"LINAR! AKU BILANG AYO PULANG!" bentak Dean menarik tangan istrinya, memaksa.
Linar mengaitkan kakinya pada kaki meja mencoba menahan tarikannya. Dean menoleh mencari tahu apa yang membuat tubuh Linar tertahan.
Linar mendongak dengan berani "Kamu membentak aku di depan jalang simpananmu, Mas? Jadi, kamu baru aja membuatku malu dan membuat dia tersenyum meremehkanku, begitu?" ucap Linar jengah.
Linar menyela balasannya dengan memberikan kode untuk berhenti tanpa kata dan menjulurkan kepalaku ke arah Dera.
"Selamat, Dera! Kamu udah sukses menabung banyak dosa, karena udah berzinah, dan menghancurkan rumah tangga orang. Aku berdoa kamu akan mendapatkan karmanya atau pada keluargamu juga bisa aja sih terjadi!" ucap Linar terkekeh di ujung kalimat dengan air mata yang berlinang di pelupuk mata.
"Kamu sudah selesai? Ayo kita pulang!" kali ini Dean terdengar begitu jengah dan emosional. Mungkin tersinggung mendengar istri sah mendoakan jalangnya, begitu pula dengan Linar yang tersakiti bak kembali tertusuk hingga ke ulu hati.
Sakit!
Dengan kesakitannya, Linar mendapat kekuatan yang sempat lari entah ke mana. Linar menghentakkan tangannya sembari menahan laju mereka.
"Sakit!" Linar mengadu jujur, melihat genggaman yang berubah jadi cengkraman menyakiti tangannya terasa seperti akan dipatahkan.
Dean hanya meregangkan sedikit, tapi tetap menari tangannya menuju pintu keluar, dan Linar merasa belum puas, bahkan tambah kesal karena diabaikan.
Dengan kesal Linar mencakar tangan Dean menancapkan kuku semampunya bermaksud menyakiti dan berhasil membuatnya berhenti dan menoleh dengan wajah yang memerah penuh amarah.
"Lepas!" desis Linar.
Dean melihat ke arah tangan Linar yang ditariknya telah memerah maka ia merenggangkan cengkeramannya, dan di situlah Linar menampar pipi kirinya yang tengah menunduk membuat jangkauannya lebih mudah. Linar sudah mengerahkan sisa tenaga Linar karena memakai tangan kiri yang lebih lemah dari tangan kanannya.
Dean terperanjat menatap lawan bicaranya bertanya, bola matanya menampilkan tatapan tak percaya, tentu saja. Selama mereka saling kenal hingga menikah. Tak pernah ada dari keduanya serangan fisik yang menyakiti.
"Lepas, brengsek!" desis Linar melotot.
Dean melepaskan dengan sorot mata kalah, seolah jadi pecundang di medan perang. Atau ia masih terkejut atas makian yang dilontarkan oleh istrinya.
Linar bergerak mundur, mencoba menormalkan tarikan nafas yang sempat memburu. Secara halus Linar mundur mendekati Dera karena tak rela pergi tanpa gertakan atau pembalasan, bukan?
Dari tempat Linar berdiri, ia menatap dalam mereka yang bereaksi hampir sama, membuang wajah ke samping dengan raut wajah jengah dan emosi tertahan.
Linar menyeringai sinis, dan Linar berbalik, hanya butuh tiga langkah dan Linar menampar dengan tangan kanan yang lebih kuat menampar.
Plak!
Tarikan bibir Linar diangkat lebih tinggi. Mengejek dan menakuti semampunya sambil melotot. "Apa jalang?"
"Sialan!"
Dengan sigap Linar mundur dengan langkah yang besar, sudah menebak reaksinya mengingat cara bicaranya yang merendahkan dan ia bersyukur mengingat adegan penting dalam film bisa Linar praktekkan.
Wajah Dera merah padam karena kesal harus menggampar angin dengan amarah yang meluap dan terkejut menjadikan dia lebih sembrono.
