POV Linar
Aku teringat ucapan Listya yang pernah melihat Dean berjalan di Mall ditemani seorang lelaki dan wanita, namun wanita itu tampak dekat dengan Dean, dan ketika aku konfirmasi pada suamiku ia membenarkan, tapi tak setuju dikatakan dekat, mereka berteman dalam porsi wajar, kilahnya.
Aku membuka media sosial miliknya dan mencari akun suaminya, ia memainkan layar gawainya ke atas dan ke bawah, mencari tahu jejak digital yang mungkin saja jadi petunjuk entah apa itu.
Yang jelas hari ini moodnya ambruk, dan aku sedang tak butuh beramah-tamah dengan siapapun, aku sedang sulit tersenyum maka aku butuh menenangkan dirinya lagi pula beberapa minggu belakangan, aku tengah rajin olahraga dan merawat diri ke salon demi menyenangkan diri dan suamiku.
****
Aku mematut diri di depan cermin yang hanya memantulkan sebagian rupa wajah dan tubuhku, ia mencubit pipinya yang masih saja terlihat tembem beralih pada lengan atasnya yang tak jua mengecil.
"Hufth .. " hela napasku.
Aku menyalakan keran air dan membasuh wajahnya, mencoba menghilangkan pikiran negatif yang bersarang di pikirannya berharap bersih dengan air itu. Aku keluar dari kamar mandi dan berhenti melangkah saat mendapati Dean yang baru saja masuk. Kami saling bertatap saling menunggu.
"Hai, kamu baru selesai mandi?" sapa Dean mendekati ku.
Aku mengangguk dan berjalan ke ruangan baju, ia memilih baju tidur yang akan dipakainya.
"Kenapa mencarinya di lemari yang itu?" interupsi Dean membuat Linar menoleh, baru menyadari Dean yang menatapku tengah bersandar pada dinding dekat pintu.
"Pingin aja,"
"Ada apa Linar?"
"Apanya yang ada apa?"
Dean mengatupkan bibirnya kesal mendengar nada dan raut wajah aku yang kelewat datar bahkan tanpa repot menoleh ke arahnya malah sibuk memilih baju tidur.
"Dari tadi pagi kita bertemu, kamu jadi kasar sama aku?"
Untuk beberapa alasan, aku merasa ingin menampar wajah angkuh suamiku yang berlagak polos itu.
"Kali ini apa lagi yang salah?" Dean menggeram marah.
"Bukan apa-apa," gumam ku. "Aku cuma lelah . . . Aku mau langsung tidur."
"Oh, ayolah Linar," Dean geram.
“Kamu nggak bisa melakukan ini sama aku. Aku nggak bisa menebak apa yang ada di pikiranmu sekarang, aku bukan paranormal yang bisa baca pikiran kamu tanpa kamu bilang!”
“Aku tahu, dan aku nggak menyuruh kamu untuk melakukannya 'kan Mas?" aku berbalik dan melanjutkan langkah ke ranjang kami.
Dean mengikutinya ke luar dan menangkap siku ku untuk menghentikan langkahku.
Aku menoleh malas mencoba menarik lengannya, tetapi malah berubah jadi cengkeraman meski tak terlalu kuat.
"Apa yang baru aja terjadi?" Dean bertanya dengan berbisik.
"Apa karena tante Ira atau tante Ambar yang sinis ke kamu atau mereka menyinggung kamu tentang anak lagi?"
"Bukan," aku menggelengkan kepalanya dua kali. "Aku sudah terbiasa dan menjadi biasa saja,"
"Jadi ini tentang aku?" Dean bertanya tanpa basa-basi.
"Menurut kamu?" aku bergumam pelan, sedikit meringis karena tak mampu menarik sudut bibirku untuk tersenyum, aku hanya bisa memandang dengan sayu.
Linar mencoba menggeliat lengannya dan mendongak ketika Dean tidak akan melepaskannya.
"Mas, lepas, kamu nyakitin aku!" Linar menyatakan sejelas yang dia bisa, dan Dean terkesiap menatap genggaman yang sudah jadi cengkraman tanpa ia sadari, Dean segera melepaskannya.
"Aku nggak bermaksud menyakiti kamu," gumam Dean menatap Linar dalam.
