Rupanya langit yang cerah sudah terlihat mendung bagi dirinya. Hanya dalam hitungan detik, Tuhan berhasil mengambil segalanya dari hidup Zaheen; kasih sayang keluarganya, tempat berteduh, kebahagiaan dan perlindungan, tak ada yang tersisa.
Ia hanya bisa meringkuk di depan orang-orang yang kini tak ia kenali. Ruangan kecil yang terbuat dari kayu rapuh dan juga banyaknya lalat memenuhi tempat itu, ia menatap anak laki-laki yang tadi membawanya dengan paksa.
“Kau jangan khawatir, kau aman di sini,” katanya sembari tersenyum. Sepertinya dia anak baik meski suka memaksa.
“Namamu Zaheen, kan? kenalin aku Kian.” Ia tersenyum dan memberikan roti miliknya pada Zaheen. “Sebagai tanda pertemanan kita, makanlah roti ini, kau pasti lapar, kan?”
Tentu saja, Zaheen sangat lapar. Meski hanya sepotong roti tapi ia akan bersyukur bisa makan hari ini. Kian tersenyum sumringah saat Zaheen menerima makanannya dan mulai memakannya dengan cepat. “Kau sungguh kelaparan ya?” gumamnya takjub setelah Zaheen menghabiskan roti itu.
“Lukamu sudah di balut dengan benar, kalau tidak mungkin akan infeksi. Untung saja ada kak Sera,” kata Kian lagi.
Zaheen melirik seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun yang sedang berbicara dengan anak lain di depan rumah tua tersebut, dialah yang mengobati Zaheen tadi, dia sangat lembut dan sepertinya anak-anak menyukainya.
“Oh ya, jika kau Zaheen Magani lalu siapa jasad yang akan dimakamkan bersama ayah dan ibumu?” tanya Kian tiba-tiba.
“Itu ... Jasad pamanku, dia adiknya ibuku yang paling bungsu, umur kami hanya beda lima tahun jadi mungkin mereka mengira itu adalah aku,” jawab Zaheen.
Kian mengangguk paham. “Lalu kau ingin pergi ke pemakaman mereka, aku bisa mengantarmu,” ucap Kian bersedia membantunya.
Zaheen terdiam sebentar, ia menunduk melihat bekas darah ibunya yang masih ada di baju yang ia kenakan sekarang. Ia sungguh takut jika Isaac nanti akan menemukannya tapi ia tidak ingin membiarkan keluarganya pergi sendirian, ia ingin menemani mereka hingga peristirahatan terakhir mereka.
“Kau tahu jalan yang tidak seorang pun tahu?”
Kian mulai berpikir. “Aku ada jalan tapi mungkin lebih jauh sampai ke kampungmu, tidak masalah, kan?”
Zaheen mengangguk. “Baiklah, besok kita harus bangun subuh sekali untuk berangkat, kita naik sepeda itu saja, kau lihat,” seru Kian sembari menunjuk sepeda yang digunakan anak lain di luar sana.
Zaheen mengerutkan alisnya. “Jangan melihat penampilan sepeda itu yang jelek tapi lihatlah pertahanannya, aku sudah menjelajahi seluruh kota ini dengan sepeda rongsokan itu,” jelas Kian.
Zaheen tersenyum tipis melihat tingkah Kian yang lucu, padahal Zaheen tak menatap aneh sepeda itu namun ia hanya berpikir jika dulu, sepeda yang bahkan terlihat masih baru saja langsung dibuang oleh Zaheen jika sudah tak menyukainya dan mengganti dengan yang baru.
Jika saja Zaheen mengenal Kian lebih cepat, ia akan memberikan sepeda yang pernah ia buang untuk Kian. Saat ia punya segalanya, ia lupa dan tak pernah bersyukur dengan apa yang ia miliki namun hari ini, ia telah melihat segalanya. Jika ternyata ada orang yang begitu membutuhkan barang yang sering ia buang dulu.
****
“Apa yang sebenarnya telah terjadi, bukankah kau baru menelepon Grayson waktu itu?” tanya pria tua beruban yang sungguh terpukul melihat bagaimana menggenaskannya Grayson meninggal. Ia masih tak menyangka jika musibah besar itu akan menimpa keluarga baik yang sering membantunya dulu.
“Iya. Itu benar, Pak. Setelah mengambil cuti selama dua hari untuk berlibur bersama keluarganya, Grayson pulang dan saat aku menelepon ia katanya masih di jalan, mungkin tiga atau dua jam lagi akan sampai. Sayangnya, beberapa jam kemudian aku malah mendapatkan kabar menyedihkan jika dia kecelakaan,” jelas Isaac.