"Heh! harusnya lo sadar diri kenapa kau diselingkuhi oleh suami lo, kenapa dia lebih memilih mendatangiku daripada lo istrinya sendiri, dan semua orang juga tahu kalau gue lebih terpandang, cantik, jadi lebih pantas jadi istri Dean Sandhoro. Lo paham sekarang?!" jeritnya berisik.
Deg!
Sesekali Linar melirik ke arah Dean yang terlihat sibuk dengan emosinya, ia bertolak pinggang dan sesekali menunduk dan melihat ke atas marah, sedangkan Dera masih emosional dan Linar tetap siaga dari ingatannya di beberapa film drama perselingkuhan rumah tangga, seorang pelakor yang sedang terpojok seperti ini akan berbalik melawan tanpa tahu malu.
Linar mengangguk sekali, ia mengangkat satu alis memandang Dera meragukan.
"Dean sudah nggak butuh kamu, jadi harusnya kamu sadar diri dan mundur sebelum di usir, paham!"
"Diam lah, Dera!"
"Dean!" sentak Dera merajuk.
"Aku bilang. DIAM!"
Deg … Deg ... Deg!
Degup jantung Linar berdetak cepat, ia terkesiap karena nada tinggi Dean bergema ke seluruh ruangan. Namun ia menolak dikendalikan.
"Apa lagi?" tanya Linar rendah, tapi sukses dapat perhatian mereka berdua.
"Apa lagi menurut kamu yang membuat suamiku tega menduakan aku, sampai dia mengkhianati ikrar yang di ucapkan padaku di hadapan Tuhan dan keluarganya sendiri, sampai dia mau menghinakan dirinya sendiri. Hah?"
"JELASIN SAMA AKU!! KENAPA? DAN APA YANG KALIAN TERTAWAKAN TENTANGKU, HAH, APA?!" tambah Linar menjerit.
"LINAR!" penggal Dean berteriak.
Bibir Linar bergetar menahan isak tangis, bulir demi bulir air mata berlinang di pipi. Kedua tangan Linar yang panas karena habis menampar tambah panas, dengan deru napas yang memburu, terlebih bentakan Dean yang menggelegar membuat orang-orang terkejut, dan Linar menyadari telah begitu emosional.
Dean berdiri tepat di depan Linar menghalangi sosok Dera yang terkejut pasif di belakangnya, ia meremas bahu istri sahnya tanpa menyakiti.
"Maaf!"
Deg ... Deg .. deg ...
Linar membuka mulutnya jengah, napasnya masih memburu. Hingga terasa tak kuat lagi, ia mendongak menahan air mata yang menggumpal di lensa matanya hingga menghalangi penglihatannya dan tak sudi menunjukkan air matanya pada mereka.
Linar menggeleng kalah. Ini pertama kalinya Linar mendengar Dean meminta maaf menyesal dengan gestur tubuh kalah.
"Ayo!" Dean menarik tangan Linar pelan ke arah nakas TV mengambil barang miliknya dan Linar memandang wajahnya yang datar, namun masih memerah, lalu menoleh pada Dera yang menatap mereka nyalang.
Wajah dan bola matanya pun sama memerah, menahan kuat isak tangis dan teriakan yang diyakini akan ia lepaskan setelah mereka keluar.
Dari pancaran matanya ada kemarahan dan api cemburu. Linar menyeringai kecil saat Dera fokus menatap tangan Linar yang ditarik tegas namun tak menyakiti, kami pun meninggalkannya, keluar dari kamar hotel sendirian.
Sesaat mereka keluar dari pintu hotel, Linar menarik tangannya di genggamannya setengah tenaga yang tak digubris oleh Dean.
Bibirnya tersenyum masam, amarah itu masih membara. Linar menghentakkan tangannya kasar namun, Dean masih tak bergeming, mengabaikan rajukan Linar sepenuhnya.
