Share

3 || Rencana pernikahan

Audrey menelan ludah, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan kabar sebesar itu. Sambil berusaha tetap tenang, ia melirik ke arah Bunda panti yang tersenyum lembut, seolah-olah ini adalah hal yang sudah direncanakan sejak lama.

"B-bunda, ini maksudnya...?" Audrey berusaha mencari klarifikasi, suaranya terdengar ragu.

Bunda panti meraih tangan Audrey, menggenggamnya dengan hangat. "Iya, Nak. Ini keputusan yang sudah lama kami bicarakan. Keluarga mereka sangat baik, dan Bunda yakin ini akan menjadi keputusan yang terbaik untukmu."

Audrey menunduk, mencoba mencerna semua ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan berubah secepat ini, apalagi soal pernikahan dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Dalam hatinya, masih ada rasa kekecewaan yang belum pulih setelah perselingkuhan Leo, dan sekarang ia dihadapkan pada kenyataan baru yang jauh lebih besar.

Audrey menegakkan kepalanya dengan tegas, menatap Nyonya Maudy yang duduk di depannya. "Apakah boleh saya memikirkan lebih lanjut terlebih dahulu?" tanyanya, mencoba bersikap sopan namun tegas. Perasaan lega muncul ketika Nyonya Maudy mengangguk dengan senyum pengertian.

Setelah mendapat izin, Audrey berpamitan untuk keluar sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang kini penuh dengan berbagai pertimbangan. Pernikahan dengan seseorang yang belum pernah ia temui benar-benar keputusan besar, dan ia butuh waktu untuk merenungkannya.

Sambil duduk di bangku taman panti, Audrey membiarkan pikirannya melayang jauh, menimbang segala hal yang baru saja terjadi. Namun, lamunannya terhenti ketika ia mendengar suara mesin mobil yang sangat dikenalnya. Ia menoleh, dan benar saja, mobil milik Leo mulai memasuki area panti asuhan. Seketika perasaan tidak nyaman merasukinya.

Tidak lama, Leo Mifta—mantan pacar Audrey itu keluar dari mobilnya dengan setelan jas abu-abu, wajahnya tampak tegang. Ia mendekati Audrey dengan langkah tergesa-gesa.

“Sayang, maksud kamu kita akan putus. Itu bercanda kan, ya?” tanyanya penuh harap, wajahnya memperlihatkan ketidakpercayaan.

Audrey menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang bercampur dalam dirinya. "Tidak, Leo. Itu sungguhan. Kita sudah tidak ada hubungan lagi." Kalimat itu keluar dari bibirnya dengan tegas, meskipun hatinya masih merasakan perih.

Leo tampak tidak percaya, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku masih mencintaimu, Audrey. Kamu nggak serius, kan?” Leo memohon, suaranya mulai terdengar putus asa.

Namun kali ini, Audrey merasa mantap dengan keputusannya. "Aku sudah melihat apa yang kamu lakukan, Leo. Kamu memilih jalanmu sendiri. Sekarang, aku juga harus memilih jalanku," jawabnya dengan suara yang lebih tenang, tapi jelas.

Audrey menatap Leo dengan perasaan campur aduk, namun ia berusaha tetap tenang meskipun kata-kata Leo mulai menyakitkan.

"Jadi, kamu sudah tahu dia sebenarnya?" tanya Leo, suaranya dingin. Audrey hanya mengangguk pelan, merasa tak perlu lagi menjelaskan apa yang telah ia lihat.

Leo terkekeh sinis, ekspresinya berubah semakin sombong. "Bagus, kalau begitu kamu sudah tahu. Aku tidak perlu lagi berpura-pura mengenai hubungan kita. Kau hanyalah anak panti asuhan, Audrey. Kita benar-benar berbeda. Kau tidak cocok denganku. Kita tidak setara." ucapnya tajam, seolah ingin menancapkan luka yang lebih dalam.

Audrey merasa hatinya sedikit terguncang mendengar kata-kata itu, tapi kali ini ia menahan air mata. Ia sudah cukup kuat untuk tidak lagi menangis karenanya. Dalam diam, Audrey menatap Leo dengan penuh keteguhan.

