Ponsel yang aku taruh di dalam saku dadaku, berdering. ia dapat mendapati bahwa Dean meneleponnya. Dengan cepat, ia langsung menolak panggilan tersebut.
Beberapa detik kemudian, ponselku menerima panggilan dari orang yang sama lagi, yang sama seperti sebelumnya. Aku tolak tanpa pikir panjang. Aku sedang tidak ingin menerima panggilan dari siapapun, terutama dari Mas Dean.
Buru-buru aku mematikan ponselnya agar Dean tidak dapat menghubunginku lagi. Tapi kemudian, suara klakson dan lampu tinggi yang diberikan oleh kendaraan di belakangnya mendapatkan perhatiannya.
Aku semakin yakin melihat mobil yang melaju bersisian dengan mobil kami adalah mobil milik Dean, membayangkan wajah marah Dean dari balik kaca film gelap mobilnya membuat aku semakin ingin menantangnya.
“Sepertinya, Dean nggak akan melepaskanmu begitu saja, Linar.”
“Pastikan saja kita nggak tertangkap, lebih cepat lagi, Erwin! atau kamu akan mendapatkan beberapa pukulan darinya.” ucapku menakutinya.
Menghapus air mata, aku minta dipercepat laju kendaraannya. Mengamati melalui kaca spion, Dean kembali memberikan lampu tinggi dan membunyikan klakson, meminta Erwin untuk menepi.
Karena jalanan yang cukup sepi, Dean menambah kecepatannya lagi dan mengambil lajur di sebelah kanan sehingga mobil mereka kini beriringan.
Dari ekor mataku terlihat Dean membuka kaca di sisi kursi penumpang. Pria itu mengatakan sesuatu dan menggerakkan tangannya yang ku anggap sebagai perintah untuk menghentikan kendaraan.
Erwin menoleh pada Linar yang langsung dibalas anggukan dan tatapan menyemangati. la kembali menambah kecepatan kendaraan dan meninggalkan Dean di belakang. Sial baginya karena Dean tidak menyerah. Air mata yang belum benar-benar hilang dari mata aku lalu menghalangi pandangannya.
la mengerjapkan matanya berkali-kali guna menjernihkan pandangannya. Tepat pada saat itu, tiba-tiba saja sebuah kendaraan beroda dua muncul di sebelah kirinya. Secara refleks, Erwin menginjak rem dan sedikit membanting kemudi ke sebelah kiri untuk menghindari pengendara tersebut.
Benturan kecil pada trotoar jalan menghentikan mobilnya. Tubuhnya sedikit terayun ke depan, tapi Erwin dan aku baik-baik saja. Matanya lalu menangkap mobil Dean yang menepi di depan kendaraannya, pria itu mematikan mesin dan turun.
Ekspresi wajah Dean terlihat marah ketika pria itu berjalan menghampirinya dengan langkah panjang. Dean menggedor sisi pintunya dan mencoba untuk membuka pintu mobil yang terkunci dari dalam.
"Buka kuncinya, brengsek!" teriakan Dean terdengar jelas dari dalam mobil.
Aku menolehkan kepalanya, menatap Dean. Ia lalu kembali memandang ke depan, memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini. Jarak antara mobilnya dan Range Rover Dean cukup jauh, ada cukup jarak baginya untuk melaju pergi dari sini.
"Linar!" teriak Dean lagi. "Buka pintunya sekarang juga, Linar!"
Gedoran pada kaca mobilnya tidak berhenti, dan kami mendengar kemarahan pria itu dalam suaranya. Pergi dari tempat ini jelas tidak akan membuatnya terhindar dari kemurkaan Dean. Pria itu pasti akan mengikutinya lagi dan usahaku untuk menghindarinya hanya akan menjadi sia-sia.
Menghela napas, Erwin menekan sebuah tombol untuk membuka kunci mobil. Begitu suara kunci yang terbuka terdengar. Dean langsung menarik pintu dan membukanya lebar-lebar. Menarik kerah baju milik Erwin yang mengikutinya pasrah.
Buuughhh!!!
Aku membekap mulutku, melihat Dean memukul Erwin tepat pada bibirnya.
"Apa lo udah gila? Menyetir dengan kecepatan seperti itu?!" semprotnya marah. "Lo bisa menyebabkan istriku kecelakaan, brengsek!"
