"Siapa lo?" gertak Dera yang langsung mencekal pangkal tangan kanan Linar.Linar terhuyung ke belakang dengan tangannya yang sakit harus dicekal, mereka saling pandang tercengang satu sama lain. Linar lah yang pertama membuang wajahnya menemukan Dera dengan ekspresi murka dan mata membelalak kejam di hadapannya."Linar?"Dengan tergagap ia menjawab,"A.. aku punya ala-""Linar! Kenapa lo keluar dari kamar suami gue, hah?!" geram Dera tak sabar memotong jawaban Linar.Dera menambah kekuatannya dalam mencengkram lengan Linar, sedikit puas melihat Linar yang meringis dan mulai melawan minta dipuaskan, disaat itu lah jubah panjang yang tak benar-benar dikancing terbuka sedikit namun Dera bisa melihat perut Linar yang buncit,"Lo hamil?" tanyanya berdesis.Tentu saja kecemburuan membakar hatinya menemukan wanita yang pernah menjadi mantan suaminya keluar dari kamar suami yang sedang ia pertahankan agar tak bercerai bahkan dalam keadaan hamil besarSialan, ia baru teringat sejak sore kemar
Dera tak bisa menahan rasa penasarannya. Lebih baik mencari tahu secara langsung pada Dean karena asisten rumah tangga, supir hingga kaki tangan, Dean tak akan berani mengeluarkan sepatah kata pun tanpa izin dari tuannya.Dean mendorong mangkuknya menjauh, mengelap bibirnya dua kali sebelum menelengkan kepalanya pada Dera. Menikmati kecemburuan yang begitu kentara di setiap guratan wajah dan sudut bibirnya ketika bertanya."Aku masih nyonya di rumah ini, Dean! Aku perlu tahu kapan dan apa tujuan dari tamu datang ke rumahku?" tanya Dera menuntut."Rumahku, bukan rumahmu, Dera!" peringat Dean menatap dalam pada Dera."Dan aku lebih nggak paham, wanita yang memiliki nilai diri yang terlalu tinggi seperti dia, gimana bisa, dia mau dibawa kerumah pria yang bukan suaminya? Dan ditiduri dengan pria yang sudah beristri!" ucap Dera mengejek pada Linar yang berusaha acuh.Wajah Dean merah padam, rahangnya mengatup amarah, "Cukup, Dera!!"Dean menarik napasnya dalam sebelum menjawab pertanyaan
"Dan ini waktunya kita berdua bisa kembali membina keluarga yang sempurna, aku mohon Linar, kembalilah!" tambah Dean membujuk. Linar menunduk, membalas tatapan Dean yang berkaca-kaca. Ia tersenyum tipis juga sendu. "Kata-kata itu adalah kata-kata yang selalu aku tunggu dari kamu, Mas. Tapi itu dulu…karena aku nggak butuh kata permohonan itu lagi, faktanya adalah kita udah berpisah beberapa bulan lalu, dan kita sedang menjalani kehidupan masing-masing tanpa ada aku atau kamu didalamnya. Dan biarkan tetap begini, Mas!" "Dan aku segera bercerai dengan Dera, artinya sebentar lagi aku kembali jadi pria bebas yang bisa mengejar wanita manapun yang aku mau, toh sampai sekarang kamu belum juga menikah 'kan?" "Aku udah punya kekasih, Mas. Pria yang kenalan sama kamu tadi pagi, Raif namanya dan dari awal hubungan kamu itu serius, jadi maaf. Aku memilih setia," "Dan kalian belum menikah itu yang paling penting!" jawab Dean keras kepala "Apa maksud kamu, Mas?" tanya Linar tak nyaman. "Maks
"Dan sekarang aku ingin kamu tahu bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku, Linar. Seharusnya kamu tahu itu!""Cukup, Mas!"Napas Dean terengah sarat emosi. Mengucapkan kalimat panjang tersebut dalam sekali tarikan napasnya sesekali tercekat. Menahan tubuh Linar agar ia leluasa menatap lurus kedua mata Linar yang masih bergeming."Lalu, berapa banyak waktu yang harus aku buang buat kamu, sejujurnya aku belum bisa percaya sama kamu setelah apa yang pernah kamu lakukan sama aku,"Dean tak langsung menjawab, pria itu menggeleng dan berkata sambil menahan tubuhnya agar menghadap ke arahnya."Kali ini biar aku yang berjuang, aku menyesali sikap aku yang egois dan nggak cukup berusaha mempertahankan kamu, sekarang biar aku yang melakukan semuanya, yang penting kamu menerima kehadiran aku di sekitar kamu itu udah cukup buat aku, Ok!"Linar masih bergeming, ia membuang wajahnya ke arah depan, melarikan diri dari pandangan Dran yang menuntut disetujui.Bibir Dean merengut tipis, tetapi t
"Apa kamu bilang? Menceraikan dia? Istri kamu untuk kali kedua?"Dean menghela napasnya berat, masih enggan untuk membuka aib rumahnya karena itu hanya memperjelas betapa bodohnya ia ditipu setelah mengalami banyak kehilangan, "Banyak yang terjadi Mi, semakin lama aku merasa terlalu banyak perbedaan diantara kami, aku udah bahas semua ini sama Dera tapi jawabannya malah semakin aku yakin untuk menceraikannya.""Mami paham kalau kalian berbeda, tapi yang mami tahu pasti kalau rumah tangga yang kokoh ada kerja sama sesuai fungsinya masing - masing bukan saling mengumpulkan uang atau memikirkan kesombongan diri dengan profesinya, dengar! Cukup sekali kamu gagal, jangan ada kali kedua.""Aku lelah Mi, butuh istirahat.""Ya, kamu sudah dewasa, sebentar lagi akan jadi ayah kamu yang akan jadi nahkodanya membawa perahumu berlayar, pikirkan lagi semuanya Dean setidaknya pastikan dia menghargaimu."Gayatri memandang penuh arti pada Dean yang menunduk melihat kedua tangannya yang bertaut gusar.