"Nggak apa-apa, belakangan ini, Mas memang jadi emosional tanpa aku tahu alasannya," jawab Linar pelan mengambil baju tidur yang paling atas dan berbalik meninggalkan Dean.
"Apa maksud kamu bilang begitu?"
Linar menggeleng lemah kemudian ia mulai menyalin bajunya masih membelakangi Dean.
"Ganti dengan lingerie hitam aja Lin, yang kemarin aku belikan pada liburan kemarin!" seru Dean menghentikan gerakan Linar.
"Aku udah memakainya kemarin malam, itu sebabnya aku menunggu kamu pulang sampai larut malam dan kedinginan." Linar menarik kedua sudut bibirnya.
"Lingerienya belum aku cuci lagian lebih nyaman tidur pakai baju tidur ini, biar nggak kedinginan lagi," tambah Linar lebih datar.
"Aku mau langsung tidur, ngantuk."
Aku langsung ambil posisi tidur dan memunggunginya.
Senyum masam tertarik pada satu sudut bibirku. Aku tahu Dean merasakan kalau aku tengah menghindar dan menyembunyikan sesuatu darinya.
Bukan hal baru, banyak masalah yang terjadi sejak kami menikah dan aku selalu bersikap seperti ini, membatasi emosi dan menghindar demi mendapatkan waktu sendiri hingga kemudian bersikap manis dan tegar kembali.
Selama beberapa menit berlalu, aku merasakan pergerakan pada ranjang kemudian aku dipeluk nya dari belakang, ia ikut berbaring bersiap tidur.
Aku terkesiap dan tubuhnya menegang dengan pelukan tiba-tiba Dean. Dada Dean menempel di punggung, lengan pria itu melingkari pinggangku. Wajah pria itu bahkan menempel di ceruk leherku. Dean mengurung tubuhku sangat erat, hingga ke bawah kakiku sampai tak bisa bergerak.
"Maafin aku," bisik Dean parau di telingaku.
Deg!
"Maaf untuk apa?" Linar menunggu dengan degup jantung berdetak sesak.
"Karena udah buat kamu marah,"
Aku menggigit bibir bawahnya menahan isak tangis terasa ada pesan tersembunyi entah apa yang jelas sukses menyesakkan dadaku.
Hening.
Dean pasti kecewa karena aku yang membisu terbukti ia semakin mempererat pelukannya. Menghirup aroma khas di rambut dan kulitku. Selalu sama mampu membuat aku betah masih terasa tempat berpulang.
Aku merasakan detak jantung Dean yang berdegup cepat entah apa pemicunya aroma tubuh khas Dean tengah membuainya.
"Linar?"
"Hmm."
"Berbaliklah." Dean sedikit melonggarkan pelukannya.
Dengan patuh aku berbalik mendongak demi membalas tatapan Dean yang begitu dekat di depan wajahnya, deru napasnya menghela lembut mengenai wajahku menularkan detak jantung berdegup cepat.
"Aku ngantuk."
"Aku menginginkanmu Linar" Dean mendorong tengkuk ku dan mencium bibirku dalam tak membiarkan adanya jarak di antara mereka. Linar di dorong pelan ke belakang dan tubuh Dean bergerak naik melanjutkan cumbuannya ia menahan tangan kananku dan mengarahkan tengkuknya ke atas dan membuka akses mencium leherku agresif.
***
Aku tak bisa memejamkan mata lebih lama lantaran pikiran itu menganggunya ia menengok ke belakang pada Dean yang sudah terlentang pulas. Aku menghirup napas dalam dan mengeluarkannya. Aku tak percaya akan ada pemikiran seperti ini.
Aku menduduki dirinya pelan di tepi ranjang aku mengambil gawai milik suaminya yang tengah di isi daya dan membuka layar gawai yang tak dikunci aku melangkah menjauh dari tempat tidur dan benar saja galeri fotonya dikunci aku mengambil pelan jempol Dean dan mengidentifikasinya di layar gawai dan sukses terbuka.
Aku terus mencari foto selain dirinya dan Dean yang memenuhi layar gawai dan ia membuka file demi file dan ketemu!