"Hah!" dengus Linar menghela kasar.
Dean menoleh di balik bahunya, Linar menatapnya lurus "Lepas!"
Dean menatap lawan bicaranya kesal tahu arti tekad pada mata Linar.
"Sakit, Mas! Aku bukan anak kecil yang bisa kamu tarik-tarik begini!"
"Ok! Tapi tolong kamu ikut aku tanpa perlu merajuk, jangan sampai kita jadi pusat perhatian orang di sini!"
"Oh ya, tentu. Bakalan sangat memalukan kalau sampai banyak orang yang akhirnya tahu kalau kamu berani berselingkuh, merendahkan martabat kamu sendiri dan keluarga besar kamu, image kamu pasti langsung anjlok, 'kan? Kalau fakta ini sampai viral?!"
Sontak mata Dean menggelap, "Apa maksud kamu?"
"Bukan apa-apa, aku butuh waktu sendiri. Jadi tolong lepasin tangan aku!" seru Linar merendah, karena ada orang lain yang sedang melintasi kami.
"Mau ke mana, kamu?"
"Ke mana aja asal jauh dari kamu!"
Cengkraman Dean menguat, spontan Linar mengaduh sakit, karena ia menarik tangan Linar menjauhi lift. Dia membuka sebuah pintu tangga darurat dan menghempaskan Linar ke dinding disertai suara berdebum pintu yang ditutup tepat di samping telinga.
"Aku nggak suka cara kamu menatap aku dengan penuh penentangan kayak gini, ya! Kamu itu istri aku. Aku tahu aku salah, tapi kita bisa selesaikan baik-baik! Bukannya kamu langsung menentang semua omongan aku. Paham!"
Linar mengangguk kecil menanggapinya, dan tersenyum masam, lalu mendongak menatapnya. "Ada alasannya, 'kan? Dan aku yakin kalau kamu ada di posisi aku sekarang, pasti kamu bakal melakukan hal yang sama. Menunjukkan ketegaran hati yang di buat-buat, asalkan aku bisa melampiaskan kekesalan aku sekaligus dapat jawaban dari perlakuan kamu kenapa ... kamu-" Linar menahan isak tangisnya atau suara sumbangnya akan semakin terdengar pilu.
Linar menunduk sembari menghela napas, "Kenapa kamu sampai hati menduakan aku, Mas? Di saat kamu yang meminta aku untuk jadi istri yang baik, dan kamu tuntut aku untuk menuruti semuanya, saat itu juga kamu nyakitin aku, sekian hebatnya! Kenapa, Mas? Jawab!"
Linar merasakan dadanya sakit, kempas-kempis dada ini karena napas yang kian memburu dan ulu hati yang seperti di tusuk merasuk, sakit! Linar mendorong dada suaminya setengah tenaga yang tersisa, menolak usapan ringan yang ia beri pada pipiku yang bergelimang air mata. "Kamu nyakitin aku, Mas! Kamu buat aku selalu bertanya-tanya kenapa kamu jadi sering pulang larut malam. Aku setengah mati menahan bertanya pada teman-teman kamu sebagai bukti aku percaya sama semua kata-kata bohong kamu! Aku menahan malu ketika keluarga kamu bertanya keberadaan kamu semalaman, sekuat hati aku jaga kehormatan kamu yang ninggalin aku gitu aja!" "Lin," gumamnya. "Dan sekarang udah terbukti, 'kan! Kamu selingkuhi aku dengan wanita yang mengejek aku nggak bisa jadi istri yang baik buat kamu, memangnya dia tahu apa tentang usaha aku jadi istri kamu, hah! Kamu bicara apa aja sama dia tentang aku, Mas, JAWAB!" sentak Linar emosi. "Demi Tuhan, Aku nggak pernah ngejelekin kamu ke dia, atau siapa pun Lin!
