Share

BAB 2 Pemakaman

Rupanya langit yang cerah sudah terlihat mendung bagi dirinya. Hanya dalam hitungan detik, Tuhan berhasil mengambil segalanya dari hidup Zaheen; kasih sayang keluarganya, tempat berteduh, kebahagiaan dan perlindungan, tak ada yang tersisa.

Ia hanya bisa meringkuk di depan orang-orang yang kini tak ia kenali. Ruangan kecil yang terbuat dari kayu rapuh dan juga banyaknya lalat memenuhi tempat itu, ia menatap anak laki-laki yang tadi membawanya dengan paksa.

“Kau jangan khawatir, kau aman di sini,” katanya sembari tersenyum. Sepertinya dia anak baik meski suka memaksa.

“Namamu Zaheen, kan? kenalin aku Kian.” Ia tersenyum dan memberikan roti miliknya pada Zaheen. “Sebagai tanda pertemanan kita, makanlah roti ini, kau pasti lapar, kan?”

Tentu saja, Zaheen sangat lapar. Meski hanya sepotong roti tapi ia akan bersyukur bisa makan hari ini. Kian tersenyum sumringah saat Zaheen menerima makanannya dan mulai memakannya dengan cepat. “Kau sungguh kelaparan ya?” gumamnya takjub setelah Zaheen menghabiskan roti itu.

“Lukamu sudah di balut dengan benar, kalau tidak mungkin akan infeksi. Untung saja ada kak Sera,” kata Kian lagi.

Zaheen melirik seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun yang sedang berbicara dengan anak lain di depan rumah tua tersebut, dialah yang mengobati Zaheen tadi, dia sangat lembut dan sepertinya anak-anak menyukainya.

“Oh ya, jika kau Zaheen Magani lalu siapa jasad yang akan dimakamkan bersama ayah dan ibumu?” tanya Kian tiba-tiba.

“Itu ... Jasad pamanku, dia adiknya ibuku yang paling bungsu, umur kami hanya beda lima tahun jadi mungkin mereka mengira itu adalah aku,” jawab Zaheen.

Kian mengangguk paham. “Lalu kau ingin pergi ke pemakaman mereka, aku bisa mengantarmu,” ucap Kian bersedia membantunya.

Zaheen terdiam sebentar, ia menunduk melihat bekas darah ibunya yang masih ada di baju yang ia kenakan sekarang. Ia sungguh takut jika Isaac nanti akan menemukannya tapi ia tidak ingin membiarkan keluarganya pergi sendirian, ia ingin menemani mereka hingga peristirahatan terakhir mereka.

“Kau tahu jalan yang tidak seorang pun tahu?”

Kian mulai berpikir. “Aku ada jalan tapi mungkin lebih jauh sampai ke kampungmu, tidak masalah, kan?”

Zaheen mengangguk. “Baiklah, besok kita harus bangun subuh sekali untuk berangkat, kita naik sepeda itu saja, kau lihat,” seru Kian sembari menunjuk sepeda yang digunakan anak lain di luar sana.

 Zaheen mengerutkan alisnya. “Jangan melihat penampilan sepeda itu yang jelek tapi lihatlah pertahanannya, aku sudah menjelajahi seluruh kota ini dengan sepeda rongsokan itu,” jelas Kian.

Zaheen tersenyum tipis melihat tingkah Kian yang lucu, padahal Zaheen tak menatap aneh sepeda itu namun ia hanya berpikir jika dulu, sepeda yang bahkan terlihat masih baru saja langsung dibuang oleh Zaheen jika sudah tak menyukainya dan mengganti dengan yang baru.

Jika saja Zaheen mengenal Kian lebih cepat, ia akan memberikan sepeda yang pernah ia buang untuk Kian. Saat ia punya segalanya, ia lupa dan tak pernah bersyukur dengan apa yang ia miliki namun hari ini, ia telah melihat segalanya. Jika ternyata ada orang yang begitu membutuhkan barang yang sering ia buang dulu.

****

“Apa yang sebenarnya telah terjadi, bukankah kau baru menelepon Grayson waktu itu?” tanya pria tua beruban  yang sungguh terpukul melihat bagaimana menggenaskannya Grayson meninggal. Ia masih tak menyangka jika musibah besar itu akan menimpa keluarga baik yang sering membantunya dulu.