"Mas, berhenti! Aku yang memaksanya untuk terus mengebut." Aku menoleh memandang Dean yang sudah meninggalkan Erwin dan berjalan memutar mendekat, berdiri di sampingku dengan tubuh sedikit dibungkukkan.
Melihat sikap arogan Dean membuat ku tak peduli pada kemarahannya. "Well, aku nggak akan memaksanya mengebut kalau bukan karena kamu!"
"Kalau begitu kamu seharusnya berhenti saat aku memintanya baik-baik dan bukannya malah menolak semua panggilanku!"
"Dan kau seharusnya tidak mengejarku!" balasku dengan emosi. "Aku sudah muak denganmu, Mas! Seharusnya kamu membiarkanku pergi. Dan kembali pada wanita simpananmu! Dan biarkan aku pergi!”
Dean menggeram marah. "Kamu sedang emosi dan kamu pikir aku akan membiarkan kamu pergi begitu saja? Dengan pria lain tepat di depan mataku, hah?!"
"Ya!" aku menjawab dengan mantap. "Ya, seharusnya kamu membiarkan aku, Mas!"
Aku masih memperkirakan kemarahan Dean, apakah sudah berada pada puncaknya, namun tidak sama sekali karena mata pria itu kembali berkilat, lebih tajam daripada sebelumnya.
"Keluar!" perintah Dean dengan nada yang sangat rendah.
"Nggak!"
"Sekarang, Linar!" desisnya. "Jangan buat kesabaranku habis."
Aku hampir berpikir bahwa kesabaran pria itu memang sudah habis. Dari posisiku sekarang ini, kali ini aku yakin aku bahwa Dean memegang tali terakhir yang menggantung kesabaran pria itu.
Aku lalu melepaskan sabuk pengaman dan mengayunkan kakiku turun dari mobil.
"Sekarang, kamu mau apa?" tanyaku kesal.
Aku langsung mendapatkan jawabannya saat Dean menarik tanganku dengan erat. Pria itu membawaku memutari mobil dan membuka pintu kursi penumpang.
Aku sempat menoleh ke belakang, pada Erwin yang tak berdaya tak lama dengan dorongan yang secara mengejutkan lembut, berbanding terbalik dengan emosinya, Dean menyuruhku masuk.
Pria itu langsung mengulurkan tangan, memasangkan sabuk pengaman untukku.
"Jangan bergerak," perintah Dean menatapku dominan.
“Aku benar-benar butuh waktu sendiri, Mas. Atau aku akan meledak lebih dari ini karena muak mengingat kebersamaan kalian berdua di kamar hotel!” seruku tercekat.
Aku menoleh pada Dean dengan air mata yang terus jatuh di pipi. Aku sengaja membiarkannya melihat tangisanku, bahkan aku sudah bergetar dengan dada kembang kempis karena sesak.
“Berapa lama?” tanya Dean dengan nada lebih rendah.
“Entahlah, yang jelas aku masih mengingat statusku sebagai seorang istri, dan aku akan pulang begitu aku siap.”
“Seharusnya kita bicarakan ini semua di rumah, Linar! Bukannya kamu pergi meninggalkanku bersama pria lain!”
Aku tertawa sinis. Menatapnya tajam. “Aku mengenal dirimu dengan baik, Mas. Kamu dengan egomu yang tinggi itu nggak akan mau mendengarku! Dan aku masih terlalu emosional menghadapi kesombonganmu! Dan Erwin. Aku sendiri yang memohon untuk menjemputku, biar kamu bisa kembali pada wanita simpananmu dan menenangkannya, eh.”
Mas Dean tersinggung, ia balas menatap tajam padaku. Di detik berikutnya ia menghela nafas berat. “Ok, hanya dengan aku yang mengantarmu, dan aku akan meninggalkan kamu ditempat yang kamu mau. Dengar! Kamu adalah istriku dan aku berhak menjemputmu kapanpun ketika aku membutuhkanmu.”
Aku membuang wajahku ke samping. Aku tahu negosiasi kali ini sudah final, atau dia akan benar-benar membatalkannya.
Mas Dean kembali memutari kendaraannya dan masuk ke kursi pengemudi. Aku sudah akan membuka bibir untuk protes karena tak tega meninggalkan Erwin sendirian dalam keadaan bibir yang mengeluarkan sedikit darah.
Namun, melihat rahang Dean terkatup rapat, aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk berdebat. Aku pasrah ketika Range Rover milik Dean meninggalkan Erwin.
***
Dddrrtt ..ddrrt ..