Ponsel yang aku taruh di dalam saku dadaku, berdering. ia dapat mendapati bahwa Dean meneleponnya. Dengan cepat, ia langsung menolak panggilan tersebut. Beberapa detik kemudian, ponselku menerima panggilan dari orang yang sama lagi, yang sama seperti sebelumnya. Aku tolak tanpa pikir panjang. Aku sedang tidak ingin menerima panggilan dari siapapun, terutama dari Mas Dean. Buru-buru aku mematikan ponselnya agar Dean tidak dapat menghubunginku lagi. Tapi kemudian, suara klakson dan lampu tinggi yang diberikan oleh kendaraan di belakangnya mendapatkan perhatiannya. Aku semakin yakin melihat mobil yang melaju bersisian dengan mobil kami adalah mobil milik Dean, membayangkan wajah marah Dean dari balik kaca film gelap mobilnya membuat aku semakin ingin menantangnya. “Sepertinya, Dean nggak akan melepaskanmu begitu saja, Linar.” “Pastikan saja kita nggak tertangkap, lebih cepat lagi, Erwin! atau kamu akan mendapatkan beberapa pukulan darinya.” ucapku menakutinya. Menghapus air mata, a
"Apapun itu lebih aman di sini," gumam Dean. "Apa maksud kamu, Mas?" tanya Linar tertarik. "Karena aku nggak mau putar balik dan terjebak macet, aku harus segera sampai ke kantor. Lagipula aku pikir kamu butuh teman bicara, dan Mami juga sama." Dean melirik Linar dari ujung matanya, ia terlihat tengah menimbang dan sebelum Linar menolak Dean kembali bicara. "Aku pergi sekarang, agar aku punya waktu untuk sekedar sarapan sebelum ke kantor." Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah maminya. Memilih menghindari konflik, ia berpesan. "Aku akan langsung berangkat, salam buat Mami!" "Oh ya, pastikan kamu sarapan, sebelum bekerja, Mas?" Dean menoleh membalas tatapan istrinya yang ia kenal sarat akan perhatian khas Linar "Ok, mungkin aku akan pesan makanan untuk di take away atau delivery. Entahlah." Linar mengangguk kecil, "Terserah, pastikan aja maag kamu nggak akan kumat lagi," ucapnya pelan di akhir kalimat. Dean tersenyum kecil ia mengelus rambut hitam Linar sayang. "Iya, s
"Dia terlihat nggak semangat jelas lagi banyak pikiran tapi dia nggak mau bilang apapun ke mami tapi dia sempat bilang ..?" jeda maminya menatap Dean dalam."Pas mami tanya kemarin apa alasan kamu nggak balik ke rumah ini jemput dia, dia bilang itu tanya aja ke kamu, dia takut salah ngomong. Maksudnya apa Mas? Emang kamu kemana sampai ngga pulang ke rumah mami bahkan kamu nggak jemput istri kamu. Kamu tahu dia dapat pertanyaan dari saudara - saudara kamu mereka mengira kalian bertengkar dan Linar terlihat bingung menjawabnya,"Dean menghembuskan napasnya kasar, rasa bersalah menyeruak di dadanya untuk istrinya."Mas?" Panggil maminya menuntut."Aku lagi ada urusan Mi dan nggak sempat ngasih kabar, dan kami sempat salah paham." dustanya sembari menandaskan makanannya dan bangkit menjauh.Tak lama Dean mendatangi kamar mereka untuk mencari Linar yang ternyata tengah berendam di bath up, Dean merengut tak biasanya istrinya itu meninggalkannya sekalipun Linar sudah selesai makan ia selal