“Iya. Itu benar, Pak. Setelah mengambil cuti selama dua hari untuk berlibur bersama keluarganya, Grayson  pulang dan saat aku menelepon ia katanya masih di jalan, mungkin tiga atau dua jam lagi akan sampai. Sayangnya, beberapa jam kemudian aku malah mendapatkan kabar menyedihkan jika dia kecelakaan,” jelas Isaac.

Pak tua itu melihat Isaac lagi. “Semuanya tak tersisa pak, bahkan barang bawaannya pun semuanya telah hancur terbakar,” sambungnya.

Dengan langkah yang berat, ia mulai mendekati peti Grayson dan keluarganya, saat ia membuka peti yang bertuliskan nama Zaheen ia mengerutkan alisnya.”Apakah Zaheen tumbuh setinggi ini sekarang?” gumamnya pelan, padahal ia baru bertemu dengan Zaheen beberapa bulan yang lalu tapi perasaannya mengatakan tubuh dan postur jasad tersebut seperti bukan Zaheen.

“Apa tak ada orang lain saat mobil itu kecelakaan?” tanyanya pada seorang polisi.

“Tidak ada pak, kami sudah memeriksa tempat itu,” jawab polisi tersebut.

“Sudahlah pak, jangan mengacaukan keadaan, kita semua terpukul sama seperti bapak,” ucap Isaac mencoba menenangkan pria tua yang sekiranya berusia lima puluh tahun lebih itu.

“Ini bukan Zaheen, sepertinya anak itu masih hidup, kita harus mencarinya ...” Semua orang terdiam melihat pak tua tersebut. “Aku mengenal anak itu, dia mungkin bukan Zaheen, itu bukan jenazah Zaheen,” lanjutnya.

“Bawa dia pergi, dia bikin malu kita saja kalau begini,” perintah Isaac setelah melihat beberapa tamu sedang menonton mereka.

Isaac menutup kembali peti tersebut dan menghela napas berat. “Aku masih menyelenggarakan pemakaman yang layak untuk mereka, kenapa ada saja yang membuatku kesal,” gumamnya mencoba meredakan amarahnya, ia tak boleh lengah dan harus menjadi sahabat baik yang dilihat oleh publik.

Ia ingin mendapatkan citra yang baik. Tiba-tiba saja, ada tangan kecil yang memegang tangannya.

“Ayah, boleh aku keluar dari sini?” kata gadis mungil yang sepertinya tak nyaman berada di sana.

“Jangan, Nora. Sebentar lagi acara di mulai, bersabarlah nak. Setelah ini, kita ke mall ya untuk belanja.”

“Ayah janji?”

“Janji, nak.” Isaac tersenyum sambil mengelus kepala anak perempuan satu-satunya itu, hanya dengan sentuhan anaknya ternyata ampuh meredakan amarahnya. Ia menggendong anaknya tersebut lalu duduk karena acara dan doa akan segera di mulai.

****

Zaheen dan Kian berdiri dibalik pohon pelindung yang sangat besar, mereka memperhatikan orang-orang yang sedang menangis di depan kuburan keluarganya. Bodohnya, ia juga melihat kuburan atas namanya sendiri, dia sudah dianggap mati oleh orang-orang itu.

Angin sungguh kencang hingga membuat dedaunan berjatuhan, mungkin karena sebentar lagi akan turun hujan. Zaheen juga pernah ikut bersama ayahnya ke pemakaman dan saat itu juga hujan, Zaheen akhirnya tahu, jika bumi pun menangis harus melepaskan orang baik yang meninggalkan dunianya.

Lalu bagaimana jika orang seperti Isaac, apakah bumi juga akan menangis?

“Zaheen, kau baik-baik saja?” tanya Kian tiba-tiba.

“Ya ... Aku sungguh baik-baik saja,” jawabnya datar.

“Sungguh?”

“Apa yang kau harapkan dari seorang anak yang batinnya berduka seumur hidupnya?”

Kian berbalik melihat Zaheen, Kian membulatkan matanya saat melihat air mata itu jatuh kembali namun wajah Zaheen begitu datar.

“Kian.”

“I ... Iya?”

“Kau ingin kaya?”

Kian terdiam. Ia tak bisa menjawabnya.

“Bekerja samalah denganku, kita hancurkan pak tua yang sedang menggendong anak perempuannya itu.”

Kian mengikuti arah mata Zaheen, dari banyaknya orang-orang, ia akhirnya melihat Isaac dan putrinya.

“Jadi dia yang mengkhianati ayahmu.”

           

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status