Pak tua itu melihat Isaac lagi. “Semuanya tak tersisa pak, bahkan barang bawaannya pun semuanya telah hancur terbakar,” sambungnya.
Dengan langkah yang berat, ia mulai mendekati peti Grayson dan keluarganya, saat ia membuka peti yang bertuliskan nama Zaheen ia mengerutkan alisnya.”Apakah Zaheen tumbuh setinggi ini sekarang?” gumamnya pelan, padahal ia baru bertemu dengan Zaheen beberapa bulan yang lalu tapi perasaannya mengatakan tubuh dan postur jasad tersebut seperti bukan Zaheen.
“Apa tak ada orang lain saat mobil itu kecelakaan?” tanyanya pada seorang polisi.
“Tidak ada pak, kami sudah memeriksa tempat itu,” jawab polisi tersebut.
“Sudahlah pak, jangan mengacaukan keadaan, kita semua terpukul sama seperti bapak,” ucap Isaac mencoba menenangkan pria tua yang sekiranya berusia lima puluh tahun lebih itu.
“Ini bukan Zaheen, sepertinya anak itu masih hidup, kita harus mencarinya ...” Semua orang terdiam melihat pak tua tersebut. “Aku mengenal anak itu, dia mungkin bukan Zaheen, itu bukan jenazah Zaheen,” lanjutnya.
“Bawa dia pergi, dia bikin malu kita saja kalau begini,” perintah Isaac setelah melihat beberapa tamu sedang menonton mereka.
Isaac menutup kembali peti tersebut dan menghela napas berat. “Aku masih menyelenggarakan pemakaman yang layak untuk mereka, kenapa ada saja yang membuatku kesal,” gumamnya mencoba meredakan amarahnya, ia tak boleh lengah dan harus menjadi sahabat baik yang dilihat oleh publik.
Ia ingin mendapatkan citra yang baik. Tiba-tiba saja, ada tangan kecil yang memegang tangannya.
“Ayah, boleh aku keluar dari sini?” kata gadis mungil yang sepertinya tak nyaman berada di sana.
“Jangan, Nora. Sebentar lagi acara di mulai, bersabarlah nak. Setelah ini, kita ke mall ya untuk belanja.”
“Ayah janji?”
“Janji, nak.” Isaac tersenyum sambil mengelus kepala anak perempuan satu-satunya itu, hanya dengan sentuhan anaknya ternyata ampuh meredakan amarahnya. Ia menggendong anaknya tersebut lalu duduk karena acara dan doa akan segera di mulai.
****
Zaheen dan Kian berdiri dibalik pohon pelindung yang sangat besar, mereka memperhatikan orang-orang yang sedang menangis di depan kuburan keluarganya. Bodohnya, ia juga melihat kuburan atas namanya sendiri, dia sudah dianggap mati oleh orang-orang itu.
Angin sungguh kencang hingga membuat dedaunan berjatuhan, mungkin karena sebentar lagi akan turun hujan. Zaheen juga pernah ikut bersama ayahnya ke pemakaman dan saat itu juga hujan, Zaheen akhirnya tahu, jika bumi pun menangis harus melepaskan orang baik yang meninggalkan dunianya.
Lalu bagaimana jika orang seperti Isaac, apakah bumi juga akan menangis?
“Zaheen, kau baik-baik saja?” tanya Kian tiba-tiba.
“Ya ... Aku sungguh baik-baik saja,” jawabnya datar.
“Sungguh?”
“Apa yang kau harapkan dari seorang anak yang batinnya berduka seumur hidupnya?”
Kian berbalik melihat Zaheen, Kian membulatkan matanya saat melihat air mata itu jatuh kembali namun wajah Zaheen begitu datar.
“Kian.”
“I ... Iya?”
“Kau ingin kaya?”
Kian terdiam. Ia tak bisa menjawabnya.
“Bekerja samalah denganku, kita hancurkan pak tua yang sedang menggendong anak perempuannya itu.”
Kian mengikuti arah mata Zaheen, dari banyaknya orang-orang, ia akhirnya melihat Isaac dan putrinya.
“Jadi dia yang mengkhianati ayahmu.”