Linar menunggu dengan detak jantungnya yang bertabur cepat hingga menyesakkan dadanya, ia takut ... "Udah 8 bulan belakangan ini, Maafin Mas, sayang," seru Dean payah. "Udah lama dong? Oh iya yah kamu mulai berubah juga udah lama kok. Kalian mainnya cantik sih udah pengalaman yah pacar kamu itu?" Ejek Linar datar. Dean membuang wajahnya, bahu dan kepalanya menurun. "Well, untung aku rajin mendoakan kamu dan rumah tangga kita. Jadi aku nggak harus di curangin kamu lama - lama. Lebih baik begini cepat terbongkar sebelumnya lebih parah dari ini. "Maksud kamu Lin?" "Dan sejak kapan kalian mulai sex nya, Mas?" ucap Linar pelan sembari tetap menatap suaminya. "Cukup Lin, aku nggak mau ngebahasnya dan aku tahu itu akan nyakitin kamu lebih dari ini, udah yah aku haus tolong ambilkan aku minum!" sambar Dean. "Nyakitin aku lebih dari ini? Berarti dari pertama kalian mutusin pacaran kali itu juga kalian berzinah ya, dan sepanas apa sih pergulatan kalian di atas ranjang sampai ,-" tanya Li
"Si perempuan itu tampak akrab sama suami lo, Lin!" jelas Tya hati-hati. Linar hanya balas mengangguk, "Dalam circle pertemanan Mas Dean, memang ada aja perempuannya. Semacam wanita alpha gitu yang punya prestasi dan punya posisi setara eksekutif di perusahaan mereka. Bukan hal yang baru, Tya. Udah ya, kita ganti topik aja!" Hening .. Tya terlihat ingin mengejar topik yang sudah di tutup oleh empunya cerita tapi ia memilih mengangguk mengerti demi kenyamanan sahabatnya. "Apapun itu lo harus ingat Lin, kita ada buat lo kalau lo butuh teman curhat atau teman pelarian jadi jangan sok kuat seakan lo tinggal sendiri dan bisa menyelesaikan semua sendiri, ok!" tutur Tita menguatkan. "Iya, lo boleh kok ngerepotin kita kapan aja toh selama ini gue sama Tita sering kecipratan hidup enak karena uang suami lo itu hahaha, intinya lo punya kita untuk ngebantu masalah lo mungkin jadi yah kita harus tahu dulu masalahnya apa nih?" pancing Tya yang di balas tawa kecil Tita. "Lihai sekali anda
"Diet? Tumben kamu diet sekeras ini lagian walaupun tubuh kamu ngga selangsing yang lain, tapi kamu, 'kan nggak gendut?"Yang lain? Ah pasti maksudnya sepupu Dean yang lain yang memang menjaga bentuk tubuh seapik mungkin hingga menyiksa karena tak leluasa makan enak kapanpun dimau pikirnya."Iya, belakangan ini aku lagi ngga percaya diri, Mi. Di sekitar mas Dean banyak yang lebih cantik, pintar dan punya pekerjaan yang bagus terlebih mereka pintar jaga badan, aku jadi minder. Lagian ini usaha aku agar mas Dean tetap setia sama aku," Linar tersenyum masam menyadari ada sengau menahan tangis di ujung suaranya."Memangnya si Mas kenapa?"Linar makin tersenyum lebar dengan mata yang sendu memandang maminya. "Ngga, ngga apa-apa kok, mas Dean baik-baik, aja.""Walaupun ada masalah. sebagai seorang istri kamu harus tetap mendampingi suami kamu, kamu harus percaya dan jaga kepercayaanya. Jangan jadi istri yang suka membesar-besarkan masalah, kamu harus lebih sabar dan mengalah, itu kuncinya."