"Terima kasih, Leo." ucapnya dengan suara lembut namun tegas. "Kamu baru saja mengingatkan aku kenapa kita harus berpisah. Aku tidak butuh seseorang yang merendahkan orang lain untuk merasa lebih tinggi."

Leo terdiam, tampak terkejut dengan respons Audrey yang penuh ketegasan. Sementara itu, Audrey berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Leo yang masih berdiri di sana dengan kebingungan dan kekecewaan yang kini bergelayut di wajahnya. Audrey tahu, saat ini adalah waktunya untuk memulai hidup baru, dengan atau tanpa masa lalu yang menyakitkan.

Audrey berusaha menenangkan diri lalu masuk menghampiri para orang tua, setelah merasa tenang ia berucap. "Aku akan menerima pernikahan ini, Bunda." katanya dengan mantap. Suasana di ruang tamu mendadak berubah, seolah ucapan itu membawa angin segar bagi semua orang di sana.

Namun, ia tahu ada sesuatu yang masih perlu ia sampaikan. "Tapi, bolehkah aku meminta satu syarat?" lanjutnya, suaranya sedikit bergetar.

Nyonya Maudy tersenyum lembut, lalu mengangguk sambil mengelus lengan suaminya. "Tentu, katakanlah, Audrey."

Audrey menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri. "Aku ingin pernikahannya digelar secara tersembunyi." Ujarnya, kata-katanya keluar perlahan, penuh hati-hati. Meskipun ini adalah permintaan yang sederhana, Audrey merasa takut menyinggung perasaan mereka.

Tuan Peter yang selama ini diam, akhirnya tersenyum tipis. "Tentu saja, Audrey. Apapun untuk calon menantu kami. Bukan begitu, sayang?" katanya sambil melirik istrinya.

Audrey merasa lega mendengar kesediaan mereka. Namun, ia segera tertegun saat mendengar pertanyaan Nyonya Maudy berikutnya.

"Pernikahannya akan diadakan lusa, jadi persiapkan dirimu. Beberapa orang akan datang untuk membantu Audrey, kak." ujar Nyonya Maudy sambil berbicara kepada Bunda panti, yang akrab ia panggil "kak."

Bunda panti segera mengangguk setuju, tampak tenang seperti biasanya. "Tentu saja, Nyonya."

Namun, hati Audrey bergejolak. "Lusa?" pikirnya dengan syok. Kenapa harus secepat itu? Ini semua terasa begitu tiba-tiba dan jauh di luar pemikirannya. Satu sisi dari dirinya ingin bertanya lebih banyak, tapi sisi lain tahu bahwa ia sudah terlanjur menyetujui pernikahan ini. Tidak ada jalan untuk mundur sekarang.

Audrey terdiam sejenak, hatinya berdegup kencang mendengar pernikahannya akan diadakan lusa. "Kenapa harus secepat ini?" pikirnya, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja disampaikan. Ini benar-benar di luar pemikirannya.

Namun, ia tahu tidak ada jalan untuk mundur sekarang. Sudah terlalu banyak yang dipertaruhkan, termasuk masa depannya di panti ini. Audrey menarik napas panjang, menenangkan diri sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Tentu, aku akan mempersiapkan diri." jawab Audrey dengan suara yang lebih tenang meskipun hatinya masih bergemuruh.

Nyonya Maudy tersenyum hangat. "Bagus. Jangan khawatir, Audrey. Kami akan memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu tidak perlu khawatir soal apa pun."

Audrey mencoba tersenyum kembali, walaupun ada sedikit perasaan was-was di dalam dirinya. Ia belum mengenal keluarga ini dengan baik, apalagi pria yang akan menjadi suaminya. Meskipun mereka terlihat baik, Audrey tetap merasa seolah-olah terjebak dalam situasi yang tak sepenuhnya ia pahami.

Setelah pamit dari ruang tamu, Audrey segera menuju kamarnya. Di sana, ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Kepalanya tertunduk lesu pada lipatan kakinya dengan memejamkan mata. Hatinya masih bertanya-tanya, apakah keputusan ini benar-benar tepat?

Namun, tak ada waktu untuk menyesal. Lusa, hidupnya akan mulai berubah sepenuhnya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status