Suara bising dari tempat itu langsung menyerbu telinga seorang wanita dengan gaun hitam selutut. Seumur hidupnya tidak pernah memasuki tempat seperti itu, jika dilihat lagi, banyak sekali jalang yang sedang mencari tuannya, bau alkohol ada di mana-mana dan banyak sekali orang-orang tak tahu malu yang sedang bermaksiat di sana. Sungguh menjijikkan.“Nora sahabatku, cintaku... akhirnya kau datang juga!” seru wanita berambut pendek dengan pakaian seksi dan hiasan menor itu.Perhatian semua orang tentunya langsung teralihkan oleh wanita yang masih berdiri di depan pintu itu. “Ayo masuk, jangan malu. Ini tempat duduk khusus untukmu,” ujar Angelica penuh semangat sembari menunjukkan kursi untuk wanita bernama lengkap Eleonora itu.Karena Nora yang tidak bergerak sama sekali, akhirnya Angelica menarik tangan wanita itu lalu mendudukkannya di depan beberapa orang yang tidak Nora kenal, hanya satu atau dua orang yang ia tahu namun tidak akrab.Semua adalah teman-teman Angelica.“Perkenalkan ga
Sang pemilik mata hitam itu tepat duduk di samping Nora dengan pistol yang masih berada di kepala Nora bersiap menembaknya jika saja ia melawan. Suara teriakannya membuat ketegangan begitu terasa di dalam mobil tersebut.“Jalankan mobilnya!”Daniel begitu ragu, namun ia menatap Nora dengan mata yang berbinar. “Jalankan mobilnya, Daniel.” Suara lembut itu terdengar pelan, Daniel dengan terpaksa menuruti ucapan nonanya yang menyuruhnya mengikuti permainan si kriminal.“Lebih cepat!” bentak pria itu pada Daniel.Tanpa mengatakan apapun, Daniel makin menginjak gas hingga kecepatan tinggi. Pria itu menoleh ke belakang melihat polisi yang mengejarnya mulai menjauh, Daniel benar-benar sopir handal, ia bisa menghindari kejaran polisi dengan cepat.Nora merasakan jika pistol itu mulai menjauh dari kepalanya. Wanita bermata coklat itu menghela napas panjang dan kembali menatap pria beriris hitam tersebut dan benar saja, pria itu adalah lelaki yang membuatnya tertarik.Jantungnya berdekat lebih
“Pemuda yang merusuh semalam adalah anak laki-laki Grayson Magani, kau sudah gila! Jelas-jelas aku melihat dua anaknya ikut hangus terbakar dalam kecelakaan itu!”“Tenanglah Isaac, ini hanyalah dugaan. Kita belum tahu kebenarannya.”Pria tua itu terduduk di kursi singgahsananya dan mencoba menenangkan dirinya. Ia begitu ingat bagaimana mayat-mayat itu terbakar di dalam mobil yang dikendarai Grayson kala itu, sungguh tak masuk akal baginya jika ada yang hidup. Bahkan ia hadir saat pemakaman keluarga tersebut.Ia memijit pelipisnya menampakkan betapa frustasinya dirinya. “Panggil Nora, dia mungkin tahu sesuatu.”Adik Isaac yang tidak lain adalah ayah Emilia itu segera menuruti perkataan kakaknya. Tak butuh waktu lama, wanita cantik itu sudah berada di depan ayahnya.“Nora, ayah bersyukur kau selamat dari pemuda itu. Kau melihat wajahnya, atau Daniel juga mengetahuinya?”Nora menatap ayahnya dengan serius. Ia sudah janji pada Daniel untuk tidak mengikut campurkan pria itu pada masalah ya
“Nona, apa aku boleh bertanya sesuatu, maaf jika ini menyangkut pribadi anda.” Daniel memecahkan keheningan. Sejak mereka bertemu dengan Zaheen, keduanya menjadi canggung dan terasa aneh.Nora yang awalnya menatap luar jendela kini berbalik melihat Daniel. Ia menghela napas karena ia tahu apa yang akan ditanyakan oleh sopirnya tersebut. “Jangan pernah beritahu ayah soal kedekatanku dengan pria itu,” ujarnya.“Tapi bukankah dia berbahaya, jika saya tadi terlambat beberapa menit, mungkin nona ...” Daniel tidak bisa melanjutkan ucapannya.Nora mengingat kejadian tadi saat ia dicekik, ia pun masih bertanya-tanya mengapa terkadang ia melihat mata itu penuh dengan kebencian.“Jangan salah paham nona, tapi dia tak setara dengan anda. Pasti tuan akan sangat marah jika tahu nona menyukai pria itu.”“Daniel, cukup!”Daniel tersentak, hanya sebentar ia melirik nonanya lalu kembali fokus mengemudi malam itu. “Aku tahu resiko yang kuambil, aku akan berhati-hati dan semua akan baik-baik saja,” jela