"Tapi, Bapak setia kan?""Ya enggak juga. Namanya juga laki-laki suka khilaf.""Maksudnya?" tanyanya agak sinis.Linar merasa tertarik dengan supir taxi ini bahkan ia terbawa suasana "Lalu, apa Bapak menyesal udah selingkuh?""Selingkuh itu rasanya berlebihan Mbak. Seakan saya melibatkan hubungan jangka panjang dengan wanita itu. Saya cuma beberapa kali itupun sewaktu tidak bisa mengontrol diri. Namanya lelaki kan hormonnya beda. Apalagi kalau ada masalah di rumah dan mabuk lalu melihat yang bening dan bersedia disentuh kadang jadi tidak bisa menahan diri. Setelah selesai ya merasa bersalah lalu pulang.""Dalam keadaan masih cinta istri Bapak?""Cinta? Rasanya udah lama rasa itu mba saya malah hampir lupa dan udah nggak penting sama cinta. Yang namanya sama istri yang jadi ibu anak-anak bagaimanapun harus saya jalani. Senakal-nakalnya saya, saya tidak pernah berniat meninggalkan istri saya. Terutama setelah saya perlahan mengurangi aktivitas malam saya, rasanya kesadaran saya kembali
Silahkan Mampir Cerita Lainnya, Peringatan Cerita 19+Genre Adult Romance, Kontrak dg CEO yg bergaya Cassanova. Alur dan permasalahannya lebih real dan relate kehidupan normal. BlurbJavas mengerang karena bergairah, semakin merengkuh tubuh Zehra pada tubuh tegapnya yang membuat pipi Zehra memerah karena ikut merasakannya, dengan mata berkilat Javas mengusap pipi Zehra. "Jadi dari mana aja kamu seharian ini?""Cuma di rumah, mengemas semua barang aku. Kamu ingat 'kan? Ini jadi hari terakhir-""Aku berubah pikiran, ayo kita bertunangan!" Zehra mendorong dada Javas pelan, "Maaf, aku nggak bisa karena kontrak kita udah selesai, benar 'kan?"Tentang dua manusia yang tak pernah bersilang jalan sebelumnya kini terus dipertemukan hingga memantik rasa penasaran Javas Wira Sastro yang sudah muak dengan hidupnya, mencoba bermain api hingga memanfaatkan Zehra Deris yang terhimpit masalah.Mereka setuju untuk terikat dan tanpa sadar saling terbakar. Namun terlalu banyak perbedaan, drama serta
Empat Tahun Kemudian “Elkan sudah berusia enam tahun, sudah agak telat buat punya adik, tapi kenapa masih belum?” pupil mata Tante Ambar membesar, dengan reaksi dramanya ia melanjutkan. “Apa kalian cuma berencana punya satu anak atau ada masalah dengan rahim kamu lagi, Lin?”Pertanyaan terakhir adalah yang paling sensasional terbukti semua mata tertuju pada Linar yang tengah menuangkan air ke dalam gelas kosong. Ia menyadarinya tapi tak cukup ada alasan untuk menghentikan gerakannya. Ia memang langsung haus saat Tante Ambar kembali kumat.“Ambar! Jaga ucapan kamu!” peringat Om Soepomo.“Aku cuma tanya, kita ini ‘kan keluarga. Wajar dong kalau saling terbuka lagipula lebih baik bertanya langsung dari pada ngomongin di belakang ‘kan?”“Memangnya Tante Ambar masih ngomongin aku di belakang, ya?” tanya Linar berpura-pura ingin tahu.Tante Ambar mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian mengulas senyum sambil mengedikkan bahunya. “Kadang-kadang aja, kamu terlihat awet muda sih,”“Aku ‘
