang tidak bisa ia abaikan. Perawatan yang mewah ini terasa sangat jauh dari kehidupannya sebelumnya di panti asuhan. "Apakah ini benar-benar hidupku sekarang?" pikir Audrey, sedikit merasa canggung dengan segala kemewahan yang kini mengelilinginya. Audrey berbalik dari cermin dan berjalan menuju jendela besar di kamar itu, memandang keluar ke arah taman yang dilarang untuk ia kunjungi. Meski merasa terkurung oleh peraturan di mansion ini, ia berusaha untuk tidak memikirkan hal itu terlalu dalam. "Harusnya aku bahagia, kan?" bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. Namun, rasa rindu akan kehidupannya yang sederhana dan penuh kebersamaan di panti asuhan tak bisa sepenuhnya hilang dari benaknya. Sepertinya semua tempat yang berada didalam mansion itu didesain khusus dengan pemandangan taman bunga itu, Audrey menghela napas, lu segera keluar menuju kamarnya. Sepanjang perjalanan Audrey menuju kamarnya, ia merasa setiap pelayan yang berpapasan dengannya menatapnya dengan tatapan takut. Audrey yang merasa heran akhirnya bertanya pada salah satu pelayan. "Ada apa?" BersambungLangit senja perlahan memudar, mewarnai taman dengan cahaya orange yang lembut. Seorang gadis berdiri di balik semak-semak, tubuhnya kaku, sementara tatapannya terpaku pada dua sosok di bangku taman. "Kamu yakin nggak ada yang tahu?" Tanya wanita itu dengan suara lembut, sambil bersandar di bahu pria yang ia kenal begitu baik. "Tenang saja. Semua aman." Jawab pria itu, tersenyum tipis, lalu meraih tangan wanita di sebelahnya. Sentuhan itu, yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini menjadi pisau yang menusuk jantungnya. Tangannya gemetar saat dia mengangkat ponsel, menekan tombol rekam dengan tangan yang dingin. Air mata menggenang, kabur di pelupuk matanya, tapi dia berusaha menahannya. Isak tangis tertahan di tenggorokan, seolah jika ia mengeluarkannya, segalanya akan runtuh tak terkendali. “Ini... benar-benar terjadi.”Gumamnya dalam hati, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia lihat. Mata Audrey sontak melebar, napasnya terhenti di tenggorokan. Di depannya, keka
Pagi hari yang cerah menyambut Audrey dan anak-anak panti dengan sinar matahari yang hangat. Namun, suasana di panti asuhan terasa sedikit berbeda dari biasanya. Audrey dan anak-anak lainnya mengerutkan kening heran saat melihat para wanita paruh baya—ibu, nenek, dan pengurus panti—sibuk memasak makanan dan membersihkan seluruh area panti. “Ada apa, ya? Kenapa semua pada sibuk banget pagi-pagi begini?” tanya Audrey sambil melirik ke arah dapur dan area panti yang tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa anak panti lainnya tampak penasaran dan kebingungan, saling bertanya satu sama lain. Meskipun suasana pagi yang cerah dan biasa saja, aktivitas yang tidak biasa ini menimbulkan rasa ingin tahu di antara mereka. Nenek Sri, yang melihat Audrey berdiri di dekat dapur dengan tatapan heran, segera menghampirinya dan memanggilnya. "Nak Audi, nenek minta tolong belikan santan dan beberapa bahan lainnya, ya? Lebih cepat, ya, nak. Hati-hati jalannya." Ujar Nenek Sri sambil menyerahkan
Audrey menelan ludah, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan kabar sebesar itu. Sambil berusaha tetap tenang, ia melirik ke arah Bunda panti yang tersenyum lembut, seolah-olah ini adalah hal yang sudah direncanakan sejak lama. "B-bunda, ini maksudnya...?" Audrey berusaha mencari klarifikasi, suaranya terdengar ragu. Bunda panti meraih tangan Audrey, menggenggamnya dengan hangat. "Iya, Nak. Ini keputusan yang sudah lama kami bicarakan. Keluarga mereka sangat baik, dan Bunda yakin ini akan menjadi keputusan yang terbaik untukmu." Audrey menunduk, mencoba mencerna semua ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan berubah secepat ini, apalagi soal pernikahan dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Dalam hatinya, masih ada rasa kekecewaan yang belum pulih setelah perselingkuhan Leo, dan sekarang ia dihadapkan pada kenyataan baru yang jauh lebih besar. Audrey menegakkan kepalanya dengan tegas,