"Lin?" Panggil Tita memutus lamunan Linar yang sedari tadi membiarkan gawainya berdering hingga mengganggu ketenangannya.
Linar menoleh dengan wajah bertanya. "Itu suami lo nelpon dari tadi kalau nggak mau diangkat minimal setting mode silent gawai kamu biar nggak berisik!" saran Tita.
Linar mengerjap sekali dan memilih menggapai gawainya yang memunculkan nama 'suamiku' di layar gawainya. Ia menghela napas gusar dan menggeser tombol hijau. "Halo"
"Kamu dimana Lin, kamu masih sama lelaki itu? Dan kenapa belum pulang hah?"
Linar menyentuh keningnya gusar mendengar serentetan pertanyaan pengantar yang bernada marah. Hufth
Linar bangkit dari duduknya menjauh dari Tita, "Aku di tempat Tita Mas, berduaan aja sama dia dan aku ngga pulang malam ini,"
"Apa? Kenapa? Lin, aku ngga suka yah kamu kabur ke rumah teman kamu di saat kita ada masalah kayak gini!"
"Justru karena keadaan kita yang masih begini Mas, aku lagi kecewa dan muak lihat kamu sedangkan kamu pasti butuh waktu untuk nenangin simpanan kamu kan" ejek Linar pelan.
"LIN!" sentak Dean memekik tertahan tersinggung.
"Udah yah Mas, kita butuh jarak terutama aku butuh waktu, besok apulang kok. Dah Mas" tutup Linar kembali mengatur mode silent pada gawainya dan berjalan demi mendaratkan tubuhnya di atas kasur yang langsung disambut lirikan mata oleh Tita.
"Sorry Ta, gue tidur duluan ya," seru Linar memposisikan dirinya untuk tidur tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya.
Tita menatap sendu sahabatnya yang terlihat resah dan lelah hingga memilih tidur lebih cepat dari orang dewasa pada umumnya.
"Lo yakin nggak mau berbagi cerita sama gue, Lin?" Ujar Tita pelan.
Linar membuka matanya, membalas tatap dan menggeleng pelan.
"Belum saatnya Ta, lagian ini aib rumah tangga gue yang nggak akan gue umbar walau gimana pun kan gue harus jaga nama baik mas Dean. Gue nggak mau gunjingan suami sendiri hahahaha" jawab Linar tertawa kering.
***
"Lin, hallo!" . Dean memanggil sekali lagi lalu mendesah keras karena sadar Linar menutup sepihak sambungannya. Ia menyugar rambutnya kasar, ia marah pada keadaan yang membuat istrinya memergokinya, fatal sudah istrinya itu tidak mentolerir isu perselingkuhan dan pengkhianatan.
"Brengsek! Harusnya Linar tetap di rumah dan siapa yang berani mempengaruhi Linar hingga Linar memergokiku di hotel?" tanyanya dalam gumamnya.
Dean melepaskan arloji dan ikat pinggang lalu membuang sembarang di atas ranjang kemudian ia berjalan ke arah pintu kaca balkon membuka dan melewatinya, ia memandang langit malam yang setia gelap dan sendu seolah mengejeknya karena biasanya ia ditemani oleh wanitanya, istrinya memandang langit yang sama.
Dean menggeleng dua kali frustasi ia mencengkram tralis erat, rasa pahit di lidah menginginkannya sebatang rokok untuk menghalau pahit dan sepinya sedetik kemudian Dean ingat jika sebungkus rokoknya telah ia buang karena gerutuan istrinya dan itu sudah dua Minggu yang lalu.
Sial!
***
"Mas Dean udah sampai Ta, gue pamit ya, dah. Tita" pamit Linar yang di balas pelukan erat oleh sahabatnya.
"Lin, kalau lo udah nggak kuat kapanpun kamu bisa langsung temui aku ya, gue akan dengerin keluhan lo biar lo nggak harus tanggung sendiri semuanya, ok!"
Linar mengangguk dan tersenyum ia berbalik dan mengambil tas selempang miliknya di atas nakas dan pamit untuk keluar kossan.
Linar berjalan dengan langkah gamang ini pertama kalinya ia merasa gamang saat melangkah menuju suaminya, jelas semuanya telah berubah dan tak akan lagi sama.