"Dia pasti tahu itu, Roland pasti sudah cerita tentang itu ke dia." Linar bersedekap layaknya petugas biro interogasi, "Maryn tahu kamu sudah punya anak?" Dean menghela napasnya kasar. “Aku nggak tau, kami jarang ketika bertemu, ngobrol urusan pribadi seperti itu.” Linar memutuskan untuk tidak berhenti, ia mengikuti suaminya. "Lantas, mau apa dia menghubungi kamu selarut ini?" Dean memandang Linar lama, mencoba merangkai kata dengan penjelasan yang ia pilih. "Maryn memastikan aku hadir di pestanya Roland. Akan banyak yang datang dan mungkin akan menjadi acara semacam reuni." "Kamu memang pasti hadir 'kan? Secara dia sahabat kamu. Lagian acara pernikahannya masih dua minggu lagi, jadi kenapa dia harus memastikan kamu hadir sampai segitunya?" Dean terlihat frustrasi dengan enggan ia menambahkan. “Bukan acara pernikahannya tapi…semacam pesta lajang di tempat yang sudah di booking sama yang punya acara.” “Pesta lajang? Dimana?” “Di salah satu pulau Bali.” “Hah, pesta sendirian sek
Braaak! Dean memejamkan matanya, coba menahan keluhan lantaran pintu mobilnya yang baru saja dibanting oleh istrinya. Ia melirik pada Linar yang masih cemberut mengotak atik ponselnya.“Sebentar lagi jam sebelas, kita sekalian makan siang aja ya, jadi kamu pulang jam satu aja.” buka Dean sembari menjalani mobilnya keluar garasi.“Nggak bisa, ‘kan aku udah bilang aku nggak tega ninggalin Elkan terlalu lama.” balas Linar.“Makanya aku udah bilang tadi, bawa Elkan dan susternya sekalian.” bantah Dean santai namun dibalas delikkan oleh Linar.“Justru karena aku mikirin posisi kamu di kantor. Gimana kalau tantrumnya kambuh? Udah pasti mengganggu kesejahteraan kantor kamu.” ucap Linar sewot.Dean memejamkan matanya lelah. Tangannya mengusap wajahnya gusar. Dia mencoba mendekati Rere. “Aku minta maaf, ok. Berhenti ketus saat bicara sama aku, Lin.” Hening…Linar menyadari jika Dean sudah mulai tersinggung dan mengambil sikap tegas dan dinginnya.“Aku pikir kita udah baik-baik aja. Aku bena
"Maaf, Buk. Pak Dean sedang tidak ada di tempat.""Oh ya, bukannya kurang dari setengah jam, baru tiba jam istirahat?""Betul, Buk. Tapi sejam dua jam yang lalu Pak Dean keluar kantor untuk menghadiri event peluncuran salah salah satu karya kami, dan Bapak bilang akan kembali ke kantor sekitar jam dua nanti." jawab sekretaris Dean. Linar mengangguk kecil, ada perasaan menyesal karena sudah semangat mempersiapkan bekal makan siang sejak jam sembilan pagi. "Tadi kamu bilang, event peluncuran produk? Apa itu artinya Buk Dera William dan Pak Roland juga ikut?" pancing Linar. ***Linar merengut kesal, perasaan was-was masih saja menganggunya selama masih ada Dera yang menjadi salah satu partner kerja suaminya artinya Dera masih berputar di dunia suaminya. Peluang mereka untuk bertemu, dekat dan kembali nyaman terlalu besar. Dan terbukti ada kecocokan tempat diantara mereka. Dean baru saja memberitahu lewat telpon jika ia tengah berada di restoran ternama dan memakai ruang makan tertut
"Iya, nanti di dalam kamarnya jangan terlalu lama, ya. Biar kamu bisa ikut foto bersama nah, setelah itu kita bahas acara ulang tahun Ista, nanti. Kamu tahu 'kan sebentar lagi giliran Ista, adik ipar kamu yang berulang tahun. Jadi kamu harus ikut diskusi, ya!""Ok, Tante. Yaudah aku ke kamar dulu, ya. Elkan udah merengek terus."Linar masuk ke salah satu kamar tamu yang ada di lantai dasar. la duduk di sisi ranjang dan mulai menurunkan gaunnya di bagian dada dan melepas kancing bra. Sejak melahirkan Elkan, Linar selalu memakai bra dengan kancing di bagian depan agar memudahkannya untuk menyusui.Linar segera menempatkan bibir Elkan di puncak dadanya. Elkan yang sudah lapar dan haus, segera menghisap dengan tidak sabar. Tidak lama kemudian, mata bayi laki-laki sehat itu terpejam. Linar menatap Elkan dengan penuh kasih sayang. Tangannya bergerak pelan dan lembut untuk mengelus kepala anaknya yang berambut lebat seperti Dean. la tersenyum tipis. Perjalanan rumah tangga yang dulu terasa