Dada ku seketika sesak sakit di tatapnya foto itu yang menampilkan Dean tengah di rengkuh dari samping oleh wanita cantik yang tersenyum manis ke arah kamera dengan Dean yang tersenyum tipis berlatar belakang satu manekin dress perempuan dengan tulisan ukuran besar di belakangnya tertulis Deraras's Boutique.
Hah?
Aku mengigit bibirnya ia mendongak demi menahan isak tangis dan deraian air mata yang mulai mengalir. Belum puas aku menggulirkan layar, menampilkan wanita yang sama tengah menggelayut manja di lengan suamiku ditopang meja disertai menu makanan Jepang, lagi - lagi wanita itu tersenyum manis dan Dean yang tersenyum tipis menghadap ke kamera.
Seolah ingin menyakiti diri lagi, aku terus menggulirkan layar namun aku tak menemukan foto itu lagi selain foto dirinya dan Dean.
Aku menyerah, aku memutuskan mengirim kedua foto itu pada gawai miliknya. 'Ah aplikasi pesan' Linar segera melakukan hal yang sama agar terbuka aplikasi pesan, aku langsung menemukan nama Dera di baris ke dua, nama yang serupa. Ia membukanya dan kebanyakan pesan itu berisi ajakan bertemu.
'masih kurang' desahku dalam hati.
Aku membuka akun media sosial milik Dean di gawai suaminya ,dan mencari nama yang sama benar saja akun wanita itu langsung di temukan di kolom pencarian ia menekan akun itu dan muncul laman milik Dera, tak ada foto mereka berdua hanya ada foto gawai yang di balik menampilkan casing gawai yang ia yakini milik suaminya dan casing gawai yang pasti milik wanita itu di dekatkan di meja kayu yang sama.
'Apa ini jawaban dari semua perubahan suaminya?' desah hatinya masam.
***
"Linar, kamu kenapa nggak bangunin aku? Aku jadi nggak punya waktu buat sarapan!"
"Maaf, Mas aku memasak sampai lupa bangunin kamu. Tapi jangan khawatir aku udah siapin bekal buat kamu,"
"Kamu sudah nggak marah lagi sama, Mas kan?"
Aku mendongak menatapnya. Seketika dadaku berdebar menatap raut wajah menunggu. Mencoba mencari kebenaran pada kebeningan bola matanya.
Mungkinkah Tuhan?
"Apa yang mengganggumu. Sayang. Kamu bicara dong sama aku seperti yang selalu kamu bilang komunikasi itu penting sekecil apapun itu!" seru Dean agak gusar.
"Aku belum jelas apa yang lagi aku rasain sekarang, lagi badmood aja" jawab Linar mengedikkan bahunya asal.
Satu tangan Dean mulai mengelus pergelangan tanganku, ia meraih leherku namun aku menahan tangannya.
"Cepat ambil bekal sarapannya, Mas atau kamu akan terlambat berangkat kerja!" tolakku menukik alis ringan
Dean meregangkan kungkungannya dengan raut wajah tersinggung.
"Aku ngga suka kamu nolak aku ngga jelas kayak gini."
Linar menoleh. "Maaf " Linar merangkum wajah Dean di pipinya dan mencium kening suaminya lembut.
"Hari ini aku lembur lagi, jadi kamu bisa tidur duluan, ok!"
***
Aku menggenggam erat ponselku. Aku masih ingat dan telah memastikan ajakan pertemuan mereka di restoran Jepang terkenal di Jakarta satu jam lagi, jam pulang kerja 'aku harus bersiap sekarang.'
Sekitar dua puluh menit kemudian, aku sudah berada di depan sebuah restoran Jepang. 'Semoga aku yang salah. Semoga mereka nggak hanya berdua ya, Tuhan.' Lafalku dalam hati.
Aku lekas turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gedung restoran. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, dadaku seketika sesak saat mataku menangkap mereka yang sedang duduk berhadapan di sebuah meja.
Dadaku berdegup cepat melihat Dean benar bersama wanita itu di jam pulang kantor yang normal, hah padahal akhir-akhir ini Dean sering pulang terlambat dengan alasan lembur dan apa-apaan itu mereka...!
'Mereka ... berbicara intens. Sesekali wanita itu meremas tangan suamiku. Sungguh aku jengah melihat keakraban mereka yang tak tahu malu itu yang benar saja di ruang publik begini?'