Linar menempatkan dirinya duduk tepat di sebelah kemudi lalu menutup pintu mobil dan mempertahankan diamnya selama perjalanan Linar memilih memperhatikan jalanan kota sesekali berbalas pesan ia memilih tak peduli saat sadar suaminya melirik sekian kali ke arahnya tahu pasti jika suaminya menahan diri untuk bertanya.
Linar tak mampu menahan diri saat mobil yang di tumpanginya semakin masuk ke komplek mami mertuanya.
"Kenapa ke sini, Mas?" Tanyanya menoleh
"Supaya kamu ada temannya dan mami juga ada teman ngobrol," ucapnya datar.
"Aku ada teman ngobrol meski di rumah kok, dan harusnya kamu tanya di awal aku mau atau nggak ke rumah Mami!" protes Linar
Dean menoleh "Emangnya kenapa kalau ke rumah Mami?"
"Kurang nyaman aja, karena aku lagi badmood. Aku mau tiduran di kamar seharian dan bakalan susah kalau aku di rumah Mami," balas Linar cemberut.
"Apapun itu lebih aman di sini," gumam Dean.
"Apa? Kamu bilang apa barusan, Mas?" tanya Linar tak cukup mendengar.
"Apapun itu lebih aman di sini," gumam Dean. "Apa maksud kamu, Mas?" tanya Linar tertarik. "Karena aku nggak mau putar balik dan terjebak macet, aku harus segera sampai ke kantor. Lagipula aku pikir kamu butuh teman bicara, dan Mami juga sama." Dean melirik Linar dari ujung matanya, ia terlihat tengah menimbang dan sebelum Linar menolak Dean kembali bicara. "Aku pergi sekarang, agar aku punya waktu untuk sekedar sarapan sebelum ke kantor." Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah maminya. Memilih menghindari konflik, ia berpesan. "Aku akan langsung berangkat, salam buat Mami!" "Oh ya, pastikan kamu sarapan, sebelum bekerja, Mas?" Dean menoleh membalas tatapan istrinya yang ia kenal sarat akan perhatian khas Linar "Ok, mungkin aku akan pesan makanan untuk di take away atau delivery. Entahlah." Linar mengangguk kecil, "Terserah, pastikan aja maag kamu nggak akan kumat lagi," ucapnya pelan di akhir kalimat. Dean tersenyum kecil ia mengelus rambut hitam Linar sayang. "Iya, s
"Dia terlihat nggak semangat jelas lagi banyak pikiran tapi dia nggak mau bilang apapun ke mami tapi dia sempat bilang ..?" jeda maminya menatap Dean dalam."Pas mami tanya kemarin apa alasan kamu nggak balik ke rumah ini jemput dia, dia bilang itu tanya aja ke kamu, dia takut salah ngomong. Maksudnya apa Mas? Emang kamu kemana sampai ngga pulang ke rumah mami bahkan kamu nggak jemput istri kamu. Kamu tahu dia dapat pertanyaan dari saudara - saudara kamu mereka mengira kalian bertengkar dan Linar terlihat bingung menjawabnya,"Dean menghembuskan napasnya kasar, rasa bersalah menyeruak di dadanya untuk istrinya."Mas?" Panggil maminya menuntut."Aku lagi ada urusan Mi dan nggak sempat ngasih kabar, dan kami sempat salah paham." dustanya sembari menandaskan makanannya dan bangkit menjauh.Tak lama Dean mendatangi kamar mereka untuk mencari Linar yang ternyata tengah berendam di bath up, Dean merengut tak biasanya istrinya itu meninggalkannya sekalipun Linar sudah selesai makan ia selal
Linar menunggu dengan detak jantungnya yang bertabur cepat hingga menyesakkan dadanya, ia takut ... "Udah 8 bulan belakangan ini, Maafin Mas, sayang," seru Dean payah. "Udah lama dong? Oh iya yah kamu mulai berubah juga udah lama kok. Kalian mainnya cantik sih udah pengalaman yah pacar kamu itu?" Ejek Linar datar. Dean membuang wajahnya, bahu dan kepalanya menurun. "Well, untung aku rajin mendoakan kamu dan rumah tangga kita. Jadi aku nggak harus di curangin kamu lama - lama. Lebih baik begini cepat terbongkar sebelumnya lebih parah dari ini. "Maksud kamu Lin?" "Dan sejak kapan kalian mulai sex nya, Mas?" ucap Linar pelan sembari tetap menatap suaminya. "Cukup Lin, aku nggak mau ngebahasnya dan aku tahu itu akan nyakitin kamu lebih dari ini, udah yah aku haus tolong ambilkan aku minum!" sambar Dean. "Nyakitin aku lebih dari ini? Berarti dari pertama kalian mutusin pacaran kali itu juga kalian berzinah ya, dan sepanas apa sih pergulatan kalian di atas ranjang sampai ,-" tanya Li
