"Awas!!!"Hanya dalam sekejap mata, Raif sudah menerjang ke arahnya. Mendorong tubuhnya menjauh hingga jatuh tersungkur ke jalanan dengan keras. Rasa sakit menghantam punggung dan pantat. Linar mengerang, dan sebelum kemudian suara hantaman yang lebih keras mengambil seluruh kesadaran. Menjerit melihat tubuh Raif yang terpelanting keras karena ditabrak bagian depan mobil yang melintas di hadapannya.Suara decit ban bersinggungan dengan jalanan beraspal karena rem yang ditekan keras. Mobil berhenti, dan untuk sepersekian detik si sopir bersirobok dengan keterkejutan di kedua mata Linar melewati kaca spion. Kemudian melajukan mobil meninggalkan halaman restoran.Linar masih belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi, ketika wajahnya berputar dan menangis histeris melihat tubuh Raif yang berbaring tak bergerak di tengah jalan. Dengan darah memenuhi setengah wajah pria itu. Juga di tangan, kaki, dan menggenang membasahi aspal."Raif?"Menjelang siang hari, sang mamah mendatangi kamar Lina
"Mas!" ucap Linar tercekat, terkejut tak mengira jika Dean akan sefrontal itu mengatakan rencananya pada keluarga Raif yang notabenenya adalah orang lain.Seringai yang gelap tertarik di salah satu ujung bibir Dean. Kemudian wajah pria itu tertunduk dan salah satu alisnya terangkat. Menatap tangan Linar yang menahannya dan raut permohonan yang begitu kental di wajah basa wanita itu. "Kenapa? Memang begitu kan rencananya? Sekalian meluruskan kesalahpahaman yang nggak perlu.""Jadi Tante dan kamu, saya harus luruskan kalau saya dan Linar bermaksud rujuk, jadi Linar dan Raif murni hanya berteman. Saya harap Tante lebih berhati-hati dalam berbicara.""Mas, kita perlu bicara!" dan Linar beralih pada dua wanita yang menatapnya lekat. "Maaf Tante, kak. Kami permisi ke sana dulu ya," Tanpa mendengar balasan Linar langsung menarik baju pada lengan milik Dean agar mengikutinya."Kamu bicara apa sih, Mas?! Apa perlu kamu membicarakan semuanya ke mereka!"Satu anggukan kecil cukup sebagai jawa
"Kamu nggak aku izinkan pergi, Lin." "Mas, dia itu terluka karena aku!" "Aku bilang aku nggak izinkan kamu pergi, Linar!" ulang Dean dengan tegas dan penuh penekanan. Tekanan di tangan Linar pun semakin menguat, sengaja menyakiti wanita itu. "Kamu baru saja menerima lamaran aku dan lihatlah!" Pandangan Dean beralih ke arah ruang tengah pada keluarga kedua belah pihak yang duduk di kursi tak jauh dari posisi mereka tampak membicarakan mengenai rencana mahar dan segala persiapan pernikahan lebih lanjut. Dalam hati Linar merasakan mamahnya bersikap aktif dengan mendominasi pembicaraan, mengemukakan tuntutan dan arahan, tak lagi menjadi pihak yang mendengarkan dan menerima apapun yang diinginkan oleh calon keluarga besannya karena merasa tak cukup berkontribusi pendanaan pernikahan. Tapi kini mamahnya tak lagi merasa terintimidasi terlebih Dean sendiri yang meminta mamahnya berperan aktif di pernikahan kedua mereka nanti. Dna itu membuatnya lega. "Apa kamu akan meninggalkannya
Norman mengerjap meski memaksa raut wajahnya tetap terlihat datar. Menatap tangan Linar yang terulur ke arahnya bergoyang dengan tak sabar, mendapatkan keinginannya dengan segera."Kenapa sih? Atau aku akan dapatkan taxi ku sendiri." ucap Linar kemudian melangkah melewati Norman. Ia baru saja menyebrang pekarangan rumahnya, ketika Norman langsung mencegahnya bergerak lebih jauh lagi."Saya mohon, biarkan saya membantu keperluan Anda, Nyonya." Suara Norman syarat akan permohonan meski terdengar begitu datar dan sangat tenang.Linar tentu saja bisa menjadi lebih keras kepala pada Norman. Tetapi ia jelas tak punya banyak waktu untuk berdebat. Ia harus segera sampai di rumah sakit. Linar pun mengangguk, kemudian mengikuti langkah Norman.Norman berhenti di samping mobil toyota camry hitam, yang sama dengan milik maminya meski dengan plat nomor yang berbeda. Pria itu membukakan pintu mobil untuk Linar yang segera memanjat masuk ke dalam mobil.***Linar turun dari mobil sambil mengatakan