Aku menusuk kuku jempolku pada kulit telunjukku dengan tangan yang bergetar.
Sesak!
Wanita yang sama pada dua foto di gawai Dean.
Melabrak di Kamar Hotel Sesak! Wanita yang sama pada dua foto di gawai Dean. Dengan langkah yang ditarik-tarik Linar mendudukkan dirinya di meja kosong di luar restoran yang sama. terletak cukup jauh, namun mudah melihatnya dan syukurlah. Di atas meja mereka terlihat piring-piring makanan yang sudah kosong. Linar menggerutu dalam hati. Sedetik kemudian ia mencoba menggunakan teknik pernapasan dilanjutkan berdzikir, agar lebih kuat dan tak menggila di sini. "Hufth!" Ia masih menatap lemah mereka dan memilih akan mencoba sekali lagi. Linar melihat suaminya sedikit tersentak mendapat panggilan telepon darinya. Si wanita itu menatap bertanya, lalu Dean membuka mulutnya entah bicara apa, dan Dean mengangkatnya ponselnya. "Iya halo, Mas. Kamu di mana?" "Aku lagi di kantor, nih. Aku harus lembur lagi," "Masih di kantor? Jadi benar hari ini kamu lembur lagi?" tanyanya mendesah. "Iya, lagi. Kamu nggak perlu tungguin aku pulang. Kemungkinan aku menginap di kantor," "Oh, ya? Sesibuk
Mendengar hal itu, Dean berbalik dengan wajah terkejut, cih! Bukan hanya Dean, Dera pun ikut berbalik dan terkejut dengan cara serupa dan Dean lah yang langsung mendekat ke hadapan Linar. Linar melengos dan duduk di sofa empuk berwarna putih. Menegakkan tubuh. "Kenapa cuma berdiri? Silahkan duduk!" titah Linar berhasil menstabilkan suaranya. "Apa yang bisa kamu jelasin, Mas?" tanya Linar bernada lemah dengan tangan bergetar yang ditutupi dengan tas tangannya. Dera dengan mengenakan lingerie minim terbalut handuk kimono minim berjalan enggan, ia mengambil tempat tepat disebelah Dean yang terduduk tegang. Nafas Linar bergemuruh melihatnya. Dan Dera merasa benar mengambil posisi berdekatan dengan Dean. Dean yang menyadari sedang diperhatikan oleh Linar segera bangkit untuk duduk di sofa yang sama yang digunakan Linar. Namun itu tak berarti apapun bagi Linar, menahan sesak di dada. Linar menunduk kewalahan lantaran dada dan kepalanya semakin pening menyerang bersamaan. "Linar?"
"LINAR! AKU BILANG AYO PULANG!" bentak Dean menarik tangan istrinya, memaksa. Linar mengaitkan kakinya pada kaki meja mencoba menahan tarikannya. Dean menoleh mencari tahu apa yang membuat tubuh Linar tertahan. Linar mendongak dengan berani "Kamu membentak aku di depan jalang simpananmu, Mas? Jadi, kamu baru aja membuatku malu dan membuat dia tersenyum meremehkanku, begitu?" ucap Linar jengah. Linar menyela balasannya dengan memberikan kode untuk berhenti tanpa kata dan menjulurkan kepalaku ke arah Dera. "Selamat, Dera! Kamu udah sukses menabung banyak dosa, karena udah berzinah, dan menghancurkan rumah tangga orang. Aku berdoa kamu akan mendapatkan karmanya atau pada keluargamu juga bisa aja sih terjadi!" ucap Linar terkekeh di ujung kalimat dengan air mata yang berlinang di pelupuk mata. "Kamu sudah selesai? Ayo kita pulang!" kali ini Dean terdengar begitu jengah dan emosional. Mungkin tersinggung mendengar istri sah mendoakan jalangnya, begitu pula dengan Linar yang tersakiti
Linar merasakan dadanya sakit, kempas-kempis dada ini karena napas yang kian memburu dan ulu hati yang seperti di tusuk merasuk, sakit! Linar mendorong dada suaminya setengah tenaga yang tersisa, menolak usapan ringan yang ia beri pada pipiku yang bergelimang air mata. "Kamu nyakitin aku, Mas! Kamu buat aku selalu bertanya-tanya kenapa kamu jadi sering pulang larut malam. Aku setengah mati menahan bertanya pada teman-teman kamu sebagai bukti aku percaya sama semua kata-kata bohong kamu! Aku menahan malu ketika keluarga kamu bertanya keberadaan kamu semalaman, sekuat hati aku jaga kehormatan kamu yang ninggalin aku gitu aja!" "Lin," gumamnya. "Dan sekarang udah terbukti, 'kan! Kamu selingkuhi aku dengan wanita yang mengejek aku nggak bisa jadi istri yang baik buat kamu, memangnya dia tahu apa tentang usaha aku jadi istri kamu, hah! Kamu bicara apa aja sama dia tentang aku, Mas, JAWAB!" sentak Linar emosi. "Demi Tuhan, Aku nggak pernah ngejelekin kamu ke dia, atau siapa pun Lin!