"Si perempuan itu tampak akrab sama suami lo, Lin!" jelas Tya hati-hati. Linar hanya balas mengangguk, "Dalam circle pertemanan Mas Dean, memang ada aja perempuannya. Semacam wanita alpha gitu yang punya prestasi dan punya posisi setara eksekutif di perusahaan mereka. Bukan hal yang baru, Tya. Udah ya, kita ganti topik aja!" Hening .. Tya terlihat ingin mengejar topik yang sudah di tutup oleh empunya cerita tapi ia memilih mengangguk mengerti demi kenyamanan sahabatnya. "Apapun itu lo harus ingat Lin, kita ada buat lo kalau lo butuh teman curhat atau teman pelarian jadi jangan sok kuat seakan lo tinggal sendiri dan bisa menyelesaikan semua sendiri, ok!" tutur Tita menguatkan. "Iya, lo boleh kok ngerepotin kita kapan aja toh selama ini gue sama Tita sering kecipratan hidup enak karena uang suami lo itu hahaha, intinya lo punya kita untuk ngebantu masalah lo mungkin jadi yah kita harus tahu dulu masalahnya apa nih?" pancing Tya yang di balas tawa kecil Tita. "Lihai sekali anda
"Diet? Tumben kamu diet sekeras ini lagian walaupun tubuh kamu ngga selangsing yang lain, tapi kamu, 'kan nggak gendut?"Yang lain? Ah pasti maksudnya sepupu Dean yang lain yang memang menjaga bentuk tubuh seapik mungkin hingga menyiksa karena tak leluasa makan enak kapanpun dimau pikirnya."Iya, belakangan ini aku lagi ngga percaya diri, Mi. Di sekitar mas Dean banyak yang lebih cantik, pintar dan punya pekerjaan yang bagus terlebih mereka pintar jaga badan, aku jadi minder. Lagian ini usaha aku agar mas Dean tetap setia sama aku," Linar tersenyum masam menyadari ada sengau menahan tangis di ujung suaranya."Memangnya si Mas kenapa?"Linar makin tersenyum lebar dengan mata yang sendu memandang maminya. "Ngga, ngga apa-apa kok, mas Dean baik-baik, aja.""Walaupun ada masalah. sebagai seorang istri kamu harus tetap mendampingi suami kamu, kamu harus percaya dan jaga kepercayaanya. Jangan jadi istri yang suka membesar-besarkan masalah, kamu harus lebih sabar dan mengalah, itu kuncinya."
"Tapi, Bapak setia kan?""Ya enggak juga. Namanya juga laki-laki suka khilaf.""Maksudnya?" tanyanya agak sinis.Linar merasa tertarik dengan supir taxi ini bahkan ia terbawa suasana "Lalu, apa Bapak menyesal udah selingkuh?""Selingkuh itu rasanya berlebihan Mbak. Seakan saya melibatkan hubungan jangka panjang dengan wanita itu. Saya cuma beberapa kali itupun sewaktu tidak bisa mengontrol diri. Namanya lelaki kan hormonnya beda. Apalagi kalau ada masalah di rumah dan mabuk lalu melihat yang bening dan bersedia disentuh kadang jadi tidak bisa menahan diri. Setelah selesai ya merasa bersalah lalu pulang.""Dalam keadaan masih cinta istri Bapak?""Cinta? Rasanya udah lama rasa itu mba saya malah hampir lupa dan udah nggak penting sama cinta. Yang namanya sama istri yang jadi ibu anak-anak bagaimanapun harus saya jalani. Senakal-nakalnya saya, saya tidak pernah berniat meninggalkan istri saya. Terutama setelah saya perlahan mengurangi aktivitas malam saya, rasanya kesadaran saya kembali
