"Sama mereka, siapa? Dan gimana caranya? Apa aku harus buka sesi jumpa masyarakat sekaligus wartawan secara terbuka, gitu? Lagian mereka cuma mau dengar apa yang mau mereka percaya, dan aku nggak mau membuang energi ku untuk itu,""Nanti juga mereka lupa sendiri, biarin aja lah.""Dan mereka bakal semakin omongin kamu, dan biasanya nih, ya Lin. Mereka bakalan nambahin bumbu biar lebih makin enak digorengnya.""Hah, bodo amat lah, eh bentar ada telpon masuk."Linar merogoh saku celananya untuk mendapatkan ponsel yang berdering, pada layar ponsel terdapat nama mas Dean sebagai pemanggil. "Kenapa, Lin? Kok malah diam?""Nggak apa-apa, sebentar, ya Raif."Linar menyerongkan tubuhnya, untuk meredam suara yang akan terdengar dan berkonsentrasi pada, "Iya, halo.""Linar?"Linar terpaku, apakah suara Dera? Ia meragu tapi kenapa bagaimana bisa Dera menyabotase ponsel mas Dean?"Linar, lo bisa dengar gue?""Ada perlu apa, ya?" tanya Linar datar."Kita harus ketemu, lo dimana? Biar gue yang ke
Linar terkesiap mendengarnya, lalu ia mengangguk kecil, "Iya, aku tahu. Tapi aku beneran lapar, kita sarapan dulu setelah itu aku jawab, ok?""Ok," Raif pun gegas memanggil pelayan dan memesan makanan yang disetujui oleh Linar.Mencari waktu lebih banyak untuk mengulur pembicaraan utama mereka. Ia butuh lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan keputusannya. Dan perlukah Raif tahu?Linar tak pernah merasa harus melibatkan mengenai keputusan hidupnya sebelum ia benar-benar mengenal dekat teman lamanya itu. Sebelum ia membiarkan pria itu melangkah lebih jauh ke dalam privasinya karena Raif satu-satunya orang selain keluarganya yang menerima kedatangan tiba-tiba Linar dengan tangan terbuka apapun keadaannya. Linar merasakan ketulusan pria itu dan sekarang ia tak bisa mengabaikan hal tersebut. Raif memang belum menunjukkan keseriusannya. Tak pernah ada bahasan tentang hubungan mereka yang membuat Linar merasa nyaman karena ia tak sedang tak butuh hubungan cinta secepat ini.Namun Raif se
"A… apa?""Kali ini ayo, kita perjelas. Kamu masih cinta sama dia atau keraguan kamu murni karena ikut campur mamah kamu tentang anak kamu? Yang mana yang benar?""Karena nasihat mamah aku yang realistis, dan ya karena anak aku," jawab Linar tercekat. "Kalau begitu, ini nggak bisa dibiarkan, Linar. Dengar! Kali ini aku akan bantu kamu, sekarang kamu kirim nomor ponsel dan alamat kantornya sama aku dan aku akan menemuinya." Raif bangkit berdiri sambil mengeluarkan dompet dan meletakkan beberapa lembar cash,"Raif, kamu nggak perlu sampai segitunya, aku menceritakan semua ini ke kamu, bukan untuk minta bantuan kayak gini!""Yah, terus apa, Lin? Aku tahu kamu masih kecewa dengan semua yang telah terjadi sama kamu, dan kamu nggak akan mau kembali lagi kalau bukan desakan mamah kamu 'kan? Brengsek! Dia memaksa kamu lewat mamah kamu, dasar orang kaya picik! Dari awal dia memang nggak pernah menutupi kedoknya yang picik dan sombong!""Raif," ucap Linar lelah, "Aku cuma punya waktu hari
"Awas!!!"Hanya dalam sekejap mata, Raif sudah menerjang ke arahnya. Mendorong tubuhnya menjauh hingga jatuh tersungkur ke jalanan dengan keras. Rasa sakit menghantam punggung dan pantat. Linar mengerang, dan sebelum kemudian suara hantaman yang lebih keras mengambil seluruh kesadaran. Menjerit melihat tubuh Raif yang terpelanting keras karena ditabrak bagian depan mobil yang melintas di hadapannya.Suara decit ban bersinggungan dengan jalanan beraspal karena rem yang ditekan keras. Mobil berhenti, dan untuk sepersekian detik si sopir bersirobok dengan keterkejutan di kedua mata Linar melewati kaca spion. Kemudian melajukan mobil meninggalkan halaman restoran.Linar masih belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi, ketika wajahnya berputar dan menangis histeris melihat tubuh Raif yang berbaring tak bergerak di tengah jalan. Dengan darah memenuhi setengah wajah pria itu. Juga di tangan, kaki, dan menggenang membasahi aspal."Raif?"Menjelang siang hari, sang mamah mendatangi kamar Lina