Ponsel yang aku taruh di dalam saku dadaku, berdering. ia dapat mendapati bahwa Dean meneleponnya. Dengan cepat, ia langsung menolak panggilan tersebut. Beberapa detik kemudian, ponselku menerima panggilan dari orang yang sama lagi, yang sama seperti sebelumnya. Aku tolak tanpa pikir panjang. Aku sedang tidak ingin menerima panggilan dari siapapun, terutama dari Mas Dean. Buru-buru aku mematikan ponselnya agar Dean tidak dapat menghubunginku lagi. Tapi kemudian, suara klakson dan lampu tinggi yang diberikan oleh kendaraan di belakangnya mendapatkan perhatiannya. Aku semakin yakin melihat mobil yang melaju bersisian dengan mobil kami adalah mobil milik Dean, membayangkan wajah marah Dean dari balik kaca film gelap mobilnya membuat aku semakin ingin menantangnya. “Sepertinya, Dean nggak akan melepaskanmu begitu saja, Linar.” “Pastikan saja kita nggak tertangkap, lebih cepat lagi, Erwin! atau kamu akan mendapatkan beberapa pukulan darinya.” ucapku menakutinya. Menghapus air mata, a
"Apapun itu lebih aman di sini," gumam Dean. "Apa maksud kamu, Mas?" tanya Linar tertarik. "Karena aku nggak mau putar balik dan terjebak macet, aku harus segera sampai ke kantor. Lagipula aku pikir kamu butuh teman bicara, dan Mami juga sama." Dean melirik Linar dari ujung matanya, ia terlihat tengah menimbang dan sebelum Linar menolak Dean kembali bicara. "Aku pergi sekarang, agar aku punya waktu untuk sekedar sarapan sebelum ke kantor." Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah maminya. Memilih menghindari konflik, ia berpesan. "Aku akan langsung berangkat, salam buat Mami!" "Oh ya, pastikan kamu sarapan, sebelum bekerja, Mas?" Dean menoleh membalas tatapan istrinya yang ia kenal sarat akan perhatian khas Linar "Ok, mungkin aku akan pesan makanan untuk di take away atau delivery. Entahlah." Linar mengangguk kecil, "Terserah, pastikan aja maag kamu nggak akan kumat lagi," ucapnya pelan di akhir kalimat. Dean tersenyum kecil ia mengelus rambut hitam Linar sayang. "Iya, s
"Dia terlihat nggak semangat jelas lagi banyak pikiran tapi dia nggak mau bilang apapun ke mami tapi dia sempat bilang ..?" jeda maminya menatap Dean dalam."Pas mami tanya kemarin apa alasan kamu nggak balik ke rumah ini jemput dia, dia bilang itu tanya aja ke kamu, dia takut salah ngomong. Maksudnya apa Mas? Emang kamu kemana sampai ngga pulang ke rumah mami bahkan kamu nggak jemput istri kamu. Kamu tahu dia dapat pertanyaan dari saudara - saudara kamu mereka mengira kalian bertengkar dan Linar terlihat bingung menjawabnya,"Dean menghembuskan napasnya kasar, rasa bersalah menyeruak di dadanya untuk istrinya."Mas?" Panggil maminya menuntut."Aku lagi ada urusan Mi dan nggak sempat ngasih kabar, dan kami sempat salah paham." dustanya sembari menandaskan makanannya dan bangkit menjauh.Tak lama Dean mendatangi kamar mereka untuk mencari Linar yang ternyata tengah berendam di bath up, Dean merengut tak biasanya istrinya itu meninggalkannya sekalipun Linar sudah selesai makan ia selal