Dean menelengkan kepalanya. "Kenapa bisa nggak seger lagi?""Ya, karena aku udah mandi dari setengah jam yang lalu," ucap Linar cemberut."Ya, terus kenapa kamu nggak langsung samperin aku aja, hmm?" "Niatnya 'kan mau kasih kejutan, lagian kamu kelihatan serius banget kerjanya, jadi aku pilih skincare-an deh, sambil nungguin." Dean mendengus ketika kedua lengan Linar mengalungi lehernya. “Bukan karena kamu sibuk cari alasan supaya aku nggak marahin kamu, hm?” sindir Dean tajam. Meski begitu, kedua tangannya bergerak pasti memeluk pinggang Linar.Linar tersenyum geli, kakinya sedikit berjinjit agar bisa mengecup sebentar bibir Dean. "Jangan marah dong, 'kan akunya ga jadi seminggu disana.""Kesepakatannya kamu dan Elkan cuma tiga hari disana, ingat.""Tapi kamu tau sendiri, Mamah aku protes karena aku nggak ikut bantuin acaranya. Dan kamu udah izinkan aku, ingat?""Amat sangat terpaksa, karena mamah kamu yang minta." dengus Dean. “Tapi Mas, kamu suka nggak?” bisiknya tepat didepa
"Cium!" bisik Linar ragu, "Dia cium bibir aku, Mas."Jawaban Linar cukup membuat Dean lega, hanya saja egonya terlanjur luka. Ia kecewa manakala di saat mereka berpisah, ia masih meyakini Linar masih mencintainya, dan kepercayaan Linar adalah perempuan yang pandai menjaga dirinya. Sejujurnya ia pun banyak membiarkan Dera. "Tumben, kamu mau. Padahal hubungan kalian setengah tahu pun belum?""..." Linar tak mampu memandang wajah suaminya.Dean berbalik, "Aku kecewa, aku pikir kamu nggak akan semudah itu berpaling.""Mas..." Linar menahan lengan Dean, "Waktu itu kita udah bercerai, Mas.""Secepat itu kamu berpaling? Apa kamu memang tipikal nggak bisa kesepian? Jangan - jangan kalau aku tinggal dinas lama di luar kota, kamu cari pelukan pria lain.""Aku nggak kaya gitu, Mas. Bukannya banyak kesempatan yang aku buktikan ke kamu, ya? Aku yang selalu nungguin kamu di kamar yang dingin sendirian, Mas! Aku selalu setia sama kamu….” Linar menggigit lidahnya, dan membuang wajahnya ke samping.D
Dean mengetahui jika Linar sudah lama bersahabat dengan Tita tapi dengan Andaru, pria yang dikenalnya sebagai kekasih dari Tita, sejauh apa istrinya dekat dengan Andaru? Dan apakah Tita mengetahui kedekatan mereka berdua hingga dengan santainya Andaru membuat janji temu dan makan bersama, bahkan mengirim pesan selarut ini. Berbagai macam pertanyaan dan pikiran negatif bersemayam dibenaknya dengan cara yang menjengkelkan. Ia curiga, khawatir dan mungkin cemburu. Namun kali ini Dean ingin menguji istrinya.***Tok.. Tok.. "Masuk,"“Mas, ini udah jam makan siang lho, makan yuk!”Dean tersenyum kecil saat menemukan Linar yang melangkah menuju meja kerjanya. Ia memundurkan kursinya dan menyamankan posisi duduknya dengan kaki yang terbuka lebar.Linar berdiri di sampingnya, menyandar di pinggir meja setelah meletakkan tas di atasnya. Tangannya memainkan rambut Dean. “Lunch bareng aku yuk, ada resto recommended yang mau aku coba bareng kamu," Dean mengangguk setuju, menikmati tangan Linar