Audrey menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan semua bayangan tentang Leo yang mengusik pikirannya. Ucapan-ucapan menyakitkan dari mantan kekasihnya terus berputar di kepalanya, tetapi ia tahu, menangisi hal itu tidak akan mengubah apa pun. "Leo brengsek! Aku akan membuktikan kalau aku bisa lebih baik tanpamu." Gumam Audrey dengan suara pelan, menatap foto mereka berdua dalam pigura kecil yang dulu penuh kenangan manis. Sekarang, kenangan itu terasa pahit. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Kak Audi? Kakak di dalam kah? Sasa mau masuk ya?" Suara riang Salsa terdengar dari luar pintu. Audrey buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah mengalir, lalu berdiri di depan cermin, meraih bedak untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat sembap. Saat Salsa masuk, gadis itu langsung mendengus. "Astaga, bedakan mulu, kak. Tamunya sudah pergi kok. Ayo kak, kita makan makanan yang masih ada." ajak Salsa dengan semangat, menarik lengan Audrey menuju ruang makan. Audrey ters
Salsa berlari sekuat tenaga, namun mobil yang dinaiki pemuda itu sudah mulai menjauh. "Aduh, kenapa sih dia cepat sekali?" Keluh Salsa, sambil terus berlari hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Salsa terengah-engah, berhenti di pinggir jalan sambil mengatur napas. Ia memandang ke arah mobil yang semakin jauh, merasa kecewa dan kesal. Jepit bunga yang diambil oleh pemuda itu sangat berharga baginya, dan kehilangan itu membuatnya merasa frustasi. "Kakiku sakit lagi." Gumamnya menatap nanar kakinya yang terluka karena goresan bebatuan juga beberapa pasir. Dengan rasa kesal, Salsa kembali ke panti asuhan, dan langsung menuju kamar Audrey mengabaikan kakinya yang terluka. “Kak, ada yang aneh tadi. Sasa kehilangan jepit, dan ada seorang pemuda yang mengambilnya!” Ucap Salsa, mencoba menjelaskan dengan cepat kepada Audrey yang sedang bersiap-siap. Audrey mendengarkan dengan seksama, lalu mengernyitkan dahi. “Pemuda itu seperti apa? Apakah kamu mengenalnya? Kamu tidak terluka
Maudy kemudian menambahkan dengan nada yang penuh dukungan. "Bagaimana kalau kita ajak mereka makan malam bersama? Ini bisa menjadi kesempatan baik untuk mengenal satu sama lain lebih dekat." Audrey merasa lega mendengar respon positif dari Maudy. "Terima kasih, Mama. Itu akan sangat berarti bagi mereka." Benar, tidak semua orang seperti keluarga Leo. Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat makanan yang ingin dikunjungi Audrey, membuat perjalanan sore itu terasa lebih berarti dan hangat. ^^^ Setelah beberapa saat mereka membeli makanan, akhirnya mobil memasuki pekarangan panti asuhan. Audrey turun diikuti Maudy juga sopir yang sibuk mengeluarkan barang-barang yang sudah mereka beli untuk anak panti. "Sepertinya mama tidak bisa makan malam bersama dengan kalian, Audi. Papa menelepon mama, jadi mama harus segera pulang." Jelas Maudy setelah mendapat telepon singkat dari sang suami. Audrey tampak kecewa mendengar hal itu. "Baiklah, Mama. Terima kasih untuk h
Tatapan Audrey terus mencari, bertanya-tanya apakah ia akan segera bertemu pria yang akan menjadi suaminya. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikirannya, suara lembut dari Devan membuyarkan lamunannya. "Sudah sampai, Nak. Tetaplah tenang, semuanya akan baik-baik saja." Kepergian Devan, membuat kegugupan Audrey semakin meningkat. Hingga kedatangan sosok pria tampan yang mengenakan setelan pengantin. "Dia sangat tampan." Batin Audrey menatap sosok pria yang akan menjadi suaminya. Audrey menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Sosok pria tampan yang akan menjadi suaminya berdiri gagah di sampingnya, membuat kegugupan bercampur dengan kekaguman yang tak bisa ia tolak. "Apakah dia benar-benar orang yang tepat untukku?" Pikir Audrey, masih meraba perasaannya sendiri. Suara pembawa acara mulai terdengar, memecah keheningan saat mereka akan memulai prosesi. "Baiklah, karena kedua mempelai sudah hadir. Mari ki
"Sebentar, Nyonya." Nick terlihat menekan tombol yang berada dimeja sofa ruang tamu. Hingga kedatangan wanita paruh baya yang berlari mendekati mereka. "Selamat siang, Tuan Nick. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pelayan yang memakai seragam maid dengan simbol berbentuk hewan dengan warna emas di dadanya. Nick hanya mengangguk. "Ini adalah istri dari Tuan Elang, Nyonya Audrey. Mulai saat ini dia akan menjadi Nyonya rumah ini, kau paham Gret?" Jelas Nick pada Grett- Kepala pelayan dimansion Elang.Pelayan yang dipanggil Grett itu mengangguk sopan. "Selamat datang, Nyonya di mansion ini. Mari saya antarkan ke kamar anda." "Terima kasih, Grett." jawab Audrey dengan suara lembut, meski dalam hatinya masih merasa canggung berada di lingkungan baru ini.Grett segera memimpin jalan menuju lift mansion yang tampak elegan. Setiap sudut rumah ini memancarkan kemewahan, namun juga memberi perasaan dingin dan jauh dari kehangatan. Setelah bebe