Linar menunggu dengan detak jantungnya yang bertabur cepat hingga menyesakkan dadanya, ia takut ... "Udah 8 bulan belakangan ini, Maafin Mas, sayang," seru Dean payah. "Udah lama dong? Oh iya yah kamu mulai berubah juga udah lama kok. Kalian mainnya cantik sih udah pengalaman yah pacar kamu itu?" Ejek Linar datar. Dean membuang wajahnya, bahu dan kepalanya menurun. "Well, untung aku rajin mendoakan kamu dan rumah tangga kita. Jadi aku nggak harus di curangin kamu lama - lama. Lebih baik begini cepat terbongkar sebelumnya lebih parah dari ini. "Maksud kamu Lin?" "Dan sejak kapan kalian mulai sex nya, Mas?" ucap Linar pelan sembari tetap menatap suaminya. "Cukup Lin, aku nggak mau ngebahasnya dan aku tahu itu akan nyakitin kamu lebih dari ini, udah yah aku haus tolong ambilkan aku minum!" sambar Dean. "Nyakitin aku lebih dari ini? Berarti dari pertama kalian mutusin pacaran kali itu juga kalian berzinah ya, dan sepanas apa sih pergulatan kalian di atas ranjang sampai ,-" tanya Li
Silahkan Mampir Cerita Lainnya, Peringatan Cerita 19+Genre Adult Romance, Kontrak dg CEO yg bergaya Cassanova. Alur dan permasalahannya lebih real dan relate kehidupan normal. BlurbJavas mengerang karena bergairah, semakin merengkuh tubuh Zehra pada tubuh tegapnya yang membuat pipi Zehra memerah karena ikut merasakannya, dengan mata berkilat Javas mengusap pipi Zehra. "Jadi dari mana aja kamu seharian ini?""Cuma di rumah, mengemas semua barang aku. Kamu ingat 'kan? Ini jadi hari terakhir-""Aku berubah pikiran, ayo kita bertunangan!" Zehra mendorong dada Javas pelan, "Maaf, aku nggak bisa karena kontrak kita udah selesai, benar 'kan?"Tentang dua manusia yang tak pernah bersilang jalan sebelumnya kini terus dipertemukan hingga memantik rasa penasaran Javas Wira Sastro yang sudah muak dengan hidupnya, mencoba bermain api hingga memanfaatkan Zehra Deris yang terhimpit masalah.Mereka setuju untuk terikat dan tanpa sadar saling terbakar. Namun terlalu banyak perbedaan, drama serta
Empat Tahun Kemudian “Elkan sudah berusia enam tahun, sudah agak telat buat punya adik, tapi kenapa masih belum?” pupil mata Tante Ambar membesar, dengan reaksi dramanya ia melanjutkan. “Apa kalian cuma berencana punya satu anak atau ada masalah dengan rahim kamu lagi, Lin?”Pertanyaan terakhir adalah yang paling sensasional terbukti semua mata tertuju pada Linar yang tengah menuangkan air ke dalam gelas kosong. Ia menyadarinya tapi tak cukup ada alasan untuk menghentikan gerakannya. Ia memang langsung haus saat Tante Ambar kembali kumat.“Ambar! Jaga ucapan kamu!” peringat Om Soepomo.“Aku cuma tanya, kita ini ‘kan keluarga. Wajar dong kalau saling terbuka lagipula lebih baik bertanya langsung dari pada ngomongin di belakang ‘kan?”“Memangnya Tante Ambar masih ngomongin aku di belakang, ya?” tanya Linar berpura-pura ingin tahu.Tante Ambar mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian mengulas senyum sambil mengedikkan bahunya. “Kadang-kadang aja, kamu terlihat awet muda sih,”“Aku ‘