14. Adu Amarah"Dan aku sadar aku ini masih seorang istri yang jauh dari kata cukup buat kamu, 'kan? Jadi aku tunggu, maksud kamu aja?" ucapnya datar dan melangkah tapi ditahan."Apa maksud kamu?" tanyanya tegang.Linar balas memandang kali ini dengan tatapan emosi ingin menangis, "Kalau kamu berbuat lebih dari ini. Jujur aku udah ngga mampu mempertahankan apapun yang tersisa dari rapuhnya rumah tangga kita, Mas!""Apa MAKSUD KAMU?" bentaknya emosi.Tes ...Air mata Linar jatuh di pipi kiri, ia menggigit bibirnya demi menahan Isak tangis, mereka sama-sama tahu pembicaraan malam ini terkesan sensitif.Linar berhasil menyunggingkan senyum kecil yang malah terlihat sendu. "Aku sudah kalah saat kamu memilih dia sebagai tempat kamu singgah setelah seharian kamu bekerja, aku udah kehilangan kepercayaan diri saat kamu memilih menghabiskan waktu libur kamu sama dia dan aku-"Linar menjeda ucapannya yang sudah terdengar getir dengan air mata di pipi."Aku udah kehilangan kewarasanku saat lihat
15.Linar memejamkan matanya beberapa detik, khawatir ia akan ditekan lagi. "Linar!" panggil Dean lebih keras. "Apa?""Kamu mikir apa sih?""Bukan apa-apa. Berhenti ikut campur yang bukan urusanmu, Mas," ucap Linar setengah bergumam."Kamu bilang apa?""Aku cuma heran, kamu kenapa balik lagi Mas? Ada yang ketinggalan?" tanya Linar mengalihkan pembicaraan."Iya, aku nggak menemukan laptop aku di mobil, tolong kamu cari di meja kerjaku!""Iya, aku cari, kamu tunggu disini!"***Linar menyeka keringatnya yang terasa kian mengganggu lantaran banyaknya buliran keringat yang banyak sebagai hasil ekskresi setelah ia melakukan zumba bersama teman sekelasnya selama 1 jam."Hufthh ..." Linar memutuskan untuk bergabung bersama teman -temannya yang sudah lebih dulu beristirahat."Udah capek Lin?" tanya Ineu yang di balas anggukan lemah oleh Linar."Habis ini gue sama anak - anak mau makan gulai kambing di resto sebelah, lo mau ikut?""Gulai kambing? Aduh nggak deh makasih, gue lagi diet nih" t
Silahkan Mampir Cerita Lainnya, Peringatan Cerita 19+Genre Adult Romance, Kontrak dg CEO yg bergaya Cassanova. Alur dan permasalahannya lebih real dan relate kehidupan normal. BlurbJavas mengerang karena bergairah, semakin merengkuh tubuh Zehra pada tubuh tegapnya yang membuat pipi Zehra memerah karena ikut merasakannya, dengan mata berkilat Javas mengusap pipi Zehra. "Jadi dari mana aja kamu seharian ini?""Cuma di rumah, mengemas semua barang aku. Kamu ingat 'kan? Ini jadi hari terakhir-""Aku berubah pikiran, ayo kita bertunangan!" Zehra mendorong dada Javas pelan, "Maaf, aku nggak bisa karena kontrak kita udah selesai, benar 'kan?"Tentang dua manusia yang tak pernah bersilang jalan sebelumnya kini terus dipertemukan hingga memantik rasa penasaran Javas Wira Sastro yang sudah muak dengan hidupnya, mencoba bermain api hingga memanfaatkan Zehra Deris yang terhimpit masalah.Mereka setuju untuk terikat dan tanpa sadar saling terbakar. Namun terlalu banyak perbedaan, drama serta
Empat Tahun Kemudian “Elkan sudah berusia enam tahun, sudah agak telat buat punya adik, tapi kenapa masih belum?” pupil mata Tante Ambar membesar, dengan reaksi dramanya ia melanjutkan. “Apa kalian cuma berencana punya satu anak atau ada masalah dengan rahim kamu lagi, Lin?”Pertanyaan terakhir adalah yang paling sensasional terbukti semua mata tertuju pada Linar yang tengah menuangkan air ke dalam gelas kosong. Ia menyadarinya tapi tak cukup ada alasan untuk menghentikan gerakannya. Ia memang langsung haus saat Tante Ambar kembali kumat.“Ambar! Jaga ucapan kamu!” peringat Om Soepomo.“Aku cuma tanya, kita ini ‘kan keluarga. Wajar dong kalau saling terbuka lagipula lebih baik bertanya langsung dari pada ngomongin di belakang ‘kan?”“Memangnya Tante Ambar masih ngomongin aku di belakang, ya?” tanya Linar berpura-pura ingin tahu.Tante Ambar mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian mengulas senyum sambil mengedikkan bahunya. “Kadang-kadang aja, kamu terlihat awet muda sih,”“Aku ‘