"Mas!" ucap Linar tercekat, terkejut tak mengira jika Dean akan sefrontal itu mengatakan rencananya pada keluarga Raif yang notabenenya adalah orang lain.Seringai yang gelap tertarik di salah satu ujung bibir Dean. Kemudian wajah pria itu tertunduk dan salah satu alisnya terangkat. Menatap tangan Linar yang menahannya dan raut permohonan yang begitu kental di wajah basa wanita itu. "Kenapa? Memang begitu kan rencananya? Sekalian meluruskan kesalahpahaman yang nggak perlu.""Jadi Tante dan kamu, saya harus luruskan kalau saya dan Linar bermaksud rujuk, jadi Linar dan Raif murni hanya berteman. Saya harap Tante lebih berhati-hati dalam berbicara.""Mas, kita perlu bicara!" dan Linar beralih pada dua wanita yang menatapnya lekat. "Maaf Tante, kak. Kami permisi ke sana dulu ya," Tanpa mendengar balasan Linar langsung menarik baju pada lengan milik Dean agar mengikutinya."Kamu bicara apa sih, Mas?! Apa perlu kamu membicarakan semuanya ke mereka!"Satu anggukan kecil cukup sebagai jawa
"Kamu nggak aku izinkan pergi, Lin." "Mas, dia itu terluka karena aku!" "Aku bilang aku nggak izinkan kamu pergi, Linar!" ulang Dean dengan tegas dan penuh penekanan. Tekanan di tangan Linar pun semakin menguat, sengaja menyakiti wanita itu. "Kamu baru saja menerima lamaran aku dan lihatlah!" Pandangan Dean beralih ke arah ruang tengah pada keluarga kedua belah pihak yang duduk di kursi tak jauh dari posisi mereka tampak membicarakan mengenai rencana mahar dan segala persiapan pernikahan lebih lanjut. Dalam hati Linar merasakan mamahnya bersikap aktif dengan mendominasi pembicaraan, mengemukakan tuntutan dan arahan, tak lagi menjadi pihak yang mendengarkan dan menerima apapun yang diinginkan oleh calon keluarga besannya karena merasa tak cukup berkontribusi pendanaan pernikahan. Tapi kini mamahnya tak lagi merasa terintimidasi terlebih Dean sendiri yang meminta mamahnya berperan aktif di pernikahan kedua mereka nanti. Dna itu membuatnya lega. "Apa kamu akan meninggalkannya
Norman mengerjap meski memaksa raut wajahnya tetap terlihat datar. Menatap tangan Linar yang terulur ke arahnya bergoyang dengan tak sabar, mendapatkan keinginannya dengan segera."Kenapa sih? Atau aku akan dapatkan taxi ku sendiri." ucap Linar kemudian melangkah melewati Norman. Ia baru saja menyebrang pekarangan rumahnya, ketika Norman langsung mencegahnya bergerak lebih jauh lagi."Saya mohon, biarkan saya membantu keperluan Anda, Nyonya." Suara Norman syarat akan permohonan meski terdengar begitu datar dan sangat tenang.Linar tentu saja bisa menjadi lebih keras kepala pada Norman. Tetapi ia jelas tak punya banyak waktu untuk berdebat. Ia harus segera sampai di rumah sakit. Linar pun mengangguk, kemudian mengikuti langkah Norman.Norman berhenti di samping mobil toyota camry hitam, yang sama dengan milik maminya meski dengan plat nomor yang berbeda. Pria itu membukakan pintu mobil untuk Linar yang segera memanjat masuk ke dalam mobil.***Linar turun dari mobil sambil mengatakan
Raif terdiam sejenak. "Aku 'kan sudah bilang kecelakaan ini bukan salah kamu, Lin.”Linar terdiam. Menatap wajah Raif sekali lagi dengan pandangan yang lebih kuat dan dalam."Tapi... Kalau kamu benar-benar bertanya, aku akan mulai memikirkan jawabannya."Linar tetap bergeming. Perasaannya campur aduk. Tak bisa dijabarkan dan benar-benar membuat dadanya penuh dengan sesak."Alasan aku memintamu ke sini itu karena aku ingin lihat keadaan kamu, aku bersyukur pengorbanan aku nggak sia-sia," ucap Raif dengan perasaan yang begitu dalam. Terkesan benar mempersembahkan ketulusannya hingga membuat Linar serba salah "Dan malam ini, aku ingin kamu menemaniku di sini. Ok!"Kedua mata Linar melihat terkejut akan keinginan Raif. Malam ini? Apakah itu artinya ia harus pulang keesokan harinya? Kepala Linar benar-benar akan pecah memikirkan dua pertanyaan ini. Apa kata mamah dan omnya, jika ia tak pulang malam ini. Terlebih mas Dean juga akan tau dari Norman, "Kenapa? Cuma semalam aja, selama keluarg