"Dia pasti tahu itu, Roland pasti sudah cerita tentang itu ke dia." Linar bersedekap layaknya petugas biro interogasi, "Maryn tahu kamu sudah punya anak?" Dean menghela napasnya kasar. “Aku nggak tau, kami jarang ketika bertemu, ngobrol urusan pribadi seperti itu.” Linar memutuskan untuk tidak berhenti, ia mengikuti suaminya. "Lantas, mau apa dia menghubungi kamu selarut ini?" Dean memandang Linar lama, mencoba merangkai kata dengan penjelasan yang ia pilih. "Maryn memastikan aku hadir di pestanya Roland. Akan banyak yang datang dan mungkin akan menjadi acara semacam reuni." "Kamu memang pasti hadir 'kan? Secara dia sahabat kamu. Lagian acara pernikahannya masih dua minggu lagi, jadi kenapa dia harus memastikan kamu hadir sampai segitunya?" Dean terlihat frustrasi dengan enggan ia menambahkan. “Bukan acara pernikahannya tapi…semacam pesta lajang di tempat yang sudah di booking sama yang punya acara.” “Pesta lajang? Dimana?” “Di salah satu pulau Bali.” “Hah, pesta sendirian sek
Braaak! Dean memejamkan matanya, coba menahan keluhan lantaran pintu mobilnya yang baru saja dibanting oleh istrinya. Ia melirik pada Linar yang masih cemberut mengotak atik ponselnya.“Sebentar lagi jam sebelas, kita sekalian makan siang aja ya, jadi kamu pulang jam satu aja.” buka Dean sembari menjalani mobilnya keluar garasi.“Nggak bisa, ‘kan aku udah bilang aku nggak tega ninggalin Elkan terlalu lama.” balas Linar.“Makanya aku udah bilang tadi, bawa Elkan dan susternya sekalian.” bantah Dean santai namun dibalas delikkan oleh Linar.“Justru karena aku mikirin posisi kamu di kantor. Gimana kalau tantrumnya kambuh? Udah pasti mengganggu kesejahteraan kantor kamu.” ucap Linar sewot.Dean memejamkan matanya lelah. Tangannya mengusap wajahnya gusar. Dia mencoba mendekati Rere. “Aku minta maaf, ok. Berhenti ketus saat bicara sama aku, Lin.” Hening…Linar menyadari jika Dean sudah mulai tersinggung dan mengambil sikap tegas dan dinginnya.“Aku pikir kita udah baik-baik aja. Aku bena
"Maaf, Buk. Pak Dean sedang tidak ada di tempat.""Oh ya, bukannya kurang dari setengah jam, baru tiba jam istirahat?""Betul, Buk. Tapi sejam dua jam yang lalu Pak Dean keluar kantor untuk menghadiri event peluncuran salah salah satu karya kami, dan Bapak bilang akan kembali ke kantor sekitar jam dua nanti." jawab sekretaris Dean. Linar mengangguk kecil, ada perasaan menyesal karena sudah semangat mempersiapkan bekal makan siang sejak jam sembilan pagi. "Tadi kamu bilang, event peluncuran produk? Apa itu artinya Buk Dera William dan Pak Roland juga ikut?" pancing Linar. ***Linar merengut kesal, perasaan was-was masih saja menganggunya selama masih ada Dera yang menjadi salah satu partner kerja suaminya artinya Dera masih berputar di dunia suaminya. Peluang mereka untuk bertemu, dekat dan kembali nyaman terlalu besar. Dan terbukti ada kecocokan tempat diantara mereka. Dean baru saja memberitahu lewat telpon jika ia tengah berada di restoran ternama dan memakai ruang makan tertut
"Iya, nanti di dalam kamarnya jangan terlalu lama, ya. Biar kamu bisa ikut foto bersama nah, setelah itu kita bahas acara ulang tahun Ista, nanti. Kamu tahu 'kan sebentar lagi giliran Ista, adik ipar kamu yang berulang tahun. Jadi kamu harus ikut diskusi, ya!""Ok, Tante. Yaudah aku ke kamar dulu, ya. Elkan udah merengek terus."Linar masuk ke salah satu kamar tamu yang ada di lantai dasar. la duduk di sisi ranjang dan mulai menurunkan gaunnya di bagian dada dan melepas kancing bra. Sejak melahirkan Elkan, Linar selalu memakai bra dengan kancing di bagian depan agar memudahkannya untuk menyusui.Linar segera menempatkan bibir Elkan di puncak dadanya. Elkan yang sudah lapar dan haus, segera menghisap dengan tidak sabar. Tidak lama kemudian, mata bayi laki-laki sehat itu terpejam. Linar menatap Elkan dengan penuh kasih sayang. Tangannya bergerak pelan dan lembut untuk mengelus kepala anaknya yang berambut lebat seperti Dean. la tersenyum tipis. Perjalanan rumah tangga yang dulu terasa