Raif terdiam sejenak. "Aku 'kan sudah bilang kecelakaan ini bukan salah kamu, Lin.”Linar terdiam. Menatap wajah Raif sekali lagi dengan pandangan yang lebih kuat dan dalam."Tapi... Kalau kamu benar-benar bertanya, aku akan mulai memikirkan jawabannya."Linar tetap bergeming. Perasaannya campur aduk. Tak bisa dijabarkan dan benar-benar membuat dadanya penuh dengan sesak."Alasan aku memintamu ke sini itu karena aku ingin lihat keadaan kamu, aku bersyukur pengorbanan aku nggak sia-sia," ucap Raif dengan perasaan yang begitu dalam. Terkesan benar mempersembahkan ketulusannya hingga membuat Linar serba salah "Dan malam ini, aku ingin kamu menemaniku di sini. Ok!"Kedua mata Linar melihat terkejut akan keinginan Raif. Malam ini? Apakah itu artinya ia harus pulang keesokan harinya? Kepala Linar benar-benar akan pecah memikirkan dua pertanyaan ini. Apa kata mamah dan omnya, jika ia tak pulang malam ini. Terlebih mas Dean juga akan tau dari Norman, "Kenapa? Cuma semalam aja, selama keluarg
Dalam frekuensi yang sama keduanya saling memandang dalam emosi tertegun dan tertahan. "Apa yang sedang kalian lakukan, hah?" suara sang mamah memecah ketegangan yang semakin nyata di antara Linar dan Dean. Linar mengerjapkan matanya, berusaha keras menahan diri dari tatapan emosi Dean yang masih mempengaruhinya. Mendorong dada Dean menjauh, tetapi karena tubuhnya jauh lebih mungil dan tubuh Dean berdiri tegap dan kokoh, malah membuat Linar terhuyung ke belakang. Beruntung Dean menangkap pinggangnya sebelum pantatnya jatuh ke lantai dengan cara yang sangat tidak anggun. Kedua mata sang mamah membelalak dan kepalanya menggeleng-geleng tak habis pikir. "Ya ampun! Apa yang kalian lakukan sih? Walaupun tubuh kalian tertutup tirai tapi ini tetap tempat umum! Dan lagi ya, kalian sebentar lagi akan menikah, seharusnya kalian bisa menahan dong!" Dean tak terlalu menggubris kalimat mamah mertua, memberi ruang untuk sang mamah mendekati Linar yang berpura-pura sibuk dengan gaunnya. Mengaba
Linar berjalan cepat melintasi bagian rumah hingga memasuki kamarnya tanpa peduli pada orang-orang di belakangnya.Linar membalik tubuhnya, kepalanya berputar menatap punggungnya dari cermin tinggi yang menempel di lemari pakaiannya. Sudah setengah resleting yang terbuka. Butuh usaha lebih keras bagi ujung jemarinya untuk menarik resleting hingga bawah dan melucutinya.Sambil menahan napas, akhirnya resleting berhasil diturunkan hingga ujung. ketika suara deritan pintu membuatnya menoleh ke arah luar. Menajamkan telinga untuk menangkap suara apa pun itu. Beberapa saat menunggu dan hanya kesunyian di tengah kamarnya yang remang, Linar pun kembali bergelut dengan melucuti dress andalannya."Mah?" hanya sang mamah yang terbiasa membuka pintu kamar tanpa mengetuk lebih dulu. Namun tak ada sautanNamun, telinganya tak salah dengar ketika suara langkah kaki terdengar lebih jelas dari sebelumnya. Linar pun menarik tangannya, membiarkan dress yang terpasang terlalu longgar, melangkah dengan
“Dasar wanita culas! Perusak rumah tangga orang!”Linar tercengang memaku, wajahnya masih miring ke samping karena karena hentakan yang terdengar nyaring di telinganya menghadirkan rasa panas menjalar ke seluruh wajahnya berkat tamparan tadi, dan dari ujung matanya Linar bisa melihat para sahabatnya tercengang ditempat, menontonnya.Rasa marah dan tak terima menyergap dan membuat Linar menoleh dan melotot yang ternyata seorang wanita paruh baya dengan penampilan mewah.“Siapa anda?”“Tante! Hentikan!” penggal Dean geram.“Tante? Oh, kamu memang bisa melakukannya semua cepat sesuai rencana kamu, ya rasanya baru kemarin kamu panggil saya, Mamah dan meminang anak perempuan saya! Dan sekarang apa? Tanpa kompromi kamu menceraikan anak saya tanpa melibatkan kami mertua kamu, kamu mencoreng nama baik kamu! Dan sekarang kamu sudah menikah lagi, dasar bajingan, kamu!”“Dan Tante, tahu alasan yang dilakukan oleh Dera itu fatal dan sejak awal hubungan kami sudah salah dan saya akan memperbaiki k