"Dia pasti tahu itu, Roland pasti sudah cerita tentang itu ke dia." Linar bersedekap layaknya petugas biro interogasi, "Maryn tahu kamu sudah punya anak?" Dean menghela napasnya kasar. “Aku nggak tau, kami jarang ketika bertemu, ngobrol urusan pribadi seperti itu.” Linar memutuskan untuk tidak berhenti, ia mengikuti suaminya. "Lantas, mau apa dia menghubungi kamu selarut ini?" Dean memandang Linar lama, mencoba merangkai kata dengan penjelasan yang ia pilih. "Maryn memastikan aku hadir di pestanya Roland. Akan banyak yang datang dan mungkin akan menjadi acara semacam reuni." "Kamu memang pasti hadir 'kan? Secara dia sahabat kamu. Lagian acara pernikahannya masih dua minggu lagi, jadi kenapa dia harus memastikan kamu hadir sampai segitunya?" Dean terlihat frustrasi dengan enggan ia menambahkan. “Bukan acara pernikahannya tapi…semacam pesta lajang di tempat yang sudah di booking sama yang punya acara.” “Pesta lajang? Dimana?” “Di salah satu pulau Bali.” “Hah, pesta sendirian sek
Braaak! Dean memejamkan matanya, coba menahan keluhan lantaran pintu mobilnya yang baru saja dibanting oleh istrinya. Ia melirik pada Linar yang masih cemberut mengotak atik ponselnya.“Sebentar lagi jam sebelas, kita sekalian makan siang aja ya, jadi kamu pulang jam satu aja.” buka Dean sembari menjalani mobilnya keluar garasi.“Nggak bisa, ‘kan aku udah bilang aku nggak tega ninggalin Elkan terlalu lama.” balas Linar.“Makanya aku udah bilang tadi, bawa Elkan dan susternya sekalian.” bantah Dean santai namun dibalas delikkan oleh Linar.“Justru karena aku mikirin posisi kamu di kantor. Gimana kalau tantrumnya kambuh? Udah pasti mengganggu kesejahteraan kantor kamu.” ucap Linar sewot.Dean memejamkan matanya lelah. Tangannya mengusap wajahnya gusar. Dia mencoba mendekati Rere. “Aku minta maaf, ok. Berhenti ketus saat bicara sama aku, Lin.” Hening…Linar menyadari jika Dean sudah mulai tersinggung dan mengambil sikap tegas dan dinginnya.“Aku pikir kita udah baik-baik aja. Aku bena
"Maaf, Buk. Pak Dean sedang tidak ada di tempat.""Oh ya, bukannya kurang dari setengah jam, baru tiba jam istirahat?""Betul, Buk. Tapi sejam dua jam yang lalu Pak Dean keluar kantor untuk menghadiri event peluncuran salah salah satu karya kami, dan Bapak bilang akan kembali ke kantor sekitar jam dua nanti." jawab sekretaris Dean. Linar mengangguk kecil, ada perasaan menyesal karena sudah semangat mempersiapkan bekal makan siang sejak jam sembilan pagi. "Tadi kamu bilang, event peluncuran produk? Apa itu artinya Buk Dera William dan Pak Roland juga ikut?" pancing Linar. ***Linar merengut kesal, perasaan was-was masih saja menganggunya selama masih ada Dera yang menjadi salah satu partner kerja suaminya artinya Dera masih berputar di dunia suaminya. Peluang mereka untuk bertemu, dekat dan kembali nyaman terlalu besar. Dan terbukti ada kecocokan tempat diantara mereka. Dean baru saja memberitahu lewat telpon jika ia tengah berada di restoran ternama dan memakai ruang makan tertut