Dean menelengkan kepalanya. "Kenapa bisa nggak seger lagi?""Ya, karena aku udah mandi dari setengah jam yang lalu," ucap Linar cemberut."Ya, terus kenapa kamu nggak langsung samperin aku aja, hmm?" "Niatnya 'kan mau kasih kejutan, lagian kamu kelihatan serius banget kerjanya, jadi aku pilih skincare-an deh, sambil nungguin." Dean mendengus ketika kedua lengan Linar mengalungi lehernya. “Bukan karena kamu sibuk cari alasan supaya aku nggak marahin kamu, hm?” sindir Dean tajam. Meski begitu, kedua tangannya bergerak pasti memeluk pinggang Linar.Linar tersenyum geli, kakinya sedikit berjinjit agar bisa mengecup sebentar bibir Dean. "Jangan marah dong, 'kan akunya ga jadi seminggu disana.""Kesepakatannya kamu dan Elkan cuma tiga hari disana, ingat.""Tapi kamu tau sendiri, Mamah aku protes karena aku nggak ikut bantuin acaranya. Dan kamu udah izinkan aku, ingat?""Amat sangat terpaksa, karena mamah kamu yang minta." dengus Dean. “Tapi Mas, kamu suka nggak?” bisiknya tepat didepa
"Cium!" bisik Linar ragu, "Dia cium bibir aku, Mas."Jawaban Linar cukup membuat Dean lega, hanya saja egonya terlanjur luka. Ia kecewa manakala di saat mereka berpisah, ia masih meyakini Linar masih mencintainya, dan kepercayaan Linar adalah perempuan yang pandai menjaga dirinya. Sejujurnya ia pun banyak membiarkan Dera. "Tumben, kamu mau. Padahal hubungan kalian setengah tahu pun belum?""..." Linar tak mampu memandang wajah suaminya.Dean berbalik, "Aku kecewa, aku pikir kamu nggak akan semudah itu berpaling.""Mas..." Linar menahan lengan Dean, "Waktu itu kita udah bercerai, Mas.""Secepat itu kamu berpaling? Apa kamu memang tipikal nggak bisa kesepian? Jangan - jangan kalau aku tinggal dinas lama di luar kota, kamu cari pelukan pria lain.""Aku nggak kaya gitu, Mas. Bukannya banyak kesempatan yang aku buktikan ke kamu, ya? Aku yang selalu nungguin kamu di kamar yang dingin sendirian, Mas! Aku selalu setia sama kamu….” Linar menggigit lidahnya, dan membuang wajahnya ke samping.D
Dean mengetahui jika Linar sudah lama bersahabat dengan Tita tapi dengan Andaru, pria yang dikenalnya sebagai kekasih dari Tita, sejauh apa istrinya dekat dengan Andaru? Dan apakah Tita mengetahui kedekatan mereka berdua hingga dengan santainya Andaru membuat janji temu dan makan bersama, bahkan mengirim pesan selarut ini. Berbagai macam pertanyaan dan pikiran negatif bersemayam dibenaknya dengan cara yang menjengkelkan. Ia curiga, khawatir dan mungkin cemburu. Namun kali ini Dean ingin menguji istrinya.***Tok.. Tok.. "Masuk,"“Mas, ini udah jam makan siang lho, makan yuk!”Dean tersenyum kecil saat menemukan Linar yang melangkah menuju meja kerjanya. Ia memundurkan kursinya dan menyamankan posisi duduknya dengan kaki yang terbuka lebar.Linar berdiri di sampingnya, menyandar di pinggir meja setelah meletakkan tas di atasnya. Tangannya memainkan rambut Dean. “Lunch bareng aku yuk, ada resto recommended yang mau aku coba bareng kamu," Dean mengangguk setuju, menikmati tangan Linar