"Sama mereka, siapa? Dan gimana caranya? Apa aku harus buka sesi jumpa masyarakat sekaligus wartawan secara terbuka, gitu? Lagian mereka cuma mau dengar apa yang mau mereka percaya, dan aku nggak mau membuang energi ku untuk itu,""Nanti juga mereka lupa sendiri, biarin aja lah.""Dan mereka bakal semakin omongin kamu, dan biasanya nih, ya Lin. Mereka bakalan nambahin bumbu biar lebih makin enak digorengnya.""Hah, bodo amat lah, eh bentar ada telpon masuk."Linar merogoh saku celananya untuk mendapatkan ponsel yang berdering, pada layar ponsel terdapat nama mas Dean sebagai pemanggil. "Kenapa, Lin? Kok malah diam?""Nggak apa-apa, sebentar, ya Raif."Linar menyerongkan tubuhnya, untuk meredam suara yang akan terdengar dan berkonsentrasi pada, "Iya, halo.""Linar?"Linar terpaku, apakah suara Dera? Ia meragu tapi kenapa bagaimana bisa Dera menyabotase ponsel mas Dean?"Linar, lo bisa dengar gue?""Ada perlu apa, ya?" tanya Linar datar."Kita harus ketemu, lo dimana? Biar gue yang ke
Linar terkesiap mendengarnya, lalu ia mengangguk kecil, "Iya, aku tahu. Tapi aku beneran lapar, kita sarapan dulu setelah itu aku jawab, ok?""Ok," Raif pun gegas memanggil pelayan dan memesan makanan yang disetujui oleh Linar.Mencari waktu lebih banyak untuk mengulur pembicaraan utama mereka. Ia butuh lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan keputusannya. Dan perlukah Raif tahu?Linar tak pernah merasa harus melibatkan mengenai keputusan hidupnya sebelum ia benar-benar mengenal dekat teman lamanya itu. Sebelum ia membiarkan pria itu melangkah lebih jauh ke dalam privasinya karena Raif satu-satunya orang selain keluarganya yang menerima kedatangan tiba-tiba Linar dengan tangan terbuka apapun keadaannya. Linar merasakan ketulusan pria itu dan sekarang ia tak bisa mengabaikan hal tersebut. Raif memang belum menunjukkan keseriusannya. Tak pernah ada bahasan tentang hubungan mereka yang membuat Linar merasa nyaman karena ia tak sedang tak butuh hubungan cinta secepat ini.Namun Raif se
"A… apa?""Kali ini ayo, kita perjelas. Kamu masih cinta sama dia atau keraguan kamu murni karena ikut campur mamah kamu tentang anak kamu? Yang mana yang benar?""Karena nasihat mamah aku yang realistis, dan ya karena anak aku," jawab Linar tercekat. "Kalau begitu, ini nggak bisa dibiarkan, Linar. Dengar! Kali ini aku akan bantu kamu, sekarang kamu kirim nomor ponsel dan alamat kantornya sama aku dan aku akan menemuinya." Raif bangkit berdiri sambil mengeluarkan dompet dan meletakkan beberapa lembar cash,"Raif, kamu nggak perlu sampai segitunya, aku menceritakan semua ini ke kamu, bukan untuk minta bantuan kayak gini!""Yah, terus apa, Lin? Aku tahu kamu masih kecewa dengan semua yang telah terjadi sama kamu, dan kamu nggak akan mau kembali lagi kalau bukan desakan mamah kamu 'kan? Brengsek! Dia memaksa kamu lewat mamah kamu, dasar orang kaya picik! Dari awal dia memang nggak pernah menutupi kedoknya yang picik dan sombong!""Raif," ucap Linar lelah, "Aku cuma punya waktu hari