"Iya, nanti di dalam kamarnya jangan terlalu lama, ya. Biar kamu bisa ikut foto bersama nah, setelah itu kita bahas acara ulang tahun Ista, nanti. Kamu tahu 'kan sebentar lagi giliran Ista, adik ipar kamu yang berulang tahun. Jadi kamu harus ikut diskusi, ya!""Ok, Tante. Yaudah aku ke kamar dulu, ya. Elkan udah merengek terus."Linar masuk ke salah satu kamar tamu yang ada di lantai dasar. la duduk di sisi ranjang dan mulai menurunkan gaunnya di bagian dada dan melepas kancing bra. Sejak melahirkan Elkan, Linar selalu memakai bra dengan kancing di bagian depan agar memudahkannya untuk menyusui.Linar segera menempatkan bibir Elkan di puncak dadanya. Elkan yang sudah lapar dan haus, segera menghisap dengan tidak sabar. Tidak lama kemudian, mata bayi laki-laki sehat itu terpejam. Linar menatap Elkan dengan penuh kasih sayang. Tangannya bergerak pelan dan lembut untuk mengelus kepala anaknya yang berambut lebat seperti Dean. la tersenyum tipis. Perjalanan rumah tangga yang dulu terasa
Dean menelengkan kepalanya. "Kenapa bisa nggak seger lagi?""Ya, karena aku udah mandi dari setengah jam yang lalu," ucap Linar cemberut."Ya, terus kenapa kamu nggak langsung samperin aku aja, hmm?" "Niatnya 'kan mau kasih kejutan, lagian kamu kelihatan serius banget kerjanya, jadi aku pilih skincare-an deh, sambil nungguin." Dean mendengus ketika kedua lengan Linar mengalungi lehernya. “Bukan karena kamu sibuk cari alasan supaya aku nggak marahin kamu, hm?” sindir Dean tajam. Meski begitu, kedua tangannya bergerak pasti memeluk pinggang Linar.Linar tersenyum geli, kakinya sedikit berjinjit agar bisa mengecup sebentar bibir Dean. "Jangan marah dong, 'kan akunya ga jadi seminggu disana.""Kesepakatannya kamu dan Elkan cuma tiga hari disana, ingat.""Tapi kamu tau sendiri, Mamah aku protes karena aku nggak ikut bantuin acaranya. Dan kamu udah izinkan aku, ingat?""Amat sangat terpaksa, karena mamah kamu yang minta." dengus Dean. “Tapi Mas, kamu suka nggak?” bisiknya tepat didepa
"Cium!" bisik Linar ragu, "Dia cium bibir aku, Mas."Jawaban Linar cukup membuat Dean lega, hanya saja egonya terlanjur luka. Ia kecewa manakala di saat mereka berpisah, ia masih meyakini Linar masih mencintainya, dan kepercayaan Linar adalah perempuan yang pandai menjaga dirinya. Sejujurnya ia pun banyak membiarkan Dera. "Tumben, kamu mau. Padahal hubungan kalian setengah tahu pun belum?""..." Linar tak mampu memandang wajah suaminya.Dean berbalik, "Aku kecewa, aku pikir kamu nggak akan semudah itu berpaling.""Mas..." Linar menahan lengan Dean, "Waktu itu kita udah bercerai, Mas.""Secepat itu kamu berpaling? Apa kamu memang tipikal nggak bisa kesepian? Jangan - jangan kalau aku tinggal dinas lama di luar kota, kamu cari pelukan pria lain.""Aku nggak kaya gitu, Mas. Bukannya banyak kesempatan yang aku buktikan ke kamu, ya? Aku yang selalu nungguin kamu di kamar yang dingin sendirian, Mas! Aku selalu setia sama kamu….” Linar menggigit lidahnya, dan membuang wajahnya ke samping.D
Dean mengetahui jika Linar sudah lama bersahabat dengan Tita tapi dengan Andaru, pria yang dikenalnya sebagai kekasih dari Tita, sejauh apa istrinya dekat dengan Andaru? Dan apakah Tita mengetahui kedekatan mereka berdua hingga dengan santainya Andaru membuat janji temu dan makan bersama, bahkan mengirim pesan selarut ini. Berbagai macam pertanyaan dan pikiran negatif bersemayam dibenaknya dengan cara yang menjengkelkan. Ia curiga, khawatir dan mungkin cemburu. Namun kali ini Dean ingin menguji istrinya.***Tok.. Tok.. "Masuk,"“Mas, ini udah jam makan siang lho, makan yuk!”Dean tersenyum kecil saat menemukan Linar yang melangkah menuju meja kerjanya. Ia memundurkan kursinya dan menyamankan posisi duduknya dengan kaki yang terbuka lebar.Linar berdiri di sampingnya, menyandar di pinggir meja setelah meletakkan tas di atasnya. Tangannya memainkan rambut Dean. “Lunch bareng aku yuk, ada resto recommended yang mau aku coba bareng kamu," Dean mengangguk setuju, menikmati tangan Linar