Selama di perjalanan menuju studio, Zaheen terus saja memikirkan ucapan sahabatnya. Ia tidak pernah meragukan perasaannya sendiri, sudah sejak awal ia terus mengikuti kehidupan Isaac bersama anak perempuannya tentunya.Sejak remaja pun Zaheen sudah sering melihat Nora dari jauh, ia hanya melihat gadis itu dengan biasa tanpa ketertarikan sedikit pun.“Jaga hatimu, kalau sampai kau jatuh cinta, kau yang akan terpengaruh olehnya, ingat itu.”Setelah bus berhenti, segera Zaheen turun dan kini ia sudah berada di depan gedung mewah. Ia sering melewati tempat tersebut namun tak tahu apa yang dibuat orang di dalam sana, namun yang ia ingat bahwa banyak gadis-gadis yang sering berlalu lalang di sekitar sini.Mungkin ini tempat yang disukai para gadis.Pemilik mata hitam itu menelusuri setiap detail ruangan yang ia masuki, hanya ada ruangan dengan lampu yang remang-remang, sepertinya tempat ini sudah tutup tapi mengapa Nora menuruhnya ke sini.Zaheen melihat dari jauh ada siluet seseorang di se
Hubungan ini tercipta atas kebohongan, selamanya akan menjadi kepalsuan menurut Zaheen. Walaupun gadis itu mengatakan tentang hidupnya dan Zaheen juga mengatakannya, itu tetaplah kebohongan karena Zaheen tak akan pernah mengatakan yang sebenarnya sampai waktu itu tiba.Dan Zaheen tahu, jika waktu itu akan tiba maka mereka pasti akan selesai.“Aku ingin jadi seorang ballerina yang terkenal, bagaimana denganmu?”Nora menatap Zaheen dengan dalam. “Impianku?” tanya pria itu.gadis itu mengangguk. “Ya, kau ingin jadi apa?” tanyanya.Zaheen terdiam. Dia bahkan tak pernah memikirkan bagaimana ia kelak, ia tak memiliki impian sama sekali, dari kecil ia hanya memikirkan cara bagaimana menjatuhkan Isaac, ia hanya termakan oleh dendam.“Aku tidak tahu.”“Kenapa tak tahu,” kaget Nora. Gadis itu memperbaiki duduknya menghadap Zaheen agar mereka lebih leluasa berbicara.“Karena aku memang tak punya impian,” jawab Zaheen jujur.Nora terbelalak, ia kemudian tak sengaja melihat tangan Zaheen, meski la
“Aku Emilia Laura, sepupu Nora.”Seorang wanita berambut pendek kini sedang teliti menatap Zaheen, perempuan bermata cokelat itu tak memalingkan wajahnya sedikitpun dari punggung Zaheen. Dengan postur tubuh tegak ia berjalan dan kini telah berada di samping Zaheen, mencoba melihat wajahnya.Zaheen berpaling agar Emilia tak mencoba melihat wajahnya. “Aku tak ada hubungannya dengan gadis itu, maksudku kami hanya dekat biasa,” ujar Zaheen.“Biasa. Ya, aku paham.” Emilia tersenyum kecut, jika ia ingat lagi bagaimana sombongnya Nora mengatakan jika ia akan membuat pria itu jatuh cinta padanya, namun sepertinya itu belum berhasil.“Kenapa kau bertanya itu padaku?” tanya Zaheen, pria itu masih tak ingin berbalik untuk menatap lawan bicaranya.Emilia kini memperhatikan Zaheen dari atas ke bawah lalu kemudian mengernyit. Ia tak pernah menyangka selera sepupunya itu terlalu rendah, ini sangat jauh dari pria konglomerat atau pria pengusaha yang selalu memakai setelan jas rapi di mana pun ia bera
“Zaheen, Eleonora ada di sini.”Dari jarak yang cukup jauh, keduanya berdiri dan saling melihat satu sama lain. Pikian Zaheen soal pria asing yang mencarinya tadi langsung buyar seketika, seorang wanita yang tersenyum manis terlihat begitu sempurna, ia mampu mengalihkan dunia Zaheen hanya dengan tatapan itu.“Bagaimana dia bisa di sini?” tanya Kian masih dengan berbisik pelan.“Entahlah,” jawab Zaheen sembari melangkah lebih cepat meninggalkan Kian.Apa boleh buat, Kian yang kakinya masih sakit hanya bisa melihat Zaheen mendekati gadis itu.“Nora, jangan pernah ke sini, ini berbahaya untukmu.” Zaheen meraih tangan gadis itu lalu menariknya untuk keluar gang tersebut. Mereka melewati Kian yang saat itu masih menonton mereka.“Kenapa, apa salahnya kalau akan mengunjungi kekasihku?” tanya Nora tak percaya dengan sikap Zaheen.Tapi sayangnya, Zaheen tidak melepaskan tangan Nora hingga akhirnya mereka keluar dari gang sempit tadi. “Nora dengarkan aku baik-baik, aku akan datang saat kau mem